Di Jepang (bagian 195)
Kawasaki, pimpinan Jakuza cabang pelabuhan itu tinggal di seberang taman Hamarikyu di tepai sungai Sumida yang besar di pinggir kota Tokyo.
Rumahnya indah dengan pekarangan luas. Dia tinggal dirumah itu bersama isteri mudanya. Seorang gadis Jepang bekas Sri Panggung di Kabukiza Theater.
Gadis itu cantik. Bertubuh padat. Isteri pertamanya sudah terlalu gembrot. Meski belum begitu tua, tapi Kawasaki sudah menceraikannya.
Saat itu dia tengah istirahat di ruangan tengah ketika sebuah kendaraan berhenti jauh di jalan di depan rumahnya.
Dari pintu yang terbuka lebar, dia segera mengenal bahwa mobil yang berhenti itu adalah mobil dari “markas besar” Jakuza.
“Ada pesan penting nampaknya,….” Katanya sambil berdiri.
“Masuklah ke dalam. Ada tamu penting….” Katanya pada isterinya yang sedang membaca koran pagi.
Perempuan cantik itu tegak. Berjalan ke kamar dengan lenggang pinguulnya yang meransang.
Dua orang lelaki kelihatan memasuki pintu pekarangannya. Kemudian melangkah di taman. Semacam perasaan tak sedap menyelinap di hati Kawasaki. Kedua lelaki ini dia ketahui sebagai pembawa pesan “amat khusus”. Dan keduanya adalah pembunuh-pembunuh berdarah dingin. Dua orang spesialis yang langsung berada di bawah perintah Pimpinan Wilayah, Tokugawa.
“Gomenkudasai…” salah seorang diantaranya bicara sopan di luar pintu.
“Hai, dozo ohairi kudasai…” jawabnya menyilahkan kedua tamu khusus itu masuk
Kedua tamu itu membuka sepatu. Kemudian mereka masuk ke ruang tengah itu. Duduk membelakangi pintu di lantai.
“Ogenki desu ka..” (apa kabar apa?) tanya Kawasaki sopan, setelah ikut duduk berlutut dua depa di hadapan kedua tamunya ini.
“Kami disuruh menyampaikan pesan ini….” Jawab yang bertubuh kurus berwajah dingin seperti burung gagak.
Dia mengangsurkan sebuah surat beramplop panjang ke hadapan Kawasaki. Dengan perasaan tak sedap, Kawasaki mengambil surat itu. Dan darahnya serasa seperti berhenti mengalir takkala melihat surat dalam amplop itu tertulis di kertas merah. Itu berarti perintah bunuh diri!
Dia berusaha menguatkan hatinya. Kemudian membaca surat merah itu.
“Tuan hadir dalam rapat di Shinjuku di rumah Kawabata. Saya telah menjamin dengan sumpah putus jari di hadapan seorang Indonesia untuk keselamatan Hannako bersaudara. Saya telah membiarkan Indonesia-jin itu pergi. Suatu pertanda bahwa saya juga menjamin keselamatannya. Seorang Tokugawa tak mau melanggar sumpah. Dan lebih tak mau lagi kalau ada orang yang menodai sumpah itu. Indonesia-jin (orang Indonesia) itu kini ditangkap tentara Amerika atas penghianatan tuan.
Bersama ini saya kirimkan untuk tuan sebuah peti merah.
“Tokugawa”
Begitu selesai membaca, lelaki yang tadi masuk ke kamar Tokugawa, segera mengeluarkan kotak kecil berwarna merah yang diberikan Tokugawa. Kotak kecil yang dia ambil dari dalam laci mejanya.
Dengan sikap sangat hormat, lelaki tampan ini meletakkan kotak ramping itu di lantai. Kemudian dengan kedua tangannya dia menyorongkan kotak itu ke depan Kawasaki.
Kawasaki jadi pucat.
“Ini tidak betul. Saya menghadap sendiri ke Pimpinan….” Katanya gugup. Namun kedua lelaki itu menatap padanya dengan pandangan dingin.
“Saya bisa membebaskan Indonesia-jin itu…” dan ucapannya terhenti.
Dengan berkata begitu jadi jelas bahwa memang dia yang “mengatur” agar si Bungsu tertangkap.
“Saya akan menelepon….” Suaranya terhenti.
Kedua lelaki itu menggeleng perlahan, dengan isyarat halus, keduanya menunjuk pada kotak merah kecil itu. Namun Kawasaki tegak.
“Saya akan menemui pimpinan….” Suaranya lebih mirip orang takut dan putus asa. Dia bergegas memutari kedua lelaki itu dalam jarak yang jauh menuju pintu.
Kedua lelaki itu tetap duduk tak memutar sedikitpun. Kawasaki sudah sampai di pintu. Tiba-tiba kedua lelaki itu bergerak sangat cepat. Mereka berbalik serentak setelah mengambil sesuatu dari balik jas mereka.
Demikian cepat gerakan kedua orang itu, sehingga tak diketahui siapa yang lebih dahulu bergerak. Yang jelas, begitu mereka berbalik. Kawasaki merasa dada dan rusuknya perih dan linu sekali. Dia berpaling, tapi tubuhnya tak kuat tegak. Dia rubuh di atas kedua lututnya. Tangannya jadi lumpuh. Pada dada dan rusuknya yang terasa linu dan menyebabkan kelumpuhan itu, tertancap dua bilah samurai pendek. Tak lebih dari sejengkal.
“Pimpinan menghendaki tuan harakiri. Mati sebagai Jakuza yang terhormat. Tapi tuan lebih menginginkan mati secara begini. Maafkan kami….”
Kedua lelaki itu, yang kini duduk berlutut di depan Kawasaki yang terhenyak tak bisa bergerak, berkata perlahan.
Gadis itu cantik. Bertubuh padat. Isteri pertamanya sudah terlalu gembrot. Meski belum begitu tua, tapi Kawasaki sudah menceraikannya.
Saat itu dia tengah istirahat di ruangan tengah ketika sebuah kendaraan berhenti jauh di jalan di depan rumahnya.
Dari pintu yang terbuka lebar, dia segera mengenal bahwa mobil yang berhenti itu adalah mobil dari “markas besar” Jakuza.
“Ada pesan penting nampaknya,….” Katanya sambil berdiri.
“Masuklah ke dalam. Ada tamu penting….” Katanya pada isterinya yang sedang membaca koran pagi.Perempuan cantik itu tegak. Berjalan ke kamar dengan lenggang pinguulnya yang meransang.
Dua orang lelaki kelihatan memasuki pintu pekarangannya. Kemudian melangkah di taman. Semacam perasaan tak sedap menyelinap di hati Kawasaki. Kedua lelaki ini dia ketahui sebagai pembawa pesan “amat khusus”. Dan keduanya adalah pembunuh-pembunuh berdarah dingin. Dua orang spesialis yang langsung berada di bawah perintah Pimpinan Wilayah, Tokugawa.
“Gomenkudasai…” salah seorang diantaranya bicara sopan di luar pintu.
“Hai, dozo ohairi kudasai…” jawabnya menyilahkan kedua tamu khusus itu masuk
Kedua tamu itu membuka sepatu. Kemudian mereka masuk ke ruang tengah itu. Duduk membelakangi pintu di lantai.
“Ogenki desu ka..” (apa kabar apa?) tanya Kawasaki sopan, setelah ikut duduk berlutut dua depa di hadapan kedua tamunya ini.
“Kami disuruh menyampaikan pesan ini….” Jawab yang bertubuh kurus berwajah dingin seperti burung gagak.
Dia mengangsurkan sebuah surat beramplop panjang ke hadapan Kawasaki. Dengan perasaan tak sedap, Kawasaki mengambil surat itu. Dan darahnya serasa seperti berhenti mengalir takkala melihat surat dalam amplop itu tertulis di kertas merah. Itu berarti perintah bunuh diri!
Dia berusaha menguatkan hatinya. Kemudian membaca surat merah itu.
“Tuan hadir dalam rapat di Shinjuku di rumah Kawabata. Saya telah menjamin dengan sumpah putus jari di hadapan seorang Indonesia untuk keselamatan Hannako bersaudara. Saya telah membiarkan Indonesia-jin itu pergi. Suatu pertanda bahwa saya juga menjamin keselamatannya. Seorang Tokugawa tak mau melanggar sumpah. Dan lebih tak mau lagi kalau ada orang yang menodai sumpah itu. Indonesia-jin (orang Indonesia) itu kini ditangkap tentara Amerika atas penghianatan tuan.
Bersama ini saya kirimkan untuk tuan sebuah peti merah.
“Tokugawa”
Begitu selesai membaca, lelaki yang tadi masuk ke kamar Tokugawa, segera mengeluarkan kotak kecil berwarna merah yang diberikan Tokugawa. Kotak kecil yang dia ambil dari dalam laci mejanya.
Dengan sikap sangat hormat, lelaki tampan ini meletakkan kotak ramping itu di lantai. Kemudian dengan kedua tangannya dia menyorongkan kotak itu ke depan Kawasaki.
Kawasaki jadi pucat.“Ini tidak betul. Saya menghadap sendiri ke Pimpinan….” Katanya gugup. Namun kedua lelaki itu menatap padanya dengan pandangan dingin.
“Saya bisa membebaskan Indonesia-jin itu…” dan ucapannya terhenti.
Dengan berkata begitu jadi jelas bahwa memang dia yang “mengatur” agar si Bungsu tertangkap.
“Saya akan menelepon….” Suaranya terhenti.Kedua lelaki itu menggeleng perlahan, dengan isyarat halus, keduanya menunjuk pada kotak merah kecil itu. Namun Kawasaki tegak.
“Saya akan menemui pimpinan….” Suaranya lebih mirip orang takut dan putus asa. Dia bergegas memutari kedua lelaki itu dalam jarak yang jauh menuju pintu.
Kedua lelaki itu tetap duduk tak memutar sedikitpun. Kawasaki sudah sampai di pintu. Tiba-tiba kedua lelaki itu bergerak sangat cepat. Mereka berbalik serentak setelah mengambil sesuatu dari balik jas mereka.
Demikian cepat gerakan kedua orang itu, sehingga tak diketahui siapa yang lebih dahulu bergerak. Yang jelas, begitu mereka berbalik. Kawasaki merasa dada dan rusuknya perih dan linu sekali. Dia berpaling, tapi tubuhnya tak kuat tegak. Dia rubuh di atas kedua lututnya. Tangannya jadi lumpuh. Pada dada dan rusuknya yang terasa linu dan menyebabkan kelumpuhan itu, tertancap dua bilah samurai pendek. Tak lebih dari sejengkal.“Pimpinan menghendaki tuan harakiri. Mati sebagai Jakuza yang terhormat. Tapi tuan lebih menginginkan mati secara begini. Maafkan kami….”
Kedua lelaki itu, yang kini duduk berlutut di depan Kawasaki yang terhenyak tak bisa bergerak, berkata perlahan.
Di Jepang (bagian 196)
Aneh, tak sedikitpun wajah mereka menunjukkan emosi. Tak terlihat mereka marah atau menyesal, apalagi takut. Mereka bicara seperti sedang bicara dengan orang biasa saja. Padahal Kawasaki sedang berjuang dengan sakratul maut. Mulut Kawasaki bergerak. Namun tak ada suara yang keluar.
“Maafkan, kami mohon diri….” Kata yang berwajah tampan.
Kedua mereka segera membungkuk dalam-dalam ke lantai. Kemudian tegak. Yang satu berjalan ke tengah ruangan. Mengambil surat yang tadi dibaca Kawasaki. Kemudian mereka melangkah pergi. Melangkahi tubuh Kawasaki yang terbelintang di tengah pintu.
Kawasaki hanya bisa menatap kepergian orang itu dengan gerak matanya yang makin melayu. Kedua orang itu berjalan di batu di tamannya. Suara sepatu mereka berdetak satu-satu. Jantung Kawasaki juga berdetak satu-satu.
Kedua orang itu membuka pintu mobil, lalu masuk. Menghidupkan mesin, lalu pergi. Suara mesin mobilnya makin jauh makin lenyap. Dan ketika suara deru mobil itu lenyap sama sekali, nyawa Kawasaki juga lenyap.
Aneh terdengar. Seorang Tokugawa membunuh tokoh Jakuza bawahannya. Dia bunuh hanya karena Kawasaki membocorkan rahasia pada Amerika bahwa yang membunuh tentara Amerika di Asakusa adalah si Bungsu. Karenanya anak muda itu tertangkap.
Namun seperti bunyi suratnya pada Kawasaki, dia membiarkan anak muda itu bebas keluar dari rumah Kawabata setelah memenangkan perkelahian hari itu, adalah sebagai tanda, bahwa dia juga menjamin keselamatan anak muda itu.
Dan keanehan-keanehan memang banyak terjadi di dunia para penjahat ini. Meski mereka kumpulan pembunuh, pemeras, penodong, penjambret, namun mereka mengenal kesetiaan, keperwiraan, kejujuran dan kasih sayang.
Si Bungsu mengakui seluruh tuduhan yang diajukan padanya. Memang dia yang membunuh seorang letnan dan seorang sersan di penginapan Asakusa. Meskipun dia membela orang lain, namun tentara pendudukan selalu berkuasa. Tentara yang dalam perang selalu mendahulukan kepentingan para prajuritnya ketimbang ketentuan hukum.
Lagipula, terhadap kasus si Bungsu, tak ada ketentuan hukum yang harus dipertimbangkan. Di Jepang tak ada konsulat Indonesia saat itu. Karenanya, tak ada perlindungan diplomatik.
Amerika tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia sepanjang menyangkut hak-hak kewargaannya di negeri Jepang. Maka sesuai undang-undang yang berlaku, si Bungsu diperlakukan dengan hukum perang. Meskipun belum disidangkan oleh Mahkamah Militer, namun kepadanya telah disampaikan kira-kira hukuman apa yang bakal dia dapatkan.
Hukuman tembak mati!
Si Bungsu tak menyesal. Dia malah berharap agar gadis yang dia tolong itu selamat.
Sebulan dia dalam tahanan, persidangannya segera dibuka. Agak aneh juga, ternyata pengadilan terhadap dirinya dipercepat. Di gedung pengadilan, tiba-tiba dia bertemu dengan Kenji dan Hannako serta adiknya.
“Bungsu-san….” Terdengar suara halus ketika dia turun dari mobil tahanan.
Dia menoleh, dan melihat Hannako bersama Kenji. Hannako memeluknya.
“Bungsu-san…” katanya lirih.
“Hanako, Kenji….terimakasih, kalian datang menegokku, domo arigati gizaimasu…” katanya perlahan.
Hannako menyerahkan ke tangannya setangkai bunga Sakura yang berwarna merah jambu.
“Sekarang sudah musim bunga Bungsu-san …”katanya perlahan.
“Arigato…”
“Lihatlah, dimana-mana bunga Sakura pada mekar. Engkau akan bebas Bungsu-san….”tambah Hannako.
Si Bungsu benar-benar terharu. Gadis itu memakai baju dari sutera berwarna biru berkembang-kembang. Wajahnya cantik. Dia tersenyum menatapnya. Dan ketika persidangan dimulai, seorang ahli Hukum terkenal di Tokyo saat itu, tuan Yasuaki Yamada muncul sebagai pembela si Bungsu.
Tentara pendudukan Amerika seperti ditekan oleh pihak lain yang punya kekuatan terselubung untuk mengadili orang Indonesia itu secara terbuka.
Semula tentara Amerika akan mengadilinya secara penjahat perang. Ada alasannya, membunuh tentara Amerika yang sedang bertugas di negeri taklukan.
Bukankah itu sama dengan kejahatan perang?
Namun “kekuatan terselubung” yang meminta agar perkara itu diadili secara terbuka, nampaknya punya kekuatan yang benar-benar tak dapat diabaikan.
Tentara pendudukan Amerika terpaksa menyetujui permintaan yang diajukan lewat ahli hukum Yasuaki Yamada itu.
Dalam persidangan terjadi debat yang amat sengit antara Jaksa Militer dengan pembela si Bungsu.
“Maafkan, kami mohon diri….” Kata yang berwajah tampan.
Kedua mereka segera membungkuk dalam-dalam ke lantai. Kemudian tegak. Yang satu berjalan ke tengah ruangan. Mengambil surat yang tadi dibaca Kawasaki. Kemudian mereka melangkah pergi. Melangkahi tubuh Kawasaki yang terbelintang di tengah pintu.
Kawasaki hanya bisa menatap kepergian orang itu dengan gerak matanya yang makin melayu. Kedua orang itu berjalan di batu di tamannya. Suara sepatu mereka berdetak satu-satu. Jantung Kawasaki juga berdetak satu-satu.
Kedua orang itu membuka pintu mobil, lalu masuk. Menghidupkan mesin, lalu pergi. Suara mesin mobilnya makin jauh makin lenyap. Dan ketika suara deru mobil itu lenyap sama sekali, nyawa Kawasaki juga lenyap.Aneh terdengar. Seorang Tokugawa membunuh tokoh Jakuza bawahannya. Dia bunuh hanya karena Kawasaki membocorkan rahasia pada Amerika bahwa yang membunuh tentara Amerika di Asakusa adalah si Bungsu. Karenanya anak muda itu tertangkap.
Namun seperti bunyi suratnya pada Kawasaki, dia membiarkan anak muda itu bebas keluar dari rumah Kawabata setelah memenangkan perkelahian hari itu, adalah sebagai tanda, bahwa dia juga menjamin keselamatan anak muda itu.
Dan keanehan-keanehan memang banyak terjadi di dunia para penjahat ini. Meski mereka kumpulan pembunuh, pemeras, penodong, penjambret, namun mereka mengenal kesetiaan, keperwiraan, kejujuran dan kasih sayang.
Si Bungsu mengakui seluruh tuduhan yang diajukan padanya. Memang dia yang membunuh seorang letnan dan seorang sersan di penginapan Asakusa. Meskipun dia membela orang lain, namun tentara pendudukan selalu berkuasa. Tentara yang dalam perang selalu mendahulukan kepentingan para prajuritnya ketimbang ketentuan hukum.
Lagipula, terhadap kasus si Bungsu, tak ada ketentuan hukum yang harus dipertimbangkan. Di Jepang tak ada konsulat Indonesia saat itu. Karenanya, tak ada perlindungan diplomatik.
Amerika tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia sepanjang menyangkut hak-hak kewargaannya di negeri Jepang. Maka sesuai undang-undang yang berlaku, si Bungsu diperlakukan dengan hukum perang. Meskipun belum disidangkan oleh Mahkamah Militer, namun kepadanya telah disampaikan kira-kira hukuman apa yang bakal dia dapatkan.
Hukuman tembak mati!Si Bungsu tak menyesal. Dia malah berharap agar gadis yang dia tolong itu selamat.
Sebulan dia dalam tahanan, persidangannya segera dibuka. Agak aneh juga, ternyata pengadilan terhadap dirinya dipercepat. Di gedung pengadilan, tiba-tiba dia bertemu dengan Kenji dan Hannako serta adiknya.
“Bungsu-san….” Terdengar suara halus ketika dia turun dari mobil tahanan.
Dia menoleh, dan melihat Hannako bersama Kenji. Hannako memeluknya.
“Bungsu-san…” katanya lirih.
“Hanako, Kenji….terimakasih, kalian datang menegokku, domo arigati gizaimasu…” katanya perlahan.
Hannako menyerahkan ke tangannya setangkai bunga Sakura yang berwarna merah jambu.
“Sekarang sudah musim bunga Bungsu-san …”katanya perlahan.
“Arigato…”
“Lihatlah, dimana-mana bunga Sakura pada mekar. Engkau akan bebas Bungsu-san….”tambah Hannako.
Si Bungsu benar-benar terharu. Gadis itu memakai baju dari sutera berwarna biru berkembang-kembang. Wajahnya cantik. Dia tersenyum menatapnya. Dan ketika persidangan dimulai, seorang ahli Hukum terkenal di Tokyo saat itu, tuan Yasuaki Yamada muncul sebagai pembela si Bungsu.
Tentara pendudukan Amerika seperti ditekan oleh pihak lain yang punya kekuatan terselubung untuk mengadili orang Indonesia itu secara terbuka.
Semula tentara Amerika akan mengadilinya secara penjahat perang. Ada alasannya, membunuh tentara Amerika yang sedang bertugas di negeri taklukan.
Bukankah itu sama dengan kejahatan perang?
Namun “kekuatan terselubung” yang meminta agar perkara itu diadili secara terbuka, nampaknya punya kekuatan yang benar-benar tak dapat diabaikan.
Tentara pendudukan Amerika terpaksa menyetujui permintaan yang diajukan lewat ahli hukum Yasuaki Yamada itu.
Dalam persidangan terjadi debat yang amat sengit antara Jaksa Militer dengan pembela si Bungsu.
Semula tentara Amerika akan mengadilinya secara penjahat perang. Ada alasannya, membunuh tentara Amerika yang sedang bertugas di negeri taklukan.
Bukankah itu sama dengan kejahatan perang?
Namun “kekuatan terselubung” yang meminta agar perkara itu diadili secara terbuka, nampaknya punya kekuatan yang benar-benar tak dapat diabaikan.
Tentara pendudukan Amerika terpaksa menyetujui permintaan yang diajukan lewat ahli hukum Yasuaki Yamada itu.
Dalam persidangan terjadi debat yang amat sengit antara Jaksa Militer dengan pembela si Bungsu.
Di Jepang (bagian 197)
“Pembelaan terhadap terdakwa tak bisa diakui secara hukum. Terdakwa bukan warganegara Jepang.
Dan pembunuhan terhadap tentara Amerika yang sedang bertugas haruslah diadili oleh mahkamah perang”
Demikian oditur militer Amerika menuntut pembatalan persidangan secara terbuka ini.
Ruang sidang itu sendiri penuh sesak. Ada sekitar lima ratus orang hadir.
Terdiri dari tentara Amerika dan penduduk sipil Jepang. Yamada, pembela dan ahli hukum terkenal itu segera bangkit.
“Terdakwa memang bukan orang Jepang. Tapi dia membunuh tentara Amerika karena membela seorang warganegara Jepang. Maka selayaknyalah kami orang Jepang membelanya”
Ucapannya mendapat tepuk tangan yang gemuruh dari pengunjung yang penduduk Jepang.
“Meski demikian, dia membunuh 2 tentara Amerika yang sedang bertugas….”
“Apa tugasnya? Memperkosa seorang gadis Jepang?” potong Yamada.
Tepuk tangan gemuruh lagi. Muka oditur Militer yang berpangkat Mayor itu jadi merah.
“Tak ada bukti yang menguatkan bahwa kedua tentara itu akan memperkosa seorang gadis Jepang. Mana buktinya. Buktinya haruslah gadis yang akan diperkosa itu sendiri….kami minta gadis itu diajukan sebagai saksi!”
Yamada benar-benar jadi terdiam. Semua isi pengadilan itu juga terdiam. Inilah kartu mati bagi Yamada. Dalam sebulan ini dia telah berusaha mencari tahu siapa gadis yang ditolong di hotel Asakusa. Namun usahanya sia-sia. Gadis itu tak pernah ditemui. Dan kini, kelemahannya itu dijadikan sebagai truf oleh Oditur untuk membatalkan persidangan ini. Pemilik penginapan yang diajukan sebagai saksi, hanya mengatakan bahwa kedua tentara itu datang membawa dua gadis. Sebenarnya mereka bertiga. Dan setelah mereka masuk kamar, dia tak tahu lagi apa yang terjadi. Dia hanya mendengar serentetan tembakan dan ketika dia muncul di kamar itu, kedua tentara itu telah mati.
Orang Indonesia yang menginap disana sudah lenyap entah kemana. Itulah kesaksian yang bisa dia berikan. Dia tak mengenal siapa gadis yang dibawa letnan Amerika itu.
Yamada sudah menyangka bahwa dia akan menghadapi kesulitan ini. Namun Tokugawa yang berdiri dibalik pembelaan terhadap si Bungsu ini, membayarnya amat tinggi untuk membela anak muda tersebut.
“Bela dia sampai bebas. Sekurang-kurangnya hanya dihukum setahun dua.
Tentang biaya jangan tuan pikirkan.
Saya yang menjamin….” Kata Tokugawa.
Persidangan diundur untuk memberi kesempatan pada Yamada mencari saksi.
Tokugawa tak berani memasang iklan untuk memanggil gadis itu. Pihak lain bisa saja menjegal gadis tersebut di perjalanan. Terutama pihak Amerika yang ingin persidangan itu dilakukan secara Militer.
Tokugawa menyebar mata-matanya ke seluruh pelosok untuk mencari gadis itu. Ciri-cirinya ditanyakan pada si Bungsu dan pemilik penginapan. Si Bungsu teringat, bahwa sebelum lama berdarah itu dia pernah bertemu dengan gadis itu di daerah Ginza.
Maka Tokugawa menyapu seluruh toko, kantor, tempat-tempat mandi uap dan rumah-rumah pelacuran atau rumah-rumah pribadi dalam usaha mencari gadis tersebut.
Tapi mencari seorang gadis cantik di Tokyo dengan ciri-ciri yang samar-samar alangkah sulitnya. Di Tokyo ada ratusan ribu gadis cantik. Dan hampir semua punya ciri tubuh seperti gadis yang dikatakan si Bungsu. Bagaimana menandainya?
Sepekan setelah itu persidangan dibuka lagi.
“Kami berpendapat, percuma sidang ini diadakan kalau tak ada saksi utama. Tak ada yang melihat atau mendengar bahwa ada perkosaan kecuali tertuduh. Dan tertuduh tak bisa diminta keterangannya sebagai saksi. Hukuman mati patut dijatuhkan padanya…” Oditur Militer itu berkata tegas setelah bertegang urat leher dengan Yamada.
Yamada bangkit.
Dia memandang keliling, kemudian memandang pada Hakim Militer yang mengadili perkara ini.
“Amerika sudah cukup banyak membunuh orang di negeri ini. Hitunglah yang mati di kancah peperangan. Terakhir hitung pula mereka yang mati tanpa dosa di Hiroshima dan Nagasaki.
Dimakan Bom Atom laknat itu. Apakah kalian masih akan menambah angka kematian itu lagi?”
Tubuh Yamada sampai menggigil mengucapkan kalimat ini. Dia mengucapkan itu memang dengan penuh kebencian. Tapi juga dengan penuh tantangan.
Dia bisa diseret sebagai menghina tentara Amerika! Beberapa pejabat kota Tokyo pada duduk dengan pucat.
Meskipun yang diucapkan pembela itu adalah isi hati mereka, namun mereka menilai Yamada terlalu berani dengan ucapannya ini.
Ruangan pengadilan itu jadi sepi.
Semua pada terdiam dan gugup. Yamada sendiri tetap tegak ditempatnya yang mirip api yang membakar sumbu dinamit. Yang bisa meledakkan seluruh Jepang dalam peperangan yang lebih dahsyat. Seperti dikatakan, hampir seluruh balatentara Jepang tak menghendaki menyerah pada sekutu. Semua mereka siap untuk berperang sampai tetes darah terakhir. Itulah kenapa ribuan di antara mereka yang memilih mati bunuh diri dengan harakiri ketika Tennoheika tetap menyuruh mereka menyerah.
“Pembelaan terhadap terdakwa tak bisa diakui secara hukum. Terdakwa bukan warganegara Jepang.
Dan pembunuhan terhadap tentara Amerika yang sedang bertugas haruslah diadili oleh mahkamah perang”
Demikian oditur militer Amerika menuntut pembatalan persidangan secara terbuka ini.Dan pembunuhan terhadap tentara Amerika yang sedang bertugas haruslah diadili oleh mahkamah perang”
Ruang sidang itu sendiri penuh sesak. Ada sekitar lima ratus orang hadir.
Terdiri dari tentara Amerika dan penduduk sipil Jepang. Yamada, pembela dan ahli hukum terkenal itu segera bangkit.
“Terdakwa memang bukan orang Jepang. Tapi dia membunuh tentara Amerika karena membela seorang warganegara Jepang. Maka selayaknyalah kami orang Jepang membelanya”
Ucapannya mendapat tepuk tangan yang gemuruh dari pengunjung yang penduduk Jepang.
“Meski demikian, dia membunuh 2 tentara Amerika yang sedang bertugas….”
“Apa tugasnya? Memperkosa seorang gadis Jepang?” potong Yamada.
Tepuk tangan gemuruh lagi. Muka oditur Militer yang berpangkat Mayor itu jadi merah.
“Tak ada bukti yang menguatkan bahwa kedua tentara itu akan memperkosa seorang gadis Jepang. Mana buktinya. Buktinya haruslah gadis yang akan diperkosa itu sendiri….kami minta gadis itu diajukan sebagai saksi!”
Yamada benar-benar jadi terdiam. Semua isi pengadilan itu juga terdiam. Inilah kartu mati bagi Yamada. Dalam sebulan ini dia telah berusaha mencari tahu siapa gadis yang ditolong di hotel Asakusa. Namun usahanya sia-sia. Gadis itu tak pernah ditemui. Dan kini, kelemahannya itu dijadikan sebagai truf oleh Oditur untuk membatalkan persidangan ini. Pemilik penginapan yang diajukan sebagai saksi, hanya mengatakan bahwa kedua tentara itu datang membawa dua gadis. Sebenarnya mereka bertiga. Dan setelah mereka masuk kamar, dia tak tahu lagi apa yang terjadi. Dia hanya mendengar serentetan tembakan dan ketika dia muncul di kamar itu, kedua tentara itu telah mati.
Orang Indonesia yang menginap disana sudah lenyap entah kemana. Itulah kesaksian yang bisa dia berikan. Dia tak mengenal siapa gadis yang dibawa letnan Amerika itu.
Yamada sudah menyangka bahwa dia akan menghadapi kesulitan ini. Namun Tokugawa yang berdiri dibalik pembelaan terhadap si Bungsu ini, membayarnya amat tinggi untuk membela anak muda tersebut.“Bela dia sampai bebas. Sekurang-kurangnya hanya dihukum setahun dua.
Tentang biaya jangan tuan pikirkan.
Saya yang menjamin….” Kata Tokugawa.
Persidangan diundur untuk memberi kesempatan pada Yamada mencari saksi.
Tokugawa tak berani memasang iklan untuk memanggil gadis itu. Pihak lain bisa saja menjegal gadis tersebut di perjalanan. Terutama pihak Amerika yang ingin persidangan itu dilakukan secara Militer.
Maka Tokugawa menyapu seluruh toko, kantor, tempat-tempat mandi uap dan rumah-rumah pelacuran atau rumah-rumah pribadi dalam usaha mencari gadis tersebut.
Tapi mencari seorang gadis cantik di Tokyo dengan ciri-ciri yang samar-samar alangkah sulitnya. Di Tokyo ada ratusan ribu gadis cantik. Dan hampir semua punya ciri tubuh seperti gadis yang dikatakan si Bungsu. Bagaimana menandainya?
“Kami berpendapat, percuma sidang ini diadakan kalau tak ada saksi utama. Tak ada yang melihat atau mendengar bahwa ada perkosaan kecuali tertuduh. Dan tertuduh tak bisa diminta keterangannya sebagai saksi. Hukuman mati patut dijatuhkan padanya…” Oditur Militer itu berkata tegas setelah bertegang urat leher dengan Yamada.
Yamada bangkit.
Dia memandang keliling, kemudian memandang pada Hakim Militer yang mengadili perkara ini.
Dia memandang keliling, kemudian memandang pada Hakim Militer yang mengadili perkara ini.
“Amerika sudah cukup banyak membunuh orang di negeri ini. Hitunglah yang mati di kancah peperangan. Terakhir hitung pula mereka yang mati tanpa dosa di Hiroshima dan Nagasaki.
Dimakan Bom Atom laknat itu. Apakah kalian masih akan menambah angka kematian itu lagi?”
Dimakan Bom Atom laknat itu. Apakah kalian masih akan menambah angka kematian itu lagi?”
Tubuh Yamada sampai menggigil mengucapkan kalimat ini. Dia mengucapkan itu memang dengan penuh kebencian. Tapi juga dengan penuh tantangan.
Dia bisa diseret sebagai menghina tentara Amerika! Beberapa pejabat kota Tokyo pada duduk dengan pucat.
Meskipun yang diucapkan pembela itu adalah isi hati mereka, namun mereka menilai Yamada terlalu berani dengan ucapannya ini.
Dia bisa diseret sebagai menghina tentara Amerika! Beberapa pejabat kota Tokyo pada duduk dengan pucat.
Meskipun yang diucapkan pembela itu adalah isi hati mereka, namun mereka menilai Yamada terlalu berani dengan ucapannya ini.
Ruangan pengadilan itu jadi sepi.
Semua pada terdiam dan gugup. Yamada sendiri tetap tegak ditempatnya yang mirip api yang membakar sumbu dinamit. Yang bisa meledakkan seluruh Jepang dalam peperangan yang lebih dahsyat. Seperti dikatakan, hampir seluruh balatentara Jepang tak menghendaki menyerah pada sekutu. Semua mereka siap untuk berperang sampai tetes darah terakhir. Itulah kenapa ribuan di antara mereka yang memilih mati bunuh diri dengan harakiri ketika Tennoheika tetap menyuruh mereka menyerah.
Di Jepang (bagian 198)
Dan kini, masalah bom atom di Nagasaki dan Hiroshima itu merupakan sesuatu yang tak pernah dibicarakan orang. Sesuatu yang amat sensitif.
Akhirnya Hakim menarik nafas. Menjilat bibirnya. Kemudian bicara, suaranya terdengar tenang berwibawa:
“Anda benar tuan Yamada. Kami tak dapat lagi untuk menambah korban. Oleh karena itu peperangan harus dihentikan.
Pengadilan ini akan berjalan terus. Tak ada korban yang boleh jatuh dengan sia-sia.
Kedua tentara Amerika itu menurut file pemeriksaan sebelum tuan jadi pembela, membuktikan bahwa mereka memang membawa gadis ke penginapan itu.
Saya undurkan sidang ini 15 hari untuk memberi kesempatan pada anda tuan untuk mencari saksi utama itu. Saya juga akan memerintahkan Polisi Militer Amerika untuk mencari gadis itu. Demi kemurnian hukum”
Dan dia mengetukkan palunya.
Semua pengunjung di pengadilan bertepuk menyambut putusan Hakim yang luar biasa itu. Yamada sendiri sampai berpeluh karena tak yakin akan putusan itu.
Orang-orang pada berdatangan memberi salam padanya. Rasa simpati makin hari makin mengalir pada si Bungsu. Orang jadi tahu, bahwa pemuda asing dari negeri bekas jajahan Jepang ini diadili karena membela seorang gadis Jepang.
Dan terungkap pula, pemuda itu juga telah menyambung nyawanya melawan komplotan Jakuza dalam membela Hannako dan saudara-saudaranya.
Sebuah badan sosial mengumpulkan dana untuk membiayai pembelaan si Bungsu. semuanya berjalan tanpa diketahui oleh anak muda itu. Dia tetap berada dalam kamar tahanannya, dan sama sekali tak terpengaruh oleh jalannya sidang.
Baginya, bebas ya syukur. Dengan demikian bisa melanjutkan pencariannya terhadap saburo Matsuyama. Perwira Jepang yang membunuh keluarganya.
Kalau tak bebas dan dihukum kamti, dia juga tak keberatan. Dia sudah pasrah pada Tuhan. Apakah lagi yang paling pokok dalam kehidupan ini selain daripada pasrah pada kehendak Tuhan?
Orang yang telah berusaha, kemudian memasrahkan dirinya pada kehendak Tuhan YME, adalah orang yang paling bahagia.
Tenteram dan tenang hidupnya. Kebahagiaan, ketenteraman dan ketenangan hidup tidak terletak pada harta atau kekayaan. Tapi terletak pada hati.
Itulah yang dilakukan si Bungsu.
Memasrahkan dirinya pada kehendak Yang Satu!
Yamada tengah mempelajari berkas perkara itu di kantornya di daerah Ginza ketika tiga orang berpakaian parlente masuk.
“Kami dari Yayasan Universitas Tokyo. Ingin menyumbangkan pada tuan sedikit uang untuk membiayai pembelaan terhadap si Bungsu…” kata salah seorang diantara mereka.
Yamada menatap mereka. Pengacara terkenal dan termahal bayarannya ini kemudian tersenyum.
“Terimakasih. Semula saya memang menerima bayaran dari seseorang untuk membela pemuda itu. Tapi, semakin saya pelajari kasus ini, semakin saya malu pada diri saya. Kenapa saya harus menerima bayaran untuk membela orang ini?
Yang saya bela ini bukan seorang Indonesia. Lebih dari itu. Yang sedang diadili ini adalah harga diri dan moral orang Jepang.
Selama bertahun-tahun di negeri ini, terjadi erosi terhadap harga diri. Terjadi erosi terhadap moral bangsa.
Selama perang dunia berakhir, di negeri ini kota-kota berobah jadi neraka bagi penduduk. Kita tak lagi terharu melihat orang-orang yang teraniaya.
Kita tak lagi prihatin mendengar berita perkosaan terhadap perempuan-perempuan kita. Kita tak lagi peduli terhadap penderitaaan orang lain.
Padahal sebelum tentara Amerika menduduki negeri kita ini, kita terkenal sebagai bangsa yang berbudi halus. Terkenal sebagai masyarakat yang paling homogen di dunia. Kita cepat menaruh perhatian dan membantu penderitaan orang lain. Kini kemana semuanya itu? Kita kini saling menyelamatkan diri sendiri. Kita malah menjauh dari penderitaan orang lain.
Takut kalau-kalau kita terserang pula oleh penderitaan itu. Tiba-tiba seorang anak muda entah dari mana, entah siapa dia, datang kemari. Dia datang dari negeri yang pernah dijajah dan dirobek-robek oleh balatentara yang kita banggakan.
Dia datang dari negeri yang dimana ratusan ribu rakyat mati menjadi romusha.
Kerja paksa di hutan belantara. Dia datang dari negeri dimana balatentara Kemaharajaan Jepang pernah melakukan pembantaian-pembantaian yang tak berperikemanusian.
Dari sanalah dia datang. Dan untuk kalian ketahui, secara kejiwaan saya dapat menebak, anak muda ini datang kemari dengan membawa dendam yang dahsyat.
Dia mencari seseorang di negeri ini. Seseorang dari bangsa kita. Yang barangkali pernah membunuh sanak keluarganya. Dia datang untuk membalas dendam.
Tapi takkala dia tiba di negeri ini, di saat dia sebenarnya bisa membiarkan gadis di penginapan Asakusa itu ternoda oleh tentara Amerika. Atau di saat seorang gadis lain bernama Hannako dan saudara-saudaranya terancam dibunuh oleh Jakuza. Dia bisa saja membiarkannya. Apa guna dia ikut campur? Dia tak kenal dengan mereka.
Dan kini, masalah bom atom di Nagasaki dan Hiroshima itu merupakan sesuatu yang tak pernah dibicarakan orang. Sesuatu yang amat sensitif.
Akhirnya Hakim menarik nafas. Menjilat bibirnya. Kemudian bicara, suaranya terdengar tenang berwibawa:
“Anda benar tuan Yamada. Kami tak dapat lagi untuk menambah korban. Oleh karena itu peperangan harus dihentikan.
Pengadilan ini akan berjalan terus. Tak ada korban yang boleh jatuh dengan sia-sia.
Kedua tentara Amerika itu menurut file pemeriksaan sebelum tuan jadi pembela, membuktikan bahwa mereka memang membawa gadis ke penginapan itu.
Pengadilan ini akan berjalan terus. Tak ada korban yang boleh jatuh dengan sia-sia.
Kedua tentara Amerika itu menurut file pemeriksaan sebelum tuan jadi pembela, membuktikan bahwa mereka memang membawa gadis ke penginapan itu.
Saya undurkan sidang ini 15 hari untuk memberi kesempatan pada anda tuan untuk mencari saksi utama itu. Saya juga akan memerintahkan Polisi Militer Amerika untuk mencari gadis itu. Demi kemurnian hukum”
Dan dia mengetukkan palunya.
Semua pengunjung di pengadilan bertepuk menyambut putusan Hakim yang luar biasa itu. Yamada sendiri sampai berpeluh karena tak yakin akan putusan itu.
Orang-orang pada berdatangan memberi salam padanya. Rasa simpati makin hari makin mengalir pada si Bungsu. Orang jadi tahu, bahwa pemuda asing dari negeri bekas jajahan Jepang ini diadili karena membela seorang gadis Jepang.
Dan terungkap pula, pemuda itu juga telah menyambung nyawanya melawan komplotan Jakuza dalam membela Hannako dan saudara-saudaranya.
Semua pengunjung di pengadilan bertepuk menyambut putusan Hakim yang luar biasa itu. Yamada sendiri sampai berpeluh karena tak yakin akan putusan itu.
Orang-orang pada berdatangan memberi salam padanya. Rasa simpati makin hari makin mengalir pada si Bungsu. Orang jadi tahu, bahwa pemuda asing dari negeri bekas jajahan Jepang ini diadili karena membela seorang gadis Jepang.
Dan terungkap pula, pemuda itu juga telah menyambung nyawanya melawan komplotan Jakuza dalam membela Hannako dan saudara-saudaranya.
Sebuah badan sosial mengumpulkan dana untuk membiayai pembelaan si Bungsu. semuanya berjalan tanpa diketahui oleh anak muda itu. Dia tetap berada dalam kamar tahanannya, dan sama sekali tak terpengaruh oleh jalannya sidang.
Baginya, bebas ya syukur. Dengan demikian bisa melanjutkan pencariannya terhadap saburo Matsuyama. Perwira Jepang yang membunuh keluarganya.
Kalau tak bebas dan dihukum kamti, dia juga tak keberatan. Dia sudah pasrah pada Tuhan. Apakah lagi yang paling pokok dalam kehidupan ini selain daripada pasrah pada kehendak Tuhan?
Orang yang telah berusaha, kemudian memasrahkan dirinya pada kehendak Tuhan YME, adalah orang yang paling bahagia.
Tenteram dan tenang hidupnya. Kebahagiaan, ketenteraman dan ketenangan hidup tidak terletak pada harta atau kekayaan. Tapi terletak pada hati.
Tenteram dan tenang hidupnya. Kebahagiaan, ketenteraman dan ketenangan hidup tidak terletak pada harta atau kekayaan. Tapi terletak pada hati.
Itulah yang dilakukan si Bungsu.
Memasrahkan dirinya pada kehendak Yang Satu!
Memasrahkan dirinya pada kehendak Yang Satu!
Yamada tengah mempelajari berkas perkara itu di kantornya di daerah Ginza ketika tiga orang berpakaian parlente masuk.
“Kami dari Yayasan Universitas Tokyo. Ingin menyumbangkan pada tuan sedikit uang untuk membiayai pembelaan terhadap si Bungsu…” kata salah seorang diantara mereka.
Yamada menatap mereka. Pengacara terkenal dan termahal bayarannya ini kemudian tersenyum.
“Terimakasih. Semula saya memang menerima bayaran dari seseorang untuk membela pemuda itu. Tapi, semakin saya pelajari kasus ini, semakin saya malu pada diri saya. Kenapa saya harus menerima bayaran untuk membela orang ini?
Yang saya bela ini bukan seorang Indonesia. Lebih dari itu. Yang sedang diadili ini adalah harga diri dan moral orang Jepang.
Selama bertahun-tahun di negeri ini, terjadi erosi terhadap harga diri. Terjadi erosi terhadap moral bangsa.
Selama perang dunia berakhir, di negeri ini kota-kota berobah jadi neraka bagi penduduk. Kita tak lagi terharu melihat orang-orang yang teraniaya.
Kita tak lagi prihatin mendengar berita perkosaan terhadap perempuan-perempuan kita. Kita tak lagi peduli terhadap penderitaaan orang lain.
Padahal sebelum tentara Amerika menduduki negeri kita ini, kita terkenal sebagai bangsa yang berbudi halus. Terkenal sebagai masyarakat yang paling homogen di dunia. Kita cepat menaruh perhatian dan membantu penderitaan orang lain. Kini kemana semuanya itu? Kita kini saling menyelamatkan diri sendiri. Kita malah menjauh dari penderitaan orang lain.
Takut kalau-kalau kita terserang pula oleh penderitaan itu. Tiba-tiba seorang anak muda entah dari mana, entah siapa dia, datang kemari. Dia datang dari negeri yang pernah dijajah dan dirobek-robek oleh balatentara yang kita banggakan.
Dia datang dari negeri yang dimana ratusan ribu rakyat mati menjadi romusha.
Kerja paksa di hutan belantara. Dia datang dari negeri dimana balatentara Kemaharajaan Jepang pernah melakukan pembantaian-pembantaian yang tak berperikemanusian.
Dari sanalah dia datang. Dan untuk kalian ketahui, secara kejiwaan saya dapat menebak, anak muda ini datang kemari dengan membawa dendam yang dahsyat.
Selama bertahun-tahun di negeri ini, terjadi erosi terhadap harga diri. Terjadi erosi terhadap moral bangsa.
Selama perang dunia berakhir, di negeri ini kota-kota berobah jadi neraka bagi penduduk. Kita tak lagi terharu melihat orang-orang yang teraniaya.
Kita tak lagi prihatin mendengar berita perkosaan terhadap perempuan-perempuan kita. Kita tak lagi peduli terhadap penderitaaan orang lain.
Padahal sebelum tentara Amerika menduduki negeri kita ini, kita terkenal sebagai bangsa yang berbudi halus. Terkenal sebagai masyarakat yang paling homogen di dunia. Kita cepat menaruh perhatian dan membantu penderitaan orang lain. Kini kemana semuanya itu? Kita kini saling menyelamatkan diri sendiri. Kita malah menjauh dari penderitaan orang lain.
Takut kalau-kalau kita terserang pula oleh penderitaan itu. Tiba-tiba seorang anak muda entah dari mana, entah siapa dia, datang kemari. Dia datang dari negeri yang pernah dijajah dan dirobek-robek oleh balatentara yang kita banggakan.
Dia datang dari negeri yang dimana ratusan ribu rakyat mati menjadi romusha.
Kerja paksa di hutan belantara. Dia datang dari negeri dimana balatentara Kemaharajaan Jepang pernah melakukan pembantaian-pembantaian yang tak berperikemanusian.
Dari sanalah dia datang. Dan untuk kalian ketahui, secara kejiwaan saya dapat menebak, anak muda ini datang kemari dengan membawa dendam yang dahsyat.
Dia mencari seseorang di negeri ini. Seseorang dari bangsa kita. Yang barangkali pernah membunuh sanak keluarganya. Dia datang untuk membalas dendam.
Tapi takkala dia tiba di negeri ini, di saat dia sebenarnya bisa membiarkan gadis di penginapan Asakusa itu ternoda oleh tentara Amerika. Atau di saat seorang gadis lain bernama Hannako dan saudara-saudaranya terancam dibunuh oleh Jakuza. Dia bisa saja membiarkannya. Apa guna dia ikut campur? Dia tak kenal dengan mereka.
Di Jepang (bagian 199)
Tapi ternyata dia tak berlaku masa bodoh. Dia menyimpan dendam yang dia bawa menyeberang laut itu di dalam hatinya. Tapi turun tangan mempertaruhkan keselamatan dan nyawanya untuk membantu gadis itu di Asakusa. Dan dia turun tangan membantu Hannako dan saudara-saudaranya dari ancaman Jakuza.
Anak muda Indonesia ini, yang berasal dari Gunung Sago, dari sebuah kampung kecil bernama Situjuh Ladang Laweh di Minangkabau, yang dia perbuat di sini hanya dapat disimpulkan dengan satu kalimat : dia telah membela harga diri orang Jepang. Dia membelanya, disaat orang Jepang sendiri berlaku Homo Homonilupus. Orang Jepang yang satu jadi serigala bagi orang Jepang lain.
Saya bisa buktikan itu dengan ketidak acuhan kita terhadap sesama bangsa. Saya berani buktikan itu dengan ribuan manusia yang kini hidup di terowongan bawah tanah. Ribuan kanak-kanak tanpa orang tua. Ribuan orang miskin tanpa tempat berteduh. Sementara kita di atas ini hidup serba berkecukupan.
Saya merasa malu pada diri saya. Kenapa tak sadari dulu saya bela anak ini. Saya telah menerima bayaran cukup tinggi dari seseorang yang tak mau disebutkan nama dan alamatnya.
Uang bayarannya yang tinggi untuk menyelamatkan anak muda itu telah saya kembalikan dua hari yang lalu. Dan kini saya akan membelanya mati-matian, kalau sampai dia tak bisa saya bebaskan, saya tidak hanya akan berhenti menjadi pengacara, tapi saya akan berhenti jadi orang Jepang! Saya akan harakiri!
Demi Budha, saya akan menepati sumpah saya ini. Membebaskannya atau bunuh diri. Dan kini, tuan-tuan datang kepada saya untuk menyerahkan uang pembayar pembelaan anak muda itu. Seharusnya saya marah, tapi karena tuan-tuan tak tahu, tak apalah.
Bawalah uang itu kembali. Serahkan pada yayasan lain. Bantu anak-anak yang ada dalam terowongan itu. Bantu orang-orang miskin itu. Tentang pembelaan anak muda ini, serahkan pada saya. Seluruh kekayaan saya akan saya pergunakan untuk menyelesaikan perkara ini”
Yasuaki Yamada berhenti.
Matanya berkaca-kaca.
Namun wajahnya memperlihatkan sikap yang teguh. Ketiga lelaki, yang terdiri dari para Sarjana Universitas Tokyo itu, yang datang menyerahkan bantuan, duduk terdiam seperti patung mendengarkan ucapan pengacara mashyur tersebut.
“Lalu, apa yang bisa kami perbuat untuk membantu membebaskan anak Indonesia itu?” tanya salah seorang di antara mereka.
Yamada menarik nafas panjang.
“Ada satu hal, dan itu adalah soal terbesar yang bisa tuan bantu. Yaitu mencari gadis yang akan diperkosa tentara Amerika itu, yang kemudian dibela oleh si Bungsu.
sampai saat ini saya belum bisa menemukannya. Jejaknya lenyap seperti salju yang mencair kemudian menguap lagi ke udara.
Kita tak tahu siapa namanya. Dimana tinggalnya, nah tolonglah saya mencari gadis ini.
Kalau dia bertemu, dan dia berada dipihak kita, maka saya yakin anak muda itu bisa dibebaskan…”
Dan akhirnya soal itulah yang mereka rembukan. Bagaimana mencari gadis tersebut.
“Apakah tuan telah menanyakan pada pihak Polisi Milter Amerika tentang gadis itu?
Mungkin saja mereka mengetahui datanya…”
“Saya sudah tanyakan hal itu.
Mereka memang mengakui menahan gadis itu semalam. Lalu dilepas lagi. Tapi mereka mengatakan tak menanyakan namanya dan tak mencatat alamat siapa-siapa…”
“Itu adalah dusta sama sekali…” kata seorang profesor diantara anggota Tokyo University itu.
“Ya. Saya tahu itu dusta yang paling jahanam. Tapi mereka memang berhak berbuat begitu menurut hukum di negeri mereka. Kitalah yang harus mencari bahan bukti…”
“Apakah tak bisa didesak agar pengadilan itu diadili oleh Hakim Jepang. Bukankah negeri ini bukan negeri Amerika, sehingga secara Juridis hukum Amerika tak bisa diterapkan disini?”
“Ucapan tuan benar seandainya negeri kita tidak kalah perang.
Status negeri kita ini, diatas sedikit dari negeri jajahan, tak memungkinkan hal itu terjadi.
Mereka berhak menerapkan pengadilan menurut sistim di negeri mereka, karena yang terbunuh justru tentara mereka.
Hukum negeri kita bisa dipakai kalau kedua belah pihak yang diadili tidak ada sangkut pautnya dengan warganegara atau kepentingan orang Amerika”
“Apakah namanya juga tak diketahui?”
“Pihak Amerika mengatakan Michiko atau Machiko. Mereka tak begitu jelas perbedaaannya. Soalnya gadis itu masih nerfus malam itu”
“Michiko, Machiko…ribuan gadis bernama seperti itu di kota ini…”
“Ya, itulah kesulitannya.
Apalagi pihak Amerika katanya tak menyanyakan siapa nama keluarganya. Tak pula mencatat alamatnya. Menurut proses verbal, gadis itu didapat oleh tentara Amerika dari suatu taman di tengah kota. Kalau keterangan itu benar, maka gadis itu pastilah kupu-kupu malam.
Tapi ternyata dia tak berlaku masa bodoh. Dia menyimpan dendam yang dia bawa menyeberang laut itu di dalam hatinya. Tapi turun tangan mempertaruhkan keselamatan dan nyawanya untuk membantu gadis itu di Asakusa. Dan dia turun tangan membantu Hannako dan saudara-saudaranya dari ancaman Jakuza.
Anak muda Indonesia ini, yang berasal dari Gunung Sago, dari sebuah kampung kecil bernama Situjuh Ladang Laweh di Minangkabau, yang dia perbuat di sini hanya dapat disimpulkan dengan satu kalimat : dia telah membela harga diri orang Jepang. Dia membelanya, disaat orang Jepang sendiri berlaku Homo Homonilupus. Orang Jepang yang satu jadi serigala bagi orang Jepang lain.
Saya bisa buktikan itu dengan ketidak acuhan kita terhadap sesama bangsa. Saya berani buktikan itu dengan ribuan manusia yang kini hidup di terowongan bawah tanah. Ribuan kanak-kanak tanpa orang tua. Ribuan orang miskin tanpa tempat berteduh. Sementara kita di atas ini hidup serba berkecukupan.
Saya merasa malu pada diri saya. Kenapa tak sadari dulu saya bela anak ini. Saya telah menerima bayaran cukup tinggi dari seseorang yang tak mau disebutkan nama dan alamatnya.
Uang bayarannya yang tinggi untuk menyelamatkan anak muda itu telah saya kembalikan dua hari yang lalu. Dan kini saya akan membelanya mati-matian, kalau sampai dia tak bisa saya bebaskan, saya tidak hanya akan berhenti menjadi pengacara, tapi saya akan berhenti jadi orang Jepang! Saya akan harakiri!
Demi Budha, saya akan menepati sumpah saya ini. Membebaskannya atau bunuh diri. Dan kini, tuan-tuan datang kepada saya untuk menyerahkan uang pembayar pembelaan anak muda itu. Seharusnya saya marah, tapi karena tuan-tuan tak tahu, tak apalah.
Bawalah uang itu kembali. Serahkan pada yayasan lain. Bantu anak-anak yang ada dalam terowongan itu. Bantu orang-orang miskin itu. Tentang pembelaan anak muda ini, serahkan pada saya. Seluruh kekayaan saya akan saya pergunakan untuk menyelesaikan perkara ini”
Yasuaki Yamada berhenti.
Matanya berkaca-kaca.
Namun wajahnya memperlihatkan sikap yang teguh. Ketiga lelaki, yang terdiri dari para Sarjana Universitas Tokyo itu, yang datang menyerahkan bantuan, duduk terdiam seperti patung mendengarkan ucapan pengacara mashyur tersebut.
Namun wajahnya memperlihatkan sikap yang teguh. Ketiga lelaki, yang terdiri dari para Sarjana Universitas Tokyo itu, yang datang menyerahkan bantuan, duduk terdiam seperti patung mendengarkan ucapan pengacara mashyur tersebut.
“Lalu, apa yang bisa kami perbuat untuk membantu membebaskan anak Indonesia itu?” tanya salah seorang di antara mereka.
Yamada menarik nafas panjang.
“Ada satu hal, dan itu adalah soal terbesar yang bisa tuan bantu. Yaitu mencari gadis yang akan diperkosa tentara Amerika itu, yang kemudian dibela oleh si Bungsu.
sampai saat ini saya belum bisa menemukannya. Jejaknya lenyap seperti salju yang mencair kemudian menguap lagi ke udara.
Kita tak tahu siapa namanya. Dimana tinggalnya, nah tolonglah saya mencari gadis ini.
Kalau dia bertemu, dan dia berada dipihak kita, maka saya yakin anak muda itu bisa dibebaskan…”
Dan akhirnya soal itulah yang mereka rembukan. Bagaimana mencari gadis tersebut.
“Apakah tuan telah menanyakan pada pihak Polisi Milter Amerika tentang gadis itu?
Mungkin saja mereka mengetahui datanya…”
Mungkin saja mereka mengetahui datanya…”
“Saya sudah tanyakan hal itu.
Mereka memang mengakui menahan gadis itu semalam. Lalu dilepas lagi. Tapi mereka mengatakan tak menanyakan namanya dan tak mencatat alamat siapa-siapa…”
Mereka memang mengakui menahan gadis itu semalam. Lalu dilepas lagi. Tapi mereka mengatakan tak menanyakan namanya dan tak mencatat alamat siapa-siapa…”
“Itu adalah dusta sama sekali…” kata seorang profesor diantara anggota Tokyo University itu.
“Ya. Saya tahu itu dusta yang paling jahanam. Tapi mereka memang berhak berbuat begitu menurut hukum di negeri mereka. Kitalah yang harus mencari bahan bukti…”
“Apakah tak bisa didesak agar pengadilan itu diadili oleh Hakim Jepang. Bukankah negeri ini bukan negeri Amerika, sehingga secara Juridis hukum Amerika tak bisa diterapkan disini?”
“Ucapan tuan benar seandainya negeri kita tidak kalah perang.
Status negeri kita ini, diatas sedikit dari negeri jajahan, tak memungkinkan hal itu terjadi.
Mereka berhak menerapkan pengadilan menurut sistim di negeri mereka, karena yang terbunuh justru tentara mereka.
Hukum negeri kita bisa dipakai kalau kedua belah pihak yang diadili tidak ada sangkut pautnya dengan warganegara atau kepentingan orang Amerika”
Status negeri kita ini, diatas sedikit dari negeri jajahan, tak memungkinkan hal itu terjadi.
Mereka berhak menerapkan pengadilan menurut sistim di negeri mereka, karena yang terbunuh justru tentara mereka.
Hukum negeri kita bisa dipakai kalau kedua belah pihak yang diadili tidak ada sangkut pautnya dengan warganegara atau kepentingan orang Amerika”
“Apakah namanya juga tak diketahui?”
“Pihak Amerika mengatakan Michiko atau Machiko. Mereka tak begitu jelas perbedaaannya. Soalnya gadis itu masih nerfus malam itu”
“Michiko, Machiko…ribuan gadis bernama seperti itu di kota ini…”
“Ya, itulah kesulitannya.
Apalagi pihak Amerika katanya tak menyanyakan siapa nama keluarganya. Tak pula mencatat alamatnya. Menurut proses verbal, gadis itu didapat oleh tentara Amerika dari suatu taman di tengah kota. Kalau keterangan itu benar, maka gadis itu pastilah kupu-kupu malam.
Apalagi pihak Amerika katanya tak menyanyakan siapa nama keluarganya. Tak pula mencatat alamatnya. Menurut proses verbal, gadis itu didapat oleh tentara Amerika dari suatu taman di tengah kota. Kalau keterangan itu benar, maka gadis itu pastilah kupu-kupu malam.
Di Jepang (bagian 200)
Tapi saya tak yakin, sebab menurut si Bungsu, si gadis menangis tak mau dinodai.
Terjadi pergumulan cukup lama. Si Bungsu mendengar suara gadis itu merintih…jangan, jangan nodai saya. Jangan! Itu suatu pertanda, bahwa gadis itu bukan seorang pelacur. Dia pastilah seorang gadis baik-baik.
Hanya kenapa sampai ke taman itu dimana berkumpul pelacur-pelacur yang lain? Inilah hal-hal yang menyulitkan pencaharian terhadap gadis itu.
Saya juga telah menanyai dua perempuan yang sama-sama dibawa ke penginapan Asakusa itu. Kedua perempuan itu yang telah lama beroperasi sebagai pelacur mengatakan bahwa mereka baru malam itu bertemu dengan gadis itu. Mereka tak mengenalnya sebelum peritiwa itu”
“Ya, di Universitas juga ada ratusan mahasiswi yang bernama Michiko atau Machiko…” kata ketua Yayasan yang bergelar Profesor itu.
Mereka semua terdiam. Dan peradilan itu akhirnya dideponir oleh pihak Amerika. Meski dibawah peraturan yang sangat ketat, namun puluhan mahasiswa dan penduduk sipil suatu hari membawa poster berdemonstrasi menuntut pembebasan si Bungsu.
Tak kurang dari Jenderal Mac Arthur sendiri yang turun tangan mendeponir perkara ini.
Jenderal ini adalah Panglima balatentara sekutu untuk wilayah Pasifik.
Dia bersama pasukannya semula “terusir” dari Filiphina oleh tentara Jepang.
Tapi dalam suatu pertarungan ulang, dia berhasil “revans” dan tidak hanya merebut Filiphina saja, tapi menaklukan seluruh kawasan Asia yang diduduki Jepang. Termasuk menduduki Jepang sendiri!
Laporan tentang terbunuhnya 2 orang pasukan di Asakusa itu disampaikan padanya oleh pihak Peradilan Amerika.
Saat itu, masalah tersebut menjadi pembicaraan semua pihak di Tokyo.
Pentagon, yaitu Kementerian Pertahanan Amerika Serikat yang mendapat laporan peristiwa itu melalui badan Intelijen Internasional FBI, segera menekan Jenderal Mac Arthur untuk mendeponir persoalan tersebut.
“Mata dunia tengah diarahakan ke Jepang sejak jatuhnya Bom Atom di Nagasaki dan Hiroshima. Masalah fasisme Jepang bisa dilupakan orang jika persoalan perikemanusian diungkit. Karena itu, pihak Tentara haruslah menghindarkan sedapat mungkin timbulnya emosi massa yang menyebabkan kerusuhan di Jepang.
Persoalan terbunuhnya Letnan Richard dan sersan Young di Penginapan Asakusa Tokyo, saat ini merupakan sebuah dinamit yang siap meledak berupa kerusuhan anti Amerika di kota itu.
Jika hal ini dibiarkan, maka tak dapat tidak, Amerika akan menghadapi kesulitan baru. Penduduk Jepang yang fanatik itu akan tepancing solidaritas nasional mereka. Issu yang tercipta saat ini sangat rawan. Yaitu membela harga diri dan Kehormatan Bangsa Jepang.
Dalam kasus Asakusa, Letnan Richard dan sersan Young di duga bersalah karena bermaksud memperkosa seorang gadis.
Karena itu, pihak tentara hendaknya mendeponir peristiwa ini. Pengaturannya agar tak menjadi hal yang membesar di kalangan masyarakat, bisa dibicarakan dengan pembela si tertuduh. Yaitu pengacara Yasuaki Yamada.
Perlindungan terhadap tentara Amerika di negeri pendudukan adalah penting. Namun perlindungan terhadap nama baik seluruh Bangsa Amerika jauh lebih penting dari segalanya. Jangan sampai dunia internasional mengetahui, bahwa peradilannya membela seorang pemerkosa.
Demikian bunyi radiogram Menteri Pertahanan Amerika yang mengepalai Pentagon . Radiogram itu ditujukan kepada Panglima Angkatan Perang Amerika di wilayah Pasifik, Jenderal Mac Arthur.
Bunyi radiogram itu adalah yang terkeras yang pernah diterima Mac Arthur selama dia menjadi Panglima Wilayah Pasifik. Bahkan ketika dia melarikan diri dari pulau Bataan di Filiphina, diburu oleh balatentara Jepang, pihak Pentagon justru memberi radiogram yang membangkitkan semangat. Tidak mencapnya sebagai pengecut yang meninggalkan medan perang. Padahal waktu itu dia meninggalkan 3 bataliyon pasukannya di pulau itu. Dan ketiga bataliyon itu dihancurkan separoh oleh Jepang. Separohnya lagi menyerah.
Dengan radiogram kasus Asakusa ini, jelas pihak Pentagon lebih mementingkan suatu “Stabilitas” di Jepang daripada harus membela dua orang tentaranya yang mati. Sebab mereka juga merasa ragu akan kebenaran tentara yang mati itu.
Yang jelas, ke 2 tentara itu mati dalam pakaian tak senonoh. Di penginapan pula. Jauh dari pos dimana mereka seharusnya berada.
Jenderal Mac Arthur sendiri nampaknya menyetujui sikap Pentagon itu. Bukan karena dia ‘takut” akan sanksinya. Sebab sudah bukan rahasia lagi, seorang Jenderal yang paling berkuasa sekalipun bisa digeser atau dipecat oleh seorang Menteri Pertahanan yang mengepalai Pentagon. Dan bukannya tak jarang, Menteri Pertahanan itu adalah seorang sipil. Namun kekuasaannya dipatuhi oleh semua Jenderal.
Tapi saya tak yakin, sebab menurut si Bungsu, si gadis menangis tak mau dinodai.
Terjadi pergumulan cukup lama. Si Bungsu mendengar suara gadis itu merintih…jangan, jangan nodai saya. Jangan! Itu suatu pertanda, bahwa gadis itu bukan seorang pelacur. Dia pastilah seorang gadis baik-baik.
Hanya kenapa sampai ke taman itu dimana berkumpul pelacur-pelacur yang lain? Inilah hal-hal yang menyulitkan pencaharian terhadap gadis itu.
Terjadi pergumulan cukup lama. Si Bungsu mendengar suara gadis itu merintih…jangan, jangan nodai saya. Jangan! Itu suatu pertanda, bahwa gadis itu bukan seorang pelacur. Dia pastilah seorang gadis baik-baik.
Hanya kenapa sampai ke taman itu dimana berkumpul pelacur-pelacur yang lain? Inilah hal-hal yang menyulitkan pencaharian terhadap gadis itu.
Saya juga telah menanyai dua perempuan yang sama-sama dibawa ke penginapan Asakusa itu. Kedua perempuan itu yang telah lama beroperasi sebagai pelacur mengatakan bahwa mereka baru malam itu bertemu dengan gadis itu. Mereka tak mengenalnya sebelum peritiwa itu”
“Ya, di Universitas juga ada ratusan mahasiswi yang bernama Michiko atau Machiko…” kata ketua Yayasan yang bergelar Profesor itu.
Mereka semua terdiam. Dan peradilan itu akhirnya dideponir oleh pihak Amerika. Meski dibawah peraturan yang sangat ketat, namun puluhan mahasiswa dan penduduk sipil suatu hari membawa poster berdemonstrasi menuntut pembebasan si Bungsu.
Tak kurang dari Jenderal Mac Arthur sendiri yang turun tangan mendeponir perkara ini.
Jenderal ini adalah Panglima balatentara sekutu untuk wilayah Pasifik.
Jenderal ini adalah Panglima balatentara sekutu untuk wilayah Pasifik.
Dia bersama pasukannya semula “terusir” dari Filiphina oleh tentara Jepang.
Tapi dalam suatu pertarungan ulang, dia berhasil “revans” dan tidak hanya merebut Filiphina saja, tapi menaklukan seluruh kawasan Asia yang diduduki Jepang. Termasuk menduduki Jepang sendiri!
Tapi dalam suatu pertarungan ulang, dia berhasil “revans” dan tidak hanya merebut Filiphina saja, tapi menaklukan seluruh kawasan Asia yang diduduki Jepang. Termasuk menduduki Jepang sendiri!
Laporan tentang terbunuhnya 2 orang pasukan di Asakusa itu disampaikan padanya oleh pihak Peradilan Amerika.
Saat itu, masalah tersebut menjadi pembicaraan semua pihak di Tokyo.
Pentagon, yaitu Kementerian Pertahanan Amerika Serikat yang mendapat laporan peristiwa itu melalui badan Intelijen Internasional FBI, segera menekan Jenderal Mac Arthur untuk mendeponir persoalan tersebut.
“Mata dunia tengah diarahakan ke Jepang sejak jatuhnya Bom Atom di Nagasaki dan Hiroshima. Masalah fasisme Jepang bisa dilupakan orang jika persoalan perikemanusian diungkit. Karena itu, pihak Tentara haruslah menghindarkan sedapat mungkin timbulnya emosi massa yang menyebabkan kerusuhan di Jepang.
“Mata dunia tengah diarahakan ke Jepang sejak jatuhnya Bom Atom di Nagasaki dan Hiroshima. Masalah fasisme Jepang bisa dilupakan orang jika persoalan perikemanusian diungkit. Karena itu, pihak Tentara haruslah menghindarkan sedapat mungkin timbulnya emosi massa yang menyebabkan kerusuhan di Jepang.
Persoalan terbunuhnya Letnan Richard dan sersan Young di Penginapan Asakusa Tokyo, saat ini merupakan sebuah dinamit yang siap meledak berupa kerusuhan anti Amerika di kota itu.
Jika hal ini dibiarkan, maka tak dapat tidak, Amerika akan menghadapi kesulitan baru. Penduduk Jepang yang fanatik itu akan tepancing solidaritas nasional mereka. Issu yang tercipta saat ini sangat rawan. Yaitu membela harga diri dan Kehormatan Bangsa Jepang.
Dalam kasus Asakusa, Letnan Richard dan sersan Young di duga bersalah karena bermaksud memperkosa seorang gadis.
Karena itu, pihak tentara hendaknya mendeponir peristiwa ini. Pengaturannya agar tak menjadi hal yang membesar di kalangan masyarakat, bisa dibicarakan dengan pembela si tertuduh. Yaitu pengacara Yasuaki Yamada.
Perlindungan terhadap tentara Amerika di negeri pendudukan adalah penting. Namun perlindungan terhadap nama baik seluruh Bangsa Amerika jauh lebih penting dari segalanya. Jangan sampai dunia internasional mengetahui, bahwa peradilannya membela seorang pemerkosa.
Demikian bunyi radiogram Menteri Pertahanan Amerika yang mengepalai Pentagon . Radiogram itu ditujukan kepada Panglima Angkatan Perang Amerika di wilayah Pasifik, Jenderal Mac Arthur.
Bunyi radiogram itu adalah yang terkeras yang pernah diterima Mac Arthur selama dia menjadi Panglima Wilayah Pasifik. Bahkan ketika dia melarikan diri dari pulau Bataan di Filiphina, diburu oleh balatentara Jepang, pihak Pentagon justru memberi radiogram yang membangkitkan semangat. Tidak mencapnya sebagai pengecut yang meninggalkan medan perang. Padahal waktu itu dia meninggalkan 3 bataliyon pasukannya di pulau itu. Dan ketiga bataliyon itu dihancurkan separoh oleh Jepang. Separohnya lagi menyerah.
Dengan radiogram kasus Asakusa ini, jelas pihak Pentagon lebih mementingkan suatu “Stabilitas” di Jepang daripada harus membela dua orang tentaranya yang mati. Sebab mereka juga merasa ragu akan kebenaran tentara yang mati itu.
Yang jelas, ke 2 tentara itu mati dalam pakaian tak senonoh. Di penginapan pula. Jauh dari pos dimana mereka seharusnya berada.
Jenderal Mac Arthur sendiri nampaknya menyetujui sikap Pentagon itu. Bukan karena dia ‘takut” akan sanksinya. Sebab sudah bukan rahasia lagi, seorang Jenderal yang paling berkuasa sekalipun bisa digeser atau dipecat oleh seorang Menteri Pertahanan yang mengepalai Pentagon. Dan bukannya tak jarang, Menteri Pertahanan itu adalah seorang sipil. Namun kekuasaannya dipatuhi oleh semua Jenderal.
Di Jepang (bagian 201)
Mac Arthur tidak takut pada “Kekuasaan” Pentagon ini.
Namun dia merasa bahwa anak buahnya memang bersalah.
Karena itu dia menyetujui untuk mendeponir peristiwa itu.
Sebab, adalah kurang enak pula bila harus
menyalahkan bawahan sendiri di negri jajahan itu.
Perundingan dengan Yamada, pengacara yang membela si Bungsu segera diadakan.
Yamada menyetujui pendeponiran itu. Baginya juga menyulitkan untuk membebaskan si Bungsu secara murni. Sebab gadis yang ditolong itu tak pernah bersua. Bagi Yamada bukan masalah popularitasnya bisa membela si Bungsu yang penting. Yang sangat penting baginya adalah membebaskan anak muda itu. Maka untuk jalan pertama, si Bungsu dipindahkan ke kota Odawara. Sebuah kota kecil di selatan Tokyo. Kota yang terletak di pinggir laut.
Sebulan di sana, ketika persoalan itu sudah agak dingin, dia dipindahkan lagi ke Tokyo. Dan suatu hari dimusim panas di bulan Shichigatsu (Juli) dia dibebaskan dari tahanan.
Tubuhnya kelihatan agak gemuk dengan rambut agak gondrong. Meski tahanan dalam kasus pembunuhan, namun Polisi Militer Amerika memperlakukannya dengan hormat sejak awal ditahan. Dalam sistim peradilan di Amerika, setiap orang tetap belum bersalah sebelum diputus oleh Pengadilan. Maka itulah sebabnya dia tetap dihormati dan diperlakukan dengan baik ditahanan.
Ketika hari pembebasannya tiba, yang menantinya di luar adalah Yamada dan Tokugawa. Dia tegak tertegun melihat kehadiran tokoh Jakuza itu. Dia tak mengerti kenapa Tokugawa bisa hadir di sana. Sebab tak seorangpun yang menceritakan bahwa proses pembebasannya pada awalnya diusahakan oleh Tokugawa. Hannako dan Kenji yang sesekali sempat menjenguk ke tahanan juga tak menceritakan hal itu. Tokugawa melarang mereka menceritakan hal tersebut. Tapi ketika pembebasannya, dia tak melihat kehadiran Hanako dan Kenji, serta adik-adiknya. Yamada lah yang pertama datang menyalaminya di pintu tahanan.
“Engkau telah membela harga diri dan kebanggaan bangsa kami…terimakasih banyak Bungsu-san” pengacara terkenal itu bicara dengan terharu sambil menyalami tangan si Bungsu dengan erat.
“Terimakasih atas bantuan tuan….” Katanya.
Kemudian dia menoleh pada Tokugawa yang tetap tegak di sisi mobilnya. Mereka saling bertatapan. Sungguh, si Bungsu tak mengetahui arti kehadiran Tokugawa di sana.
Lelaki tua yang gagah itu akhirnya tersenyum lembut. Si Bungsu tetap tegak ketika dia melangkah mendekatinya. Tokugawa mengulurkan tangan. Si Bungsu menyambutnya. Jabat tangan lelaki tua itu terasa kukuh dan penuh persahabatan.
“Selamat atas kebebasanmu Bungsu-san…”
“Arigato gozaimasu…” jawab si Bungsu.
Matanya mencari-cari kalau-kalau ada Kenji dan Hanako.
Tapi kedua orang itu tak kelihatan.
Tokugawa mengerti siapa yang dicari si Bungsu.
“Mereka sengaja tak kami beritahu tentang kebebasanmu ini. Sebab pihak tentara Amerika menghendaki agar kebebasanmu tidak begitu tersiar. Secara psikologis kurang mengenakkan bagi tentara Amerika. Tapi mereka tetap sehat wal afiat. Dan saya menjaganya terus, seperti yang pernah saya janjikan padamu…”
“Domo arigato gozaimasu…” jawab si Bungsu terharu.
“Kalian nampaknya sudah saling kenal…” kata pengacara Yamada memutus.
“Ya, kami sudah saling mengenal…” Tokugawa memutus.
“Tuan inilah yang pertama kali mengusahakan pembebasanmu Bungsu….” Yamada menjelaskan.
Dan tiba-tiba si Bungsu menjadi sadar akan latar belakang usaha pembebasannya. Dia menatap Tokugawa. Tapi Tokugawa segera menyilahkan dia masuk ke mobil.
“Mari kita berangkat…” katanya.
Dan di dalam mobil secara selintas menceritakan bahwa dia mengetahui si Bungsu ditangkap Polisi Militer Amerika dari Kenji.
Kenji datang ke kantornya dan minta agar Tokugawa membebaskan si Bungsu. Si Bungsu merasa terharu sekali atas bantuan Kenji dan adik-adiknya.
“Maaf, apakah engkau kami antar ke rumah Hannako? Yamada memutus cerita, si Bungsu tak segera menjawab.
“Apakah mereka tahu bahwa saya sudah bebas?”
“Belum. Pembebasanmu memang lebih awal dari yang direncanakan.
Kami juga diberitahu pagi tadi. Makanya tak sempat memberi tahu….”
“Kalau begitu antarkan saya ke salah satu hotel di kota ini.
Ada sesuatu yang ingin saya kerjakan terlebih dahulu…’ jawabnya perlahan.
Tokugawa membawa si Bungsu ke Daiichi Hotel yang masih terletak satu jalan dengan markas Jakuza di Nikko Hotel. Dia menempati kamar utama di lantai satu yang menghadap ke taman yang indah. Ketika dia sudah berada di kamar, Yamada berkata :
“Bungsu-san, kami tak bisa menyatakan betapa terimakasih kami padamu. Pembebasanmu dari tahanan Amerika tak bisa membalas yang engkau perbuat dalam menolong dua orang gadis bangsa kami. Ini ada sedikit uang, bukan untuk pembalas jasa. Barangkali engkau akan cukup lama di Jepang ini.
Mac Arthur tidak takut pada “Kekuasaan” Pentagon ini.
Namun dia merasa bahwa anak buahnya memang bersalah.
Karena itu dia menyetujui untuk mendeponir peristiwa itu.
Namun dia merasa bahwa anak buahnya memang bersalah.
Karena itu dia menyetujui untuk mendeponir peristiwa itu.
Sebab, adalah kurang enak pula bila harus
menyalahkan bawahan sendiri di negri jajahan itu.
menyalahkan bawahan sendiri di negri jajahan itu.
Perundingan dengan Yamada, pengacara yang membela si Bungsu segera diadakan.
Yamada menyetujui pendeponiran itu. Baginya juga menyulitkan untuk membebaskan si Bungsu secara murni. Sebab gadis yang ditolong itu tak pernah bersua. Bagi Yamada bukan masalah popularitasnya bisa membela si Bungsu yang penting. Yang sangat penting baginya adalah membebaskan anak muda itu. Maka untuk jalan pertama, si Bungsu dipindahkan ke kota Odawara. Sebuah kota kecil di selatan Tokyo. Kota yang terletak di pinggir laut.
Sebulan di sana, ketika persoalan itu sudah agak dingin, dia dipindahkan lagi ke Tokyo. Dan suatu hari dimusim panas di bulan Shichigatsu (Juli) dia dibebaskan dari tahanan.
Tubuhnya kelihatan agak gemuk dengan rambut agak gondrong. Meski tahanan dalam kasus pembunuhan, namun Polisi Militer Amerika memperlakukannya dengan hormat sejak awal ditahan. Dalam sistim peradilan di Amerika, setiap orang tetap belum bersalah sebelum diputus oleh Pengadilan. Maka itulah sebabnya dia tetap dihormati dan diperlakukan dengan baik ditahanan.
Ketika hari pembebasannya tiba, yang menantinya di luar adalah Yamada dan Tokugawa. Dia tegak tertegun melihat kehadiran tokoh Jakuza itu. Dia tak mengerti kenapa Tokugawa bisa hadir di sana. Sebab tak seorangpun yang menceritakan bahwa proses pembebasannya pada awalnya diusahakan oleh Tokugawa. Hannako dan Kenji yang sesekali sempat menjenguk ke tahanan juga tak menceritakan hal itu. Tokugawa melarang mereka menceritakan hal tersebut. Tapi ketika pembebasannya, dia tak melihat kehadiran Hanako dan Kenji, serta adik-adiknya. Yamada lah yang pertama datang menyalaminya di pintu tahanan.
“Engkau telah membela harga diri dan kebanggaan bangsa kami…terimakasih banyak Bungsu-san” pengacara terkenal itu bicara dengan terharu sambil menyalami tangan si Bungsu dengan erat.
“Terimakasih atas bantuan tuan….” Katanya.
Kemudian dia menoleh pada Tokugawa yang tetap tegak di sisi mobilnya. Mereka saling bertatapan. Sungguh, si Bungsu tak mengetahui arti kehadiran Tokugawa di sana.
Lelaki tua yang gagah itu akhirnya tersenyum lembut. Si Bungsu tetap tegak ketika dia melangkah mendekatinya. Tokugawa mengulurkan tangan. Si Bungsu menyambutnya. Jabat tangan lelaki tua itu terasa kukuh dan penuh persahabatan.
“Selamat atas kebebasanmu Bungsu-san…”
“Arigato gozaimasu…” jawab si Bungsu.
Matanya mencari-cari kalau-kalau ada Kenji dan Hanako.
Tapi kedua orang itu tak kelihatan.
Tokugawa mengerti siapa yang dicari si Bungsu.
Tapi kedua orang itu tak kelihatan.
Tokugawa mengerti siapa yang dicari si Bungsu.
“Mereka sengaja tak kami beritahu tentang kebebasanmu ini. Sebab pihak tentara Amerika menghendaki agar kebebasanmu tidak begitu tersiar. Secara psikologis kurang mengenakkan bagi tentara Amerika. Tapi mereka tetap sehat wal afiat. Dan saya menjaganya terus, seperti yang pernah saya janjikan padamu…”
“Domo arigato gozaimasu…” jawab si Bungsu terharu.
“Kalian nampaknya sudah saling kenal…” kata pengacara Yamada memutus.
“Ya, kami sudah saling mengenal…” Tokugawa memutus.
“Tuan inilah yang pertama kali mengusahakan pembebasanmu Bungsu….” Yamada menjelaskan.
Dan tiba-tiba si Bungsu menjadi sadar akan latar belakang usaha pembebasannya. Dia menatap Tokugawa. Tapi Tokugawa segera menyilahkan dia masuk ke mobil.
“Mari kita berangkat…” katanya.
Dan di dalam mobil secara selintas menceritakan bahwa dia mengetahui si Bungsu ditangkap Polisi Militer Amerika dari Kenji.
Kenji datang ke kantornya dan minta agar Tokugawa membebaskan si Bungsu. Si Bungsu merasa terharu sekali atas bantuan Kenji dan adik-adiknya.
Kenji datang ke kantornya dan minta agar Tokugawa membebaskan si Bungsu. Si Bungsu merasa terharu sekali atas bantuan Kenji dan adik-adiknya.
“Maaf, apakah engkau kami antar ke rumah Hannako? Yamada memutus cerita, si Bungsu tak segera menjawab.
“Apakah mereka tahu bahwa saya sudah bebas?”
“Belum. Pembebasanmu memang lebih awal dari yang direncanakan.
Kami juga diberitahu pagi tadi. Makanya tak sempat memberi tahu….”
Kami juga diberitahu pagi tadi. Makanya tak sempat memberi tahu….”
“Kalau begitu antarkan saya ke salah satu hotel di kota ini.
Ada sesuatu yang ingin saya kerjakan terlebih dahulu…’ jawabnya perlahan.
Ada sesuatu yang ingin saya kerjakan terlebih dahulu…’ jawabnya perlahan.
Tokugawa membawa si Bungsu ke Daiichi Hotel yang masih terletak satu jalan dengan markas Jakuza di Nikko Hotel. Dia menempati kamar utama di lantai satu yang menghadap ke taman yang indah. Ketika dia sudah berada di kamar, Yamada berkata :
“Bungsu-san, kami tak bisa menyatakan betapa terimakasih kami padamu. Pembebasanmu dari tahanan Amerika tak bisa membalas yang engkau perbuat dalam menolong dua orang gadis bangsa kami. Ini ada sedikit uang, bukan untuk pembalas jasa. Barangkali engkau akan cukup lama di Jepang ini.
Di Jepang (bagian 202)
Mana tahu, ada niatmu yang besar yang akan kau laksanakan. Untuk itu engkau tentu butuh biaya. Maka, terimalah uang ini. Berasal dari beberapa dermawan yang tak ingin disebutkan namanya…”
Si Bungsu menatap pada amplop besar di tangan pengacara terkenal itu. Amplop itu pastilah berisi uang jutaan Yen. Dia menarik nafas panjang.
“Terimakasih. Bukan saya menolak, tapi saya ada membawa sedikit bekal dari negeri saya. Saya rasa itu masih cukup. Terimakasih atas segalanya. Kalau saya boleh menyarankan, barangkali uang itu bisa disumbangkan pada anak-anak terlantar di terowongan bawah tanah sana, atau berangkali bisa diberikan pada Hannako dan saudara-saudaranya. Anggaplah atas nama saya…”
“Apakah engkau tak berniat menemui mereka?” Tokugawa memotong perlahan.
“Barangkali tidak lagi. Saya akan meninggalkan kota ini. Dan saya tak membuat perpisahan jadi menyedihkan. Kalau saya bertemu dengan mereka, saya akan jadi sedih. Sebab mereka sudah saya anggap sebagai saudara saya…”
“Baiklah kalau begitu uang ini kami berikan pada mereka. Kami katakan dari engkau. Ini alamatku, kalau ada apa-apa jangan segan untuk datang. Saya senang dapat membantumu”
Yamada menyalami si Bungsu.
“Nah, tuan Tokugawa, saya pergi duluan. Barangkali tuan masih ingin tinggal di sini?”
“Tidak, kita sama-sama pergi. Hanya ada satu hal yang ingin saya tanyakan padamu Bungsu-san. Saya tahu engkau datang ke negeri ini dengan satu tujuan”
Tokugawa berhenti. Menatap pada si Bungsu, si Bungsu tetap tegak, wajahnya tak berekspresi sedikitpun. Dia menanti lanjutan ucapan Tokugawa.
“Barangkali engkau mencari seseorang yang mungkin telah menyakiti hati atau membunuh keluargamu. Maaf, kami bukan bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Tapi saya hanya ingin dapat berbuat sesuatu untukmu. Kalau engkau mau, katakan saja siapa orangnya. Dan kami akan mencarinya sampat dapat untukmu. Dan jika kau kehendaki, orang itu bisa kami kerjakan tanpa kau susah-susah turun tangan”
Si Bungsu tetap tak bereaksi. Kalau saja dia belum dapat informasi tentang Saburo Matsuyama, mungkin dia akan minta bantuan Tokugawa. Dan dia yakin lelaki ini pasti bisa membantunya. Tapi di tahanan, dia bersahabat dengan seorang Letnan Amerika bernama Jhonson. Melalui Letnan Jhonson lah dia dapat informasi yang berharga tentang bekas tentara Jepang yang berada di negeri ini.
Mereka yang pensiun atau diberhentikan dan pulang ke Jepang sebelum bom atom jatuh, tidak ditahan oleh Amerika. Dan nasib mujur juga dialami oleh Saburo Matsuyama.
“Terimakasih atas bantuan itu Tuan Tokugawa. Demikian juga tuan Yamada. Saya takkan melupakan kebaikan tuan-tuan. Percayalah, suatu saat nanti saya akan datang, dan akan minta bantuan tuan-tuan…”
Kalau demikian sudah tiba saatnya kami untuk pergi. Sekali lagi, kami akan senang menerima kedatanganmu dan menolongmu. Sayonara….”
“Sayonara…”
“Sayonara…”
Kedua lelaki itu kemudian meninggalkannya sendiri. Si Bungsu menatapnya hingga jauh ke jalan raya, masuk ke mobil dan lenyap. Lambat-lambat dia memutar tegak. Menatap ke kursi panjang berkasur empuk dimana barang-barang terletak. Sebuah ransel ukuran sedang, dan sebuah samurai! Dia tatap samurainya lama-lama. Kemudian melangkah mengambil ransel dan samurai tersebut.
Membawanya masuk ke kamar besar dan mewah beralaskan permadani tebal. Dia butuh waktu untuk melatih otot-otonya. Di penjara dia memang latihan. Tapi latihan tanpa samurai.
Kini dalam kamarnya yang cukup luas, dia berlatih dengan samurainya. Berlatih sehingga peluh membasahi tubuh.
Gerakannya terasa agak lamban. Apakah itu karena tubuhnya agak gemuk selama dalam penjara? Ah, dia tak boleh merasa lamban. Dia tak boleh merasa gemuk. Ini adalah saat-saat di mana dia akan berhadapan dengan musuh bebuyutannya. Karena itu dia berlatih terus dengan disiplin yang keras.
Subuh buta dia berlari keliling kota, cukup jauh. Dia mengambil route dari hotel Daiichi dimana dia menginap terus ke utara menyelusuri jalan raya Ginza. Masuk ke Chuo Dori. Dari Chuo Dori di belok ke kanan. Melintas di jembatan kecil di atas sungai Sumida. Kemudian balik ke Selatan lewat jalan Kiyosumi. Dari ujung jalan itu belok lagi ke kanan. Melintasi sungai Sumida kembali. Sampai di gedung Kabukiza. Dari sana terus pulang ke hotel.
Hari sudah agak siang bila dia sampai kembali dari lari jarak jauh itu. Namun itu terus dia lakukan. Dengan lari pagi, kegemukan badanya jauh berkurang. Tubuhnya kini berubah jadi kekar.
Selesai makan siang di hotel, dia istirahat. Kemudian latihan samurai.
Mana tahu, ada niatmu yang besar yang akan kau laksanakan. Untuk itu engkau tentu butuh biaya. Maka, terimalah uang ini. Berasal dari beberapa dermawan yang tak ingin disebutkan namanya…”
Si Bungsu menatap pada amplop besar di tangan pengacara terkenal itu. Amplop itu pastilah berisi uang jutaan Yen. Dia menarik nafas panjang.
“Terimakasih. Bukan saya menolak, tapi saya ada membawa sedikit bekal dari negeri saya. Saya rasa itu masih cukup. Terimakasih atas segalanya. Kalau saya boleh menyarankan, barangkali uang itu bisa disumbangkan pada anak-anak terlantar di terowongan bawah tanah sana, atau berangkali bisa diberikan pada Hannako dan saudara-saudaranya. Anggaplah atas nama saya…”
“Apakah engkau tak berniat menemui mereka?” Tokugawa memotong perlahan.
“Barangkali tidak lagi. Saya akan meninggalkan kota ini. Dan saya tak membuat perpisahan jadi menyedihkan. Kalau saya bertemu dengan mereka, saya akan jadi sedih. Sebab mereka sudah saya anggap sebagai saudara saya…”
“Baiklah kalau begitu uang ini kami berikan pada mereka. Kami katakan dari engkau. Ini alamatku, kalau ada apa-apa jangan segan untuk datang. Saya senang dapat membantumu”
Yamada menyalami si Bungsu.
“Nah, tuan Tokugawa, saya pergi duluan. Barangkali tuan masih ingin tinggal di sini?”
“Tidak, kita sama-sama pergi. Hanya ada satu hal yang ingin saya tanyakan padamu Bungsu-san. Saya tahu engkau datang ke negeri ini dengan satu tujuan”
Tokugawa berhenti. Menatap pada si Bungsu, si Bungsu tetap tegak, wajahnya tak berekspresi sedikitpun. Dia menanti lanjutan ucapan Tokugawa.
“Barangkali engkau mencari seseorang yang mungkin telah menyakiti hati atau membunuh keluargamu. Maaf, kami bukan bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Tapi saya hanya ingin dapat berbuat sesuatu untukmu. Kalau engkau mau, katakan saja siapa orangnya. Dan kami akan mencarinya sampat dapat untukmu. Dan jika kau kehendaki, orang itu bisa kami kerjakan tanpa kau susah-susah turun tangan”
Si Bungsu tetap tak bereaksi. Kalau saja dia belum dapat informasi tentang Saburo Matsuyama, mungkin dia akan minta bantuan Tokugawa. Dan dia yakin lelaki ini pasti bisa membantunya. Tapi di tahanan, dia bersahabat dengan seorang Letnan Amerika bernama Jhonson. Melalui Letnan Jhonson lah dia dapat informasi yang berharga tentang bekas tentara Jepang yang berada di negeri ini.
Mereka yang pensiun atau diberhentikan dan pulang ke Jepang sebelum bom atom jatuh, tidak ditahan oleh Amerika. Dan nasib mujur juga dialami oleh Saburo Matsuyama.
“Terimakasih atas bantuan itu Tuan Tokugawa. Demikian juga tuan Yamada. Saya takkan melupakan kebaikan tuan-tuan. Percayalah, suatu saat nanti saya akan datang, dan akan minta bantuan tuan-tuan…”
Kalau demikian sudah tiba saatnya kami untuk pergi. Sekali lagi, kami akan senang menerima kedatanganmu dan menolongmu. Sayonara….”
“Sayonara…”
“Sayonara…”
Kedua lelaki itu kemudian meninggalkannya sendiri. Si Bungsu menatapnya hingga jauh ke jalan raya, masuk ke mobil dan lenyap. Lambat-lambat dia memutar tegak. Menatap ke kursi panjang berkasur empuk dimana barang-barang terletak. Sebuah ransel ukuran sedang, dan sebuah samurai! Dia tatap samurainya lama-lama. Kemudian melangkah mengambil ransel dan samurai tersebut.
Membawanya masuk ke kamar besar dan mewah beralaskan permadani tebal. Dia butuh waktu untuk melatih otot-otonya. Di penjara dia memang latihan. Tapi latihan tanpa samurai.
Kini dalam kamarnya yang cukup luas, dia berlatih dengan samurainya. Berlatih sehingga peluh membasahi tubuh.
Gerakannya terasa agak lamban. Apakah itu karena tubuhnya agak gemuk selama dalam penjara? Ah, dia tak boleh merasa lamban. Dia tak boleh merasa gemuk. Ini adalah saat-saat di mana dia akan berhadapan dengan musuh bebuyutannya. Karena itu dia berlatih terus dengan disiplin yang keras.
Subuh buta dia berlari keliling kota, cukup jauh. Dia mengambil route dari hotel Daiichi dimana dia menginap terus ke utara menyelusuri jalan raya Ginza. Masuk ke Chuo Dori. Dari Chuo Dori di belok ke kanan. Melintas di jembatan kecil di atas sungai Sumida. Kemudian balik ke Selatan lewat jalan Kiyosumi. Dari ujung jalan itu belok lagi ke kanan. Melintasi sungai Sumida kembali. Sampai di gedung Kabukiza. Dari sana terus pulang ke hotel.
Hari sudah agak siang bila dia sampai kembali dari lari jarak jauh itu. Namun itu terus dia lakukan. Dengan lari pagi, kegemukan badanya jauh berkurang. Tubuhnya kini berubah jadi kekar.
Selesai makan siang di hotel, dia istirahat. Kemudian latihan samurai.
Di Jepang (bagian 203)
Hannako tengah mengurus bunga di taman depan rumahnya di jalan Uchibori ketika sebuah mobil berhenti di seberang sana. Dia tak tahu ada mobil berhenti. Seorang lelaki tua, tapi gagah turun dari mobil. Dua orang lelaki lainnya menanti tegak di sisi mobil.
Lelaki tua itu berjalan menyeberangi jalan. Masuk ke pintu taman.
“Gomenkudasai…” kata orang tua itu perlahan.
Hannako menoleh. Melihat lelaki tua gagah itu. Dan jauh di belakangnya dia lihat sebuah mobil dan dua orang lelaki berdiri.
“Hai..ogenki desu ka…” (Ya, apa kabar? Jawab Hannako sambil berdiri, dan membungkuk memberi hormat.
Lelaki tua itu juga memberi hormat.
“Apakah nona bernama Hannako?”
“Ya, saya Hanako. Ada apa?” tanya Hannako gugup.
“Jangan gugup. Saya hanya menyampaikan pesan seseorang. Apakah ada Kenji di rumah?”
“Tidak. Dia pergi ke Budokan. Latihan karate”
“Oh ya…”
“Apa kabar? Mari silahkan masuk…”
“Tidak. Terimakasih…”
Lelaki tua itu menatap pada Hannako dengan matanya yang lembut. Kegugupan Hannako lenyap melihat wajah lelaki tua yang kelihatannya penyayang itu.
Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari balik kimononya.
“Saya diminta seseorang untuk menyampaikan kiriman ini pada nona…” katanya sambil melangkah mendekati Hannako.
Hanako ragu. Dia tak segera menerima amplop besar yang diulurkan lelaki itu.
“Apa ini, dan dari siapa?” tanyanya.
“Ambillah….” Lelaki itu mengangsurkan amplop tersebut.
Mau tak mau Hannako mengambilnya. Melihat alamatnya, dan tiba-tiba dia tertegun.
“Dari Bungsu-san…” katanya kaget.
“Ya. Dari dia…..” jawab lelaki itu.
Hannako segera membuka amplop tersebut. Menyangka kalau di dalamnya ada surat. Namun dia kaget, di dalamnya hanya ada uang dalam jumlah yang sangat besar. Dia tersurut, matanya menatap lelaki itu.
“Ya. Dia yang mengirimkannya untuk nona dan saudara-saudara nona. Dia tak sempat datang kemari…”
“Bu…bukankah dia di penjara ?”
“Sekarang tidak lagi nona…”
Hannako tak mengerti, dia menatap lelaki itu.
“Dia sudah bebas dua hari yang lalu, dan dia sudah pergi entah kemana. Dia hanya menitipkan ini untuk nona…”
Tubuh Hannako gemetar.
“Oh, tidak….! Tidak mungkin. Dia pasti kemari kalau keluar dari penjara. Dia tak mungkin sudah bebas. Perkaranya belum diputus…”
Hannako menangis. Dan dia berniat berlari ke rumah, namun ucapan lelaki tua gagah itu menghentikannya.
“Percayalah padaku nak. Dia memang telah bebas…”
“Tapi….kenapa dia tak kemari ?”
“Ada sesuatu yang sangat penting, yang akan dia urus. Barangkali sekarang dia tak di kota ini lagi…”
“Tuan siapa, dan bagaimana saya bisa mempercayai ucapan tuan…”
Lelaki tua itu menarik nafas, namun Hannako jadi terkejut takkala matanya tertatap pada jari-jari tangan kiri lelaki tua itu. Kelingking kiri lelaki tua itu tak ada! Hannako kaget menatapnya.
“Tuan…”
Lelaki itu menatap pula ke kelingking kirinya.
“Ya, saya Tokugawa…” katanya perlahan.
Mata Hannako membelalak. Lelaki ini tokoh Jakuza di kota ini, lelaki inilah yang telah menjamin keselamatan dirinya dan saudara-saudaranya dengan sebuah sumpah memutus jari di hadapan si Bungsu. Hannako membungkuk memberi hormat. Lelaki itu memang Tokugawa, juga membungkuk dalam-dalam membalas penghormatan Hannako.
“Kapan Bungsu-san bebas ?” tanya Hannako.
“Dua hari yang lalu…”
“Kenapa kami tak diberi tahu?”
“Kebebasannya memang dirahasiakan. Betapapun juga. Amerika tak mau menanggung malu terlalu besar. Tapi mereka juga tak berani menghukumnya. Sebab anak muda itu berada di pihak yang amat benar…”
Hannako tengah mengurus bunga di taman depan rumahnya di jalan Uchibori ketika sebuah mobil berhenti di seberang sana. Dia tak tahu ada mobil berhenti. Seorang lelaki tua, tapi gagah turun dari mobil. Dua orang lelaki lainnya menanti tegak di sisi mobil.
Lelaki tua itu berjalan menyeberangi jalan. Masuk ke pintu taman.
“Gomenkudasai…” kata orang tua itu perlahan.Hannako menoleh. Melihat lelaki tua gagah itu. Dan jauh di belakangnya dia lihat sebuah mobil dan dua orang lelaki berdiri.
“Hai..ogenki desu ka…” (Ya, apa kabar? Jawab Hannako sambil berdiri, dan membungkuk memberi hormat.
Lelaki tua itu juga memberi hormat.
“Apakah nona bernama Hannako?”
“Ya, saya Hanako. Ada apa?” tanya Hannako gugup.“Jangan gugup. Saya hanya menyampaikan pesan seseorang. Apakah ada Kenji di rumah?”
“Tidak. Dia pergi ke Budokan. Latihan karate”
“Oh ya…”
“Apa kabar? Mari silahkan masuk…”
“Tidak. Terimakasih…”
Lelaki tua itu menatap pada Hannako dengan matanya yang lembut. Kegugupan Hannako lenyap melihat wajah lelaki tua yang kelihatannya penyayang itu.
Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari balik kimononya.
“Saya diminta seseorang untuk menyampaikan kiriman ini pada nona…” katanya sambil melangkah mendekati Hannako.
Hanako ragu. Dia tak segera menerima amplop besar yang diulurkan lelaki itu.“Apa ini, dan dari siapa?” tanyanya.
“Ambillah….” Lelaki itu mengangsurkan amplop tersebut.
Mau tak mau Hannako mengambilnya. Melihat alamatnya, dan tiba-tiba dia tertegun.
“Dari Bungsu-san…” katanya kaget.
“Ya. Dari dia…..” jawab lelaki itu.
Hannako segera membuka amplop tersebut. Menyangka kalau di dalamnya ada surat. Namun dia kaget, di dalamnya hanya ada uang dalam jumlah yang sangat besar. Dia tersurut, matanya menatap lelaki itu.
“Ya. Dia yang mengirimkannya untuk nona dan saudara-saudara nona. Dia tak sempat datang kemari…”
“Bu…bukankah dia di penjara ?”
“Sekarang tidak lagi nona…”
Hannako tak mengerti, dia menatap lelaki itu.
“Dia sudah bebas dua hari yang lalu, dan dia sudah pergi entah kemana. Dia hanya menitipkan ini untuk nona…”
Tubuh Hannako gemetar.
“Oh, tidak….! Tidak mungkin. Dia pasti kemari kalau keluar dari penjara. Dia tak mungkin sudah bebas. Perkaranya belum diputus…”
Hannako menangis. Dan dia berniat berlari ke rumah, namun ucapan lelaki tua gagah itu menghentikannya.
“Percayalah padaku nak. Dia memang telah bebas…”
“Tapi….kenapa dia tak kemari ?”
“Ada sesuatu yang sangat penting, yang akan dia urus. Barangkali sekarang dia tak di kota ini lagi…”
“Tuan siapa, dan bagaimana saya bisa mempercayai ucapan tuan…”
Lelaki tua itu menarik nafas, namun Hannako jadi terkejut takkala matanya tertatap pada jari-jari tangan kiri lelaki tua itu. Kelingking kiri lelaki tua itu tak ada! Hannako kaget menatapnya.
“Tuan…”
Lelaki itu menatap pula ke kelingking kirinya.
“Ya, saya Tokugawa…” katanya perlahan.
Mata Hannako membelalak. Lelaki ini tokoh Jakuza di kota ini, lelaki inilah yang telah menjamin keselamatan dirinya dan saudara-saudaranya dengan sebuah sumpah memutus jari di hadapan si Bungsu. Hannako membungkuk memberi hormat. Lelaki itu memang Tokugawa, juga membungkuk dalam-dalam membalas penghormatan Hannako.
“Kapan Bungsu-san bebas ?” tanya Hannako.
“Dua hari yang lalu…”
“Kenapa kami tak diberi tahu?”
“Kebebasannya memang dirahasiakan. Betapapun juga. Amerika tak mau menanggung malu terlalu besar. Tapi mereka juga tak berani menghukumnya. Sebab anak muda itu berada di pihak yang amat benar…”
Di Jepang (bagian 204)
“Bapak ada di sana waktu dia bebas ?”
“Ya. Saya di sana…”
“Apakah….apakah dia sehat ? Maksud saya. Apakah dia tak kurang satu apapun ?”
“Tidak. Dia benar-benar sehat. Dia hanya minta saya menyampaikan kiriman ini padamu. Dan dia menyampaikan, bahwa dia sangat menyayangi kalian…”
“Tidak. Dia tak menyayangi kami…”
“Kenapa tidak?”
“Karena dia tak pulang kemari…” Hannako berkata dengan suara lirih.
Tokugawa merasa sayang pada gadis ini. Dia tahu, gadis ini menaruh hati pada pemuda Indonesia itu. Dan sebagai orang tua, Tokugawa juga tahu bahwa si Bungsu jatuh hati pada Hannako. Hanya tugas besar yang belum selesailah yang menyebabkan dia tak mau datang ke mari. Itu pertanda bahwa anak muda itu lebih mementingkan tugasnya daripada soal-soal pribadinya.
“Dia menyayangimu nak…percayalah….” Tokugawa berkata perlahan.
“Darimana dia dapat uang sebanyak ini ?”
“Uang itu dikumpulkan oleh suatu Yayasan untuk membelanya. Ternyata pembelanya tak mau menerima uang tersebut. Pembelanya merasa sebagai suatu kewajiban membela anak muda itu. Maka uang ini diserahkan padanya. Dan dia ingin agar disampaikan padamu Hannako”.
Hannako terharu, dia bahagia. Si Bungsu ternyata masih mengingatnya. Airmata mengenang di sudut matanya.
“Kalau bapak jumpa dengannya, katakan bahwa kami mengucapkan terimakasih yang amat besar. Dan katakan bahwa ada seorang gadis yang sudah berkali-kali ternoda kehormatannya, tapi hatinya masih suci, yang selalu setia menantinya di rumah ini…. Bapak sampaikan itu padanya…”
Tokugawa ikut terharu bersama kesedihan gadis itu. Gadis itu merasa terasing karena dinodai oleh Kawabata dan anak buahnya. Diam-diam dia merasa ikut berdosa. Sebab Kawabata yang mati ditangan si Bungsu itu adalah anak buahnya. Diam-diam dia bersumpah akan membatu gadis ini dan saudara-saudaranya setiap saat.
“Jangan sedih nak…” hanya itu yang bisa dia ucapkan.
Hatinya yang luluh menyebabkan tak ada lagi kalimat yang bisa dia ucapkan. Haripun berangkat sore.
Namun sebenarnya si Bungsu masih tetap di Tokyo. Hanya nasib yang tak mempertemukan Hannako dengan anak muda itu. Si Bungsu tetap menjalankan latihannya yang sangat ketat.
Saat itu di Jepang, para samurai telah menggantung samurai mereka di dinding rumah.
Yang masih tetap belajar samurai adalah kaum penjahat komplotan Jakuza. Selain itu, samurai hanya dipelajari oleh para pesilat samurai di kaki gunung di kampung yang jauh di pelosok. Namun kalau ada seorang manusia yang berlatih samurai sangat tekun di seluruh Jepang saat itu, mungkin orangnya adalah si Bungsu, melebihi ketekunan para samurai Jepang manapun di sana.
Dan hampir dua bulan setelah dia dibebaskan, dia berada dalam kereta api cepat menuju Kyoto! Kyoto adalah ibu negara Jepang zaman Dinasti Tokugawa. Yaitu dinasti raja-raja yang melahirkan pendekar samurai yang tersohor ke segenap penjuru dunia.
Dinasti Tokugawa adalah pengganti dinasti Edo. Pada zaman dinasti edo, ibunegara Jepang berada di kota Nara. Tokugawalah yang memindahkan ibunegara Jepang ke Kyoto.
Namun disaat dinasti Tokugawa digantikan oleh dinasti Meiji, yaitu dinasti yang memerintah saat ini, dinasti leluhur Tenno Heika, ibunegara dipindahkan pula ke Tokyo.
Ke Kyoto lah si Bungsu kini menuju. Dia meninggalkan Tokyo dengan menekan kuat-kuat keinginan hatinya untuk datang pamitan ke rumah Hannako dan Kenji.
Tapi dia khawatir pertemuan itu justru akan menggundahkan hatinya dan hati Hannako. Gadis itu terlalu baik padanya. Dia tak mau perpisahan itu diantar oleh tangis Hannako.
Jarak antara Tokyo dengan Kyoto sekitar 500 km. Dengan kereta api saat itu, jarak tersebut akan ditempuh selama 24 jam. Sehari semalam.
Untuk mencapai Kyoto dari Tokyo naik kereta api ada tiga jalur yang bisa ditempuh.
Pertama jalur pantai barat. Jalur ini sangat jauh, menempuh kota-kota Takasaki, Nagano, Naoetsu, Toyama, Kanazawa, Fukui terus ke Kyoto.
Jalur kedua adalah jalur tengah, menempuh kota-kota Kofu, Shiojiri, Nagoya, Gifu, Otsu dan Kyoto. Jalur ketiga adalah jalur pantai timur melewati kota-kota Matsudo, Shizuoka, Nagoya, Gifu, Otsu dan Kyoto. Jalur inilah yang terdekat yang ditempuh si Bungsu.
Kereta api yang dia naiki berwarna merah, saat itu menarik gerbong 20 buah yang panjang keseluruhannya tak kurang dari 200 meter. Mendengus dan menggelinding di atas rel baja.
Saat itu bulan Desember, musim dingin telah datang pula. Si Bungsu memakai baju tebal. Persediaan keuangannya masih cukup meski dalam ukuran sederhana.
Di Jepang (bagian 205)
Di bawah tempat duduknya dia letakkan ransel lusuhnya. Sementara samurainya dia simpan di balik baju tebalnya. Melekat ke dirinya, dia merasa aman senjata itu di sana, sewaktu-waktu bisa dia pergunakan. Kerata api itu sebenarnya cukup baik, tapi setelah perang dunia ke II semua angkutan memang jadi semrawut, penumpang berjubel, demikian juga dengan kereta api ini.
Meski dia duduk di gerbong kelas I tapi tak urung penumpang dari kelas dua dan kelas ekonomi nyelonong ke sana.
Saat itu sudah mencapai kota kecil Gamagori. Kota ini terletak di tepi teluk Atsumi. Perjalanan itu sudah jauh meninggalkan Tokyo, sudah melewati kota-kota Shizuoka dan Toyohashi. kini kereta mereka akan menuju Nagoya, sudah lebih separoh perjalanan.
Dua orang lelaki, berpakaian kimono hitam naik di stasiun Gamagori. Mereka naik di gerbong kelas dua. Terus menyelusur arah ke depan. Ke gerbong kelas satu. Pintu gerbong kelas satu didorong, kondektur yang berpakaian coklat tebal yang semula merasa berang ada orang masuk tanpa izin, begitu melihat siapa yang masuk cepat-cepat menghindar dari jalan dan membungkuk meberi hormat.
Kedua lelaki itu tak mengacuhkan hormat si kondektur, mereka terus ke depan. Berjalan dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain, seperti ada yang mereka cari, matanya plarak-plirik ke kiri dan ke kanan.
Di gerbong nomor tiga dari depan, mereka berhenti. Seorang gadis cantik kelihatan duduk dekat jendela dengan diam. Satu bangku dengan gadis itu sebenarnya ada dua orang lagi. Seorang perempuan tua dan seorang lagi lelaki dewasa, tapi saat itu kedua mereka sedang pergi ke WC. Kedua lelaki itu saling pandang, lalu tersenyum. Senyumnya lebih tepat dikatakan menyeringai.
“Maaf, tempat ini kosong bukan ?” yang seorang bertubuh ceking tinggi seperti tengkorak hidup berkata dengan suara mirip burung gagak.
Gadis itu terkejut, menoleh. Dan dia lebih terkejut lagi melihat kedua lelaki bertambang seram itu. Sebelum dia sempat menjelaskan, kedua lelaki itu telah menghenyakkan pantatnya di sisinya. Bau minuman sake segera tercium begitu mereka duduk.
“Tempat ini ada orangnya….” Gadis itu coba menjelaskan dengan ramah.
“Ya, kami orangnya bukan ?” jawab yang pendek dengan suara seperti bebek, sambil tangannya melewati tubuh si jangkung kurus mencowel pipi gadis itu.
Gadis itu cepat mengelak dengan wajah berang, dan kedua lelaki itu tertawa. Tawanya menyeramkan, yang satu seperti burung gagak, mengakak memperlihatkan gigi yang kuning. Yang satu mendesah-desah seperti suara bebek, air ludahnya menyembur-nyembur.
Gadis itu segera bangkit akan pindah tempat. Meskipun dia tahu semua tempat sudah penuh, tapi daripada berdekatan dengan kedua lelaki ini, lebih baik tegak sampai ke tujuan. Namun yang jangkung menarik tangannya, menyentakkannya. Gadis itu terhenyak duduk kepangkuannya, dia menjerit. Kedua lelaki itu hanya tertawa, para penumpang lain hanya melirik. Kemudian kembali seperti tak tahu menahu. Mereka segara tahu, sikap demikian hanya dimiliki oleh penjahat-penjahat. Di daerah ini, ada dua kelompok penjahat yang berkuasa. Yaitu Jakuza dan Kumagaigumi (Beruang Gunung). Keduanya sama-sama berbahaya untuk dicampuri urusannya. Karena itu, para penumpang lebih suka berdiam diri.
Dengan jahanamnya, tangan si kurus ini meremas dada gadis tersebut. Gadis itu terpekik.
Saat itulah kedua penumpang yang duduk disebelah gadis itu muncul dari WC.
Melihat ada orang duduk di tempat mereka, yang lelaki, seorang pegawai kantor kota, berkata :
” Maaf Bung, ini tempat saya dan ibu ini”
Kedua lelaki itu, yang tengah tertawa cekikian terhenti. Menatap pada lelaki tersebut.
“Apa bukti bahwa disini tempat saudara?” Si gemuk pendek balik bertanya.
Lelaki itu mengeluarkan karcisnya. Perempuan itu juga. Si gemuk dan si jangkung mengambilnya. Melihatnya. Dan menyimpannya ke dalam jubahnya.
“Apa bukti bahwa di sini tempat saudara ?” si pendek gemuk mirip babi itu bertanya lagi.
Lelaki itu segera mengetahui bahwa orang ini mencari gara-gara. Karcis mereka kini ada padanya. Dia tahu, kedua orang ini pastilah anggota bandit-bandit Jakuza atau Kumagaigumi.
Tapi harga dirinya sebagai seorang pegawai pamong, ditambah dengan tujuan yang masih jauh, maka dia tetap protes.
“Jangan main-main. Saudara bisa saya laporkan pada kondektur…” katanya.
Kedua lelaki itu tertawa. Kondektur lewat, lelaki itu menyampaikan persoalannya. Namun kondektur hanya menelan ludah. Wajahnya pucat, kesempatan itu dipergunakan gadis tadi untuk berdiri. Menghindar dari dua lelaki yang memuakkan itu. Dia sudah akan berhasil pergi, namun si gemuk pendek merenggutkan tangannya. Gadis itu kembali terpekik dan terjerembab ke lantai. Lelaki pegawai pamong itu berusaha menolakkan si gemuk. Namun si kurus menghajar perutnya dengan sebuah tendangan karate yang telak. Pegawai pamong itu terjajar.
Di bawah tempat duduknya dia letakkan ransel lusuhnya. Sementara samurainya dia simpan di balik baju tebalnya. Melekat ke dirinya, dia merasa aman senjata itu di sana, sewaktu-waktu bisa dia pergunakan. Kerata api itu sebenarnya cukup baik, tapi setelah perang dunia ke II semua angkutan memang jadi semrawut, penumpang berjubel, demikian juga dengan kereta api ini.
Meski dia duduk di gerbong kelas I tapi tak urung penumpang dari kelas dua dan kelas ekonomi nyelonong ke sana.
Saat itu sudah mencapai kota kecil Gamagori. Kota ini terletak di tepi teluk Atsumi. Perjalanan itu sudah jauh meninggalkan Tokyo, sudah melewati kota-kota Shizuoka dan Toyohashi. kini kereta mereka akan menuju Nagoya, sudah lebih separoh perjalanan.
Dua orang lelaki, berpakaian kimono hitam naik di stasiun Gamagori. Mereka naik di gerbong kelas dua. Terus menyelusur arah ke depan. Ke gerbong kelas satu. Pintu gerbong kelas satu didorong, kondektur yang berpakaian coklat tebal yang semula merasa berang ada orang masuk tanpa izin, begitu melihat siapa yang masuk cepat-cepat menghindar dari jalan dan membungkuk meberi hormat.
Kedua lelaki itu tak mengacuhkan hormat si kondektur, mereka terus ke depan. Berjalan dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain, seperti ada yang mereka cari, matanya plarak-plirik ke kiri dan ke kanan.
Kedua lelaki itu tak mengacuhkan hormat si kondektur, mereka terus ke depan. Berjalan dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain, seperti ada yang mereka cari, matanya plarak-plirik ke kiri dan ke kanan.
Di gerbong nomor tiga dari depan, mereka berhenti. Seorang gadis cantik kelihatan duduk dekat jendela dengan diam. Satu bangku dengan gadis itu sebenarnya ada dua orang lagi. Seorang perempuan tua dan seorang lagi lelaki dewasa, tapi saat itu kedua mereka sedang pergi ke WC. Kedua lelaki itu saling pandang, lalu tersenyum. Senyumnya lebih tepat dikatakan menyeringai.
“Maaf, tempat ini kosong bukan ?” yang seorang bertubuh ceking tinggi seperti tengkorak hidup berkata dengan suara mirip burung gagak.
Gadis itu terkejut, menoleh. Dan dia lebih terkejut lagi melihat kedua lelaki bertambang seram itu. Sebelum dia sempat menjelaskan, kedua lelaki itu telah menghenyakkan pantatnya di sisinya. Bau minuman sake segera tercium begitu mereka duduk.
“Tempat ini ada orangnya….” Gadis itu coba menjelaskan dengan ramah.
“Ya, kami orangnya bukan ?” jawab yang pendek dengan suara seperti bebek, sambil tangannya melewati tubuh si jangkung kurus mencowel pipi gadis itu.Gadis itu cepat mengelak dengan wajah berang, dan kedua lelaki itu tertawa. Tawanya menyeramkan, yang satu seperti burung gagak, mengakak memperlihatkan gigi yang kuning. Yang satu mendesah-desah seperti suara bebek, air ludahnya menyembur-nyembur.
Gadis itu segera bangkit akan pindah tempat. Meskipun dia tahu semua tempat sudah penuh, tapi daripada berdekatan dengan kedua lelaki ini, lebih baik tegak sampai ke tujuan. Namun yang jangkung menarik tangannya, menyentakkannya. Gadis itu terhenyak duduk kepangkuannya, dia menjerit. Kedua lelaki itu hanya tertawa, para penumpang lain hanya melirik. Kemudian kembali seperti tak tahu menahu. Mereka segara tahu, sikap demikian hanya dimiliki oleh penjahat-penjahat. Di daerah ini, ada dua kelompok penjahat yang berkuasa. Yaitu Jakuza dan Kumagaigumi (Beruang Gunung). Keduanya sama-sama berbahaya untuk dicampuri urusannya. Karena itu, para penumpang lebih suka berdiam diri.
Dengan jahanamnya, tangan si kurus ini meremas dada gadis tersebut. Gadis itu terpekik.
Saat itulah kedua penumpang yang duduk disebelah gadis itu muncul dari WC.
Melihat ada orang duduk di tempat mereka, yang lelaki, seorang pegawai kantor kota, berkata :
” Maaf Bung, ini tempat saya dan ibu ini”
Kedua lelaki itu, yang tengah tertawa cekikian terhenti. Menatap pada lelaki tersebut.
“Apa bukti bahwa disini tempat saudara?” Si gemuk pendek balik bertanya.
Lelaki itu mengeluarkan karcisnya. Perempuan itu juga. Si gemuk dan si jangkung mengambilnya. Melihatnya. Dan menyimpannya ke dalam jubahnya.
“Apa bukti bahwa di sini tempat saudara ?” si pendek gemuk mirip babi itu bertanya lagi.
Lelaki itu segera mengetahui bahwa orang ini mencari gara-gara. Karcis mereka kini ada padanya. Dia tahu, kedua orang ini pastilah anggota bandit-bandit Jakuza atau Kumagaigumi.
Tapi harga dirinya sebagai seorang pegawai pamong, ditambah dengan tujuan yang masih jauh, maka dia tetap protes.
“Jangan main-main. Saudara bisa saya laporkan pada kondektur…” katanya.
Kedua lelaki itu tertawa. Kondektur lewat, lelaki itu menyampaikan persoalannya. Namun kondektur hanya menelan ludah. Wajahnya pucat, kesempatan itu dipergunakan gadis tadi untuk berdiri. Menghindar dari dua lelaki yang memuakkan itu. Dia sudah akan berhasil pergi, namun si gemuk pendek merenggutkan tangannya. Gadis itu kembali terpekik dan terjerembab ke lantai. Lelaki pegawai pamong itu berusaha menolakkan si gemuk. Namun si kurus menghajar perutnya dengan sebuah tendangan karate yang telak. Pegawai pamong itu terjajar.
Di Jepang (bagian 206)
Suasana jadi heboh, gadis itu diangkat kembali oleh si kurus, didudukan ke pangkuannya. Orang-orang pada berdiri dari kursinya melihat kejadian itu.
“Duduklah kembali, kalau kalian tak ingin kehilangan kepala….” si pendek gemuk dengan suara bebeknya mengancam.
Kepala-kepala manusia itu seperti disentakkan alat otomoatis. Lenyap dan duduk kembali dengan diam.
“Nah, orang tua, pergilah cari tempat lain” suara si pendek gemuk seperti babi itu terdengar lagi.
Perempuan tua itu tahu, lelaki ini amat berbahaya. Dia membungkuk mengambil barang-barangnya di bawah tempat duduk. Ketika dia bangkit akan pergi, seorang lelaki berdiri di belakangnya.
“Akan kemana ibu ?” tanyanya perlahan.
Perempuan itu tak menjawab, dia mengangkat barangnya dan berputar.
“Jangan pergi, tempat Ibu disini bukan ? Duduklah kembali…” lelaki itu mencegahnya dengan suara yang amat tenang.
Kedua lelaki yang duduk itu, yang kurus seperti jailangkung, yang pendek seperti babi, melotot pada lelaki yang baru datang itu. Lelaki itu justru tersenyum pada mereka.
“Berdirilah. Ibu ini akan duduk, kalian tak punya karcis bukan ?” katanya dengan suara yang alangkah tenangnya.
Para penumpang yang lain tentu saja jadi tertarik. Kalau Kondektur saja tak berani bertindak, kini ada orang lain yang berani, maka siapakah orang ini? Pikir mereka. Yang pendek gemuk segera saja jadi berang. Dia bangkit menghantam lelaki itu, namun begitu dia bangkit, begitu sebuah tendangan menghajar kerampangnya.
Dia mengeluh, terduduk lagi dengan muka yang putih karena menahan sakit.
“Jangan duduk di sana, pindahlah…” kata lelaki itu dengan perlahan.
Yang kurus tinggi bangkit, tangannya terhayun dalam bentuk pukulan karate, namun dia kembali terlambat. Sebuah pukulan dengan tongkat kayu menusuk bawah hidungnya “prakkk!” patah dua buah! Dan dia tersurut ke belakang!
“Pergilah, ini bukan tempat kalian..” lelaki yang baru datang itu berkata lagi dengan tenang.
Kedua lelaki itu jadi ragu. Mereka bertatapan, kemudian tangan mereka serentak berkelabat ke balik kimono mereka di mana samurai pendek mereka tersimpan. Namun demi malaikat, demi syetan dan iblis kedua lelaki itu hampir-hampir tak mempercayai mata mereka. Tangan lelaki itu justru lebih cepat! Sebuah tongkat kayu dengan cepat mendahului gerakan samurai mereka. Tongkat kayu itu menghentak persis tentang jantung mereka. Mata mereka mendelik. Karena hentakan ujung tongkat itu persis ketika mereka menghirup nafas. Mereka jadi pucat. Dan berikutnya, tongkat itu menghajar kepala mereka. “prakk! Prakk!” dua hentakan keras melanda kening. Dan kening mereka benjol sebesar telur. Penompang-penompang yang telah menjulurkan kepalanya kembali, jadi kaget dan kagum melihat kecepatan lelaki ini.
“Pergilah, sebelum kepala kalian makin besar oleh benjolan-benjolan…” lelaki itu berkata lagi, masih dengan suara tenang.
Dan kini, keberanian kedua lelaki itu ambruk. Meleleh seperti ingus. Dan mereka ngeloyor pergi. Tapi di pintu belakang, mereka berhenti, yang bersuara gagak berkata :
“Awas kau! Awas kau!”
Hanya itu, kemudian dia bergegas pergi.
Lelaki itu hanya menatap dengan matanya yang sayu. Lalu mendudukkan perempuan tua itu ke bangkunya. Dan dia tersenyum pada gadis yang duduk dekat jendela. Tapi senyumnya beku tiba-tiba. Gadis itu, yang sejak tadi meperhatikannya tiba-tiba juga jadi pucat. Mereka saling pandang kaget.
“Kau….?” Kata lelaki itu yang tak lain dari si Bungsu itu pada si gadis.
“Anda…?’ suara gadis itu serak.
“Engkau yang di penginapan Asakusa…?” Tanya si Bungsu.
“Ya…sayalah itu…” gadis itu berkata perlahan sambil matanya yang basah tak lepas-lepas menatap si Bungsu, perlahan dia bangkit.
“Engkau menyelamatkan aku kembali. Domo arigato gozaimasu…” kata gadis itu membungkuk.
Si bungsu menarik nafas. Lega dia. Tersenyum.
“Siapa namamu…?” tanyanya.
“Michiko…”
“Michiko, …ya Michiko…” kata si Bungsu mengulang.
Para penompang melihat saja kejadian itu dengan heran. Heran dan kagum menyaksikan seorang gadis Jepang yang cantik ngomong dengan lelaki asing yang gagah.
“Dimana anda duduk…? Tanya Michiko. Si Bungsu memalingkan kepalanya ke depan.
“Di sana, di bangku paling depan…” katanya sambil menunjuk ke bangku tiga deret di depan tempat Michiko.
“Maaf, saya belum tahu nama anda…”
“Oh ya, nama saya si Bungsu…”
Suasana jadi heboh, gadis itu diangkat kembali oleh si kurus, didudukan ke pangkuannya. Orang-orang pada berdiri dari kursinya melihat kejadian itu.
“Duduklah kembali, kalau kalian tak ingin kehilangan kepala….” si pendek gemuk dengan suara bebeknya mengancam.Kepala-kepala manusia itu seperti disentakkan alat otomoatis. Lenyap dan duduk kembali dengan diam.
“Nah, orang tua, pergilah cari tempat lain” suara si pendek gemuk seperti babi itu terdengar lagi.
Perempuan tua itu tahu, lelaki ini amat berbahaya. Dia membungkuk mengambil barang-barangnya di bawah tempat duduk. Ketika dia bangkit akan pergi, seorang lelaki berdiri di belakangnya.
“Akan kemana ibu ?” tanyanya perlahan.
Perempuan itu tak menjawab, dia mengangkat barangnya dan berputar.
“Jangan pergi, tempat Ibu disini bukan ? Duduklah kembali…” lelaki itu mencegahnya dengan suara yang amat tenang.
Kedua lelaki yang duduk itu, yang kurus seperti jailangkung, yang pendek seperti babi, melotot pada lelaki yang baru datang itu. Lelaki itu justru tersenyum pada mereka.
“Berdirilah. Ibu ini akan duduk, kalian tak punya karcis bukan ?” katanya dengan suara yang alangkah tenangnya.
Para penumpang yang lain tentu saja jadi tertarik. Kalau Kondektur saja tak berani bertindak, kini ada orang lain yang berani, maka siapakah orang ini? Pikir mereka. Yang pendek gemuk segera saja jadi berang. Dia bangkit menghantam lelaki itu, namun begitu dia bangkit, begitu sebuah tendangan menghajar kerampangnya.
Dia mengeluh, terduduk lagi dengan muka yang putih karena menahan sakit.
“Jangan duduk di sana, pindahlah…” kata lelaki itu dengan perlahan.
Yang kurus tinggi bangkit, tangannya terhayun dalam bentuk pukulan karate, namun dia kembali terlambat. Sebuah pukulan dengan tongkat kayu menusuk bawah hidungnya “prakkk!” patah dua buah! Dan dia tersurut ke belakang!
“Pergilah, ini bukan tempat kalian..” lelaki yang baru datang itu berkata lagi dengan tenang.
Kedua lelaki itu jadi ragu. Mereka bertatapan, kemudian tangan mereka serentak berkelabat ke balik kimono mereka di mana samurai pendek mereka tersimpan. Namun demi malaikat, demi syetan dan iblis kedua lelaki itu hampir-hampir tak mempercayai mata mereka. Tangan lelaki itu justru lebih cepat! Sebuah tongkat kayu dengan cepat mendahului gerakan samurai mereka. Tongkat kayu itu menghentak persis tentang jantung mereka. Mata mereka mendelik. Karena hentakan ujung tongkat itu persis ketika mereka menghirup nafas. Mereka jadi pucat. Dan berikutnya, tongkat itu menghajar kepala mereka. “prakk! Prakk!” dua hentakan keras melanda kening. Dan kening mereka benjol sebesar telur. Penompang-penompang yang telah menjulurkan kepalanya kembali, jadi kaget dan kagum melihat kecepatan lelaki ini.
“Pergilah, sebelum kepala kalian makin besar oleh benjolan-benjolan…” lelaki itu berkata lagi, masih dengan suara tenang.
Dan kini, keberanian kedua lelaki itu ambruk. Meleleh seperti ingus. Dan mereka ngeloyor pergi. Tapi di pintu belakang, mereka berhenti, yang bersuara gagak berkata :
“Awas kau! Awas kau!”
Hanya itu, kemudian dia bergegas pergi.
Lelaki itu hanya menatap dengan matanya yang sayu. Lalu mendudukkan perempuan tua itu ke bangkunya. Dan dia tersenyum pada gadis yang duduk dekat jendela. Tapi senyumnya beku tiba-tiba. Gadis itu, yang sejak tadi meperhatikannya tiba-tiba juga jadi pucat. Mereka saling pandang kaget.
“Kau….?” Kata lelaki itu yang tak lain dari si Bungsu itu pada si gadis.
“Anda…?’ suara gadis itu serak.
“Engkau yang di penginapan Asakusa…?” Tanya si Bungsu.
“Ya…sayalah itu…” gadis itu berkata perlahan sambil matanya yang basah tak lepas-lepas menatap si Bungsu, perlahan dia bangkit.
“Engkau menyelamatkan aku kembali. Domo arigato gozaimasu…” kata gadis itu membungkuk.
Si bungsu menarik nafas. Lega dia. Tersenyum.
“Siapa namamu…?” tanyanya.
“Michiko…”
“Michiko, …ya Michiko…” kata si Bungsu mengulang.
Para penompang melihat saja kejadian itu dengan heran. Heran dan kagum menyaksikan seorang gadis Jepang yang cantik ngomong dengan lelaki asing yang gagah.
“Dimana anda duduk…? Tanya Michiko. Si Bungsu memalingkan kepalanya ke depan.
“Di sana, di bangku paling depan…” katanya sambil menunjuk ke bangku tiga deret di depan tempat Michiko.
“Maaf, saya belum tahu nama anda…”
“Oh ya, nama saya si Bungsu…”
Di Jepang (bagian 207)
“Bungsu-san terimakasih banyak atas budimu. Dua kali anda menolong saya….”
“Hei, bangku saya kebetulan kosong di depan sana. Hanya saya sendiri. Anda mau pindah ke sana ?”
Wajah Michiko berseri, dia mengangguk. Si Bungsu juga tersenyum, lalu menoleh pada ibu tua dan pegawai pamong yang duduk di sebelah Michiko.
“Saya harap ibu dan tuan senang duduk disini…” katanya perlahan.
“Terimakasih banyak nak… anda mahir berbahasa Jepang. Saya yakin anda bukan orang sini. Anda orang Malaya ?” perempuan tua itu bicara.
“Tidak, Watashi wa Indonesia-jin desu…”
“Aa, Indonesia-jin desu….” Ulang perempuan itu.
Dan Michiko juga baru tahu, bahwa pemuda yang menolongnya ini adalah orang Indonesia.
Perempuan itu mengucapkan terimakasih kembali. Demikian juga pegawai pamong yang perutnya kena schak oleh kaki si kurus jailangkung tadi.
Michiko yang ternyata berpergian sendirian lalu pindah ke tempat si Bungsu di depan. Si Bungsu membawakan tasnya. Para penumpang pada mengangguk memberi hormat ketika dia lewat di dekat mereka. Si Bungsu membalas mengangguk dan tersenyum. Para penumpang saling berbisik. Orang Indonesia. Bukankah itu adalah negeri yang dijajah oleh tentara kita enam tahun yang lalu, bisik mereka. Kini anak muda dari negeri itu datang menolong tiga penduduk Jepang yang akan dianiaya oleh penduduk Jepang lainnya ?.
Si Bungsu meletakkan tas Michiko di rak bagasi di depan mereka, di sisi ransel lusuhnya. Dia menyilahkan Michiko duduk dekat jendela. Kursinya memang kosong. Dia duduk di samping gadis itu. Michiko menatap pada si Bungsu, dia seperti tak yakin akan pertemuan ini.
“Kemana saja engkau setelah peristiwa di Asakusa itu?” tanya si Bungsu.
“Saya…saya…” Michiko menunduk.
Akan dia katakankah bahwa setelah dilepas oleh Polisi Militer Amerika dulu dia lalu mencari si Bungsu? Ah, dia jadi malu.
“Untuk beberapa hari saya masih di sana. Tapi hari ke enam, saya lalu ke tempat bibi di kota Hamamatsu”
“Oh, engkau naik di stasiun Hamamatsu pagi tadi?”
“Ya, saya naik di sana..”
“Kota kecil sebelum danau Hamana?”
“Ya, di sanalah saya selama ini…”
Si bungsu mengangguk. Dia jadi mengerti kenapa selama dua bulan usaha pengacara Yamada untuk mencari gadis ini tak pernah berhasil. Rupanya dia sudah berada ratusan kilometer dari Tokyo. Di sebuah kota kecil yang tak begitu dikenal. Peluit kereta api terdengar memekik.
“Kereta akan berangkat” kata Michiko.
Mereka sama menoleh lewat jendela ke luar. Teluk Atsumi kelihatan indah dalam udara sore yang merah. Burung-burung camar kelihatan terbang berkelompok. Terbang rendah, tiba-tiba seekor menukik terjun ke air. Lalu tiba-tiba membubung ke udara.
“Itu teluk Atsumi….” Kata Michiko perlahan takkala sebuah sampan nelayan bergerak di puncak ombak dengan layar yang berwarna kuning.
“Alangkah indahnya….” Kata si Bungsu.
Michiko menoleh, dan tiba-tiba wajahnya berhadapan dengan wajah si Bungsu yang tetap melihat ke teluk. Jarak wajah mereka hanya sejengkal. Si Bungsu tertegun. Mata Michiko yang hitam bersinar, hidungnya yang mancung dengan anak-anak rambut keluar dari balik penutup kepala yang terbuat dari bulu binatang. Gadis ini adalah salah satu diantara sekian gadis Jepang yang cantik.
Mereka bertatapan. Michiko menatap mata si Bungsu tepat-tepat. Pemuda ini, bermata hitam dengan sinar yang teguh, beralis tebal dengan rambut yang juga tebal hitam, adalah pemuda asing yang telah dua kali menyelamatkan dirinya.
Dulu, ketika dia selamat dari perkosaan tentara Amerika di Asakusa, seminggu lamanya dia memutari kota Tokyo. Mencari pemuda ini. Dan dengan kecewa dia akhirnya pergi ke tempat bibinya di kota Hamamatsu. Dan di tempat bibinya itu, selama beberapa bulan, dia tak bisa melupakan wajah anak muda ini. Seorang yang berwajah murung, bermata sayu tapi kukuh, berkulit hitam manis yang entah kenapa tak bisa dia lupakan. Kini anak muda itu ada sejengkal di depannya.
“Bungsu-san,…. “ katanya perlahan dari jarak sejengkal itu, tanpa melepaskan tatapan matanya dari wajah si Bungsu.
“Michiko-san…” jawab si Bungsu perlahan.
“Terimakasih atas budimu padaku. Di Asakusa dan kini di Gamagori…”
“Tak usah dipikirkan…”
“Masih ingat ketika engkau bertanya tentang kereta yang akan ke Shibuya ?”
“Bungsu-san terimakasih banyak atas budimu. Dua kali anda menolong saya….”
“Hei, bangku saya kebetulan kosong di depan sana. Hanya saya sendiri. Anda mau pindah ke sana ?”
Wajah Michiko berseri, dia mengangguk. Si Bungsu juga tersenyum, lalu menoleh pada ibu tua dan pegawai pamong yang duduk di sebelah Michiko.
“Saya harap ibu dan tuan senang duduk disini…” katanya perlahan.
“Terimakasih banyak nak… anda mahir berbahasa Jepang. Saya yakin anda bukan orang sini. Anda orang Malaya ?” perempuan tua itu bicara.
“Tidak, Watashi wa Indonesia-jin desu…”
“Aa, Indonesia-jin desu….” Ulang perempuan itu.
Dan Michiko juga baru tahu, bahwa pemuda yang menolongnya ini adalah orang Indonesia.
Perempuan itu mengucapkan terimakasih kembali. Demikian juga pegawai pamong yang perutnya kena schak oleh kaki si kurus jailangkung tadi.
Michiko yang ternyata berpergian sendirian lalu pindah ke tempat si Bungsu di depan. Si Bungsu membawakan tasnya. Para penumpang pada mengangguk memberi hormat ketika dia lewat di dekat mereka. Si Bungsu membalas mengangguk dan tersenyum. Para penumpang saling berbisik. Orang Indonesia. Bukankah itu adalah negeri yang dijajah oleh tentara kita enam tahun yang lalu, bisik mereka. Kini anak muda dari negeri itu datang menolong tiga penduduk Jepang yang akan dianiaya oleh penduduk Jepang lainnya ?.
Si Bungsu meletakkan tas Michiko di rak bagasi di depan mereka, di sisi ransel lusuhnya. Dia menyilahkan Michiko duduk dekat jendela. Kursinya memang kosong. Dia duduk di samping gadis itu. Michiko menatap pada si Bungsu, dia seperti tak yakin akan pertemuan ini.
“Kemana saja engkau setelah peristiwa di Asakusa itu?” tanya si Bungsu.
“Saya…saya…” Michiko menunduk.
Akan dia katakankah bahwa setelah dilepas oleh Polisi Militer Amerika dulu dia lalu mencari si Bungsu? Ah, dia jadi malu.
“Untuk beberapa hari saya masih di sana. Tapi hari ke enam, saya lalu ke tempat bibi di kota Hamamatsu”
“Oh, engkau naik di stasiun Hamamatsu pagi tadi?”
“Ya, saya naik di sana..”
“Kota kecil sebelum danau Hamana?”
“Ya, di sanalah saya selama ini…”
Si bungsu mengangguk. Dia jadi mengerti kenapa selama dua bulan usaha pengacara Yamada untuk mencari gadis ini tak pernah berhasil. Rupanya dia sudah berada ratusan kilometer dari Tokyo. Di sebuah kota kecil yang tak begitu dikenal. Peluit kereta api terdengar memekik.
“Kereta akan berangkat” kata Michiko.
Mereka sama menoleh lewat jendela ke luar. Teluk Atsumi kelihatan indah dalam udara sore yang merah. Burung-burung camar kelihatan terbang berkelompok. Terbang rendah, tiba-tiba seekor menukik terjun ke air. Lalu tiba-tiba membubung ke udara.
“Itu teluk Atsumi….” Kata Michiko perlahan takkala sebuah sampan nelayan bergerak di puncak ombak dengan layar yang berwarna kuning.
“Alangkah indahnya….” Kata si Bungsu.
Michiko menoleh, dan tiba-tiba wajahnya berhadapan dengan wajah si Bungsu yang tetap melihat ke teluk. Jarak wajah mereka hanya sejengkal. Si Bungsu tertegun. Mata Michiko yang hitam bersinar, hidungnya yang mancung dengan anak-anak rambut keluar dari balik penutup kepala yang terbuat dari bulu binatang. Gadis ini adalah salah satu diantara sekian gadis Jepang yang cantik.
Mereka bertatapan. Michiko menatap mata si Bungsu tepat-tepat. Pemuda ini, bermata hitam dengan sinar yang teguh, beralis tebal dengan rambut yang juga tebal hitam, adalah pemuda asing yang telah dua kali menyelamatkan dirinya.
Dulu, ketika dia selamat dari perkosaan tentara Amerika di Asakusa, seminggu lamanya dia memutari kota Tokyo. Mencari pemuda ini. Dan dengan kecewa dia akhirnya pergi ke tempat bibinya di kota Hamamatsu. Dan di tempat bibinya itu, selama beberapa bulan, dia tak bisa melupakan wajah anak muda ini. Seorang yang berwajah murung, bermata sayu tapi kukuh, berkulit hitam manis yang entah kenapa tak bisa dia lupakan. Kini anak muda itu ada sejengkal di depannya.
“Bungsu-san,…. “ katanya perlahan dari jarak sejengkal itu, tanpa melepaskan tatapan matanya dari wajah si Bungsu.
“Michiko-san…” jawab si Bungsu perlahan.
“Terimakasih atas budimu padaku. Di Asakusa dan kini di Gamagori…”
“Tak usah dipikirkan…”
“Masih ingat ketika engkau bertanya tentang kereta yang akan ke Shibuya ?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar