Senin, 04 November 2013

tikam samurai - Di Jepang ( Bagian 187-188-189-190-191-192-193-194)

Di Jepang (bagian 187)

Kembali terdengar suara berdengung dalam ruangan itu mendengar tantangan anak muda ini. Semua orang pada berbisik menatapnya. 
Dan tiba-tiba mereka semua baru menyadari bahwa di tangan kiri anak muda itu sebenarnya tergenggam sebilah samurai. Bukan tongkat kayu seperti yang mereka duga semula.


Tokugawa menatap pada Kawabata. Menatap dengan sinar mata yang sulit diartikan. Kemudian dia berpaling pada si Bungsu.
“Merupakan kehormatan bagi saya, bahwa engkau menantang Jakuza dengan samurai. Saya, Tokugawa, pimpinan Jakuza wilayah Tokyo sekitarnya, memberi jaminan padamu, bahwa setelah pertarunganmu dengan Kawabata, tak perduli engkau kalah atau menang, maka tak seorangpun anggota Jakuza yang akan mengganggu Hannako dan Kenji serta adiknya”
Semua pimpinan Jakuza dalam ruangan itu pada terdiam.

“Domo arigato gozaimasu. Tapi, barangkali saya mati dalam pertarungan ini. Apakah bukti bahwa Tokugawa memegang janjinya untuk takkan mengganggu Kenji, Hanako dan adiknya” suara si Bungsu terdengar lagi.
Tokugawa berjalan ke depan. Di samping si Bungsu ada sebuah meja kecil dimana terletak sebuah kendi porselin putih. Tokugawa menurunkan porselin itu. Kemudian tiba-tiba dari balik kimononya dia mengeluarkan sebilah samurai pendek. Dia memberi isyarat. Seorang pelayan bergegas membawa sehelai kain putih.


Dia meletakkan tangan kirinya di atas kain putih itu. Lalu menghunus samurai pendeknya. Dia menatap pada si Bungsu. Menatap pada 20 anggotanya yang memandang padanya dengan kaget. Ke 20 anggota pimpinan Jakuza itu tiba-tiba berlutut. Si Bungsu tak mengerti apa yang akan diperbuat pimpinan Jakuza ini. Dan tiba-tiba sekali, tangan Tokugawa bergerak cepat. Samurai di tangan kanannya memutus kelingking kirinya!


Kelingking yang putus itu dia bungkus dengan kain putih. Dan tangan kirinya segera dibalut dan diberi obat oleh pelayannya.





Tokugawa mengambil kelingkingnya yang telah putus yang terbungkus kain putih itu. Dia berjalan menghampiri si Bungsu. si Bungsu benar-benar kaget. Dia tak mengerti, bahwa yang dilakukan Tokugawa sebentar ini adalah sumpah seorang samurai.


Dalam hal-hal yang muskil, bila seorang samurai sejati bersumpah, sebagai tanda bahwa sumpahnya itu takkan pernah dimungkiri, maka mereka memotong kelingking.


Dan ke 20 pimpinan Jakuza di Tokyo yang hadir itu menjadi maklum, bahwa sumpah Tokugawa terhadap anak muda ini, untuk tidak mengganggu keluarga Hannako adalah sumpah yang tak boleh siapapun melanggarnya.


Dengan pemotongan kelingking itu, maka Hannako dan saudara-saudaranya, sepenuhnya berada di bawah lindungan Tokugawa. Siapapun yang mengganggu, tak peduli dia anggota Jakuza atau tentara Amerika sekalipun, maka Tokugawa akan tegak di depan sekali membelanya.





“Ini bahagian tubuhku, kuberikan padamu sebagai bukti bahwa janjiku adalah janji samurai. Siapapun yang mengganggu Hannako dan saudaranya akan berhadapan denganku…”





Tokugawa mengulurkan kain putih yang berdarah itu. Si Bungsu tertegun. Kaget, heran dan takjub bercampur baur dihatinya. Juga perasaan terharu.





“Jika aku mati sekalipun dalam pertarungan ini, saya takkan kecewa. Saya berterimakasih atas kebaikan hati Tokugawa bersedia melindungi Hannako dan saudara-saudaranya…”





Berkata begini, anak muda dari Gunung Sago di Minangkabau itu membungkuk dalam-dalam dan menerima kelingking yang telah putus itu. Dia memasukkannya ke kantong baju.





“Domo arigato gozaimasu…” katanya sambil sekali membungkuk dalam-dalam. Tokugawa membalas membungku.





Dan ketika mereka bertatapan, si Bungsu melihat di sudut mata lelaki tua gagah kepala komplotan bandit itu, berlinang air mata. Ada sesuatu yang membuat Tokugawa terharu atas sikap anak muda itu. Yaitu keinginannya untuk membela orang lain tanpa memperdulikan keselamatan dirinya. Orang yang dia bela itu adalah orang Jepang yang dianiaya oleh orang Jepang sendiri. Dan dia berani datang ke Jepang ke sarang harimau sendirian demi membela anak-anak Jepang yang teraniaya. Usahkan memikirkan, malah orang-orang Jakuza yang menyebar bencana dan kesulitan di tengah orang-orang Jepang yang jelas telah sengsara. Kini, ada orang lain, entah siapa dia, entah darimana datangnya, yang mau mengorbankan nyawanya demi membela anak-anak yang tertindas itu. Inilah yang membuat Tokugawa terharu. Dia menitikkan air mata, sesuatu yang tak pernah dia lakukan selama hidupnya. Tokugawa lalu berbalik, berjalan ke arah tempat dia tegak tadi.





“Nah, dengan apa engkau akan menantang Kawabata?” tanya Tokugawa.


“Terimakasih atas kesempatan ini. Saya memiliki sebuah samurai dan mengetahui sedikit cara mempergunakannya. Saya dengar Jakuza mahir mempergunakan samurai. Maka saya berharap Kawabata mau memberi pelajaran pada saya dalam hal ini..”

Di Jepang (bagian 188)

Ucapan anak muda ini jelas merendahkan diri. Tapi hal itu justru mengundang rasa kaget dan kagum dihati Tokugawa dan seluruh pimpinan Jakuza Tokyo padanya. Seorang asing, anak muda yang berusia sekitar 28 tahun, menantang Kawabata yang kemahirannya bersamurai diantara anggota Jakuza Tokyo terkenal sangat tinggi. Tokugawa menoleh pada Kawabata. Kemudian terdengar suaranya berbegu dingin:


“Sudah kukatakan beberapa kali pada kalian. Jangan mengganggu gadis Jepang. Jangan mengganggu anak-anak yatim. Ternyata kalian tak menjalankan perintahku. Kawabata, engkau harus melayani tantangan anak muda ini. Kalau engkau mati, maka persoalan selesai di sana. Tapi kalau engkau menang dan tetap hidup, maka peradilan organisasi terhadap kesalahanmu seperti yang dilaporkan anak muda ini akan dilanjutkan. Bersiaplah!”
Tak ada yang bisa diperbuat Kawabata selain membungkuk dalam-dalam memberi hormat. Tokugawa adalah pimpinan Jakuza yang disegani di seluruh Jepang. Dia memang tidak pimpinan Jakuza tertinggi. Dia menduduki rangking ke 2 dalam urutan kepemimpinan Jakuza. Tapi meski di urutan ke 2, Tokugawa adalah orang yang tak bisa dilewatkan begitu saja dalam oragnisasi. Dia memimpin Jakuza Tokyo. Dan kota ini adalah kota ke 2 di Jepang setelah Kyoto. Kini sejak perang dunia ke 2 berakhir, maka Tokyo justru menjadi kota pertama di Jepang. Posisinya ini, ditambah dengan wibawa dan kemahirannya serta nama besar keluarga Tokugawa, membuat dia seorang yang amat disegani. Malah dalam pemilihan pimpinan pusat di musim semi yang akan datang. Tokugawa disebut-sebut sebagai calon pimpinan yang tangguh.

Meski kerjanya memimpin komplotan bandit, namun Tokugawa orangnya sportif dan bebudi. Aturan organisasi dia jalankan dengan ketat. Tak sembarang anggota boleh membunuh atau memeras atau maling sesukanya. Ada aturan. Dan kalaupun ada anak buahnya yang melakukan semua hal itu, seperti Kawabata memperkosa Hanako, atau seperti Kawabat yang memeras di terowongan bawah tanah, maka itu adalah semacam ekses daripada ketidak disiplinan pimpinan bawahannya seperti Kawabata.





Untuk melawan Tokugawa? Amboi mak, minta ampunlah. Semua anggota Jakuza sangat kenal siapa Tokugawa ini. Namanya saja sudah Tokugawa. Suatu klan yang melahirkan jago-jago samurai di seluruh tanah Jepang. Suatu klan keluarga yang mula pertama memperkenalkan senjata tradisional Jepang itu kepada manusia ribuan tahun yang lalu.


Dan Tokugawa ini termasuk seorang dari empat atau lima belas orang pemakai samurai tersohor di Jepang saat ini. Itulah kenapa sebabnya Kawabata atau dedengkot-dedengkot Jakuza lainnya tak berani membangkang terhadap putusan Tokugawa. Dan itu pula sebab kenapa Kawabat terpaksa harus melayani tantangan si Bungsu. Meskipun sebenarnya dia ingin anak buahnya saja yang menyudahi si Bungsu. Namun dia juga bersyukur bahwa dia yang diperintah untuk menghadapi anak muda asing ini. Dengan demikian dia bisa membalaskan sakit hatinya pada anak muda yang telah membunuh lima anggotanya dan mencelakai seorang dengan memutus tangannya.





Dia segera maju ke tengah rumah setelah menghormat pada Tokugawa. Yang lain pada membuat lingkaran di sekitar dinding. Bagian tengah rumah besar itu kini terluang.


Kawabata membuat semacam acara tradisional di tengah ruangan. Kemudian seorang pembantunya mengantarkan padanya sebilah samurai. Samurai itu sebilah samurai panjang. Bergagang coklat seperti dari kulit kelas satu. Di pangkal gagangnya ada jumbai kuning keemasan. Sarungnya di ujung dan di pangkalnya dibalut ukiran kuning keemasan pula. Bukan kuning keemasan, balut sarung samurainya itu yaitu balut ujung dan pangkalnya memang terbuat dari loyang emas murni.





“Nah, anak muda bersiaplah…: Tokugawa memperingatkan.
Kawabata telah menghunus samurainya. Si Bungsu sendiri memperhatikan upacara yang dibuat Kawabata tanpa berkedip. Tanpa emosi dan tanpa ekspresi. Aneh, dia melihat segalanya sebagai sebuah hal yang lumrah. Sebagai sesuatu yang tak patut untuk diherankan apalagi untuk ditakuti. Bukankah dia sendiri yang datang dan menghendaki peristiwa ini?


Dan Kawabata kini mulai melangkah perlahan. Merendah sambil memegang samurai dengan kedua tangannya. Langkah bergeser di lantai. Dan tiba-tiba si Bungsu teringat pada perkelahiannya dengan Letnan Kolonel Akiyama di Bukittinggi dahulu. Langkah kaki Kawabata persis langkah Akiyama. Bergeser perlahan dengan kuda-kuda lebar. Mata lurus menatap pada lawannya. Tangan kukuh memegang samurai.
Tokugawa menatap dengan tenang pada kedua orang ini. Terutama perhatiannya tertuju pada si Bungsu, ke 19 orang pimpinan Jakuza daerah Tokyo dan sekitarnya itu juga memandang anak muda itu. Mereka mulai ragu.
Apakah anak muda ini benar-benar pandai mempergunakan samurai atau memang benar-benar ingin belajar seperti yang dia katakan tadi? Kalau dia ingin belajar, maka pelajaran yang akan dia terima dari Kawabata sesungguhnyalah pelajaran yang paling akhir dan paling pahit. Yaitu kehilangan kepala dan nyawa. 

Di Jepang (bagian 189)

Jarak mereka hanya tinggal sedepa setengah. Dalam jarak begini sebuah serangan kilat sudah bisa mematikan lawan. Kawabata sudah benar-benar dalam keadaan sempurna siaga. Tapi anak muda itu masih tegak dengan santai. Matanya saja yang nanap melihat Kawabata. Tapi selain matanya yang mirip mata elang itu, tak ada tanda-tanda bahwa dia akan bertempur.
Kakinya masih terpentang lebar menghadap lurus ke depan. Tangan kirinya masih tergantung biasa memegang “tongkat” usangnya itu. Tangan kanannya masih tergantung lemah seperti tak bertenaga. Tubuhnya diam tak bergerak. 
Malah yang bermata tajam dapat melihat bahwa dia sebenarnya tak bernafas sejak Kawabata melangkah mendekatinya tadi. Dia telah menghirup nafas panjang perlahan, menahannya di rongga dada. Mengeluarkan sedikit. Kini menahannya penuh. Yang kaget bukan main melihat situasi ini adalah Tokugawa. 
Dia kaget luar biasa. Dia sudah bisa dengan pasti mengatakan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam pertarungan ini. Pasti sudah!

Dan dia ingin melihat kekalahan dan kemenangan itu berlangsung dengan pasti. Akan dia perhatikan setiap gerak kedua orang ini dengan cermat. Dan saat itulah Kawabata melakukan serangan yang amat cepat. Serangannya tertuju pada dua arah dengan dua kali hayunan cepat. Yang pertama menghantam kaki yang tegak sejajar itu. 
Ada dua kemungkinan. Kalau anak muda itu cepat, maka dia akan melompat tinggi. Dan saat itulah Kawabata akan menyerang bahagian kepalanya. Yaitu di saat dia melompat tersebut. 
Ini adalah tipuan yang berbahaya. Dan Kawabata tersohor dengan serangan tipuannya ini di antara para samurai.
Namun anak muda itu tak menggerakkan kakinya sedikitpun untuk melompat. Tahu-tahu samurai Kawabata membentur samurai si Bungsu di bawah. Bunga api memmercik!


Kawabata melanjutkan serangannya yang kedua, membabat kepala. Serangannya bukan main cepat, namun si Bungsu adalah orang yang ditakdirkan untuk menjadi seorang samurai yang mahir karena nasib. Begitu tangan Kawabata membabat ke atas, kaki kanannya melangkah ke depan. Tubuhnya merendah dengan cepat dan samurainya memintas di bawah rusuk Kawabata.
Cresss!
Kawabata tersurut. Kejadian itu amat cepat, tak seorangpun yang melihat bagaimana anak muda itu menyerang. Mereka hanya melihat anak muda itu menjatuhkan dirinya di atas lutut kiri. Hanya itu!


Dan tiba-tiba mereka berseru kaget, karena mereka melihat darah menetes ke lantai dari rusuk kanan Kawabata! Kawabata sendiri bukan main kagetnya. Dia menatap anak muda itu. 
Dan anak muda itu sudah tegak lagi seperti tadi dan samurainya entah sejak kapan sudah tersarung lagi dalam sarangnya. Dia tegak dengan tangan kiri memegang samurai dan tangan kanan kosong melompong. Mereka semua seperti berhenti bernafas tatkala Kawabata maju lagi. Darah terus mengalir dari lukanya yang cukup lebar. 
Tiba-tiba Kawabata memekik dan menyerang bertubi-tubi ke arah anak muda itu.
Anak muda itu tiba-tiba berputar dan ketika berbalik, samurainya bekerja.
Tiga babatan di bahagian atas, Kawabata berusaha menangkis. Tiga babatan di atas, di tengah dan di bawah! Kawabata berusaha menangkis dan mengelak.
Benar-benar luar biasa. Kawabata yang tadi menyerang kini dipaksa untuk bertahan dan bergerak mundur. Sebuah sabetan cepat ke tengah, Kawabata melompat dua tindak ke belakang! Nafasnya terengah!

Dan di ujung sana, si Bungsu tegak seperti posisinya tadi. Persisi! Tak berobah sedikitpun. Tegak dengan kaki terpentang, tangan kiri memegang samurai yang tersarung dalam sarungnya, dan tangan kanan kosong serta merta menatap lurus ke depan!
Peluh tidak hanya membasahi punggung Kawabata. Tapi juga membasahi tubuh ke 19 anggota Jakuza yang lain. Mereka belum pernah melihat pertarungan samurai sehebat dan seaneh ini.
Orang asing ini jelas bergerak tanpa mempergunakan kuda-kuda samurai. Tapi gerakannya hanya malaikat saja yang tahu betapa cepatnya.

Dan diantara semua orang itu, hanya ada tiga orang yang tahu dengan persis, bahwa sebenarnya Kawabata sudah sejak tadi harus mati. Tapi dia sengaja dipermainkan.

Ketiga orang yang tahu dengan pasti itu adalah si Bungsu yang sengaja mempermainkan Kawabata. Kemudian Tokugawa  dan Kawabata sendiri. Si Bungsu sudah dapat menaksir sampai dimana kecepatan orang ini. Karena itu dia ingin menghajarnya atas perbuatan yang dia lakukan atas diri Hannako. Sebenarnya dalam gebrakan pertama tadi, dia sudah bisa membunuh Kawabata. Tiba-tiba Kawabata menggeram dan maju lagi. Dan kali ini, si Bungsu bergerak cepat. Ketika Kawabata maju, dia bergulungan di lantai. Lompat tupai. Kawabata menghindar ke kiri sambil membacok rendah. Namun anak muda itu melenting tegak tiba-tiba. Dan sret!!! 

Di Jepang (bagian 190)


Kimono Kwabata di bahagian punggung belah dua! Punggungnya tersingkap dan belah mengalirkan darah! Terdengar seruan tertahan dari para anggota pimpinan Jakuza itu.
Tokugawa memandang tak berkedip. Bagaimana bisa seorang yang memegang samurai amat panjang bergulingan di lantai, kemudian menyerang? Bergulingan dengan memegang samurai itu saja sudah suatu pekerjaan yang amat berbahaya.
Salah-salah mata samurai itu bisa melukai muka atau perut ketika bergulingan. Gerak atau jurus seperti itu tak pernah dikenal oleh para samurai Jepang bahkan nenek moyang Tokugawa sendiripun!

Kawabata menyerang lagi. Tapi tiga buah sabetan cepat menantinya. Pahanya terbusai. Tangannya yang memegang samurai putus hingga siku. Dan perutnya robek!

Kawabata jatuh berlutut. Si Bungsu tegak di depannya dengan samurai telah masuk ke sarungnya! Suasana benar-benar sepi. Di luar salju turun seperti kapas. Di dalam darah mengalir seperti kran yang terbuka sumbatnya.

Ke 19 anggota Jakuza Tokyo yang ada dalam ruangan itu jadi pucat melihat kejadian tersebut. Andainya Tokugawa tak berjanji untuk melindungi Hannako, maka mereka sendiripun kini takkan mau ambil resiko mengganggu gadis itu. Dengan anak muda yang kecepatan samurainya seperti iblis ini yang melindungi Hannako, siapa yang bakal berani mengganggu? Bah, lebih baik cari kerjaan lain daripada mendekati orang begini, pikir mereka kecut.

“Bunuhlah saya…” Kawabata berkata perlahan dengan suara yang melemah.
“Saya bukan pembunuh…” si Bungsu menjawab.
“Tetapi…engkau telah membunuh lima orang anak buah saya…” Kawabata menyanggah.
“Kematian terlalu enak buatmu Kawabata….” Si bungsu berkata lagi.

Tapi tiba-tiba ucapannya terhenti, ada angin bersuit ke arahnya. Anak muda ini seorang yang memiliki indera yang sangat terlatih. Samurainya bekerja lagi dan membabat ke samping.
Mata samurai itu beradu dengan sebuah benda tipis yang melayang amat cepat. Benda itu terpukul dan mental lalu menancap di loteng! Sebilah samurai pendek! Semua orang menoleh pada lelaki yang melemparkan samurai gelap itu. Dan dia adalah Tokugawa!
Si Bungsu juga menghadap padanya. Tokugawa tersenyum.
“Sempurna! Seorang samurai yang sempurna. Memiliki kecepatan dan ketajaman penglihatan. Memiliki ketajaman firasat, engkau adalah seorang samurai yang sempurna yang pernah ditemui Tokugawa, anak muda. 
Kecuali gerak kakimu yang tak bisa kami mengerti, maka engkau memang seorang hebat…” Tokugawa berkata dengan nada jujur.



Dan sementara itu, Kawabata terjatuh di lantai. Dia mengerang, mengelupur. Orang jadi ngeri melihat lelaki itu mengakhiri nyawanya. Sangat sakit dan menggenaskan. Tangan Tokugawa bergerak lagi, kali ini sebilah samurai kecil, tak lebih dari sejengkal, melayang dari tangannya. Samurai itu menancap persis di jantung Kawabata. Kawabata mati saat itu. Berakhirlah penderitaannya. Gedung tua itu sepi, tak ada yang bergerak. Si Bungsu yang tegak dengan kaki terpentang dekat mayat Kawabata juga teka diam. Ketika dia merasa sudah cukup, maka dia menarik nafas panjang. Dan bernafas biasa kembali.

“Sudah saatnya saya pergi. Terimakasih saya yang tak tehingga pada Tokugawa….” Berkata begini dia membungkuk memberi hormat pada lelaki tua gagah itu.
Lelaki itu membalas penghomatannya. Kemudian si Bungsu melangkah keluar. Di luar, angin dingin dan salju yang turun seperti kapas, menyambutnya. Dia melangkah melintasi taman Shinjuku yang seperti lapangan kapas itu. Di rumah besar itu, Tokugawa dan 19 anggota pimpinan Jakuza lainnya menatap kepergiannya dengan diam.
Dia sampai ke depan rumah ketika hari telah sore. Hannako berlari ke depan begitu dia muncul.

“Bungsu-san, kami khawatir engkau tak kembali…”
“Saya sudah kembali bukan? Nah, bagaimana Kenji-san?’
“Dia sudah agak baik. Kini tengah melatih diri. Jakuza suatu saat, cepat atau lambat pasti datang lagi kemari. Dan Kenji-san tak mau engkau sendiri yang menghadapinya…”
Si Bungsu masuk, dia melihat Kenji tengah melatih tangan kananya yang luka. Kenji terus melakukan gerakkan-gerakan Karate. Begitu dia melihat Bungsu masuk, dia menghentikan latihannya.

“Kami khawatir engkau pergi terlalu lama Bungsu-san. Negeri ini sangat buas terhadap orang-orang asing” Bungsu tersenyum.
Dia mengeluarkan bungkusan kain putih itu, memberikannya pada Kenji yang menatapnya dengan heran.
“Apa ini Bungsu-san…?
“Bukalah. Hadiah untuk engkau dan Hannako..”Kenji membuka kain itu, dan tiba-tiba matanya terbelalak melihat kelingking yang putus itu. Hannako menjerit kecil.

Di Jepang (bagian 191)


“Sumpah samurai…” Kenji yang mengetahui sumpah pemotongan kelingking itu bicara perlahan.
“Ya. Sumpah seorang samurai…”
“Kelingking siapa ini…?” tanya Kenji.
“Kelingking Tokugawa..”
“Tokugawa?”
“Ya. Tokugawa keturunan pahlawan samurai itu. Dia salah seorang diantara mereka menjadi pimpinan Jakuza wilayah Tokyo. Kelingkingnya lah itu…”

Kenji dan Hannako tak mengerti, lalu si Bungsu menceritakan tentang perjanjian itu. 
Menceritakan sedikit tentang perkelahiannya dengan Kawabata. Menceritakan bahwa Kawabata telah mati. Dan menceritakan tentang janji Tokugawa. 
Hannako tak dapat menahan rasa harunya, dia memeluk dan mencium si Bungsu. Akan halnya Kenji beberapa kali berlutut memberi hormat dan mengucapkan terimakasih pada si Bungsu.

Namun persoalan tidak selesai sampai disitu. Diantara anak buah Tokugawa, yaitu salah seorang pimpinan cabangnya, ternyata mata-mata tentara pendudukan Amerika. Dia hadir ketika pertarungan antara Kawabata dengan si Bungsu. Ketika mendengar pengakuan anak muda itu, bahwa dialah yang membunuh kelima anggota Jakuza itu, dan melihat bagaimana mahirnya dia mempergunakan samurai, maka dia teringat pada pembunuhan dua orang tentara Amerika di penginapan Asakusa. Dia tahu sampai saat ini pembunuhan kedua tentara Amerika itu belum terungkap. Tentara Amerika berkeyakinan bahwa yang membunuh anggota mereka itu adalah orang Jepang. Tapi penyelidikan menemui jalan buntu. Dan pimpinan cabang Jakuza itu kini melihat suatu kemungkinan. Apakah tak mungkin bahwa yang membunuh tentara Amerika itu adalah orang asing ini?

Dia tahu, Tokugawa sudah menjamin dengan sumpah seorang samurai bahwa Jakuza takkan mengganggu Hannako dan saudara-saudaranya. Tapi kalau yang diganggu itu adalah orang asing ini, bukankah tak ada soal? Yang dijamin di bawah perlindungan Tokugawa adalah Hannako dan saudaranya. Tidak si Bungsu anak Indonesia itu! Pimpinan cabang wilayah pelabuhan Tokyo itu tersenyum. Betapapun juga dia merasa benci pada anak Indonesia itu. Bukankah Indonesia adalah negeri di lautan Hindia yang direbut Jepang dari Belanda kemudian menyatakan diri merdeka setelah Bom Atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki?

Anaknya seorang tentara Jepang, mati di Indonesia. Karenanya dia merasa benci pada orang Indonesia itu. 
Untuk menghadapi sendiri atau menyuruh anak buahnya anggota Jakuza menyikat anak muda itu, terang dia tak berani. Usahkan anak buahnya, sedang Kawabata saja, seorang jagoan samurai di antara mereka, dibuat tak berkutik sedikitpun.
Lagipula, bukankah Tokugawa sendiri telah memuji anak muda itu sesaat setelah selesai pertarungan dengan ucapan : Samurai yang sempurna!

Kalau Tokugawa saja, tokoh samurai diantara mereka sampai memuji demikian, bukankah itu sudah merupakan suatu bahaya yang luar biasa kalau dihadapi sendiri? Pimpinan cabang  pelabuhan Tokyo itu, seorang Jepang dari keluarga Kawasaki. 
Dia mempergunakan otaknya yang licik. Untuk menghadapi orang Indonesia itu, dia mempergunakan tangan Polisi Militer Amerika. Seminggu setelah peristiwa perkelahian Kawabata dengan si Bungsu, di hadapan rumah Kenji di jalan Uchibori berhenti sebuah Jeep putih Polisi Militer. 
Di belakangnya berhenti sebuah truk penuh tentara. Mereka berlompatan dan segera mengepung rumah itu.

Musim dingin sudah hampir berakhir. Salju tak turun lagi. Yang berada di bumi atau di pohon sudah mulai mencair. Saat itu sudah di akhir bulan Nigatsu, dimana salju berhenti turun. Tak lama lagi, musim bunga akan segera menyusul. Tapi perpindahan musim yang indah itu justru perpindahan nasib yang malang bagi si Bungsu. Dia tengah sholat lohor ketika pintu diketuk dari luar. Hannako membuka pintu dan merasa heran bercampur kaget dengan kemunculan tentara Amerika dirumah mereka. Merasa bahwa tentara Amerika itu salah alamat, dia membuka pintu lebar-lebar.
“Selamat siang” sapa Polisi Militer itu dengan sikap tertib.
“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Hanako.

Sementara itu Kenji juga keluar. Dia juga ikut merasa heran atas kunjungan tentara Amerika itu. Mereka merasa heran sebab selama ini si Bungsu tak pernah menceritakan peristiwa di penginapan Asakusa itu. Peristiwa itu tetap disembunyikan si Bungsu agar mereka tak ikut panik memikirkannya. Sikap waspada tentara Amerika itu mengundang perasaan tak sedap pada hati Kenji. Dan ketika dia menoleh ke belakang, dengan terkejut dia mendapati bahwa rumah mereka telah dikepung oleh seregu tentara Amerika bersenjata lengkap.

Di Jepang (bagian 192)


“Ada apa sebenarnya?” tanya Kenji.
Sementara itu si Bungsu sudah mengucap salam akhir dari sholatnya di kamar. Telinganya amat tajam menangkap desah sepatu menginjak salju. Dan telinganya juga menangkap percakapan Kenji dan Hannako di luar. Dia segera tahu, tentara Amerika telah mencium jejaknya. Perlahan dia menyelesaikan membaca doa.
“Apakah di sini tinggal seorang Indonesia?” Kapten yang memimpin penangkapan itu bertanya dengan sikap hormat. 
Hannako bertukar pandangan dengan Kenji.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Hanako.

Dan hal itu sudah cukup bagi Kapten itu untuk mengetahui bahwa mereka memang tak salah alamat. Dia mengeluarkan sepucuk surat.
“Markas besar memerintahkan kami menangkap orang Indonesia bernama..” dia melihat surat perintah penangkapan itu, “ bernama Bungsu. 
Dia dituduh telah membunuh dua tentara Amerika di penginapan Asakusa beberapa bulan yang lalu…” 
Kapten itu berkata dengan sikap hormat sambil memberikan surat itu pada Kenji.
Kenji tak menerimanya. Mereka bertatapan, tapi saat itulah si Bungsu muncul. 
Dia merasa kalaupun dia berniat melarikan diri, usahanya itu akan sia-sia, sebab lebih dari selusin tentara mengepung rumah itu.
“Sayalah yang tuan cari….” Katanya perlahan. 
Kapten itu memandang keluar.
“Andakah yang bernama Bungsu?”
“Ya, sayalah orangnya…”
“Maafkan kami. Kami diperintahkan untuk menangkap anda dengan tuduhan membunuh dua orang serdadu kami di penginapan Asakusa beberapa bulan yang lalu. 
Kami harap saudara bisa mengikuti kami…”


Kapten itu memberi hormat sambil memperlihatkan surat perintah penangkapan.
“Ya, saya ikut…”

“Bungsu-san…” Hanako berteriak.
Tangisnya segera pecah, dan dia berlari sambil memeluk si Bungsu. Kenji tertegak diam.
“Tenanglah Hanako-san. Saya harus pergi”
“Tidak…tidak, oh jangan tinggalkan kami Bungsu-san….jangan tinggalkan kami…” tangis gadis itu tak terbendung lagi.


Kapten Amerika itu tetap tegak di luar dengan sikap hormat. Si Bungsu menatap pada Kenji.
Air mata Kenji berlinang. Tuduhan membunuh pendudukan adalah tuduhan yang tak ada ampunannya. 
Bila terbukti, maka satu-satunya hukuman adalah hukuman mati.

“Apakah engkau memang melakukannya Bungsu-san?” Kenji bertanya dengan suara gugup.
Si Bungsu tak segera menjawabnya. Ada beberapa saat dia terdiam. Matanya menatap pada Kenji, kemudian menatap pada Hanako pada Kenji. Kemudian menatap pada Hanako. Mereka semua pada terdiam. Kemudian terdengar suara si Bungsu perlahan, tapi pasti.



“Benar Kenji-san. Malam itu seorang letnan Amerika memakai kamar saya. Dia membawa seorang gadis Jepang yang tak pernah saya kenal. Saya dengar gadis itu menangis dan menolak untuk dinodai si Letnan. Saya tak bisa melihat orang lain dianiaya. Saya minta letnan itu secara baik-baik untuk membebaskan gadis itu. Tapi dia justru menghantam dan berniat membunuh saya. Maka tak ada jalan lain bagi saya, saya harus membela diri bukan?
Begitu dia terbunuh temannya dari kamar sebelah datang dengan bedil di tangan. Dan saya kembali harus mempertahankan nyawa saya. Keduanya mati karena samurai saya.

Malam itu saya melarikan diri dari penginapan Asakusa. B
erlindung dari udara dingin di terowongan bawah tanah di Yotsui. 
Tak lama setelah saya berbaring, seseorang datang dan tidur pula di sisi saya. Dan paginya saya ketahui, teman baru itu adalah Hanako-san”

Hanako merasa dirinya runtuh.


“Kalau tak ada lagi yang akan dibicarakan, kami ingin tuan mengikuti kami…” Kapten dari Polisi Militer tentara Amerika itu bicara dengan tetap dalam nada yang sopan dan sikap hormat.
“Ya, saya sudah siap…nah, 
Kenji-san saya banyak belajar tentang hidup di Jepang darimu. 
Terimakasih untuk segalanya, sahabat. 
Saya takkan melupakanmu. Saya takkan melupakan kalian. 
Jaga adik-adikmu baik-baik. Barangkali kita takkan bertemu lagi, selamat tinggal…”



Kenji tak dapat menahan airmatanya yang runtuh. Si Bungsu baginya tidak hanya seorang sahabat, tapi juga seorang saudara yang telah melindungi mereka. Dan dia tahu, Hanako adiknya mencintai pemuda itu. Dia suka kalu mereka menikah. Tapi dia tak pernah mau memulai pembicaraan ke arah itu.

Dia tahu, si Bungsu mempunyai tugas yang amat besar datang kemari. Dia tak punya waktu memikirkan jodoh.

Kini ketika anak muda itu pergi, dia merasa suatu kehilangan yang alangkah pedihnya. Si Bungsu menyalaminya. Kemudian memegang bahu Hanako. Gadis itu tak berani menatap mukanya.

“Baik-baik di rumah Hannako-san. 
Saya akan selalu mengingat budi baikmu….”



Dan dia berbalik. Kapten Polisi Militer itu melekatkan belenggu ke tangannya, kemudian semua barang-barangnya diambil. Samurai, bungkusan dan pakaiannya dimasukkan ke dalam sebuah kantong sebagai barang bukti.

Hanako terduduk di depan pintu begitu Jeep  Polisi Militer meninggalkan jalan Uchibori di depan rumah mereka.



“Kenji-san…dia telah pergi meninggalkan kita…” katanya lirih.



Kenji tiba-tiba teringat pada sesuatu.



“Tenanglah Hanako. Kita akan berusaha membebaskannya. Dia telah menolong kita banyak sekali. Kita harus menolongnya. Tak ada orang lain yang akan menolongnya kalau tidak kita. Dia tak punya siapa-siap di negeri ini….”

“Tapi bagaimana kita akan menolongnya…?”

“Tenanglah Hanako. Kita akan mengusahakannya…” namun bagaimana Hanako akan bisa tenang? Pemuda Indonesia itu telah mencuri separuh hatinya. Kini pemuda itu pergi, dirinya tiba-tiba terasa amat sepi.

Di Jepang (bagian 193)




Tokugawa sedang menerima laporan dari berbagai cabang Jakuza. Dia berkantor di Nikko Hotel di jalan Ginza di bilangan pusat kota Tokyo. Dia mencarter lima buah ruangan utama di tingkat paling atas dari hotel tersebut. Tak seorangpun yang akan menyangka bahwa lantai teratas dari Nikko Hotel itu adalah pusat dari suatu organisasi yang selalu mengacau di kota Tokyo.
Teror terhadap individu atau orang ramai yang dibuat oleh Jakuza, diatur dari hotel ini. Orang takkan pernah menyangka, karena tak ada lift ke tingkat itu. Ada sebuah lift yang sampai ke tingkat atas. Tapi lift itu tak boleh digunakan oleh  umum. 
Di pintu lift tertulis kalimat : Khusus Untuk Staff. Tak dijelaskan Staff apa yang boleh naik itu. 
Hanya di pintu lift yang satu itu, selalu ada penjaga dengan pakaian sopan dan sikap ramah menolak dan menyilahkan orang naik ke lift lain yang sama kunonya dengan lift yang satu itu.



Orang-orang di hotel itu tak pernah memperdulikan akan orang yang turun naik ke tingkat atas. Sebab di tingkat lain, ada juga beberapa  ruangan yang dipakai untuk kantor.

Di hotel itu ada kantor Perusahaan Honda. Kantor perusahaan pembangunan dan kantor perusahaan penerbangan. Dan tak seorangpun yang pernah menduga bahwa pelayan lift yang sopan dan ramah itu, sewaktu-waktu bisa berobah menjadi pembunuh yang berdarah dingin.

Tak ada yang tahu bahwa pelayan itu sebenarnya seorang ahli karate, judo dan samurai.

Ketika Tokugawa sedang memberi beberapa instruksi, seseorang masuk, membungkuk memberi hormat. Kemudian berbisik dan menyerahkan sesuatu.

Tokugawa menerima pemberian itu. Membuka bungkusnya. Dan segera dia mengenal bahwa yang dikirim padanya itu adalah kain putih bekas pembungkus potongan kelingkingnya dahulu.



“Dimana dia?”

“Di bawah”

“Antarkan dia kemari”

“Hai…”

“Rapat ini saya skor sementara. Saya menerima tamu. Seorang anak lindungan”



Tak lama mereka menanti, Kenji yang membawa bungkusan kain putih berdarah bekas potongan kelingking Tokugawa itu masuk diantarkan penjaga tadi.

Tokugawa bangkit dari duduknya. Demikian pula tiga orang “staf” Jakuza lainnya yang hadir disana.



“Anda pastilah Kenji-san. Kakak Hannako dan sahabat Bungsu-san orang Indonesia itu…” katanya ramah menyambut Kenji.

“Selamat siang tuan Tokugawa….saya…”

“Saya senang dapat membantu anda dan adik-adik anda. Maafkan atas kejadian yang lalu. Kawabata telah mendapat balasan yang setimpal atas dosanya. Bungsu-san benar-benar seorang yang mahir mempergunakan samurai. Nah, apa yang bisa saya bantu…?”
“Saya…saya…”
“Jangan gugup. 
Mari, silakan duduk. Kita sahabat bukan? 
Nah, ceritakan apa yang terjadi. Ada yang mengganggu Hannako?”
“Tidak. Terimakasih, 
Tokugawa telah melindungi kami. 
Tapi… ini mengenai Bungsu-san…”
“Ya, bagaimana dengan dia?”

Kenji terdiam. Dia tak tahu dari mana harus mulai. Tokugawa memberinya minum sake. 
Begitu pula teman-temannya yang ada di kantor itu. Mereka minum bersama.
Setelah agak tenang. Kenji bercerita tentang nasib yang menimpa Bungsu-san. Tokugawa terdiam.

Di Jepang (bagian 194)




“Itulah yang terjadi tuan Tokugawa, saya mohon tuan bisa membantunya keluar dari tahanan. Kalau tidak, hukuman mati menantinya di sana…”
“Maafkan saya Kenji-san. 
Kalau yang menangkap Bungsu-san adalah Polisi Jepang, maka saya bisa menjamin untuk mengeluarkannya. Tapi yang menahannya adalah tentara Amerika. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Maafkan kami….”

Kenji berlutut lantai. Membungkuk memberi hormat.



“Tolonglah dia tuan. Dia membunuh tentara Amerika itu karena ingin menolong seorang gadis Jepang yang tak dia ketahui siapa orangnya. Tentara itu akan menodai gadis itu. 
Pemilik penginapan Asakusa itu sendiri orang Jepang, tapi dia tak berniat menolong gadis Jepang malang itu. Malah dialah yang memberi tempat untuk menodai gadis itu. Bungsu-san lah justru yang turun tangan menolongnya.
Orang asing yang tak punya kepentingan apa-apa dengan negeri kita, bersedia mempertaruhkan nyawanya untuk membela seorang gadis yang tak dia kenal. 
Apakah kita tak patut membantu orang yang begini?”
“Engkau benar Kenji-san. 
Tapi percayalah, melawan tentara Amerika berarti punahnya organisasi kami. 
Kami tak bisa berbuat apa-apa…”


Sekali lagi Kenji bersujud dilantai dan memohon:
“Maafkan saya kalau terlalu menyusahkan Tokugawa. 
Tapi, kami ikhlas Tokugawa mencabut perlindungannya pada kami adik beradik asalkan Tokugawa mau membebaskan Bungsu-san. 
Tolonglah dia….”
Tokugawa dan ketiga pimpinan Jakuza yang ada di sana jadi tertegun mendengar permohonan ini. 
Tokugawa tak hanya tertegun. 
Tapi hatinya jadi sangat terharu melihat kesetia-kawanan Kenji adik beradik dengan orang Indonesia ini.
Mereka bersedia tidak dilindungi. Artinya bersedia diganggu dan dianiaya oleh Jakuza atau kelompok lain asal dapat membantu sahabatnya. Kepala penjahat ini benar-benar diberi pelajaran tentang setia-kawan dan rasa saling menyayang sesama makhluk.



“Bangkitlah anak muda. Rupanya dunia semakin tua. 
Kesetiaan kalian bersahabat sangat mengharukan hati saya. 
Pertama saya mendapatkan betapa Bungsu-san, seorang asing mau mengorbankan dirinya bertarung dengan orang-orang Jakuza untuk menyelamatkan kalian. 
Kini engkau datang, rela untuk tak dilindungi asal sahabatmu itu dibebaskan. 
Ah, kami selama ini tak pernah berpikir tentang adanya persahabatan yang demikian mulia. 
Yang tak memandang suku dan bangsa. Yang rela mengorbankan nyawa demi membela sahabat…. Kami selama ini hanya berfikir, bahwa persahabatan hanya diikat atas dasar laba rugi.

Baiklah, saya mendapat suatu pelajaran yang sangat berharga. Pulanglah, sampaikan pada adik-adikmu, bahwa Tokugawa bersumpah akan membebaskan Bungsu-san…”

Kenji bersujud di lantai. Lama sekali. Tubuhnya terguncang menahan tangis.

“Domo arigato gozaimasu. Domo arigato…. 
Terimakasih banyak tuan Tokugawa….terimakasih banyak…”
suaranya tersendat dalam sujud itu.



Tokugawa memegang bahunya. Membawanya bangkit.

“Tenanglah, tak ada yang tak bisa kita atur. Kenapa kita harus takut pada Amerika di negeri kita ini? 
Ini negeri kita bukan? Tenanglah nak…”

Kenji diantar pulang dengan sedan milik Tokugawa. Dia menceritakan janji Tokugawa pada Hannako. Siang itu juga mereka lalu pergi ke candi Gokokuji. Sebuah candi jauh dipinggir kota. Mereka sembahyang bersyukur dan memohonkan keselamatan si Bungsu.
Tokugawa memang seorang lelaki turunan Samurai yang memegang teguh janjinya. Begitu Kenji meninggalkan kantornya, dia mengangkat telepon di mejanya.


“Coba selidiki sebab musabab seorang lelaki Indonesia bernama Bungsu yang ditangkap Polisi Militer Amerika dua hari yang lalu…”

Dia bicara di telepon itu. Tak diketahui pada siapa dan kemana dia bicara. Tapi Jakuza mempunyai jaringan hampir di seluruh kantor di Tokyo.

Dua hari kemudian, laporan itu masuk. Tokugawa membacanya. Mengerutkan kening. Dari kantornya yang tinggi itu dia menatap keluar melewati jendela kaca. 
Memandang kesibukan kota yang bergerak di bawah sana. Lama dia memandang keluar. Nampak bahwa dalam pikirannya bergulat pertarungan yang luar biasa. 
Meski wajahnya tetap kelihatan tenang, namun matanya tak demikian. Akhirnya dia berjalan kembali ke meja besarnya di sudut ruangan. Menekan sebuah tombol. 
Tak selang berapa detik., dinding di sebelah kanannya terbuka. Nampaknya dinding itu semacam pintu rahasia. 
Seorang lelaki bertubuh sedang berwajah tampan muncul dan membungkuk memberi hormat.


“Kawasaki…” katanya perlahan.
“Hai….” Jawab lelaki itu.

Tokugawa menarik laci mejanya. 
Mengeluarkan sebuah kotak kecil sepanjang dua jengkal berwarna merah. Menyerahkan pada lelaki tampan itu.
Lelaki itu membungkuk lagi memberi hormat. 
Kemudian menghilang ke balik dinding rahasia tadi. Dinding itu menutup kembali. 
Persis seperti tadi. Disana tergantung sebuah lukisan candi besar. Tak ada tanda-tanda bahwa sebenarnya ruang Tokugawa itu dihubungkan oleh pintu rahasia ke empat jurusan.



Tidak ada komentar: