Senin, 04 November 2013

Tikam samurai - Di Singapura I (253-254-255-256-257-258)

Tikam Samurai - 253

Singapura! Kota ini berkembang dengan cepat. Dari sebuah pulau yang selama ini lebih banyak sebagai tempat persinggahan kaum pedagang atau tempat pelarian penjahat-penjahat, tiba-tiba muncul sebagai sebuah kota yang paling penting setelah Kuala Lumpur di semenanjung Malaya.
Tapi pulau yang tiba-tiba berobah jadi kota besar ini juga menjadi sarang kegiatan spionase. Disana juga secara diam-diam atau terang-terangan berlangsung kegiatan politik untuk berbagai negara. Baik negara-negara eropah, terutama Inggris, Perancis, Belanda, Portugis dan Spanyol yang memiliki tanah jajahan di lautan pasifik dan lautan hindia.
Juga terutama kegiatan-kegiatan politik untuk kepentingan negara-negara Asia yang baru dan akan merdeka. Negara-negara Asia yang pernah dijamah kekejaman balatentara Jepang mengurus kepentingan pampasan perang di Singapura ini.

Berbagai jenis manusia makin hari makin memenuhi kota di pulau kecil tersebut. Dan diantara berseliwerannya manusia-manusia, pencopet dan penodong juga ikut beraksi. Berbeda dengan Jepang dimana para penjahatnya terorganisir rapi dalam berbagai kelompok seperti Jakuza, Kumagaigumi, atau yang kecil-kecil seperti kelompok Shiba, maka di kota singa ini para penjahat, pencopet, penodong dan pemeras beroperasi sendiri-sendiri.
Karena negeri ini negeri baru, maka organisasi apapun nampaknya belum sempat membenahi diri. Kalaupun ada yang teroganisir, maka itu hanyalah sindikat-sindikat penyelundup. Mulai dari penyelundup emas, timah, kayu bakau sampai pada kopra, karet dan bedil.
Hari itu sangat panas. Tengah hari terik. Seorang anak muda kelihatan keluar bersama puluhan kaum muslim lainnya dari sembahyang Lohor di Mesjid Sultan tak jauh dari Arab street.
Dia tak lain daripada Si Bungsu. masih ingat padanya bukan? Dahulu dia diantar oleh Kenji, Hanako dan suaminya serta Tokugawa ke lapangan terbang Haneda. Dia akan pulang ke Indonesia. Karena waktu itu tak ada hubungan antara Indonesia dan Jepang, maka setiap orang yang akan atau kembali ke Indonesia dari Jepang, harus mempergunakan Singapura sebagai pelabuhan transit.

Nah, nampaknya dia belum kembali ke Indonesia. Siang itu, sehabis sembahyang lohor di Mesjid Sultan itu, dia menuju ke sebuah kedai nasi Padang yang tak jauh dari mesjid tersebut.
Kedai nasi itu terletak persis di pinggir jalan. Sebuah tenda dibentangkan sebagai atap. Sebuah meja besar terletak di bawahnya. Di meja besar itu lah terletak panci-panci bersisi nasi, gulai, goreng ikan, goreng ayam, sambal lado sampai rebus daun ubi. Sesekali kelihatan petai mentah dan gulai jengkol. Pokoknya spesifik makanan orang Padang lah.
Dan warung ini kabarnya milik orang Kapau. Sebuah desa kecil di luar Bukittinggi. Untuk menanak nasi mereka mempergunakan kompor pompa. Dan warung mereka ramai terus. Mulai dari pagi buta sampai malam hari. Tapi warung itu segera tutup sebelum jam 9 malam. Soalnya nasi berikut lauk pauknya sudah keburu habis.
Nah, kesanalah si Bungsu pergi.

Dia terpaksa menanti beberapa saat. Warung dengan jumlah kursi sepuluh buah itu sudah penuh sesak. Bersamanya ikut menanti beberapa lelaki lainnya.
Yang makan disini bukan hanya orang Padang saja. Tapi juga orang-orang Batak, Cina dan Jawa. Itu karena dari omong mereka ketika makan.
Waktu si Bungsu tegak menanti itulah, di ujung jalan sebuah sedan kelihatan berhenti. Dari dalamnya turun seorang lelaki berpakaian cukup parlente.
Lelaki itu melangkah juga ke arah warung Padang itu. Si Bungsu yang pertama melihat lelaki itu. Dia jadi kaget. Lelaki itu juga menatapnya. Tapi tak begitu acuh. Nampaknya mereka seperti tak mengenal satu dengan yang lain.
Namun si Bungsu mana bisa melupakan orang itu. Hanya dia tak yakin, apakah benar ini orangnya? Karena merasa ditatap terus menerus, lelaki yang baru turun dari sedan itu kembali menatap pada si Bungsu. mereka saling pandang sejenak.

Dan tiba-tiba:
“Ya Tuhan, engkau Bungsu!” lelaki gagah itu seperti bicara buat dirinya sendiri.
“Nurdin….!” Kata si Bungsu tak kalah kagetnya. Dan hanya beberapa detik setelah itu, mereka bersalaman dan berpeluk.
“Hai si Bungsu! apa yang membawamu kemari. Apa engkau sudah bertemu dengan Jepang yang membunuh keluargamu…..?” lelaki itu bertanya.si Bungsu tentu saja tak menjawab. Beberapa lelaki dan perempuan yang duduk makan, menatap pada mereka.
Ada yang mengerutkan kening. Yang datang dari Padang serasa pernah mendengar nama si Bungsu itu dahulu.
Akhirnya mereka duduk di kedai itu. Memesan nasi, dan makan dengan lahap. Mereka sengaja mengundurkan pembicaraan karena di sana banyak orang.
Selesai makan, Nurdin membayar rekeningnya, lalu mereka naik ke sedan Nurdin yang menanti di ujung jalan. Seorang sopir juga orang Indonesia menjalankan mobil itu.
“Nah, sekarang kau cerita Bungsu, kenapa sampai nyangkut di kota ini…?” Nurdin bicara ketika mobil mulai berjalan.
Si Bungsu menatap temannya ini. Keadaannya sudah jauh berobah. Nurdin yang dahulu seorang Kapten TKR di Pekanbaru, yang bertubuh kurus kini kelihatan gagah berpakaian necis dengan dasi segala.

Tikam Samurai - 254

“Sudah lama sekali kita tak jumpa….” Kata si Bungsu.
“Ya. Sudah lama sekali…”
“Apa kabar Buluh Cina?”
“Masih tetap seperti dahulu. Batang Kampar masih berwarna kuning. Kanak-kanak masih mengayuh sampan mencari ikan. Penduduk masih menabang rimba untuk dijadikan ladang. Tahun depan jika sudah panen, ladang itu mereka tinggalkan untuk mencari hutan lain. Ditebas, dibakar dan dijadikan ladang pula…. Ah, saya juga sudah rindu pada Buluh Cina Bungsu…”
“Pak Bilal masih hidup?”
“Masih. Oh ya, masih ingat Nuri?”
Si Bungsu berdebar. Bagaimana dia takkan ingat gadis cantik ditepian sungai Kampar itu? Bukankah dia yang merawatnya ketika sakit di Buluh Cina dahulu?
“Ya, saya masih ingat. Apakah dia ada sehat-sehat?”
“Tiga tahun yang lalu, yaitu ketika saya akan meninggalkan Pekanbaru, dia menikah dengan seorang pedagang dari Teluk Petai Bungsu, saya tahu, dan semua penduduk kampung tahu, bahwa Nuri mencintaimu. Tapi….engkau entah dimana. Ada dia nanti kabar berita darimu. Setahun dua. Tapi kampung itu terlalu miskin. Seorang gadis betapapun dia mencintai seorang pemuda, namun dia harus lebih mencintai keluarganya. Keluarganya butuh makan. Dan itulah yang dilakukan oleh Nuri. Dia ingin mengabdi pada keluarganya yang miskin. Dia menerima lamaran seorang pedagang dari kampung Teluk Petai. Bukan karena dia mata duitan, tapi semata-mata demi keluarganya. Engkau dapat mengerti Bungsu….?”

Si Bungsu tertunduk. Tak mejawab. Hatinya amat terharu mendengar cerita Nurdin.
“Saya mengerti…Nurdin. Saya bangga pada gadis itu. Dia gadis yang berhati mulia. Saya ingin Tuhan melimpahkan kebahagiaan padanya….” Suara si Bungsu terdengar bergetar. Nurdin diam, si Bungsu juga diam. Sedan itu meluncur diantara ratusan modil yang berseliweran di kota Singa itu.
Lama mereka terdiam. Ketika kahirnya sedan itu berhenti di sebuah taman di pinggir laut. Nurdin membawa si Bungsu duduk dikursi batu yang terdapat di bawah pohon-pohon.
Si Bungsu menceritakan secara ringkas tentang pertemuaannya dengan musuh besarnya, Saburo Matsuyama. Dia juga menceritakan tentang Obosan yang bunuh diri itu. Tapi dia tak menceritakan tentang anaknya yang bernama Michiko. Yang menaruh dendam dan ingin menuntut balas padanya. Karena itu dia anggap tak perlu amat buat diceritakan pada orang lain.
“Nah, engkau sudah tahu kisahku Nurdin. Kini, giliranmu. Sejak bila engkau berada di kota ini?”
“Saya bertugas disini…”
“Bertugas?”
“Ya. Pemerintah kita telah membuka Konsulta disini. Saya ditugaskan sebagai salah seorang atase militer. Mengurus kepentingan-kepentingan untuk negeri kita…..Nah, sudah tiba saatnya kita kerumahku. Hei, engkau dimana tinggal Bungsu?”
“Saya tinggal bersama seorang teman. Nanti lah saya kerumahmu Nurdin. Saya tak mau menyibukkanmu…”
“Ah tidak. Engkau harus kerumahku. Kita pergi mengambil pakaianmu. Engkau harus pindah ke rumahku Bungsu. Jangan menolak. Kecuali kalau engkau tak menganggap aku sebagai saudaramu lagi…”

Si Bungsu memandang terharu pada temannya itu. Akhirnya dia terpaksa menyerah. Mereka mengambil barang-barangnya dari sebuah rumah di jalan Arab. Kemudian mereka menuju ke rumah dinas yang ditempati Nurdin yang kini berpangkat Letnan Kolonel.
Mobil itu memasuki sebuah halaman rumput yang luas di pinggir jalan Bras Basah yang teduh oleh pohon-pohon. Sebuah rumah terletak persis di tengah sebuah lapangan rumput itu. Berwarna putih dengan atap dari kayu sirap berwarna coklat tua.
“Nah, itu isteri saya. Dia akan senang mengenalmu Bungsu. dia juga orang Minang…” Nurdin menunjuk ke pintu rumah ketika mobil berbelok ke sana.
Seorang perempuan cantik dengan rambut tergerai hingga bahu tegak di depan pintu dengan baju kembang berwarna biru. Mobil itu berhenti tak jauh dari nyonya rumah tersebut tegak.
Si Bungsu turun mengikuti Nurdin.
“Bawa koper dibelakang ke rumah Madin…”
Nurdin berkata pada sopirnya.
“Nah, Bungsu kenalkan ini isteriku. Bu, ini teman seperjuangan saya ketika di Pekanbaru. Dia juga dari Minangkabau….”

Si Bungsu mengangguk hormat pada wanita cantik itu. Lalu mengulurkan tangan. Perempuan itu tersenyum dan juga mengulurkan tangan.
“Ke kamar tamu yang ditengah pak…?” suara Madin si sopir itu mengalihkan perhatian Nurdin dari isterinya dan si Bungsu.
“Ya. Kekamar tamu yang besar…” kata Nurdin sambil berjalan menutupkan bagasi di belakang mobil.
Dan untunglah dia melakukan gerakan itu. Sebab pada saat yang sama si Bungsu tertegak seperti patung menatap isteri temannya yang tegak di depannya itu.

Tikam Samurai - 255

Dia seperti bermimpi. Wajahnya tiba-tiba jadi pucat. Menatap dengan tatapan tak percaya pada wanita cantik di depannya.Dan wanita cantik itu, isteri Letnan Kolonel Nurdin itu, yang kata Nurdin juga berasal dari Minangkabau itu, tak kalah kagetnya dari si Bungsu.

Wanita itu justru merasakan darahnya terhenti mengalir. Merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. Tangan mereka masih sama-sama terulur. Namun tak bersentuhan.
“Salma….?” Suara si Bungsu mirip desahan.
 “Uda….” Suara nyonya cantik itu, terdengar seperi dari alam mimpi.
Buat sesat mereka masih bertatapan. Dan ketika bagasi belakang mobil berdentam ditutupkan Nurdin, si Bungsu cepat menguasai diri.
Dia menyambar tangan Salma. Menyalaminya. Dan dengan suara yang jelas dipaksakan untuk gembira dan wajar, dia berkata:
“Senang berkenalan dengan ibu. Saya dari Situjuh Ladang Laweh. Ibu dimana di Minangkabau?”
Nurdin saat itu sudah berjalan kembali ke arah mereka. Salma buat sesaat masih tergagau. Namun dia juga cepat menguasai diri. Dia tersenyum meski hatinya menggigil.
“Saya dari Bukittinggi…” katanya lemah.
“Jauh kota itu dari kampungmu Bungsu?” suara Nurdin memutus. Si Bungsu melepaskan salamnya. Menoleh pada Nurdin. Dan sungguh mati, tak sedikitpun Nurdin menangkap bayangan lain pada wajahnya. Entah belajar dari mana, tapi saat ini baik Salma, lebih-lebih lagi si Bungsu adalah pemain sandiwara yang alangkah sempurnanya.
“Cukup jauh. Saya pernah datang ke Bukittinggi. Tapi hanya sebentar…”
Mereka lalu masuk. Rumah itu alangkah besarnya. Berisi perabotan yang mewah.
Seorang anak perempuan tiba-tiba berlarian dari kamar belakang. Mukanya belepotan bedak dan lipstik.

“Ayaaah…!” anak yang berusia sekitar tiga tahun itu berlari dan tanpa memperdulikan pakaian ayahnya yang mentereng, dia lantas saja menghambur kepelukan ayahnya. Dan Nurdin mencium anak perempuan yang mungil itu. Hingga wajahnya ikut berlepotan bedak dan lipstik.
Si Bungsu menatapnya dengan rasa tak menentu. Salma menatap anak dan suaminya dengan mata berbinar. Namun hatinya, jelas tak kesana. Hatinya sedang bergemuruh.
“Hei, Eka, salam sama paman Bungsu, ayo…” Nurdin berkata sambil menurunkan anaknya dari pangkuan. Anak kecil hitam manis dengan tubuh montok itu melangkah mendekati si Bungsu.
Sesaat dia tegak menengadah keatas, menatap si Bungsu. si Bungsu berjongkok. Gadis kecil yang mungil itu mengulurkan lidahnya. Menjilat bibir. Matanya berbinar-binar. Kemudian mengulurkan tangan.
Si Bungsu menyambut tangan anak itu. Menyalaminya.

“Siapa namanya…?”
“Eka….” Jawab gadis kecil itu.
Si Bungsu mencium pipinya yang berlepotan bedak. Kemudian memangkunya. Salma mengundurkan diri dari ruangan itu. Dia pergi ke kamar yang diperuntukan bagi si Bungsu. membenahi kamar itu baik-baik.
Ada gigilan aneh ketika dia membereskan tempat tidur di kamar itu. Dan tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dia teringat, ketika akan berangkat dari Bukittinggi dahulu, dia memberikan sebuah cincin bermata berlian pada si Bungsu. apakah cincin itu masih ada?
Perlahan dia meninggalkan kamar. Berjalan ke tengah. Melihat si Bungsu masih menggendong Eka. Suaminya barangkali ada di kamar depan.

Dan si Bungsu tiba-tiba juga terpandang pada Salma yang tegak antara ruang depan dengan ruang tengah. Mereka bertatapan. Salma mencari-cari. Dan tiba-tiba dia melihat cincin di jari manis tangan kiri si Bungsu.
Si Bungsu tanpa sengaja mengikuti pandangan mata Salma ke jarinya. Dan dia terpandang pada cincin yang telah bertahun-tahun menemaninya itu.
Ketika dia melihat lagi pada Salma, perempuan itu telah berbalik. Yang kelihatan hanyalah punggungnya yang berjalan ke kamar belakang. Nurdin muncul.
“Hei, masih gendong terus. Ayo, turun Eka. Paman lelah. Bungsu, mari saya tunjukkan bilikmu. Engkau harus disini. Saya merasa sepi di kota ini. Rindu terus ke kampung…”
Nurdin yang berkata sambil membimbing tangan puterinya dan menunjukkan si Bungsu ke kamarnya. Di kamar itu, Salma tengah melipatkan selimut wool berbunga merah jambu. Meletkkannya ke atas tempat tidur.

“Nah, inilah kamarnya. Seadanya. Kami harap udah betah di sini….” Nyonya rumah berkata perlahan sambil tersenyum. Bagi Nurdin ucapan itu adalah ucapan biasa. Namun tidak demikian di telinga si Bungsu. dan tidak demikian juga di hati Salma.
“Ah, saya…saya barangkali tak bisa tertidur ditempat sebagus ini nyonya…” jawabnya.
“Jangan sebut saya dengan sebutan nyonya. Panggil nama saya saja….” Salma berkata.
Nurdin telah berada lagi diluar kamar mengejar anaknya yang berlari ke ruang tengah. Sesaat Salma dan si Bungsu bertatapan lagi. Dan si Bungsu melihat betapa mata perempuan cantik itu berkaca-kaca.
“Udaaa….” Suara Salma seperti desahan.

Tikam Samurai - 256

“Saya bahagia, bisa bertemu lagi dengan engkau Salma…”
“Maafkan saya,….Udaaa..”
Si Bungsu menggeleng.
“Tak ada yang harus dimaafkan Salma. Saya ikut bahagia dengan kebahagianmu. Nurdin sahabat saya. Saya banyak berhutang budi padanya…’
Suara terputus. Langkah-langkah kaki terdengar mendekati kamar. Salma tak berusaha menghapus matanya yang basah. Nurdin muncul dipintu kamar menggendong anaknya. Si Bungsu merasa marah pada dirinya sendiri. Kenapa kejadian ini bisa terjadi, pikirnya. Dan dia pura-pura sibuk meletakkan koper ke atas meja. Membukanya dan memasukkan beberapa potong pakaian kain ke lemari.

“Bersiaplah Bu, kita ke Konsulat sore ini. Bungsu, engkau juga ikut kami. Di Konsulat ada pertemuan keluarga Indonesia, kita kesana ya?”
“Maafkan saya Nurdin. Saya terlalu lelah. Saya ingin sekalai berkenalan dengan orang-orang se bangsa di kota ini. Tapi barangkali lain kesempatan. Saya ingin istirahat…”
Nurdin sebenarnya ingin membawa si Bungsu dan memperkenalkannya pada teman-temannya di Konsulta. Dia agak kecewa memang. Sebab dia benar-benar ingin membanggakan si Bungsu pada teman-temannya.

Dan ketika suami isteri  itu berangkat bersama puteri mereka, tinggallah si Bungsu terbaring di kamarnya yang mewah. Ada kipas angin besar berputar di loteng kamar. Membuat udara dalam kamar itu jadi sejuk. Namun tubuh si Bungsu tetap saja mengalirkan keringat dingin.
Siang tadi, ketika akan makan di restoran padang dekat Arab Street, dia sangat merasa bahagia bertemu dengan sahabatnya Nurdin. Betapa tidak, Nurdinlah yang membantunya ketika di Pekanbaru. Nurdin yang saat itu adalah Komandan Gelirya untuk Pekanbaru dan sekitarnya, yang berasal dari kampung Buluh Cina, juga telah menolongnya untuk bisa menuju ke Jepang.
Nurdin menompangkannya ke sebuah kapal yang menuju Singapura ini dahulu. Kapal kecil yang menyelundupkan senjata. Tapi, siapa sangka pertemuan itu menyeretnya ke situasi yang begini sulit.
T
anpa sadar, dia memainkan jarinya di cincin emas bermata berlian di jari manis tangan kirinya. Bertahun-tahun cincin pemberian Salma ini tak pernah tanggal dari jarinya. Dan bertahun-tahun dia menyimpan kerinduan pada gadis itu.
Dia telah berniat untuk segera pulang ke Minangkabau. Ingin bertemu dengan Salma. Dan kalu gadis itu belum menikah, dia ingin melamarnya. Ingin sekali!
Tapi, ya Tuhan. Siapa sangka bahwa nasib akan begini jadinya. Dahulu, ketika dia akan berangkat dari rumah gadis itu, dia memberikan oleh-oleh berupa sebuah cincin, gelang dan liontin. Kemudian sehelai kain bekal baju dan sehelai kain batik.
“Ini bukan sebagai pembalas budimu Salma. Tidak. Budimu takkan bisa kubalas. Ini hanya sebagai kenang-kenangan. Guntinglah kain ini. Buat kebaya panjang dan kebaya pendek. Saya bahagia, kalau kelak engkau menikah, engkau memakai kain dan perhiasan ini…’
Begitulah dia berkata dahulu. Ya, dahulu!

Dan tadi, ketika akan pergi ke Konsulat itu, Salma memakai seluruh yang dia berikan dahulu. Kebaya panjang berwarna biru. Kain batik buatan Jawa. Cincin dan gelang serta liontin pemberiannya dahulu. Mereka berpapasan di ruang tengah. Salma nampaknya seperti sengaja memakai pakaian itu hari ini. Untuk memperlihatkan pada si Bungsu, bahwa dia mengabulkan permintaan si Bungsu dahulu. Dan si Bungsu merasakan tubuhnya menggigil melihat perempuan itu. Kenangan masa lalunya menikam amat dalam hulu jantungnya.
Salma menatap padanya tanpa bicara, tanpa berkedip. Si Bungsu menghela nafas panjang di pembaringan. Berguling ke kanan. Merasa gelisah. Berguling ke kiri. Merasa tak betah. Menelentang. Merasa resah. Duduk. Berdiri dan berjalan ke tepi jendela besar dan tinggi. Memandang ke taman yang luas dengan rumput hijau. Dan pikirannya merangkak lagi ke masa lalunya.
Ketika dia akan berangkat meninggalkan Bukittinggi, Salma mencegatnya di pintu. Menatapnya dengan mata basah. Kemudian berkata lembut:
“Terimakasih atas pemberian Uda kemarin. Tak ada yang bisa saya berikan sebagai tanda terimakasih. Tapi…. Saya berharap uda mau menerima ini….sebagai kenang-kenangan dari saya. Dimanapun uda berada lihatlah cincin ini, dan ingatlah bahwa pemiliknya selalu mendoakan semoga uda selamat dan bahagia selalu…”

Gadis itu menanggalkan cincin emas bermata berlian dari jari manisnya. Kemudian perlahan memegang tangan kiri si Bungsu, memasukkan cincin itu ke jari manis si pemuda. Lalu mereka bertatapan. Mata gadis itu basah. Air mata merembes perlahan ke pipinya. Si Bungsu menghapus air mata itu perlahan dengan jarinya. Sesaat, Salma ingin mendekap pemuda itu erat-erat. Namun yang dia lakukan hanyalah berlari ke biliknya. Menghempaskan diri ke pembaringan dan menagis terisak. Si Bungsu turun ke halaman. Menyalami Kari Basa, ayah Salam. Kemudian meninggalkan Bukittinggi.
Si Bungsu yang hari ini tegak dalam sebuah rumah besar dan mewah di bilangan Bras Basah Road Singapura, melihat bayangan masa lalunya itu berlarian di taman rumah.

Tikam Samurai - 257

Dan tiba-tiba, dia merasa menyesal kenapa harus bertemu dengan Nurdin siang tadi. Dan yang lebih disesalkannya, kenapa ketika diperkenalkan tadi dia tak berterus terang saja bahwa dia sudah mengenal Salma?
Dia tak mengerti kenpa tiba-tiba saja dia ingin menyembunyikan pada Nurdin bahwa dia telah mengenal gadis itu. Bukan hanya sekedar kenal, tapi dia malah mencintai gadis itu. Kenapa dia merahasiakannya? Apakah itu karena pertimbangan bahwa dia tak mau membuat hati Nurdin jadi kecewa?

Kini keadaan jadi rumit sekali. Bagaimana dia akan  bersikap terhadap Salma dihadapan Nurdin? Akan bersandiwara teruskah? Dan dia juga jadi tak mengerti kenapa keinginan untuk menyembunyikan bahwa mereka telah saling mengenal itu juga dilakukan oleh Salma siang tadi.
Ini adalah situasi yang sangat tidak baik. Benar dia mencintai gadis itu. Tapi dia tak boleh menggganggu rumah tangga mereka. Tidak. Lalu bagaimana? Dia harus pergi dari rumah ini secepat mungkin. Harus! Ya, itulah satu-satunya jalan yang harus dia tempuh.
Dia harus berani menerima kenyataan bahwa situasi telah berobah. Dan kalau selama ini dia selalu kuat menerima kenyataan, selalu tabah dalam tiap cobaan yang bagaimanapun kerasnya datang menerpa, kenapa kini tidak?

Dan akhirnya dia mengambil ketetapan. Dia harus pergi. Hatinya jadi tenteram setelah ketetapan itu dia putuskan. Dia memang mencintai gadis itu. Merindukannya. Kini gadis itu telah dia temukan. Dan dia dapati kenyataan bahwa gadis itu berbahagia. Lagi pula, suaminya adalah seorang lelaki yang dia hormati pula. Sahabat yang dia kenal baik semasa perjuangan fisik dahulu.
Dan ketika keluarga yang dia tompangi itu pulang malam hari, dia bisa menanti mereka dengan senyum menghias bibir. Gadis kecil anak suami isteri itu berlari mendapatkannya.
“Paman sudah makan…?” tanyanya begitu dia dipangku si Bungsu. si Bungsu tak segera dapat menjawab. Sudut matanya melirik, menyambar cepat sekali ke arah Salma yang tegak di jenjang. Perempuan itu menatap padanya.
Ada tikaman halus menyelusup ke lubuk si Bungsu. Pertanyaan gadis kecil ini, pastilah ibunya yang menyuruh. Dan pertanyaan itu, adalah pertanyaan yang selalu diucapkan Salma ketika dia di Bukittinggi dahulu. Pertanyaan masa lalunya yang berbekas.
Anak itu dia cium sambil membawanya naik ke rumah.
“Paman sudah makan….?” Gadis kecil itu kembali bertanya.
“Sudah….sudaah….!” jawab Si Bungsu. gadis kecil itu tersenyum. Dan senyumnya membuat wajahnya kelihatan lucu.

“Engkau harusnya ikut tadi Bungsu. ada beberapa teman dari Jakarta yang ingin mengenalmu. Mereka mengenalmu namamu sejak lama. Dari teman-teman yang pernah berjuang di Minangkabau. Ah, mereka menganggapmu sebagai seorang tokoh dongeng…” Nurdin berkata ketika mereka duduk di ruang tengah.
Si Bungsu hanya tersenyum.
Malam itu mereka lewatkan sambil bercerita tentang masa lalu mereka. Nurdin yang duduk di sebelah Salma menceritakan pula mula awal dia bertemu dengan isterinya itu.
Ternyata setelah Agresi ke II di tahun 49 Nurdin dipindahkan ke Bukittinggi. Dan disinilah dia bertemu dengan Salma. Dua tahun dia tinggal di kota itu. Dan ketika dia akan dipindahkan ke Jakarta, dia melamar Salma. Namun Salma menolak dengan halus. Setahun di Jakarta, Nurdin cuti. Dia kembali ke Bukittinggi dan kembali melamar Salma.

Ayah Salma, Kari Basa tahu betapa anaknya mencintai si Bungsu. namun kemana harus mencari anak muda itu? Dan bagi Salma, sampai bila dia harus menanti? Usianya bertambah juga tahun demi tahun. Teman-teman seusianya sudah pada menikah semua. Bahkan ada yang sudah punya anak empat. Saat itu usianya sudah dua puluh dua tahun. Dan bagi gadis sebayanya, usia demikian sudah bukan main tuanya.
Dan akhirnya, karena desakamn keluarga, ditambah pertimbangan-pertimbangan lain, Salma menerima lamaran Nurdin. Pemuda itu memang seorang yang menarik hati wanita. Seorang yang sopan dan berbudi. Kalau saja belum ada si Bungsu dalam hidupnya selama ini, maka Salma tak usah malu untuk mengakui, bahwa dia sebenarnya juga terpikat pada Nurdin.
Nah, mereka menikah. Memang bukan proses yang mudah. Tapi waktu membuat yang jauh jadi dekat. Waktu juga menjalin kehidupan keluarga mereka jadi bahagia. Nurdin membawa Salma pindah ke Jakarta. Dan setahun setelah pernikahan mereka, Nurdin ditugaskan menjadi atase militer di Konsulat RI di Singapura.

Si Bungsu mendengarkan cerita itu sambil mengangguk sekali-sekali. Namun esok paginya ketika dia bangun tidur, hari telah siang sekali. Dan dia mendapatkan dirinya hanya berdua di rumah itu dengan Salma. Lewat jendela yang dia buka lebar, dia melihat Eka, gadis kecil anak Nurdin berlarian di taman bersama pembantu rumah tangga mereka.
Selesai mandi dia keluar ke ruang tengah. Begitu kakinya tiba di luar kamar, Salma kebetulan juga tengah menuju ke ruang itu. Mereka berpapasan di depan kamar. Sama-sama tertegak. Diam. Memandang. Si Bungsu sudah bertekad untuk berlaku wajar dan menghormati keuarga ini sebagai keluarganya sendiri. Dia harus bersikap wajar seolah-olah tak pernah ada apa-apa antara mereka.

Tikam samurai - 258

Dan saat begini, Nurdin tak ada di rumah. Dia telah pergi ke konsulat. Alangkah tak baiknya kalau dia justru mempergunakan kepercayaan kawannya itu untuk berlaku tak sopan.
Namun mereka masih tetap tegak diam. Dan tiba-tiba saja, entah siapa yang memulai diantara mereka, tahu-tahu mereka telah saling peluk. Dan dengan terkejut si Bungsu mendapatkan Salma menangis dalam pelukannya.
“Udaaa…kenapa begini jadinya….” Perempuan cantik itu berkata diantara isaknya yang tertahan.
Si Bungsu tak berkata. Tak ada kata yang mampu dia ucapkan. Dia ingin memeluk perempuan itu selamanya. Ingin untuk tak melepaskannya. Tapi pada saat yang sama dia mengutuk dirinya. Mengutuk ketidakjujuran pada temannya. Alangkah akan aibnya kalau Nurdin tahu peristiwa ini.
Namun itulah hal hal yang tak terhindarkan. Barangkali memang bukan dosa mereka. Mereka memang tak hendak menyengaja kejadian ini. Nasib jua yang membuat dan memaksa mereka demikian.

“Udaaa….kenapa kita harus bertemu dalam keadaan begini…”
“Tenanglah Salma…tenanglah….”
“Oh Tuhan. Engkau masih memakai cincin yang kuberikan dahulu. Aku juga masih memakai cincin yang engkau berikan sesaat sebelum engkau pergi meninggalkan rumahku di Panorama Bukittinggi dahulu….”
Si Bungsu tak menjawab. Perlahan dia renggangkan pelukannya dari tubuh Salma. Menatap wajah perempuan itu. Salma memejamkan matanya. Tak berani dia menatap wajah si Bungsu. Perlahan, si Bungsu mengusap matanya yang basah. Pipinya yang basah. Namun itu justru menambah luluh hati Salma.
“Ayahmu adakah sehat-sehat Salma?”
Salma mengangguk.
“Demikian juga kakak-kakakmu?”
Salma mengangguk.

Dan akhirnya mereka melangkah ke kamar tengah. Di meja, pembantu telah menyiapkan sarapan pagi. Mereka duduk berhadapan bertatapan. Dan si Bungsu merasa betapa makin tak mungkin dia tinggal di rumah ini lebih lama.
Salma juga merasakan hal yang sama. Dia telah coba melenyapkan kenangannya terhadap si Bungsu selama ini. Sebagai seorang iteri dia adalah isteri yang baik. Tak sekali juga dia bertengkar dengan suaminya. Mereka sama-sama pandai menenggang perasaan.
Dan kemaren serta hai ini, sejak bertemu kembali dengan si Bungsu, hati Salma sebenarnya tak tergoyahkan. Dia tetap seorang isteri yang setia dan mencintai suami dan anaknya. Tapi salahkah dia, kalau dia tak dapat melenyapkan sama sekali kenangan masa lalunya dengan pemuda yang pertama dia cintai?

Mereka sarapan dengan diam. Sesekali mereka bertatapan. Salma melihat, betapa pemuda dihadapannya itu kini telah berobah banyak sekali.
Pemuda itu bukan lagi seorang “Pemuda”. Dia telah berobah jadi seorang lelaki. Wajahnya tetap murung dan matanya tetap bersinar lembut seperti dahulu. Namun gurat pada wajahnya yang murung itu, terlihat keteguhan dan keperkasaan seorang lelaki perkasa. Lelaki dihadapannya ini, seperti gunung Merapi di kampungnya. Yang tegak diam tapi keras.
Dan pikiran Salma melayang pada masa lalu. Pada saat dia merawat si Bungsu yang luka setelah disiksa Jepang dalam terowongan bawah tanah yang tersohor itu.
Berhari-hari, baik ketika ayahnya Kari Basa ada dirumah atau tidak, dia merawat si Bungsu dengan telaten. Menyendokkan bubur ke bibirnya yang pecah-pecah dihantam pukulan Kempetai. Mengganti balut dan obat dari luka-luka disekujur tubuh si Bungsu yang disayat Kempetai dengan Samurai.

Merawat jari-jarinya yang patah. Dipatahkan dengan kakak tua oleh Jepang dalam rangka memaksa anak muda itu agar mau membuka rahasia dimana markas pejuang-pejuang Indonesia yang melawan Jepang. Jika menggantikan bajunya, untuk bisa duduk, anak muda itu berpegang ke bahunya. Dia juga memegang bahu si Bungsu dan mendudukkannya perlahan.
Dan setelah anak muda itu sembuh, dia menolongnya kembali berlatih mempergunakan samurai dengan melempar-lemparkan putik jambu perawas yang tumbuh dibelakang rumahnya di bilangan Panorama. Dan ketika si Bungsu latihan itulah, ada sesuatu yang amat berkesan dan membahagiakan dirinya terjadi.
Waktu itu si Bungsu meminta Salma tegak dalam jarak lima depa. Di dekat gadis itu ada panci yang penuh oleh putik jambu perawas yang baru dipetik si Bungsu. si Bungsu memintanya untuk melempar putik perawas itu.
Salma bersiap. Si Bungsu tegak pula bersiap. Tangannya terkepal. Yang kiri memegang samurai. Dia nampaknya coba melemaskan otot tangannya yang sudah lama sekali tak mempergunakan samurai. Dan saat itulah Salma berteriak: Awas!
Seiring dengan teriakan peringatannya ini, tangan Salma terayun. Dua buah putik perawas terbang bergantian ke arah si Bungsu. si Bungsu agak terkejut. Tangan kanannya cepat menyambar samurai disebelah kiri. Namun sebelum samurai itu sempat dia tarik, kedua putik perawas itu telah menghantam tubuhnya.

Tidak ada komentar: