Di Jepang (bagian 208)
Tentu saja si Bungsu ingat. Peritiwa itu terjadi di daerah Ginza. Dia akan mencari Kenji ke Shibuya. Dan dia bertanya pada seorang gadis, kereta mana yang akan menuju Shibuya.
Gadis itu tak segera menjawab. Melainkan menatap dahulu pada dirinya. Ketika itu diketahuinya bahwa pemuda yang bertanya itu adalah orang asing, yang nampaknya dari Malaya atau Philipina atau Indonesia, dia lalu membuang muka dan melanjutkan perjalanan tanpa menjawab pertanyaannya. Dan dua hari setelah itu, ternyata gadis itu diselamatkan di Asakusa!
“Masih ingat ?” tanya Michiko.
Tanpa memindahkan tatapan matanya dari mata Michiko si Bungsu mengangguk dan tersenyum kecil.
“Saya menyesal…maafkan saya Bungsu-san…” Michiko berkata perlahan.
Di sudut matanya ada air menggenang. Bungsu tersenyum dan berkata lembut.
“Jangan dipikirkan. Lupakanlah…”
Tiba-tiba Michiko menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu.
Bungsu jadi gugup dan berdebar.
“Tenanglah…” katanya sambil memegang rambut Michiko yang keluar dari balik topi bulu binatangnya.
Perlahan Michiko mengangkat wajahnya kembali. Mereka bertatapan lagi. Perlahan si Bungsu menghapus air mata di pipi Michiko dengan jari-jari tangannya.
“Domo arigato….” Kata Michiko.
“Lihatlah keluar sana, indah sekali. Negerimu sangat indah…” kata si Bungsu.
Michiko menoleh keluar, kemudian menoleh lagi pada si Bungsu. Dia tersenyum.
“Belum juga berangkat kereta ini?” tanya si Bungsu.
“Ya, biasanya sudah berangkat..” jawab Michiko. Ucapan mereka baru saja habis tatkala kondektur dengan wajah pucat datang bergegas pada mereka.
“Larilah… me…mereka datang…!” Kondektur itu bicara gugup pada si Bungsu.
Si Bungsu dapat segera menebak bahwa yang datang itu adalah komplotan lelaki tadi yang kalau tak salah dengar ada penompang yang bilang bahwa mereka dari komplotan Kumagaigumi.
Michiko jadi pucat, penumpang yang lain juga pada panik.
Namun belum satupun yang sempat mereka perbuat ketika empat lelaki berwajah tak menyedapkan naik ke kereta api itu, dan langsung ke gerbong dimana si Bungsu dan Michiko duduk.
Ke Empat lelaki itu tiba-tiba saja sudah tegak di gang di depan si Bungsu. Satu diantaranya adalah yang kurus seperti jailangkung. Yang giginya rontok dua buah digetok hulu samurai si Bungsu tadi.
“Dialah jahanam itu….” Kata lelaki tersebut dengan suaranya yang mirip suara gagak.
Seorang lelaki bertubuh sedang, dengan samurai di tangan kiri, bermata sipit berambut gondrong, yang nampaknya boss diantara yang empat orang itu, menatap dengan mengerenyitkan matanya pada si Bungsu.
“Dia ?” tanyanya dengan nada tak percaya. Sementara mulutnya masih tetap kemat-kemot mengunyah sesuatu.
“Ya, dialah anjing itu…” pekik si Kurus.
Michiko memegang tangan si Bungsu, memegang tangan kirinya. Sementara keempat bajingan itu berada di sebelah kanan mereka.
“He, kau, berdiri…!” perintah lelaki itu.
Suaranya mirip geraman harimau. Si Bungsu berdiri, Michiko yang akan berdiri dia suruh tetap duduk.
“Tetaplah duduk Michiko…” katanya sambil menanggalkan pegangan tangan gadis itu dari lengannya.
Dia berdiri, tegak sedepa dari keempat lelaki Jepang yang menatapnya dengan perasaan heran itu, terutama lelaki yang tengah mengunyah yang nampaknya sebagai pimpinan itu. Dia tak yakin, apakah anak muda asing ini memang sanggup mengalahkan dua orang anak buahnya yang terkenal itu.
“Apakah engkau tadi yang merontokkan giginya?”
lelaki bertubuh sedang itu bertanya sambil tetap mengunyah sesuatu.
Nampaknya seperti gula-gula karet, sambil menunjukkan jempolnya pada si kurus kerempeng yang jangkung.
“Dia yang minta. Saya telah minta dia untuk pergi baik-baik. Namun dia lebih menyukai giginya rontok…” si Bungsu menjawab seadanya.
Dan hal itu menyebabkan si kurus kerempeng itu menggebrak maju akan menghantam si Bungsu, nampaknya keberaniannya jadi tumbuh dekat teman-temannya ini.
Namun gerakan majunya tertahan oleh tangan temannya yang bertubuh kekar.
“Marilah kita sikat dia….” Kata lelaki itu.
“Ya, kalian sudahi dia. Dan bawa gadis itu padaku….” Yang mengunyah gula-gula karet itu nampaknya tak mau turun tangan.
Pemuda asing itu dia anggap bukan lawannya. Terlalu enteng!
Tentu saja si Bungsu ingat. Peritiwa itu terjadi di daerah Ginza. Dia akan mencari Kenji ke Shibuya. Dan dia bertanya pada seorang gadis, kereta mana yang akan menuju Shibuya.
Gadis itu tak segera menjawab. Melainkan menatap dahulu pada dirinya. Ketika itu diketahuinya bahwa pemuda yang bertanya itu adalah orang asing, yang nampaknya dari Malaya atau Philipina atau Indonesia, dia lalu membuang muka dan melanjutkan perjalanan tanpa menjawab pertanyaannya. Dan dua hari setelah itu, ternyata gadis itu diselamatkan di Asakusa!
“Masih ingat ?” tanya Michiko.
Tanpa memindahkan tatapan matanya dari mata Michiko si Bungsu mengangguk dan tersenyum kecil.“Saya menyesal…maafkan saya Bungsu-san…” Michiko berkata perlahan.
Di sudut matanya ada air menggenang. Bungsu tersenyum dan berkata lembut.
“Jangan dipikirkan. Lupakanlah…”
Tiba-tiba Michiko menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu.
Bungsu jadi gugup dan berdebar.
“Tenanglah…” katanya sambil memegang rambut Michiko yang keluar dari balik topi bulu binatangnya.
Perlahan Michiko mengangkat wajahnya kembali. Mereka bertatapan lagi. Perlahan si Bungsu menghapus air mata di pipi Michiko dengan jari-jari tangannya.
“Domo arigato….” Kata Michiko.“Lihatlah keluar sana, indah sekali. Negerimu sangat indah…” kata si Bungsu.
Michiko menoleh keluar, kemudian menoleh lagi pada si Bungsu. Dia tersenyum.
“Belum juga berangkat kereta ini?” tanya si Bungsu.
“Ya, biasanya sudah berangkat..” jawab Michiko. Ucapan mereka baru saja habis tatkala kondektur dengan wajah pucat datang bergegas pada mereka.
“Larilah… me…mereka datang…!” Kondektur itu bicara gugup pada si Bungsu.
Si Bungsu dapat segera menebak bahwa yang datang itu adalah komplotan lelaki tadi yang kalau tak salah dengar ada penompang yang bilang bahwa mereka dari komplotan Kumagaigumi.
Michiko jadi pucat, penumpang yang lain juga pada panik.
Namun belum satupun yang sempat mereka perbuat ketika empat lelaki berwajah tak menyedapkan naik ke kereta api itu, dan langsung ke gerbong dimana si Bungsu dan Michiko duduk.
Ke Empat lelaki itu tiba-tiba saja sudah tegak di gang di depan si Bungsu. Satu diantaranya adalah yang kurus seperti jailangkung. Yang giginya rontok dua buah digetok hulu samurai si Bungsu tadi.
“Dialah jahanam itu….” Kata lelaki tersebut dengan suaranya yang mirip suara gagak.
Seorang lelaki bertubuh sedang, dengan samurai di tangan kiri, bermata sipit berambut gondrong, yang nampaknya boss diantara yang empat orang itu, menatap dengan mengerenyitkan matanya pada si Bungsu.
“Dia ?” tanyanya dengan nada tak percaya. Sementara mulutnya masih tetap kemat-kemot mengunyah sesuatu.
“Ya, dialah anjing itu…” pekik si Kurus.
Michiko memegang tangan si Bungsu, memegang tangan kirinya. Sementara keempat bajingan itu berada di sebelah kanan mereka.
“He, kau, berdiri…!” perintah lelaki itu.
Suaranya mirip geraman harimau. Si Bungsu berdiri, Michiko yang akan berdiri dia suruh tetap duduk.
“Tetaplah duduk Michiko…” katanya sambil menanggalkan pegangan tangan gadis itu dari lengannya.
Dia berdiri, tegak sedepa dari keempat lelaki Jepang yang menatapnya dengan perasaan heran itu, terutama lelaki yang tengah mengunyah yang nampaknya sebagai pimpinan itu. Dia tak yakin, apakah anak muda asing ini memang sanggup mengalahkan dua orang anak buahnya yang terkenal itu.
“Apakah engkau tadi yang merontokkan giginya?”
lelaki bertubuh sedang itu bertanya sambil tetap mengunyah sesuatu.
Nampaknya seperti gula-gula karet, sambil menunjukkan jempolnya pada si kurus kerempeng yang jangkung.
“Dia yang minta. Saya telah minta dia untuk pergi baik-baik. Namun dia lebih menyukai giginya rontok…” si Bungsu menjawab seadanya.
Dan hal itu menyebabkan si kurus kerempeng itu menggebrak maju akan menghantam si Bungsu, nampaknya keberaniannya jadi tumbuh dekat teman-temannya ini.
Namun gerakan majunya tertahan oleh tangan temannya yang bertubuh kekar.
“Marilah kita sikat dia….” Kata lelaki itu.
“Ya, kalian sudahi dia. Dan bawa gadis itu padaku….” Yang mengunyah gula-gula karet itu nampaknya tak mau turun tangan.
Pemuda asing itu dia anggap bukan lawannya. Terlalu enteng!
Di Jepang (bagian 209)
Makanya dia menyerahkan hal sepele itu pada ketiga anak buahnya. Bagaimana dia akan turun tangan? Apakah nama besarnya sebagai si Tangan Besi pimpinan Kumagaigumi kota Gamagori akan dibuat cemar dengan melawan orang asing tak terkenal itu? Ah, itu pekerjaan anak-anak, pikirnya.
Ketiga lelaki anggota Beruang Gunung yang bermarkas besar di Osaka itu memang segera turun tangan. Yang lebih dulu maju adalah yang kurus tinggi tadi. Dia merasa dapat beking kuat dengan kehadiran kedua temannya ini. Dia segera maju menghantam si Bungsu dengan sebuah tendangan yang tadi pernah melumpuhkan pegawai pamong praja itu.
Namun si Bungsu juga tak mau kasih hati pada orang Jepang pongah ini. Dari balik mantel tebalnya, samurainya dengan sangat cepat menjulur keluar. Samurai itu tak dia cabut, hanya gagangnya dia hentakkan ke kening si kerempeng itu. Terdengar suara berdetak ketika kayu gagang samurai itu menghajar kening si kurus. Demikian cepat dan kuatnya hentakkan itu, membuat si kurus tersurut dua langkah, dan keningnya kini tak hanya bengkak seperti tadi. Tapi juga berdarah! Dan samurai itu kini di pegang dengan tangan kirinya di luar mantel tebalnya oleh si Bungsu. Dia melangkah, ketiga Jepang itu mundur dengan kaget.
Si Bungsu menoleh pada Michiko.
“Tenanglah di sana. Saya akan kembali…”
Berkata begini dia melangkah lagi, ketiga Jepang anggota Beruang Gunung itu mundur terus.
Akhirnya mereka terpepet ke pintu, salah seorang tiba-tiba maju sambil mencabut samurai. Tapi Jepang ini sungguh bernasib malang, dia memang sudah lama belajar samurai. Tapi orang dia hadapi adalah “malaikat” nya samurai. Samurai baru terangkat sedikit, ketika dia rasakan perutnya pedih bukan main. Ayunan samurainya terhenti. Dia melihat ke bawah. Dan wajahnya jadi pucat. Pucat karena kaget dan malu. Celananya telah dibabat putus oleh samurai anak muda itu persis di bawah pusatnya! Celananya terluncur ke bawah. Dan perutnya berdarah, darahnya mengalir hingga ke bawah! Dia lari turun ke jalan, Si Bungsu maju terus. Dan kini mereka tegak di bawah, di depan stasiun kecil di kota Gamagori itu.
Pimpinan mereka tadi, yang telah turun lebih duluan merasa kaget melihat anak buahnya belum juga berhasil menyudahi orang asing ingusan itu. Peristiwa itu tentu saja menarik penduduk yang memenuhi stasiun tersebut. Mereka secara otomatis membuat lingkaran yang amat lebar. Angin bersuit panjang membawa udara musim dingin yang menusuk tulang.
Kini dia telah dikepung oleh empat orang. Penduduk hanya melihat dari kejauhan. Ada seorang Polisi dengan pistol di tangan yang menyeruak di antara kerumunan orang ramai.
“Hentikan semua ini….!” bentakkannya terhenti takkala dia melihat siapa yang sedang mengepung seorang asing itu.
“Oh…eh…glep…plzf..”
mulutnya berkomat kamit tak menentu, dan akhirnya dia menyuruk lagi ke dalam kerumunan orang ramai itu.
Yang dia bentak sebentar ini adalah kepala bandit kelompok Kumagaigumi. Niat hatinya tadi ingin dianggap pahlawan oleh orang banyak. Karena berhasil mengatasi sebuah kericuhan.
Tapi kini nyalinya jadi ciut, dan dia harus menelan pil pahit takkala penduduk mengejeknya.
Dia menyuruk dan menghindar dari sana, sudah bukan hal yang aneh lagi, bila di kota kecil seperti Gamagori, Nishio, Yaizu, Ena, atau Azuchi di tepi danau Biwa sana, yang berkuasa bukanlah aparat penegak hukum.
Melainkan kelompok-kelompok bandit seperti Jakuza dan Kumagaigumi. Demikian berkuasanya mereka, sehingga dengan kekuatan uang dan kekuatan fisik mengandalkan jumlah anggota yang banyak mereka bisa saja menggeser kedudukan seorang penguasa kota kecil itu. Tapi yang paling ditakuti pejabat resmi itu bukanlah tergesernya mereka dari kedudukan.
Melainkan teror dan pembunuhan yang tak kenal perikemanusiaan. Orang-orang ini bisa saja menyerang keluarga mereka. Baik siang ataupun malam. Bagaimana kalau suatu saat mereka mendapati anak mereka mati terbenam dalam sumur atau di gilas kereta api ? Nampaknya kecelakaan biasa. Tapi itulah perbuatan kelompok-kelompok bandit ini. Kedua kelompok bandit ini adalah semacam Mafia dari Italia sana. Dan ini membuat para bandit itu memang petentengan serta kurang ajar.
Kini mereka berhadapan. Si Kurus kembali menyerang pertama kali di depan stasiun itu dengan samurainya. Dia maju dengan menghayun tiga langkah ke depan dan tiba-tiba melangkah ke kanan dengan cepat sambil memancung ke arah si Bungsu !. Dan pada saat yang sama, ketiga lelaki lainnya membabat dari tiga penjuru.
Peluit kereta berbunyi. Ini adalah kesempatan bagi si masinis untuk berangkat. Roda kereta mulai bergerak. Michiko tertegak.
Ketiga lelaki anggota Beruang Gunung yang bermarkas besar di Osaka itu memang segera turun tangan. Yang lebih dulu maju adalah yang kurus tinggi tadi. Dia merasa dapat beking kuat dengan kehadiran kedua temannya ini. Dia segera maju menghantam si Bungsu dengan sebuah tendangan yang tadi pernah melumpuhkan pegawai pamong praja itu.
Namun si Bungsu juga tak mau kasih hati pada orang Jepang pongah ini. Dari balik mantel tebalnya, samurainya dengan sangat cepat menjulur keluar. Samurai itu tak dia cabut, hanya gagangnya dia hentakkan ke kening si kerempeng itu. Terdengar suara berdetak ketika kayu gagang samurai itu menghajar kening si kurus. Demikian cepat dan kuatnya hentakkan itu, membuat si kurus tersurut dua langkah, dan keningnya kini tak hanya bengkak seperti tadi. Tapi juga berdarah! Dan samurai itu kini di pegang dengan tangan kirinya di luar mantel tebalnya oleh si Bungsu. Dia melangkah, ketiga Jepang itu mundur dengan kaget.
Si Bungsu menoleh pada Michiko.“Tenanglah di sana. Saya akan kembali…”
Berkata begini dia melangkah lagi, ketiga Jepang anggota Beruang Gunung itu mundur terus.
Akhirnya mereka terpepet ke pintu, salah seorang tiba-tiba maju sambil mencabut samurai. Tapi Jepang ini sungguh bernasib malang, dia memang sudah lama belajar samurai. Tapi orang dia hadapi adalah “malaikat” nya samurai. Samurai baru terangkat sedikit, ketika dia rasakan perutnya pedih bukan main. Ayunan samurainya terhenti. Dia melihat ke bawah. Dan wajahnya jadi pucat. Pucat karena kaget dan malu. Celananya telah dibabat putus oleh samurai anak muda itu persis di bawah pusatnya! Celananya terluncur ke bawah. Dan perutnya berdarah, darahnya mengalir hingga ke bawah! Dia lari turun ke jalan, Si Bungsu maju terus. Dan kini mereka tegak di bawah, di depan stasiun kecil di kota Gamagori itu.
Pimpinan mereka tadi, yang telah turun lebih duluan merasa kaget melihat anak buahnya belum juga berhasil menyudahi orang asing ingusan itu. Peristiwa itu tentu saja menarik penduduk yang memenuhi stasiun tersebut. Mereka secara otomatis membuat lingkaran yang amat lebar. Angin bersuit panjang membawa udara musim dingin yang menusuk tulang.
Kini dia telah dikepung oleh empat orang. Penduduk hanya melihat dari kejauhan. Ada seorang Polisi dengan pistol di tangan yang menyeruak di antara kerumunan orang ramai.“Hentikan semua ini….!” bentakkannya terhenti takkala dia melihat siapa yang sedang mengepung seorang asing itu.
“Oh…eh…glep…plzf..”
mulutnya berkomat kamit tak menentu, dan akhirnya dia menyuruk lagi ke dalam kerumunan orang ramai itu.
Yang dia bentak sebentar ini adalah kepala bandit kelompok Kumagaigumi. Niat hatinya tadi ingin dianggap pahlawan oleh orang banyak. Karena berhasil mengatasi sebuah kericuhan.
Tapi kini nyalinya jadi ciut, dan dia harus menelan pil pahit takkala penduduk mengejeknya.
Dia menyuruk dan menghindar dari sana, sudah bukan hal yang aneh lagi, bila di kota kecil seperti Gamagori, Nishio, Yaizu, Ena, atau Azuchi di tepi danau Biwa sana, yang berkuasa bukanlah aparat penegak hukum.
Melainkan kelompok-kelompok bandit seperti Jakuza dan Kumagaigumi. Demikian berkuasanya mereka, sehingga dengan kekuatan uang dan kekuatan fisik mengandalkan jumlah anggota yang banyak mereka bisa saja menggeser kedudukan seorang penguasa kota kecil itu. Tapi yang paling ditakuti pejabat resmi itu bukanlah tergesernya mereka dari kedudukan.
Melainkan teror dan pembunuhan yang tak kenal perikemanusiaan. Orang-orang ini bisa saja menyerang keluarga mereka. Baik siang ataupun malam. Bagaimana kalau suatu saat mereka mendapati anak mereka mati terbenam dalam sumur atau di gilas kereta api ? Nampaknya kecelakaan biasa. Tapi itulah perbuatan kelompok-kelompok bandit ini. Kedua kelompok bandit ini adalah semacam Mafia dari Italia sana. Dan ini membuat para bandit itu memang petentengan serta kurang ajar.
Dia menyuruk dan menghindar dari sana, sudah bukan hal yang aneh lagi, bila di kota kecil seperti Gamagori, Nishio, Yaizu, Ena, atau Azuchi di tepi danau Biwa sana, yang berkuasa bukanlah aparat penegak hukum.
Melainkan kelompok-kelompok bandit seperti Jakuza dan Kumagaigumi. Demikian berkuasanya mereka, sehingga dengan kekuatan uang dan kekuatan fisik mengandalkan jumlah anggota yang banyak mereka bisa saja menggeser kedudukan seorang penguasa kota kecil itu. Tapi yang paling ditakuti pejabat resmi itu bukanlah tergesernya mereka dari kedudukan.
Melainkan teror dan pembunuhan yang tak kenal perikemanusiaan. Orang-orang ini bisa saja menyerang keluarga mereka. Baik siang ataupun malam. Bagaimana kalau suatu saat mereka mendapati anak mereka mati terbenam dalam sumur atau di gilas kereta api ? Nampaknya kecelakaan biasa. Tapi itulah perbuatan kelompok-kelompok bandit ini. Kedua kelompok bandit ini adalah semacam Mafia dari Italia sana. Dan ini membuat para bandit itu memang petentengan serta kurang ajar.
Kini mereka berhadapan. Si Kurus kembali menyerang pertama kali di depan stasiun itu dengan samurainya. Dia maju dengan menghayun tiga langkah ke depan dan tiba-tiba melangkah ke kanan dengan cepat sambil memancung ke arah si Bungsu !. Dan pada saat yang sama, ketiga lelaki lainnya membabat dari tiga penjuru.
Peluit kereta berbunyi. Ini adalah kesempatan bagi si masinis untuk berangkat. Roda kereta mulai bergerak. Michiko tertegak.Di Jepang (bagian 210)
“Bungsu-saaaan …..!”
himbaunya sambil menjulurkan kepala ke jendela.
Dan saat itulah tangan kanan si Bungsu bekerja! Entah bagimana caranya, entah dari mana mulanya, entah siapa yang lebih dahulu. Semua terjadi demikian cepat. Bahkan orang-orang yang menatap dengan diampun tak bisa melihat bagaimana kejadian itu berlangsung satu demi satu. Yang jelas, si kurus tinggi yang memulai serangan itu, robek rusuk kanannya yang terangkat bersama samurai. Yang tadi luka di bawah pusarnya, kena hantam lagi tentang lukanya itu. Perutnya terbosai keluar. Yang satu lagi kena pancung lehernya. Jakunnya putus. Dan darah menyembur dari sana. Dan terakhir, kepala bandit itu, yang bergelar si tangan besi, tersate di ujung samurai si Bungsu. dengan suatu gerak berputar, si Bungsu menikamkan samurainya ke belakang sambil merendahkan diri di atas lutut kanannya.
Tikam Samurai! Itulah gerakan Datuk Berbangsa dari Situjuh Ladang Laweh takkala dia mencoba melawan Saburo Matsuyama enam atau tujuh tahun yang lalu.
Mata pimpinan Kumagaigumi itu mendelik. Dia rubuh. Semua orang terdiam. Kereta mulai berlari.
“Bungsu-saaan…!” Michiko memanggil di antara tangisnya.
Semua penumpang yang ada dalam gerbong itu juga pada mengeluarkan kepalanya. Beberapa orang berdoa atas kematian anak muda itu. Berdoa semoga Budha menerimanya.
Michiko menangis terduduk lemah di kursinya. Kereta telah berlari kencang meninggalkan kota Gamagori itu. Dia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Bungsu-saan…” desahnya di antara isak.
Beberapa perempuan juga meneteskan air mata. Terutama ibu yang tadi ditolong anak muda itu.
“Jangan menangis…..” sebuah suara terdengar di sisi Michiko.
Michiko masih menangis.
“Diamlah…Michiko-san…” suara itu terdengar lembut.
Michiko terdiam. Mengangkat kepalanya. Dan di sampingnya tegak si Bungsu. dia tertegun tak percaya.
“Saya berjanji akan kembali kemari bukan ?” kata si Bungsu tersenyum lembut.
Dan tiba-tiba Michiko menghambur ke pelukannya.
“Oh, Bungsu-san…oh, Bungsu-san…saya khawatir engkau dicelakai keempat orang itu….”
“Tidak. Mereka ternyata orang baik-baik. Saya mereka suruh naik ke kereta ini…” kata si Bungsu.
Para penumpang menatap mereka dengan bahagia. Ternyata si Bungsu berhasil naik ke kereta yang sedang berjalan itu di saat yang tepat. Meninggalkan empat mayat anggota Kumagaigumi itu malang melintang di depan stasiun kota kecil Gamagori.
Si Bungsu membawa Michiko duduk. Gadis itu menyandarkan terus kepalanya ke bahu si Bungsu. dan tangan si Bungsu memeluk tubuh Michiko.
Kereta api itu berjalan menembus dinding senja menuju Nagoya. Michiko benar-benar merasa aman dan bahagia berada dipelukan anak muda Indonesia itu. Tubuhnya yang lelah akhirnya tertidur dalam pelukan si Bungsu. Hari telah larut malam ketika dia tersentak bangun. Dia bangun karena lapar.
“Lapar?” tanya si Bungsu.
Michiko tersenyum dan mengangguk.
“Saya sudah beli roti dan kue Pau. Nah, ini diminum dengan sedikit sake. Bisa memanaskan badan”
Michiko lalu makan roti tersebut. Roti dari bar kereta api itu masih mengepul asapnya. Panas dan nikmat.
“Engkau akan kemana ?” tanya si Bungsu ketika Michiko selesai makan.
“Saya akan ke Kyoto, Bungsu-san akan kemana?”
“Saya juga akan ke sana…”
“Saya gembira kita setujuan…” kata Michiko.
“Di Kyoto dimana Bungsu-san menginap?”
“Saya tak tahu. Saya baru pertama kali ke sana…”
“Kalau begitu menginap di rumah saja. Rumah kami besar dan penghuninya tak berapa orang. Ayah akan gembira sekali kalau Bungsu-san datang ke sana..”
“Terimakasih undanganmu Michiko-san. Saya lihatlah nanti bagaimana baiknya. Saya ke sana juga mencari seorang teman….”
“Dimana dia tinggal? Saya tahu seluruh kota Kyoto.
Saya tinggal di sana selama tiga tahun sebelum melanjutkan sekolah ke Universitas Tokyo tahun lalu….
barangkali saya bisa menunjukkan alamatnya…”
“Baik, baik. Nanti sesampai di Kyoto saya akan minta tolong padamu. Nah, tambah lagi minumnya?”
“Tidak, terimakasih”
Kereta meluncur terus. Mereka terlibat dalam pembicaraan tentang Tokyo, tentang Kyoto.
himbaunya sambil menjulurkan kepala ke jendela.
Dan saat itulah tangan kanan si Bungsu bekerja! Entah bagimana caranya, entah dari mana mulanya, entah siapa yang lebih dahulu. Semua terjadi demikian cepat. Bahkan orang-orang yang menatap dengan diampun tak bisa melihat bagaimana kejadian itu berlangsung satu demi satu. Yang jelas, si kurus tinggi yang memulai serangan itu, robek rusuk kanannya yang terangkat bersama samurai. Yang tadi luka di bawah pusarnya, kena hantam lagi tentang lukanya itu. Perutnya terbosai keluar. Yang satu lagi kena pancung lehernya. Jakunnya putus. Dan darah menyembur dari sana. Dan terakhir, kepala bandit itu, yang bergelar si tangan besi, tersate di ujung samurai si Bungsu. dengan suatu gerak berputar, si Bungsu menikamkan samurainya ke belakang sambil merendahkan diri di atas lutut kanannya.
Tikam Samurai! Itulah gerakan Datuk Berbangsa dari Situjuh Ladang Laweh takkala dia mencoba melawan Saburo Matsuyama enam atau tujuh tahun yang lalu.
Mata pimpinan Kumagaigumi itu mendelik. Dia rubuh. Semua orang terdiam. Kereta mulai berlari.“Bungsu-saaan…!” Michiko memanggil di antara tangisnya.
Semua penumpang yang ada dalam gerbong itu juga pada mengeluarkan kepalanya. Beberapa orang berdoa atas kematian anak muda itu. Berdoa semoga Budha menerimanya.
Michiko menangis terduduk lemah di kursinya. Kereta telah berlari kencang meninggalkan kota Gamagori itu. Dia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Bungsu-saan…” desahnya di antara isak.
Beberapa perempuan juga meneteskan air mata. Terutama ibu yang tadi ditolong anak muda itu.
“Jangan menangis…..” sebuah suara terdengar di sisi Michiko.
Michiko masih menangis.
“Diamlah…Michiko-san…” suara itu terdengar lembut.Michiko terdiam. Mengangkat kepalanya. Dan di sampingnya tegak si Bungsu. dia tertegun tak percaya.
“Saya berjanji akan kembali kemari bukan ?” kata si Bungsu tersenyum lembut.
Dan tiba-tiba Michiko menghambur ke pelukannya.
“Oh, Bungsu-san…oh, Bungsu-san…saya khawatir engkau dicelakai keempat orang itu….”
“Tidak. Mereka ternyata orang baik-baik. Saya mereka suruh naik ke kereta ini…” kata si Bungsu.
“Tidak. Mereka ternyata orang baik-baik. Saya mereka suruh naik ke kereta ini…” kata si Bungsu.
Para penumpang menatap mereka dengan bahagia. Ternyata si Bungsu berhasil naik ke kereta yang sedang berjalan itu di saat yang tepat. Meninggalkan empat mayat anggota Kumagaigumi itu malang melintang di depan stasiun kota kecil Gamagori.
Si Bungsu membawa Michiko duduk. Gadis itu menyandarkan terus kepalanya ke bahu si Bungsu. dan tangan si Bungsu memeluk tubuh Michiko.
Kereta api itu berjalan menembus dinding senja menuju Nagoya. Michiko benar-benar merasa aman dan bahagia berada dipelukan anak muda Indonesia itu. Tubuhnya yang lelah akhirnya tertidur dalam pelukan si Bungsu. Hari telah larut malam ketika dia tersentak bangun. Dia bangun karena lapar.
“Lapar?” tanya si Bungsu.
Michiko tersenyum dan mengangguk.
“Saya sudah beli roti dan kue Pau. Nah, ini diminum dengan sedikit sake. Bisa memanaskan badan”
Michiko lalu makan roti tersebut. Roti dari bar kereta api itu masih mengepul asapnya. Panas dan nikmat.
“Engkau akan kemana ?” tanya si Bungsu ketika Michiko selesai makan.
“Saya akan ke Kyoto, Bungsu-san akan kemana?”
“Saya juga akan ke sana…”
“Saya gembira kita setujuan…” kata Michiko.
“Di Kyoto dimana Bungsu-san menginap?”
“Saya tak tahu. Saya baru pertama kali ke sana…”
“Kalau begitu menginap di rumah saja. Rumah kami besar dan penghuninya tak berapa orang. Ayah akan gembira sekali kalau Bungsu-san datang ke sana..”
“Terimakasih undanganmu Michiko-san. Saya lihatlah nanti bagaimana baiknya. Saya ke sana juga mencari seorang teman….”
“Dimana dia tinggal? Saya tahu seluruh kota Kyoto.
Saya tinggal di sana selama tiga tahun sebelum melanjutkan sekolah ke Universitas Tokyo tahun lalu….
barangkali saya bisa menunjukkan alamatnya…”
Saya tinggal di sana selama tiga tahun sebelum melanjutkan sekolah ke Universitas Tokyo tahun lalu….
barangkali saya bisa menunjukkan alamatnya…”
“Baik, baik. Nanti sesampai di Kyoto saya akan minta tolong padamu. Nah, tambah lagi minumnya?”
“Tidak, terimakasih”
Kereta meluncur terus. Mereka terlibat dalam pembicaraan tentang Tokyo, tentang Kyoto.
Di Jepang (bagian 211)
“Bungsu-san, apa bedanya antara negerimu dengan negeriku?”
“Banyak. Di negeri kami tak ada musim dingin. Tak ada musim bunga atau musim gugur.
Di sana matahari bersinar terus sepanjang tahun….”
“Oh, alangkah indah dan senangnya hidup di sana.
Apakah di sana juga ada danau, gunung dan laut seperti di sini?”
“Engkau tak pernah melihatnya di peta dalam sekolah?”
Michiko tersenyum, kemudian dengan manja menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu.
“Saya sudah melihatnya dalam peta. Tapi saya ingin mendengarnya dari mulutmu….
Ceritalah yang banyak Bungsu-san.
Ceritalah tentang negerimu.
Tentang dirimu.
Tentang apa saja…”
“Juga tentang bangsamu yang menjajah dan memperkosa negeriku?” hampir saja pertanyaan itu melompat dari mulut si Bungsu, untung dia segera dapat menahan diri.
Dia sadar, gadis ini tak ada sangkut pautnya dengan fasisme militer yang menjajah negerinya.
“Saya takkan bercerita, saya akan menyanyi. Engkau mau mendengarkan nyanyiku…?” tanyanya sambil memeluk bahu Michiko.
Gadis itu bangkit dari bahu si Bungsu. Menatap wajahnya dengan pandangan berbinar.
“Ya, saya suka. Menyanyilah Bungsu-san…” katanya gembira dan kembali dia merebahkan kepalanya ke bahu si Bungsu.
Si Bungsu memeluk bahu gadis itu dan mulai batuk-batuk kecil mengatur suara, dan dia mulai menyanyi dengan suaranya yang berat dan lembut.
“Meskipun turun hujan,
Saya akan pergi
Jangan menangis
Jangan lupakan saya
Selamat tinggal”
Michiko mengangkat kepalanya begitu lagu itu berakhir. Menatap anak muda itu tepat-tepat.
“Anata wa nippon no uta o shitte imasu…’ (Anda mengetahui lagu Jepang), kata Michiko heran.
“Hai, sukhosi dekimasu…” (Ya, mengetahui sedikit)
“Itu lagu yang sangat mengharukan.
Lagu perpisahan antara dua kekasih.
Dimana anda belajar?”
“Saya belajar dari seorang sahabat. Seorang pelaut. Kami sekapal dari Singapura ke Tokyo…”
“Ya, itu adalah lagu pelaut-pelaut yang meninggalkan pelabuhan sepinya. Anda menyukai lagu itu?”
“Ya…saya suka sekali…”
“Kenapa?”
“Karena saya adalah pelaut. Bukankah setiap pengembara adalah pelaut dalam arti kata yang lain? Pengembara pergi dan datang ke suatu negeri seperti pelaut datang dan pergi ke satu, dan lain laut sepi. Begitulah saya…”
“Oh, Bungsu-san….” Michiko menyembunyikan rasa harunya ke dada pemuda itu.
Si Bungsu memeluk bahu gadis itu kembali.
Tanpa dia ketahui, air mata gadis itu mengalir di pipi. Pemuda itu menyanyikan lagu sepi dan mengucapkan selamat tinggal.
Dan Michiko merasa bahwa lagu itu ditujukan untuk dirinya.
Dengan halus si Bungsu tadi telah menolak untuk menginap di rumahnya.
Bukankah itu isyarat, bahwa pemuda itu tak lagi akan bertemu dengannya?
Dia merasakan tangan anak muda itu memeluk bahunya.
Merasakan pipi anak muda itu bersandar ke rambutnya yang lebat. Michiko memegang tangan si Bungsu yang memeluknya.
Memegangnya dengan lembut. Dengan sikap demikian, dia kembali tertidur.
Dan dengan sikap demikian pula si Bungsu mengenang kembali masa lalunya di Minangkabau.
Ingatannya menikam masa tahun-tahun yang lenyap dalam jejak zaman. Teringat akan kegemarannya berjudi ketika muda.
Pada kebenciannya belajar silat. Meski ayahnya, Datuk Berbangsa adalah Guru Tuo dalam aliran silatnya di kaki Gunung Sago itu. Teringat pada Mei-Mei. Pada “Isteri” pertamanya yang tak sempat dia nikahi itu.
Gadis Cina itu meninggal di atas loteng surau di Tarok, Kota Bukittinggi sesaat sebelum mereka membaca ijab kabul di depan Kadhi. Gadis itu meninggal karena diperkosa oleh selusin serdadu Jepang.
Kemudian dia teringat pada Salma.
Gadis murid sekolah Diniyah yang orang tuanya tinggal di Panorama Bukittinggi. Gadis itulah yang mengobat luka-luka yang dia derita dengan penuh kasih sayang.
Dan tanpa dia sadari, ibu jarinya meraba jari manisnya yang kiri. Sebentuk cincin bermata Intan melingkar di sana, cincin pemberian Salma.
“Bungsu-san, apa bedanya antara negerimu dengan negeriku?”
“Banyak. Di negeri kami tak ada musim dingin. Tak ada musim bunga atau musim gugur.
Di sana matahari bersinar terus sepanjang tahun….”
“Oh, alangkah indah dan senangnya hidup di sana.
Apakah di sana juga ada danau, gunung dan laut seperti di sini?”
Apakah di sana juga ada danau, gunung dan laut seperti di sini?”
“Engkau tak pernah melihatnya di peta dalam sekolah?”
Michiko tersenyum, kemudian dengan manja menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu.
“Saya sudah melihatnya dalam peta. Tapi saya ingin mendengarnya dari mulutmu….
Ceritalah yang banyak Bungsu-san.
Ceritalah tentang negerimu.
Tentang dirimu.
Tentang apa saja…”
“Juga tentang bangsamu yang menjajah dan memperkosa negeriku?” hampir saja pertanyaan itu melompat dari mulut si Bungsu, untung dia segera dapat menahan diri.
Dia sadar, gadis ini tak ada sangkut pautnya dengan fasisme militer yang menjajah negerinya.
“Saya takkan bercerita, saya akan menyanyi. Engkau mau mendengarkan nyanyiku…?” tanyanya sambil memeluk bahu Michiko.
Gadis itu bangkit dari bahu si Bungsu. Menatap wajahnya dengan pandangan berbinar.
“Ya, saya suka. Menyanyilah Bungsu-san…” katanya gembira dan kembali dia merebahkan kepalanya ke bahu si Bungsu.
Si Bungsu memeluk bahu gadis itu dan mulai batuk-batuk kecil mengatur suara, dan dia mulai menyanyi dengan suaranya yang berat dan lembut.
“Meskipun turun hujan,
Saya akan pergi
Jangan menangis
Jangan lupakan saya
Selamat tinggal”
Michiko mengangkat kepalanya begitu lagu itu berakhir. Menatap anak muda itu tepat-tepat.
“Anata wa nippon no uta o shitte imasu…’ (Anda mengetahui lagu Jepang), kata Michiko heran.
“Hai, sukhosi dekimasu…” (Ya, mengetahui sedikit)
“Itu lagu yang sangat mengharukan.
Lagu perpisahan antara dua kekasih.
Dimana anda belajar?”
Lagu perpisahan antara dua kekasih.
Dimana anda belajar?”
“Saya belajar dari seorang sahabat. Seorang pelaut. Kami sekapal dari Singapura ke Tokyo…”
“Ya, itu adalah lagu pelaut-pelaut yang meninggalkan pelabuhan sepinya. Anda menyukai lagu itu?”
“Ya…saya suka sekali…”
“Kenapa?”
“Karena saya adalah pelaut. Bukankah setiap pengembara adalah pelaut dalam arti kata yang lain? Pengembara pergi dan datang ke suatu negeri seperti pelaut datang dan pergi ke satu, dan lain laut sepi. Begitulah saya…”
“Oh, Bungsu-san….” Michiko menyembunyikan rasa harunya ke dada pemuda itu.
Si Bungsu memeluk bahu gadis itu kembali.
Tanpa dia ketahui, air mata gadis itu mengalir di pipi. Pemuda itu menyanyikan lagu sepi dan mengucapkan selamat tinggal.
Dan Michiko merasa bahwa lagu itu ditujukan untuk dirinya.
Dengan halus si Bungsu tadi telah menolak untuk menginap di rumahnya.
Bukankah itu isyarat, bahwa pemuda itu tak lagi akan bertemu dengannya?
Dengan halus si Bungsu tadi telah menolak untuk menginap di rumahnya.
Bukankah itu isyarat, bahwa pemuda itu tak lagi akan bertemu dengannya?
Dia merasakan tangan anak muda itu memeluk bahunya.
Merasakan pipi anak muda itu bersandar ke rambutnya yang lebat. Michiko memegang tangan si Bungsu yang memeluknya.
Memegangnya dengan lembut. Dengan sikap demikian, dia kembali tertidur.
Dan dengan sikap demikian pula si Bungsu mengenang kembali masa lalunya di Minangkabau.
Merasakan pipi anak muda itu bersandar ke rambutnya yang lebat. Michiko memegang tangan si Bungsu yang memeluknya.
Memegangnya dengan lembut. Dengan sikap demikian, dia kembali tertidur.
Dan dengan sikap demikian pula si Bungsu mengenang kembali masa lalunya di Minangkabau.
Ingatannya menikam masa tahun-tahun yang lenyap dalam jejak zaman. Teringat akan kegemarannya berjudi ketika muda.
Pada kebenciannya belajar silat. Meski ayahnya, Datuk Berbangsa adalah Guru Tuo dalam aliran silatnya di kaki Gunung Sago itu. Teringat pada Mei-Mei. Pada “Isteri” pertamanya yang tak sempat dia nikahi itu.
Gadis Cina itu meninggal di atas loteng surau di Tarok, Kota Bukittinggi sesaat sebelum mereka membaca ijab kabul di depan Kadhi. Gadis itu meninggal karena diperkosa oleh selusin serdadu Jepang.
Kemudian dia teringat pada Salma.
Gadis murid sekolah Diniyah yang orang tuanya tinggal di Panorama Bukittinggi. Gadis itulah yang mengobat luka-luka yang dia derita dengan penuh kasih sayang.
Dan tanpa dia sadari, ibu jarinya meraba jari manisnya yang kiri. Sebentuk cincin bermata Intan melingkar di sana, cincin pemberian Salma.
Gadis murid sekolah Diniyah yang orang tuanya tinggal di Panorama Bukittinggi. Gadis itulah yang mengobat luka-luka yang dia derita dengan penuh kasih sayang.
Dan tanpa dia sadari, ibu jarinya meraba jari manisnya yang kiri. Sebentuk cincin bermata Intan melingkar di sana, cincin pemberian Salma.
Di Jepang (bagian 212)
“Pakailah cincin ini. Bila uda sakit atau rindu ke kampung, lihatlah cincin ini, saya selalu mendoakan kebahagiaan udaa…”
Begitu Salma berkata sesaat sebelum dia pergi dahulu. Dia menoleh ke cincin itu. Dan dia justru terpandang pada wajah Michiko yang tidur bersandar ke bahunya.
Gadis itu tidur dengan tenteram dan nyenyak dalam pelukan tangan kirinya. Dia menoleh ke luar. Lewat jendela kaca yang kain gordennya belum ditutupkan, dia melihat kegelapan yang pekat di luar sana. Angin dingin pastilah menusuk-nusuk, sebab kini musimnya. Dalam kegelapan di luar, dia membayangkan perjalanannya selama di Jepang ini. Membayangkan Kenji, Hannako dan Tokugawa.
Hannako! Ah, sedang mengapa gadis itu kini?
Dia tahu gadis itu mencintainya. Itu terlihat dari tindak tanduknya. Apakah dia juga mencintai gadis itu?
Dia tak berani menjawabnya.
Dia menyayangi gadis itu seperti dia menyayangi adiknya.
Dan tiba-tiba dia menatap wajah Michiko yang tidur dalam dekapannya.
Yang mana antara Michiko dan Hannako yang cantik?
Dia tak dapat mengatakan yang pasti. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing.
Dan mana yang cantik antara kedua gadis ini dengan Salma yang di Bukittinggi.
Ah gila, pikirnya. Dia jadi malu pada dirinya memperbandingkan gadis-gadis itu.
Dan dengan pikiran demikian, dengan tangan tetap melekuk bahu Michiko, diapun tertidur.
Kyoto. Pada tahun-tahun sehabis perang Dunia ke II Kyoto adalah kota terbesar di Jepang. Lebih besar dari Tokyo yang kini jadi Ibukota. Kyoto adalah kota tua dari zaman dinasti Tokugawa.
Karenanya dalam kota kelihatan bangunan-bangunan peninggalan zaman tersebut. Tua tapi kukuh dan anggun. Kuil-kuil agama Budha dan Shinto terdapat di banyak tempat dalam kota.
ota itu sendiri di belah-belah oleh beberapa sungai besar dan kecil. Sungai terbesar yang membelah kota itu adalah dua buah sungai yang bergabung jadi satu.
Kedua sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai Takano dari utara bergabung jadi satu agak di utara kota, kemudian mengalir ke jantung kota.
Stasiun Kereta Api Kyoto terletak di kawasan daerah Minamiku. Di depannya ada stasiun bus. Stasiun ini ramai sepanjang siang dan malam. Tak perduli musim panas atau musim dingin. Sepanjang tepi sungai yang mengalir dalam kota dibuat jalan raya yang diteduhi pohon-pohonan sakura.
Si Bungsu menginap di sebuah hotel di persimpangan jalan Imadegawa yang melintasi sungai dengan jalan Karawamachi yang searah memanjang jalan. Dia berpisah dengan Michiko di depan hotel itu. Di belakang hotelnya adalah areal Istana Kyoto. Istana ini memiliki kebun dan taman yang bukan main luasnya. Di sinilah dahulu Dinasti Tokugawa memerintah.
Dia setaksi dengan Michiko yang juga se arah perjalanannya dengan dia. Dari stasiun kereta api mereka menyelusuri jalan raya Kamawarachi arah ke utara. Di persimpangan jembatan Kamo Odhasi di mana letak hotel Kamo dia turun.
“Saya akan datang kemari, boleh?” tanya Michiko.
“Dengan segala senang hati…” jawabnya.
Benar saja, esoknya Michiko datang membawa makanan.
Mereka duduk di teras belakang hotel itu. Menghadap ke taman Istana Kyoto yang luas.
“Ayah ingin bertemu denganmu. Dia menyampaikan salam…” kata Michiko.
“Terimakasih. Ibumu ada sehat-sehat?”
“Ibu sudah lama meninggal…”
“Oh, maafkan…”
“Selama ini saya hidup dengan ayah. Dan saya mendapatkan kasih sayang yang cukup dari beliau. Kapan Bungsu-san dapat datang ke rumah kami? Rumah saya tak berapa jauh dari sini…”
“Suatu saat saya pasti datang. Bila saya telah bertemu dengan teman yang saya cari…”
“Hei, dari kemaren Bungsu-san bercerita akan menemui seorang teman di kota ini. Tapi Bungsu-san tak pernah mengatakan apakah dia seorang wanita atau lelaki. Teman wanita barangkali?”
Si Bungsu tersenyum.
“Seorang teman istimewa ya Bungsu-san?” Michiko memancing.
“Tidak Michiko-san. Saya mencari teman lama. Seorang lelaki…” kata si Bungsu, perasaan Michiko jadi tenteram.
Dan pembicaraan lalu berkisar pada soal lain.
Dan setelah sama-sama makan siang di restoran hotel, Michiko lalu pulang.
Si Bungsu jadi lega begitu Michiko pulang.
Sebab dia memerlukan waktu untuk latihan terakhir. Dia segera menuju ke kamarnya. Disana, dia membuka samurai.
Kemudian berlatih beberapa saat. Dia melatih pernafasan. Melatih indera dan kecepatan reaksinya. Dia berlatih hingga malam turun. Dan malam itu dia tidur dengan lelap sekali.
“Pakailah cincin ini. Bila uda sakit atau rindu ke kampung, lihatlah cincin ini, saya selalu mendoakan kebahagiaan udaa…”
Begitu Salma berkata sesaat sebelum dia pergi dahulu. Dia menoleh ke cincin itu. Dan dia justru terpandang pada wajah Michiko yang tidur bersandar ke bahunya.
Gadis itu tidur dengan tenteram dan nyenyak dalam pelukan tangan kirinya. Dia menoleh ke luar. Lewat jendela kaca yang kain gordennya belum ditutupkan, dia melihat kegelapan yang pekat di luar sana. Angin dingin pastilah menusuk-nusuk, sebab kini musimnya. Dalam kegelapan di luar, dia membayangkan perjalanannya selama di Jepang ini. Membayangkan Kenji, Hannako dan Tokugawa.
Hannako! Ah, sedang mengapa gadis itu kini?
Dia tahu gadis itu mencintainya. Itu terlihat dari tindak tanduknya. Apakah dia juga mencintai gadis itu?
Dia tak berani menjawabnya.
Dia menyayangi gadis itu seperti dia menyayangi adiknya.
Dan tiba-tiba dia menatap wajah Michiko yang tidur dalam dekapannya.
Yang mana antara Michiko dan Hannako yang cantik?
Dia tak dapat mengatakan yang pasti. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing.
Dan mana yang cantik antara kedua gadis ini dengan Salma yang di Bukittinggi.
Ah gila, pikirnya. Dia jadi malu pada dirinya memperbandingkan gadis-gadis itu.
Dan dengan pikiran demikian, dengan tangan tetap melekuk bahu Michiko, diapun tertidur.
Dia tak dapat mengatakan yang pasti. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing.
Dan mana yang cantik antara kedua gadis ini dengan Salma yang di Bukittinggi.
Ah gila, pikirnya. Dia jadi malu pada dirinya memperbandingkan gadis-gadis itu.
Dan dengan pikiran demikian, dengan tangan tetap melekuk bahu Michiko, diapun tertidur.
Kyoto. Pada tahun-tahun sehabis perang Dunia ke II Kyoto adalah kota terbesar di Jepang. Lebih besar dari Tokyo yang kini jadi Ibukota. Kyoto adalah kota tua dari zaman dinasti Tokugawa.
Karenanya dalam kota kelihatan bangunan-bangunan peninggalan zaman tersebut. Tua tapi kukuh dan anggun. Kuil-kuil agama Budha dan Shinto terdapat di banyak tempat dalam kota.
ota itu sendiri di belah-belah oleh beberapa sungai besar dan kecil. Sungai terbesar yang membelah kota itu adalah dua buah sungai yang bergabung jadi satu.
Kedua sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai Takano dari utara bergabung jadi satu agak di utara kota, kemudian mengalir ke jantung kota.
Stasiun Kereta Api Kyoto terletak di kawasan daerah Minamiku. Di depannya ada stasiun bus. Stasiun ini ramai sepanjang siang dan malam. Tak perduli musim panas atau musim dingin. Sepanjang tepi sungai yang mengalir dalam kota dibuat jalan raya yang diteduhi pohon-pohonan sakura.
Si Bungsu menginap di sebuah hotel di persimpangan jalan Imadegawa yang melintasi sungai dengan jalan Karawamachi yang searah memanjang jalan. Dia berpisah dengan Michiko di depan hotel itu. Di belakang hotelnya adalah areal Istana Kyoto. Istana ini memiliki kebun dan taman yang bukan main luasnya. Di sinilah dahulu Dinasti Tokugawa memerintah.
Dia setaksi dengan Michiko yang juga se arah perjalanannya dengan dia. Dari stasiun kereta api mereka menyelusuri jalan raya Kamawarachi arah ke utara. Di persimpangan jembatan Kamo Odhasi di mana letak hotel Kamo dia turun.
“Saya akan datang kemari, boleh?” tanya Michiko.
“Dengan segala senang hati…” jawabnya.
Benar saja, esoknya Michiko datang membawa makanan.
Mereka duduk di teras belakang hotel itu. Menghadap ke taman Istana Kyoto yang luas.
“Ayah ingin bertemu denganmu. Dia menyampaikan salam…” kata Michiko.
“Terimakasih. Ibumu ada sehat-sehat?”
“Ibu sudah lama meninggal…”
“Oh, maafkan…”
“Selama ini saya hidup dengan ayah. Dan saya mendapatkan kasih sayang yang cukup dari beliau. Kapan Bungsu-san dapat datang ke rumah kami? Rumah saya tak berapa jauh dari sini…”
“Suatu saat saya pasti datang. Bila saya telah bertemu dengan teman yang saya cari…”
“Hei, dari kemaren Bungsu-san bercerita akan menemui seorang teman di kota ini. Tapi Bungsu-san tak pernah mengatakan apakah dia seorang wanita atau lelaki. Teman wanita barangkali?”
Si Bungsu tersenyum.
“Seorang teman istimewa ya Bungsu-san?” Michiko memancing.
“Tidak Michiko-san. Saya mencari teman lama. Seorang lelaki…” kata si Bungsu, perasaan Michiko jadi tenteram.
Dan pembicaraan lalu berkisar pada soal lain.
Dan setelah sama-sama makan siang di restoran hotel, Michiko lalu pulang.
Si Bungsu jadi lega begitu Michiko pulang.
Sebab dia memerlukan waktu untuk latihan terakhir. Dia segera menuju ke kamarnya. Disana, dia membuka samurai.
Kemudian berlatih beberapa saat. Dia melatih pernafasan. Melatih indera dan kecepatan reaksinya. Dia berlatih hingga malam turun. Dan malam itu dia tidur dengan lelap sekali.
Di Jepang (bagian 213)
Subuh. Ini adalah hari ke tiga dia di Kyoto. Dan hari ini dia akan menemui “teman lamanya” itu. Teman yang telah lama tak bersua, Saburo Matsuyama! Dia membuka peta kecil yang dia beli ketika masih di Tokyo. Dan mempelajari peta itu dengan seksama.
Mempelajari letak sebuah kuil. Kuil Shimogamo. Kuil tersebut terletak di daerah Shimogamo. Terletak antara jalan Shomogamo Higasi dan jalan Shimogamo Hon. Kuil itu juga terletak antara sungai Takano di sebelah kanannya dan sungai Kamodi di sebelah kirinya. Dia harus menempuh jalan Shimogamo Hon dari hotelnya ini. Kemudian melintas di jembatan Aoi yang terletak di atas sungai Kamo.
Ke sanalah dia kini pergi! Di Tokyo, ketika dalam penjara dia mendapat alamat dimana Saburo berada. Keterangan itu diperolehnya lewat seorang tentara Amerika bahagian dokumentasi. Dia tahu dimana bekas-bekas tentara Jepang berada.
Hari masih pagi ketika dia melintas di jembatan Aoi itu. Udara dalam musim dingin itu berkabut. Dia berjalan santai. Di pinggangnya tergantung samurai yang beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa ibu, ayah dan kakaknya! Kini dengan pakaian Kimono berwarna hitam bertuliskan aksara (huruf) Kanji, yaitu aksara yang dipakai dalam bahasa Jepang, dengan samurai di pinggang kiri maka dia tak ada obahnya seperti orang-orang Jepang.
Beberapa orang Jepang yang berpapasan jalan dengannya membungkuk memberi hormat. Dia juga melakukan hal yang sama. Di kota ini, keakraban dan basa basi masih tinggi terasa.
Dari mulutnya sambil berjalan itu berkumandang dengan lembut lagu yang diajarkan Kenji ketika mereka di kapal dulu :
“Ame ga futtemo ikimasu
Nakanaide kuda-sai
Watashi o wasurenaide kudasai…
sayonaraaaa”
(Meskipun turun hujan
saya tetap akan pergi
Jangan menangis
Jangan lupan saya
Selamat tinggal…!”)
Lagu itu dia ulangi beberapa kali. Beberapa lelaki Jepang yang berpapasan dengannya mengangguk. Dia juga mengangguk sambil tetap menggumankan nyanyi itu.
Dan tiba-tiba dia melihat kuil itu! Kulil Shimogamo! Dia terhenti. Tubuhnya terasa membeku. Tapi juga panas dan menggigil. Kuil itu terletak di ujung sebuah taman yang cukup luas.
Perlahan dia membelok ke kanan dari jalan Shimoga-hon. Kemudian berbelok ke kiri melintasi taman pepohonan yang rimbun.
Seratus meter berbelok ke kiri. Dan tiba-tiba kakinya telah menginjak altar Kuil Shimogamo! Dan dia terhenti di ujung altar.
Puluhan pendeta berkepala botak kelihatan sedang berlatih beladiri. Ada yang berlatih dengan pentungan kayu sepanjang satu setengah depa. Ada yang berlatih karate. Ada yang berlatih samurai.
Dia tak kaget. Sebab dia telah diberitahu tentang kuil ini.
Dan hampir di seluruh kuil di Jepang atau Tiongkok kepada para pendetanya memang diajarkan berbagai jenis beladiri.
Hal ini sudah menjadi tradisi bagi kuil-kuil tersebut. Tujuan utamanya di zaman dahulu kala adalah menghadapi musuh yang selalu saja ingin menguasai sebuah kuil.
Menyebarkan agama, seperti halnya di Indonesia, selalau mendapat tantangan. Maka kalau di Indonesia para malin, terutama di Minangkabau biasanya adalah pesilat-pesilat tangguh, maka di Jepang mereka umumnya adalah Karateka atau samurai yang tangguh pula.
Hanya saja kini kegunaan pelajaran beladiri itu sudah jauh berbeda. Tidak lagi untuk menghadapi musuh.
Tapi untuk kesehatan. Jadi fungsinya sudah bertukar jadi olahraga!
“Maafkan, bisa saya bantu?” sebuah suara ramah menyadarkan si Bungsu yang masih tegak diam diujung altar kuil itu.
Kuil itu besar, bersih dan anggun.
Dia menoleh. Seorang pendeta berjubah merah berkepala botak dan berwajah ramah, tegak di sisinya.
“Apa yang bisa saya bantu?” ulang pendeta itu lembut.
“Oh..ya…. saya ingin bertemu dengan Obosan….
Dapatkah dia menerima kedatangan saya?
Obosan adalah kepala pendeta. Pendeta itu menatapnya dengan sinar mata yang lembut. Dia tak bertanya sedikitpun darimana orang ini datang, dan ada urusan apa kedatangannya. Itu adalah urusan pribadi. Dan kuil tak ada hak mencampuri urusan pribadi orang.
Lagipula setiap orang yang berkunjung ke kuil haruslah dihormati.
Subuh. Ini adalah hari ke tiga dia di Kyoto. Dan hari ini dia akan menemui “teman lamanya” itu. Teman yang telah lama tak bersua, Saburo Matsuyama! Dia membuka peta kecil yang dia beli ketika masih di Tokyo. Dan mempelajari peta itu dengan seksama.
Mempelajari letak sebuah kuil. Kuil Shimogamo. Kuil tersebut terletak di daerah Shimogamo. Terletak antara jalan Shomogamo Higasi dan jalan Shimogamo Hon. Kuil itu juga terletak antara sungai Takano di sebelah kanannya dan sungai Kamodi di sebelah kirinya. Dia harus menempuh jalan Shimogamo Hon dari hotelnya ini. Kemudian melintas di jembatan Aoi yang terletak di atas sungai Kamo.
Ke sanalah dia kini pergi! Di Tokyo, ketika dalam penjara dia mendapat alamat dimana Saburo berada. Keterangan itu diperolehnya lewat seorang tentara Amerika bahagian dokumentasi. Dia tahu dimana bekas-bekas tentara Jepang berada.
Hari masih pagi ketika dia melintas di jembatan Aoi itu. Udara dalam musim dingin itu berkabut. Dia berjalan santai. Di pinggangnya tergantung samurai yang beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa ibu, ayah dan kakaknya! Kini dengan pakaian Kimono berwarna hitam bertuliskan aksara (huruf) Kanji, yaitu aksara yang dipakai dalam bahasa Jepang, dengan samurai di pinggang kiri maka dia tak ada obahnya seperti orang-orang Jepang.
Beberapa orang Jepang yang berpapasan jalan dengannya membungkuk memberi hormat. Dia juga melakukan hal yang sama. Di kota ini, keakraban dan basa basi masih tinggi terasa.
Dari mulutnya sambil berjalan itu berkumandang dengan lembut lagu yang diajarkan Kenji ketika mereka di kapal dulu :
“Ame ga futtemo ikimasu
Nakanaide kuda-sai
Watashi o wasurenaide kudasai…
sayonaraaaa”
(Meskipun turun hujan
saya tetap akan pergi
Jangan menangis
Jangan lupan saya
Selamat tinggal…!”)
Lagu itu dia ulangi beberapa kali. Beberapa lelaki Jepang yang berpapasan dengannya mengangguk. Dia juga mengangguk sambil tetap menggumankan nyanyi itu.
Dan tiba-tiba dia melihat kuil itu! Kulil Shimogamo! Dia terhenti. Tubuhnya terasa membeku. Tapi juga panas dan menggigil. Kuil itu terletak di ujung sebuah taman yang cukup luas.
Perlahan dia membelok ke kanan dari jalan Shimoga-hon. Kemudian berbelok ke kiri melintasi taman pepohonan yang rimbun.
Seratus meter berbelok ke kiri. Dan tiba-tiba kakinya telah menginjak altar Kuil Shimogamo! Dan dia terhenti di ujung altar.
Dan tiba-tiba dia melihat kuil itu! Kulil Shimogamo! Dia terhenti. Tubuhnya terasa membeku. Tapi juga panas dan menggigil. Kuil itu terletak di ujung sebuah taman yang cukup luas.
Perlahan dia membelok ke kanan dari jalan Shimoga-hon. Kemudian berbelok ke kiri melintasi taman pepohonan yang rimbun.
Seratus meter berbelok ke kiri. Dan tiba-tiba kakinya telah menginjak altar Kuil Shimogamo! Dan dia terhenti di ujung altar.
Puluhan pendeta berkepala botak kelihatan sedang berlatih beladiri. Ada yang berlatih dengan pentungan kayu sepanjang satu setengah depa. Ada yang berlatih karate. Ada yang berlatih samurai.
Dia tak kaget. Sebab dia telah diberitahu tentang kuil ini.
Dan hampir di seluruh kuil di Jepang atau Tiongkok kepada para pendetanya memang diajarkan berbagai jenis beladiri.
Hal ini sudah menjadi tradisi bagi kuil-kuil tersebut. Tujuan utamanya di zaman dahulu kala adalah menghadapi musuh yang selalu saja ingin menguasai sebuah kuil.
Dia tak kaget. Sebab dia telah diberitahu tentang kuil ini.
Dan hampir di seluruh kuil di Jepang atau Tiongkok kepada para pendetanya memang diajarkan berbagai jenis beladiri.
Hal ini sudah menjadi tradisi bagi kuil-kuil tersebut. Tujuan utamanya di zaman dahulu kala adalah menghadapi musuh yang selalu saja ingin menguasai sebuah kuil.
Menyebarkan agama, seperti halnya di Indonesia, selalau mendapat tantangan. Maka kalau di Indonesia para malin, terutama di Minangkabau biasanya adalah pesilat-pesilat tangguh, maka di Jepang mereka umumnya adalah Karateka atau samurai yang tangguh pula.
Hanya saja kini kegunaan pelajaran beladiri itu sudah jauh berbeda. Tidak lagi untuk menghadapi musuh.
Tapi untuk kesehatan. Jadi fungsinya sudah bertukar jadi olahraga!
Tapi untuk kesehatan. Jadi fungsinya sudah bertukar jadi olahraga!
“Maafkan, bisa saya bantu?” sebuah suara ramah menyadarkan si Bungsu yang masih tegak diam diujung altar kuil itu.
Kuil itu besar, bersih dan anggun.
Dia menoleh. Seorang pendeta berjubah merah berkepala botak dan berwajah ramah, tegak di sisinya.
“Apa yang bisa saya bantu?” ulang pendeta itu lembut.
“Oh..ya…. saya ingin bertemu dengan Obosan….
Dapatkah dia menerima kedatangan saya?
Dapatkah dia menerima kedatangan saya?
Obosan adalah kepala pendeta. Pendeta itu menatapnya dengan sinar mata yang lembut. Dia tak bertanya sedikitpun darimana orang ini datang, dan ada urusan apa kedatangannya. Itu adalah urusan pribadi. Dan kuil tak ada hak mencampuri urusan pribadi orang.
Lagipula setiap orang yang berkunjung ke kuil haruslah dihormati.
Di Jepang (bagian 214)
“Akan saya sampaikan. Mari ikut saya….” Si Bungsu membungkuk memberi hormat.
Kemudian mereka berjalan lewat pendeta-pendeta yang tengah latihan itu. Menuju ke ruang tunggu kuil Shimogamo tersebut. Dari altar, mereka menaiki anak tangga yang jumlahnya sembilan buah. Lalu mereka melewati sebuah ruangan yang bersih dari marmar. Ruang itu tak berdinding. Hanya bertiang besar-besar.
Ada sepuluh meter persegi luasnya. Kemudian dia di bawa turun. Ruang ini tak ada kursi. Tapi bersihnya bukan main.
“Haraplah menanti disini…” kata pendeta itu.
Si Bungsu mengangguk. Dan dia segera saja duduk berlutut di lantai. Pendeta tadi menuju ke ruang tengah yang pintunya tertutup dari balik pintu terdengar suara berguman perlahan. Pastilah tengah berlangsung upacara agama di ruang sebelah itu. Dari luar sayup-sayup terdengar suara-suara orang latihan beladiri.
Seorang gadis lewat di samping si Bungsu. Melihat pintu tertutup, gadis itu tegak tak berapa jauh dari tempat si Bungsu berlutut. Kemudian gadis itu juga berlutut. Dia menaruh sebuah keranjang yang nampak berisi makanan di sisinya. Sepintas si Bungsu menoleh padanya. Gadis itu kebetulan juga tengah menoleh padanya.
“Bungsu-san…” seru gadis itu. Wajahnya berseri.
“Michiko….” Kata si Bungsu tertahan.
Ya, gadis itu adalah Michiko. Dia memakai kimono berwarna putih salju dengan bunga-bunga sakura berwarna merah jambu tergambar di kimononya itu. Di punggungnya dia memakai Obi, semacam stagen. Dan dikepalanya yang berambut hitam ikal dia memakai Kanzashi berbunga. Yaitu semacam sanggul khas Jepang. Gadis itu segera saja bangkit. Membawa keranjang kecilnya dan dengan wajah berseri duduk berjongkok di sebelah kiri sisi si Bungsu.
“Aaa, saya hampir-hampir tak mengenal Bungsu-san dalam pakaian begini. Bungsu-san persis seperti seorang samurai yang siap bertempur. Gagah dan perkasa”
Michiko berkata sambil menatap si Bungsu yang memegang samurai itu. Si Bungsu juga balas menatap kagum pada gadis cantik itu.
“Engkau benar-benar gadis yang cantik Michiko-san…” katanya perlahan.
Wajah Michiko bersemu merah. Matanya bersinar menatap si Bungsu.
“Ada keperluan apa Bungsu-san kemari?” tanyanya.
Dan pertanyaan itu belum terjawab, ketika pintu yang dimasuki pendeta tadi terbuka.
“Dengan segala senang hati, Obosan menanti kedatangan anda…” kata pendeta itu.
“Bungsu-san….engkau akan bertemu dengan Obosan…?” Michiko bertanya dengan heran.
“Ya, maafkan saya harus pergi….” Jawabnya sambil berdiri.
“Nona Michiko….” Pendeta yang menyilahkan si Bungsu masuk itu menegur Michiko dengan gembira.
“Selamat pagi pak…” sapa Michiko ramah.
Sementara itu pintu ruangan terbuka lebar. Si Bungsu melangkah. Tegak di ambang pintu.
Dan dalam ruangan upacara itu, tegak sekitar enam belas lelaki berjubah kuning berkepala botak. Tegak berbaris di dua sisi. Persis di ujung kedua barisan itu, dekat altar pemujaan, tegak seorang pendeta bertubuh tinggi gagah dan anggun dalam jubah merah.
Dia tegak menatap pada si Bungsu.
Si Bungsu tegak mengangkang di pintu menatap kepala pendeta yang tegak gagah dan berwajah ramah itu.
“Selamat datang di kuil Shimogamo, anak muda. Saya dengar engkau datang dari jauh. Mari silakan masuk….” Obosan (kepala pendeta) itu berkata dengan ramah.
Di telinga si Bungsu, suaranya yang ramah itu seperti datang dari liang lahat. Seperti suara cangkul menggali pusara. Seperti suara gonggong anjing di tengah malam. Dia tak beranjak dari tempatnya tegak.
“Silahkan masuk, kuil ini terbuka buat semua orang. Ada yang bisa saya bantu…?” Tanya Obosan itu.
Suaranya masih ramah. Sementara keenam belas pendetanya menatap diam dari tempat mereka tegak.
“Terimakasih. Saya mencari seorang lelaki, bekas balatentara Dai Nippon. Bernama Saburo Matsuyama. Ada lelaki itu disini?”
Suara si Bungsu bergema. Semua orang jadi terdiam mendengar suara yang alangkah dinginnya itu. Seperti suara yang datang dari guha yang sunyi. Mengandung misteri dan mengandung suara bahaya. Dia menatap kepala pendeta itu tepat-tepat dalam jarak dua puluh depa dari tempatnya tegak.
“Siapa anda, anak muda ?” Obosan itu. Masih ramah dan lembut suaranya.
“Saya orang Indonesia…” jawabnya dingin.
“Saya banyak mengenal banyak teman-teman dari Indonesia. Apa yang dapat saya bantu?” pendeta itu masih bicara perlahan dari tempatnya tegak.
“Anda banyak teman, yaitu penghianat di negeri kami. Anda masih kenal saya, Saburo?”
“Akan saya sampaikan. Mari ikut saya….” Si Bungsu membungkuk memberi hormat.
Kemudian mereka berjalan lewat pendeta-pendeta yang tengah latihan itu. Menuju ke ruang tunggu kuil Shimogamo tersebut. Dari altar, mereka menaiki anak tangga yang jumlahnya sembilan buah. Lalu mereka melewati sebuah ruangan yang bersih dari marmar. Ruang itu tak berdinding. Hanya bertiang besar-besar.
Ada sepuluh meter persegi luasnya. Kemudian dia di bawa turun. Ruang ini tak ada kursi. Tapi bersihnya bukan main.
“Haraplah menanti disini…” kata pendeta itu.
Si Bungsu mengangguk. Dan dia segera saja duduk berlutut di lantai. Pendeta tadi menuju ke ruang tengah yang pintunya tertutup dari balik pintu terdengar suara berguman perlahan. Pastilah tengah berlangsung upacara agama di ruang sebelah itu. Dari luar sayup-sayup terdengar suara-suara orang latihan beladiri.
Seorang gadis lewat di samping si Bungsu. Melihat pintu tertutup, gadis itu tegak tak berapa jauh dari tempat si Bungsu berlutut. Kemudian gadis itu juga berlutut. Dia menaruh sebuah keranjang yang nampak berisi makanan di sisinya. Sepintas si Bungsu menoleh padanya. Gadis itu kebetulan juga tengah menoleh padanya.
“Bungsu-san…” seru gadis itu. Wajahnya berseri.
“Michiko….” Kata si Bungsu tertahan.
Ya, gadis itu adalah Michiko. Dia memakai kimono berwarna putih salju dengan bunga-bunga sakura berwarna merah jambu tergambar di kimononya itu. Di punggungnya dia memakai Obi, semacam stagen. Dan dikepalanya yang berambut hitam ikal dia memakai Kanzashi berbunga. Yaitu semacam sanggul khas Jepang. Gadis itu segera saja bangkit. Membawa keranjang kecilnya dan dengan wajah berseri duduk berjongkok di sebelah kiri sisi si Bungsu.
“Aaa, saya hampir-hampir tak mengenal Bungsu-san dalam pakaian begini. Bungsu-san persis seperti seorang samurai yang siap bertempur. Gagah dan perkasa”
Michiko berkata sambil menatap si Bungsu yang memegang samurai itu. Si Bungsu juga balas menatap kagum pada gadis cantik itu.
“Engkau benar-benar gadis yang cantik Michiko-san…” katanya perlahan.
Wajah Michiko bersemu merah. Matanya bersinar menatap si Bungsu.
“Ada keperluan apa Bungsu-san kemari?” tanyanya.
Dan pertanyaan itu belum terjawab, ketika pintu yang dimasuki pendeta tadi terbuka.
“Dengan segala senang hati, Obosan menanti kedatangan anda…” kata pendeta itu.
“Bungsu-san….engkau akan bertemu dengan Obosan…?” Michiko bertanya dengan heran.
“Ya, maafkan saya harus pergi….” Jawabnya sambil berdiri.
“Nona Michiko….” Pendeta yang menyilahkan si Bungsu masuk itu menegur Michiko dengan gembira.
“Selamat pagi pak…” sapa Michiko ramah.
Sementara itu pintu ruangan terbuka lebar. Si Bungsu melangkah. Tegak di ambang pintu.
Dan dalam ruangan upacara itu, tegak sekitar enam belas lelaki berjubah kuning berkepala botak. Tegak berbaris di dua sisi. Persis di ujung kedua barisan itu, dekat altar pemujaan, tegak seorang pendeta bertubuh tinggi gagah dan anggun dalam jubah merah.
Dia tegak menatap pada si Bungsu.
Si Bungsu tegak mengangkang di pintu menatap kepala pendeta yang tegak gagah dan berwajah ramah itu.
“Selamat datang di kuil Shimogamo, anak muda. Saya dengar engkau datang dari jauh. Mari silakan masuk….” Obosan (kepala pendeta) itu berkata dengan ramah.
Di telinga si Bungsu, suaranya yang ramah itu seperti datang dari liang lahat. Seperti suara cangkul menggali pusara. Seperti suara gonggong anjing di tengah malam. Dia tak beranjak dari tempatnya tegak.
“Silahkan masuk, kuil ini terbuka buat semua orang. Ada yang bisa saya bantu…?” Tanya Obosan itu.
Suaranya masih ramah. Sementara keenam belas pendetanya menatap diam dari tempat mereka tegak.
“Terimakasih. Saya mencari seorang lelaki, bekas balatentara Dai Nippon. Bernama Saburo Matsuyama. Ada lelaki itu disini?”
Suara si Bungsu bergema. Semua orang jadi terdiam mendengar suara yang alangkah dinginnya itu. Seperti suara yang datang dari guha yang sunyi. Mengandung misteri dan mengandung suara bahaya. Dia menatap kepala pendeta itu tepat-tepat dalam jarak dua puluh depa dari tempatnya tegak.
“Siapa anda, anak muda ?” Obosan itu. Masih ramah dan lembut suaranya.
“Saya orang Indonesia…” jawabnya dingin.
“Saya banyak mengenal banyak teman-teman dari Indonesia. Apa yang dapat saya bantu?” pendeta itu masih bicara perlahan dari tempatnya tegak.
“Anda banyak teman, yaitu penghianat di negeri kami. Anda masih kenal saya, Saburo?”
Di Jepang (bagian 215)
Pertanyaan itu saja sudah membuat kaget seluruh pendeta yang ada disana. Michiko yang juga kaget luar biasa atas percakapan itu melangkah, dan tegak tiga depa di belakang si Bungsu.
“Maafkan, terlalu lama zaman saya lalui. Sehingga saya tak bisa mengingat semua teman dan kenalan…” suara Obosan itu terdengar lagi.
Si Bungsu membuka kimononya. Dan pinggang ke atas tiba-tiba terbuka. Michiko yang ada di belakang terpekik melihat beberapa sayatan memanjang di punggung anak muda itu. Sementara yang tegak di depannya yaitu para pendeta itu, juga tertegun melihat bekas-bekas sayatan di dada anak muda asing ini. Si Bungsu membelakang. Memperlihatkan punggungnya pada Saburo.
“Suatu hari di Minangkabau, di desa Situjuh Ladang Laweh, di kaki Gunung Sago Kabupaten 50 Kota, anda membunuh seorang lelaki bernama Datuk Berbangsa. Membunuh isterinya. Memperkosa anak gadisnya. Dan melukai anak lelakinya. Mereka adalah ayah, ibu dan kakakku! Dan anak lelaki yang engkau kira mati oleh samuraimu itu, kini ada dihadapnmu!”
Kalau saja ada petir menyambar, barangkali kepala pendeta itu, terlebih lagi para pendeta dan Michiko, mungkin takkan terkejut mendengarnya.
Namun ucapan anak muda ini melebihi seribu petir di pagi itu. Michiko terpekik!
“Ayaah….!” Katanya.
Dan dia jatuh berlutut di atas lantai!
Si Bungsu kaget dan menoleh ke belakang. Obosan itu juga kaget. Dan barulah kini dia melihat bahwa di belakang anak muda itu ada Michiko, anaknya!
“Michiko…..!!!!”
Kepala pendeta yang tak lain dari Saburo Matsuyama itu berseru. Suaranya terdengar getir. Dan di ujung sana, Michiko terduduk, dia menangis. Saburo jelas sekali terpukul bathinnya. Bertahun-tahun dia menyembunyikan diri dari kekejamannya selama perang. Dia selalu bercerita yang baik-baik pada anak gadisnya.
“Kenapa ayah berhenti jadi tentara ?” begitu Michiko bertanya ketika dia pulang setelah dipecat dari dinas ketentaraan oleh Jenderal Fujiyama di Bukittinggi dulu.
“Perang sangat kejam nak. Ayah tak bisa membunuh orang terus-terusan. Ayah berhenti di Filipina…” katanya berbohong.
Ya, dia hanya setahun di Indonesia. Dia tak ingin pengalaman pahitnya di Indonesia diungkit. Dia mengatakan pada anaknya bahwa dia hanya bertugas di Filipina. Dan Saburo Matsuyama ternyata memang menyesali segala perbuatannya selama perang. Dia memutuskan untuk jadi pendeta.
Siapa nyana… ternyata ada orang yang mencarinya kembali untuk urusan balas dendam.
Yang tak kalah kagetnya adalah si Bungsu, dia heran kepada siapa Michiko memanggil ayah tadi? Dan begitu Saburo menyebut Michiko… maka tahulah dia, ayah si gadis itu adalah Saburo! Ya Tuhan, alangkah banyaknya hal yang tak bisa terduga oleh manusia!
Dan tiba-tiba saja semua dikejutkan oleh perbuatan Michiko. Tangan gadis itu cepat menjangkau ke dalam keranjang kecil yang dia bawa. Dari dalamnya dia menghunus sebilah samurai kecil.
Dan samurai itu dia hunjamkan ke jantungnya!!
“Michikooooooo!” Saburo Matsuyama berteriak histeris melihat kenekatan anaknya itu.
Namun suatu keajaiban terjadi. Sebenarnya bukan keajaiban, tapi suatu kecepatan yang luar biasa. Si Bungsu yang tegak tiga depa dari Michiko, adalah orang pertama yang dapat melihat gerak tangan gadis itu. Dia melihat sesuatu yang mengkilap di tangannya yang ke luar dari keranjang kecil itu. Dan tangan gadis itu menghujamkan ke dadanya. Nalurinya yang amat sensitif, yang dia bawa dari Gunung Sago, segera mengirimkan isyarat bahaya.
Dan dengan gerak yang hanya berdasarkan nalurinya saja, samurainya tersebut, dan dalam sebuah gulingan di lantai, dalam jurus Lompat Tupai, samurainya bekerja. Samurai kecil di tangan Michiko kena dihantam samurainya. Samurai kecil itu terpental. Menancap di loteng kuil! Michiko kaget. Semua pendeta juga kaget melihat kecepatan anak muda ini. Michiko menatap si Bungsu, dan tiba-tiba dia memeluk anak muda itu!.
”Bungsu-san…..kenapa harus jadi begini ?” isaknya.
Sementara itu Saburo sampai di sana.
“Michiko-san….” Katanya perlahan.
Gadis itu menoleh pada ayahnya, dan tiba-tiba dia berlari ke pelukan si ayah.
“Ayah, dialah pemuda yang kuceritakan itu. Dialah yang dua kali menyelamatkan nyawaku. Dialah yang…..yang…oh Tuhan….oh Tuhan….mengapa harus jadi begini. Biarlah aku mati…..biarlah aku mati ayah…..”
Gadis itu hampir-hampir histeris!
Saburo jadi kaget mendengar ucapan anaknya. Para pendeta yang semuanya juga telah mendengar cerita itu dari Saburo, juga jadi kaget. Saburo menatap si Bungsu, kedua musuh berbuyutan ini saling pandang. Dan kedua sama-sama terkejutnya mendapatkan kenyataan ini. Betapa tidak, si Bungsu yang telah menolong Michiko sejak dari Tokyo, telah begitu akrab dengan gadis itu, yang secara jujur harus dia akui bahwa dia jatuh hati padanya. Ternyata gadis itu adalah anak musuh besarnya.
Pertanyaan itu saja sudah membuat kaget seluruh pendeta yang ada disana. Michiko yang juga kaget luar biasa atas percakapan itu melangkah, dan tegak tiga depa di belakang si Bungsu.
“Maafkan, terlalu lama zaman saya lalui. Sehingga saya tak bisa mengingat semua teman dan kenalan…” suara Obosan itu terdengar lagi.
Si Bungsu membuka kimononya. Dan pinggang ke atas tiba-tiba terbuka. Michiko yang ada di belakang terpekik melihat beberapa sayatan memanjang di punggung anak muda itu. Sementara yang tegak di depannya yaitu para pendeta itu, juga tertegun melihat bekas-bekas sayatan di dada anak muda asing ini. Si Bungsu membelakang. Memperlihatkan punggungnya pada Saburo.
“Suatu hari di Minangkabau, di desa Situjuh Ladang Laweh, di kaki Gunung Sago Kabupaten 50 Kota, anda membunuh seorang lelaki bernama Datuk Berbangsa. Membunuh isterinya. Memperkosa anak gadisnya. Dan melukai anak lelakinya. Mereka adalah ayah, ibu dan kakakku! Dan anak lelaki yang engkau kira mati oleh samuraimu itu, kini ada dihadapnmu!”
Kalau saja ada petir menyambar, barangkali kepala pendeta itu, terlebih lagi para pendeta dan Michiko, mungkin takkan terkejut mendengarnya.
Namun ucapan anak muda ini melebihi seribu petir di pagi itu. Michiko terpekik!
“Ayaah….!” Katanya.
Dan dia jatuh berlutut di atas lantai!
Dan dia jatuh berlutut di atas lantai!
Si Bungsu kaget dan menoleh ke belakang. Obosan itu juga kaget. Dan barulah kini dia melihat bahwa di belakang anak muda itu ada Michiko, anaknya!
“Michiko…..!!!!”
Kepala pendeta yang tak lain dari Saburo Matsuyama itu berseru. Suaranya terdengar getir. Dan di ujung sana, Michiko terduduk, dia menangis. Saburo jelas sekali terpukul bathinnya. Bertahun-tahun dia menyembunyikan diri dari kekejamannya selama perang. Dia selalu bercerita yang baik-baik pada anak gadisnya.
“Kenapa ayah berhenti jadi tentara ?” begitu Michiko bertanya ketika dia pulang setelah dipecat dari dinas ketentaraan oleh Jenderal Fujiyama di Bukittinggi dulu.
“Perang sangat kejam nak. Ayah tak bisa membunuh orang terus-terusan. Ayah berhenti di Filipina…” katanya berbohong.
Ya, dia hanya setahun di Indonesia. Dia tak ingin pengalaman pahitnya di Indonesia diungkit. Dia mengatakan pada anaknya bahwa dia hanya bertugas di Filipina. Dan Saburo Matsuyama ternyata memang menyesali segala perbuatannya selama perang. Dia memutuskan untuk jadi pendeta.
Siapa nyana… ternyata ada orang yang mencarinya kembali untuk urusan balas dendam.
Yang tak kalah kagetnya adalah si Bungsu, dia heran kepada siapa Michiko memanggil ayah tadi? Dan begitu Saburo menyebut Michiko… maka tahulah dia, ayah si gadis itu adalah Saburo! Ya Tuhan, alangkah banyaknya hal yang tak bisa terduga oleh manusia!
Dan tiba-tiba saja semua dikejutkan oleh perbuatan Michiko. Tangan gadis itu cepat menjangkau ke dalam keranjang kecil yang dia bawa. Dari dalamnya dia menghunus sebilah samurai kecil.
Dan samurai itu dia hunjamkan ke jantungnya!!
“Michikooooooo!” Saburo Matsuyama berteriak histeris melihat kenekatan anaknya itu.
Namun suatu keajaiban terjadi. Sebenarnya bukan keajaiban, tapi suatu kecepatan yang luar biasa. Si Bungsu yang tegak tiga depa dari Michiko, adalah orang pertama yang dapat melihat gerak tangan gadis itu. Dia melihat sesuatu yang mengkilap di tangannya yang ke luar dari keranjang kecil itu. Dan tangan gadis itu menghujamkan ke dadanya. Nalurinya yang amat sensitif, yang dia bawa dari Gunung Sago, segera mengirimkan isyarat bahaya.
Dan dengan gerak yang hanya berdasarkan nalurinya saja, samurainya tersebut, dan dalam sebuah gulingan di lantai, dalam jurus Lompat Tupai, samurainya bekerja. Samurai kecil di tangan Michiko kena dihantam samurainya. Samurai kecil itu terpental. Menancap di loteng kuil! Michiko kaget. Semua pendeta juga kaget melihat kecepatan anak muda ini. Michiko menatap si Bungsu, dan tiba-tiba dia memeluk anak muda itu!.
”Bungsu-san…..kenapa harus jadi begini ?” isaknya.
Sementara itu Saburo sampai di sana.
“Michiko-san….” Katanya perlahan.
Gadis itu menoleh pada ayahnya, dan tiba-tiba dia berlari ke pelukan si ayah.
“Ayah, dialah pemuda yang kuceritakan itu. Dialah yang dua kali menyelamatkan nyawaku. Dialah yang…..yang…oh Tuhan….oh Tuhan….mengapa harus jadi begini. Biarlah aku mati…..biarlah aku mati ayah…..”
Gadis itu hampir-hampir histeris!
Saburo jadi kaget mendengar ucapan anaknya. Para pendeta yang semuanya juga telah mendengar cerita itu dari Saburo, juga jadi kaget. Saburo menatap si Bungsu, kedua musuh berbuyutan ini saling pandang. Dan kedua sama-sama terkejutnya mendapatkan kenyataan ini. Betapa tidak, si Bungsu yang telah menolong Michiko sejak dari Tokyo, telah begitu akrab dengan gadis itu, yang secara jujur harus dia akui bahwa dia jatuh hati padanya. Ternyata gadis itu adalah anak musuh besarnya.
Saburo jadi kaget mendengar ucapan anaknya. Para pendeta yang semuanya juga telah mendengar cerita itu dari Saburo, juga jadi kaget. Saburo menatap si Bungsu, kedua musuh berbuyutan ini saling pandang. Dan kedua sama-sama terkejutnya mendapatkan kenyataan ini. Betapa tidak, si Bungsu yang telah menolong Michiko sejak dari Tokyo, telah begitu akrab dengan gadis itu, yang secara jujur harus dia akui bahwa dia jatuh hati padanya. Ternyata gadis itu adalah anak musuh besarnya.
Di Jepang (bagian 216)
Anak dari seorang lelaki yang telah menista dan memusnahkan keluarganya. Seorang fasis yang telah merejam dan menista negerinya. Tanpa dapat dia tahan, bulu tengkuknya sendiri menerima kenyataan pahit ini.
Saburo Matsuyama demikian pula. Dia telah “cuci tangan” dari urusan-urusan duniawi. Dia ingin mencuci dosa yang dia perbuat selama perang dengan menjadi seorang pendeta.
Keyakinan, amal saleh dan kedermawanannya menyebabkan dia diangkat oleh dewan pendeta menjadi Kepala Pendeta di kuil Shimogamoini. Yaitu salah satu diantara tak banyak kuil yang berpengaruh tidak hanya di Kyoto, tetapi juga di kawasan Jepang bahagian Selatan!
Dua hari yang lalu dia demikian bahagia menerima kepulangan puteri tunggalnya dari Tokyo. Dia terkejut mendengar bencana yang hampir menimpa anaknya. Dia sangat berterimakasih atas bantuan pemuda yang belum dikenal itu.
Dia ingin mengadakan doa selamatan atas terhindarnya Michiko dari bencana tersebut. Dan dia telah merencanakan untuk datang hari ini selesai dia memimpin upacara keagamaan ke hotel anak muda itu. Michiko berkata bahwa anak muda yang menolongnya itu berasal dari Indonesia.
Tak sedikitpun hatinya berdetak, bahwa anak muda yang menolong anaknya itu adalah si Bungsu yang mencarinya untuk membalas dendam. Dan kini dia dihadapkan pada kenyataan yang alangkah pahitnya ini. Dia melepaskan pelukan anaknya, maju dua langkah ke hadapan si Bungsu yang tegak memegang samurainya dengan wajah dingin.
Saburo berlutut di lantai, membungkuk dalam-dalam. Kemudian terdengar suaranya bergetar.
“Bungsu-san, terimakasih banyak atas pertolonganmu pada anak saya. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu. Saya tahu betapa pedihnya dendam yang kau simpan selama bertahun-tahun. Kini, saya akan menerima pembalasanmu. Bertahun-tahun saya menghindar dari rasa takut atas dosa yang saya perbuat. Tapi akhirnya Tuhan menunjukkan bahwa cepat atau lembat pembalasan atas dosa yang diperbuat manusia atas manusia lain, pasti akan dibalaskan. Saya terima apapun pembalasan yang kau lakukan padaku…”
Si Bungsu maju setindak dan mencabut samurainya. Dan tindakan inilah yang mendatangkan bencana yang tak terhindarkan di kuil Shimogamo itu. Dia maju mencabut samurainya tidak dengan maksud menebas leher Saburo yang menunduk itu. Dia ingin menancapkan samurai itu lantai di hadapan lelaki itu. Dan setelah ditancapkan, dia ingin berkata:
“Kau lihatlah samurai ini Saburo. Putih berkilat, tapi berlumur darah dan berbau maut. Dengan samurai ini dahulu keluargaku kau habisi nyawanya, kini dengan samurai ini pula aku menuntut balas….!”
Itulah yang ingin dia perbuat dan ucapkan. Tapi para pendeta yang enam belas orang itu, yang berkumpul di sekeliling si Bungsu, menyangka bahwa dia akan menghentakkan ujung samurainya ke tengkuk Obosan mereka. Karena berfikir demikian, maka wajar saja mereka turun tangan membela. Dua orang diantaranya, yang tegak dekat sebuah kursi, segera menyambar kursi itu dan menghantamkannya pada si Bungsu. Anak muda ini mendengar desir angin kursi yang dihantamkan itu. Dan dia tahu bahwa dia diserang dari belakang.
Dia berbalik dengan cepat. Tangannya yang memegang samurai terhunus itu bekerja cepat sekali. Kursi yang terbuat dari kayu keras itu putus seperti batang pisang. Patahannya beserpihan. Si Bungsu sebenarnya tak mau segera menurunkan tangan kejam terhadap para pendeta itu.
Dia sudah akan menghentikan serangannya. Tapi para pendeta itu justru melanjutkan serangannya. Mereka tetap menyangka anak muda ini akan membunuh Obosan mereka. Pendeta Gemuk yang memegang sisa kaki kursi yang runcing menghujamkannya kaki kursi itu ke rusuk si Bungsu. Si Bungsu yang telah menghentikan gerakannya, jadi terlambat mengetahui serangan ini. Tak ampun lagi, rusuknya robek! Darah mengalir. Dan kesalahan pengertian kecil itu, segera robek menjadi perkelahian maut.
Merasa dirinya dilukai, si Bungsu sadar bahwa orang ini menghendaki nyawanya. Maka begitu kaki kursi yang runcing itu merobek rusuknya, samurainya bekerja dua kali sabetan ke belakang. Perut pendeta itu robek.
Temannya yang satu lagi melemparkan pula sisa kursinya pada si Bungsu, dan dia juga menerima bahagian yang mengerikan. Tangannya putus dan rusuknya robek menganga!
Terlalu cepat kejadian itu untuk segera dipahami Saburo. Dia masih menunduk ke lantai, siap menerima pembalasan si Bungsu ketika tragedi berdarah itu berakhir. Ketika mengangkat kepala, kedua pendeta itu sudah rubuh mandi darah dan mati. Rusuk si Bungsu sudah terluka.
Dia kaget dan segera berdiri, dan kekagetannya ini disalah tafsirkan oleh pendeta yang lain. Mereka menyangka Saburo tegak untuk menyerang si Bungsu, padahal bekas perwira Jepang itu ingin menghentikan pertarungan tersebut.
Anak dari seorang lelaki yang telah menista dan memusnahkan keluarganya. Seorang fasis yang telah merejam dan menista negerinya. Tanpa dapat dia tahan, bulu tengkuknya sendiri menerima kenyataan pahit ini.
Saburo Matsuyama demikian pula. Dia telah “cuci tangan” dari urusan-urusan duniawi. Dia ingin mencuci dosa yang dia perbuat selama perang dengan menjadi seorang pendeta.
Keyakinan, amal saleh dan kedermawanannya menyebabkan dia diangkat oleh dewan pendeta menjadi Kepala Pendeta di kuil Shimogamoini. Yaitu salah satu diantara tak banyak kuil yang berpengaruh tidak hanya di Kyoto, tetapi juga di kawasan Jepang bahagian Selatan!
Dua hari yang lalu dia demikian bahagia menerima kepulangan puteri tunggalnya dari Tokyo. Dia terkejut mendengar bencana yang hampir menimpa anaknya. Dia sangat berterimakasih atas bantuan pemuda yang belum dikenal itu.
Dia ingin mengadakan doa selamatan atas terhindarnya Michiko dari bencana tersebut. Dan dia telah merencanakan untuk datang hari ini selesai dia memimpin upacara keagamaan ke hotel anak muda itu. Michiko berkata bahwa anak muda yang menolongnya itu berasal dari Indonesia.
Tak sedikitpun hatinya berdetak, bahwa anak muda yang menolong anaknya itu adalah si Bungsu yang mencarinya untuk membalas dendam. Dan kini dia dihadapkan pada kenyataan yang alangkah pahitnya ini. Dia melepaskan pelukan anaknya, maju dua langkah ke hadapan si Bungsu yang tegak memegang samurainya dengan wajah dingin.
Saburo berlutut di lantai, membungkuk dalam-dalam. Kemudian terdengar suaranya bergetar.
Dia ingin mengadakan doa selamatan atas terhindarnya Michiko dari bencana tersebut. Dan dia telah merencanakan untuk datang hari ini selesai dia memimpin upacara keagamaan ke hotel anak muda itu. Michiko berkata bahwa anak muda yang menolongnya itu berasal dari Indonesia.
Tak sedikitpun hatinya berdetak, bahwa anak muda yang menolong anaknya itu adalah si Bungsu yang mencarinya untuk membalas dendam. Dan kini dia dihadapkan pada kenyataan yang alangkah pahitnya ini. Dia melepaskan pelukan anaknya, maju dua langkah ke hadapan si Bungsu yang tegak memegang samurainya dengan wajah dingin.
Saburo berlutut di lantai, membungkuk dalam-dalam. Kemudian terdengar suaranya bergetar.
“Bungsu-san, terimakasih banyak atas pertolonganmu pada anak saya. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu. Saya tahu betapa pedihnya dendam yang kau simpan selama bertahun-tahun. Kini, saya akan menerima pembalasanmu. Bertahun-tahun saya menghindar dari rasa takut atas dosa yang saya perbuat. Tapi akhirnya Tuhan menunjukkan bahwa cepat atau lembat pembalasan atas dosa yang diperbuat manusia atas manusia lain, pasti akan dibalaskan. Saya terima apapun pembalasan yang kau lakukan padaku…”
Si Bungsu maju setindak dan mencabut samurainya. Dan tindakan inilah yang mendatangkan bencana yang tak terhindarkan di kuil Shimogamo itu. Dia maju mencabut samurainya tidak dengan maksud menebas leher Saburo yang menunduk itu. Dia ingin menancapkan samurai itu lantai di hadapan lelaki itu. Dan setelah ditancapkan, dia ingin berkata:
“Kau lihatlah samurai ini Saburo. Putih berkilat, tapi berlumur darah dan berbau maut. Dengan samurai ini dahulu keluargaku kau habisi nyawanya, kini dengan samurai ini pula aku menuntut balas….!”
Itulah yang ingin dia perbuat dan ucapkan. Tapi para pendeta yang enam belas orang itu, yang berkumpul di sekeliling si Bungsu, menyangka bahwa dia akan menghentakkan ujung samurainya ke tengkuk Obosan mereka. Karena berfikir demikian, maka wajar saja mereka turun tangan membela. Dua orang diantaranya, yang tegak dekat sebuah kursi, segera menyambar kursi itu dan menghantamkannya pada si Bungsu. Anak muda ini mendengar desir angin kursi yang dihantamkan itu. Dan dia tahu bahwa dia diserang dari belakang.
Dia berbalik dengan cepat. Tangannya yang memegang samurai terhunus itu bekerja cepat sekali. Kursi yang terbuat dari kayu keras itu putus seperti batang pisang. Patahannya beserpihan. Si Bungsu sebenarnya tak mau segera menurunkan tangan kejam terhadap para pendeta itu.
Dia sudah akan menghentikan serangannya. Tapi para pendeta itu justru melanjutkan serangannya. Mereka tetap menyangka anak muda ini akan membunuh Obosan mereka. Pendeta Gemuk yang memegang sisa kaki kursi yang runcing menghujamkannya kaki kursi itu ke rusuk si Bungsu. Si Bungsu yang telah menghentikan gerakannya, jadi terlambat mengetahui serangan ini. Tak ampun lagi, rusuknya robek! Darah mengalir. Dan kesalahan pengertian kecil itu, segera robek menjadi perkelahian maut.
Merasa dirinya dilukai, si Bungsu sadar bahwa orang ini menghendaki nyawanya. Maka begitu kaki kursi yang runcing itu merobek rusuknya, samurainya bekerja dua kali sabetan ke belakang. Perut pendeta itu robek.
Temannya yang satu lagi melemparkan pula sisa kursinya pada si Bungsu, dan dia juga menerima bahagian yang mengerikan. Tangannya putus dan rusuknya robek menganga!
Terlalu cepat kejadian itu untuk segera dipahami Saburo. Dia masih menunduk ke lantai, siap menerima pembalasan si Bungsu ketika tragedi berdarah itu berakhir. Ketika mengangkat kepala, kedua pendeta itu sudah rubuh mandi darah dan mati. Rusuk si Bungsu sudah terluka.
Dia kaget dan segera berdiri, dan kekagetannya ini disalah tafsirkan oleh pendeta yang lain. Mereka menyangka Saburo tegak untuk menyerang si Bungsu, padahal bekas perwira Jepang itu ingin menghentikan pertarungan tersebut.
Dia kaget dan segera berdiri, dan kekagetannya ini disalah tafsirkan oleh pendeta yang lain. Mereka menyangka Saburo tegak untuk menyerang si Bungsu, padahal bekas perwira Jepang itu ingin menghentikan pertarungan tersebut.
Di Jepang (bagian 217)
Begitu Saburo tegak, empat pendeta segera menghantam si Bungsu, para pendeta dalam kuil ini tak seorangpun yang bersenjata, senjata hanya mereka pakai ketika latihan di Doyo.
Mereka lalu menyerang dengan jurus-jurus Kuntau, Kungfu atau Karate. Namun tangan kosong mereka, betapapun tangguhnya, menghadapi samurai si Bungsu, benar-benar suatu hal yang patut dikasihani.
Kalau saja lawan mereka bukan si Bungsu, mungkin mereka bisa menang. Tapi lawan mereka adalah si Bungsu!
Untung saja anak muda ini tak mau turun tangan kejam pada penyerang-penyerang tangan kosong ini. Betapapun jua, dia bukan tukang bantai.
Dan dia memang menghindarkan pembantaian itu. Dia bergulingan di lantai menghindarkan serangan itu. Ke empat pendeta itu maju terus.
“Tahan…!!!” si Bungsu berkata sambil menjauh.
Tapi saat itu nampaknya bencana yang lebih jauh besar sudah tak terhindarkan lagi.
Mendengar pekik Michiko dan bentakan-bentakan tadi, beberapa orang Sensei (instruktur) silat yang tegak di teras mengawasi pendeta yang berlatih jadi kaget. Mereka segara masuk. Dan melihat betapa orang asing tadi berkelahi dengan pendeta-pendeta rekan mereka. Tentu saja mereka jadi marah dan bersamaan menghunus samurai! Begitu empat orang sensei itu masuk, keempat pendeta bertangan kosong itu mundur. Dan keempat sensei itu mengurung si Bungsu di tengah.
“Tahan…!” si Bungsu masih coba menghindarkan pertumpahan darah.
“Semua mundur!” terdengar perintah Saburo.
Tapi situasi kembali tak memberi peluang bagi pendeta untuk menjalankan seruan si Bungsu atau perintah Saburo. Ke empat sensei itu sudah menggebrak maju. Seiring dengan pekik Michiko, empat samurai menyerang si Bungsu dari empat jurusan di empat tempat berbahaya dengan kecepatan yang terlatih!
Para pendeta kuil Shimogamo ini adalah para pendeta yang disegani di Kyoto.
Mereka disegani selain karena punya pengaruh dan wibawa yang sangat dihormati, juga karena di kuil ini terdapat pendekar-pendekar tangguh.
Dan sebenarnya, menghadapi keempat sensei ini, jarang ada orang yang bisa luput dari ancaman maut. Dan itu juga sudah bisa diperhitungkan para pendeta tersebut termasuk Saburo.
Orang tua bekas Letnan Kolonel balatentara Jepang itu, segera maju menghalangi keempat anak buahnya. Dia tak ingin anak muda yang telah menolong puteri tunggalnya itu celaka.
Namun gerakannya terlambat jika dibandingkan dengan gerak samurai keempat anak buahnya itu. Tapi keempat samurai anak buahnya itu juga terlambat jika dibandingkan dengan gerak samurai si Bungsu!
SiBungsu, anak muda yang telah bertekad mati demi membalaskan dendam keluarganya itu adalah seperti malaikat maut yang luar biasa berbahanya. Sudah bertahun dia melatih diri.
Dan kini saatnya hasil latihan itu dipergunakan.
Kalau selama di Bukittinggi, Pekanbaru atau di Tokyo dan terakhir di Gamagori melawan bandit-bandit Kumagaigumi, semata-mata untuk membela diri atau membela orang lain. Maka kini adalah tujuan daripada seluruh latihan yang bertahun dia jalani itu. Dia telah hidup menderita penuh cobaan di Gunung Sago. Itu semua dengan tujuan membalas dendam pada Saburo. Kalau di Bukittinggi dia diburu, kemudian membantu perjuangan kaum pejuang bawah tanah, itu semua juga dalam rangka mencari Saburo.
Kalau di Tokyo dia melawan tentara Amerika dan melawan Jakuza itu juga sekadar untuk mempertahankan dirinya agar tetap hidup untuk bisa bertemu Saburo! Kini dia berkelahi di hadapan Saburo. Bukan dengan Saburo! Makanya dia juga harus tetap hidup untuk bisa melawan Saburo! Sumpah ayahnya sesaat sebelum mati, dengan samurai tertancap di dada, bahwa ayahnya akan membalas dendam pada Saburo, hari ini harus dia lakukan!
Dia harus hidup untuk bisa melaksanakan sumpah dan dendam turunan itu! Karenaya anak muda itu kini berubah menjadi singa luka yang alangkah berbahayanya!
Keempat samurai sensei itu dia tangkis dengan kecepatan yang luar biasa. Tangan para sensei itu tergetar dan pedih begitu samurai mereka beradu. Mereka terkejut. Namun itulah saat mereka terkejut untuk terakhir kalinya. Sebab setelah itu, kecepatan samurai orang asing itu sudah tak bisa lagi mereka ikuti.
Tahu-tahu mereka mendapatkan diri mereka seperti dilumpuhkan. Ada yang merasa dadanya robek, ada yang merasakan jantungnya pecah. Ada yang merasakan perutnya ngilu.
Lalu dunia mereka gelap! Mereka rubuh, mati!
Hanya dalam sekali gebrak. Keempat sensei kuil Shimogamo ini mati! Namun murid-murid nya yang latihan di luar sudah membanjir masuk. Dan kini dengan tongkat yang panjangnya satu setengah depa, besarnya selengan lebih, mereka menyerang si Bungsu. Si Bungsu melihat ini sebuah bencana besar. Betapapun tangguhnya dia, namun menghadapi tongkat panjang ini amat berbaya.
Begitu Saburo tegak, empat pendeta segera menghantam si Bungsu, para pendeta dalam kuil ini tak seorangpun yang bersenjata, senjata hanya mereka pakai ketika latihan di Doyo.
Mereka lalu menyerang dengan jurus-jurus Kuntau, Kungfu atau Karate. Namun tangan kosong mereka, betapapun tangguhnya, menghadapi samurai si Bungsu, benar-benar suatu hal yang patut dikasihani.
Kalau saja lawan mereka bukan si Bungsu, mungkin mereka bisa menang. Tapi lawan mereka adalah si Bungsu!
Untung saja anak muda ini tak mau turun tangan kejam pada penyerang-penyerang tangan kosong ini. Betapapun jua, dia bukan tukang bantai.
Dan dia memang menghindarkan pembantaian itu. Dia bergulingan di lantai menghindarkan serangan itu. Ke empat pendeta itu maju terus.
Kalau saja lawan mereka bukan si Bungsu, mungkin mereka bisa menang. Tapi lawan mereka adalah si Bungsu!
Untung saja anak muda ini tak mau turun tangan kejam pada penyerang-penyerang tangan kosong ini. Betapapun jua, dia bukan tukang bantai.
Dan dia memang menghindarkan pembantaian itu. Dia bergulingan di lantai menghindarkan serangan itu. Ke empat pendeta itu maju terus.
“Tahan…!!!” si Bungsu berkata sambil menjauh.
Tapi saat itu nampaknya bencana yang lebih jauh besar sudah tak terhindarkan lagi.
Mendengar pekik Michiko dan bentakan-bentakan tadi, beberapa orang Sensei (instruktur) silat yang tegak di teras mengawasi pendeta yang berlatih jadi kaget. Mereka segara masuk. Dan melihat betapa orang asing tadi berkelahi dengan pendeta-pendeta rekan mereka. Tentu saja mereka jadi marah dan bersamaan menghunus samurai! Begitu empat orang sensei itu masuk, keempat pendeta bertangan kosong itu mundur. Dan keempat sensei itu mengurung si Bungsu di tengah.
“Tahan…!” si Bungsu masih coba menghindarkan pertumpahan darah.
“Semua mundur!” terdengar perintah Saburo.
Tapi situasi kembali tak memberi peluang bagi pendeta untuk menjalankan seruan si Bungsu atau perintah Saburo. Ke empat sensei itu sudah menggebrak maju. Seiring dengan pekik Michiko, empat samurai menyerang si Bungsu dari empat jurusan di empat tempat berbahaya dengan kecepatan yang terlatih!
Para pendeta kuil Shimogamo ini adalah para pendeta yang disegani di Kyoto.
Mereka disegani selain karena punya pengaruh dan wibawa yang sangat dihormati, juga karena di kuil ini terdapat pendekar-pendekar tangguh.
Para pendeta kuil Shimogamo ini adalah para pendeta yang disegani di Kyoto.
Mereka disegani selain karena punya pengaruh dan wibawa yang sangat dihormati, juga karena di kuil ini terdapat pendekar-pendekar tangguh.
Dan sebenarnya, menghadapi keempat sensei ini, jarang ada orang yang bisa luput dari ancaman maut. Dan itu juga sudah bisa diperhitungkan para pendeta tersebut termasuk Saburo.
Orang tua bekas Letnan Kolonel balatentara Jepang itu, segera maju menghalangi keempat anak buahnya. Dia tak ingin anak muda yang telah menolong puteri tunggalnya itu celaka.
Namun gerakannya terlambat jika dibandingkan dengan gerak samurai keempat anak buahnya itu. Tapi keempat samurai anak buahnya itu juga terlambat jika dibandingkan dengan gerak samurai si Bungsu!
SiBungsu, anak muda yang telah bertekad mati demi membalaskan dendam keluarganya itu adalah seperti malaikat maut yang luar biasa berbahanya. Sudah bertahun dia melatih diri.
Dan kini saatnya hasil latihan itu dipergunakan.
SiBungsu, anak muda yang telah bertekad mati demi membalaskan dendam keluarganya itu adalah seperti malaikat maut yang luar biasa berbahanya. Sudah bertahun dia melatih diri.
Dan kini saatnya hasil latihan itu dipergunakan.
Kalau selama di Bukittinggi, Pekanbaru atau di Tokyo dan terakhir di Gamagori melawan bandit-bandit Kumagaigumi, semata-mata untuk membela diri atau membela orang lain. Maka kini adalah tujuan daripada seluruh latihan yang bertahun dia jalani itu. Dia telah hidup menderita penuh cobaan di Gunung Sago. Itu semua dengan tujuan membalas dendam pada Saburo. Kalau di Bukittinggi dia diburu, kemudian membantu perjuangan kaum pejuang bawah tanah, itu semua juga dalam rangka mencari Saburo.
Kalau di Tokyo dia melawan tentara Amerika dan melawan Jakuza itu juga sekadar untuk mempertahankan dirinya agar tetap hidup untuk bisa bertemu Saburo! Kini dia berkelahi di hadapan Saburo. Bukan dengan Saburo! Makanya dia juga harus tetap hidup untuk bisa melawan Saburo! Sumpah ayahnya sesaat sebelum mati, dengan samurai tertancap di dada, bahwa ayahnya akan membalas dendam pada Saburo, hari ini harus dia lakukan!
Dia harus hidup untuk bisa melaksanakan sumpah dan dendam turunan itu! Karenaya anak muda itu kini berubah menjadi singa luka yang alangkah berbahayanya!
Keempat samurai sensei itu dia tangkis dengan kecepatan yang luar biasa. Tangan para sensei itu tergetar dan pedih begitu samurai mereka beradu. Mereka terkejut. Namun itulah saat mereka terkejut untuk terakhir kalinya. Sebab setelah itu, kecepatan samurai orang asing itu sudah tak bisa lagi mereka ikuti.
Tahu-tahu mereka mendapatkan diri mereka seperti dilumpuhkan. Ada yang merasa dadanya robek, ada yang merasakan jantungnya pecah. Ada yang merasakan perutnya ngilu.
Lalu dunia mereka gelap! Mereka rubuh, mati!
Dia harus hidup untuk bisa melaksanakan sumpah dan dendam turunan itu! Karenaya anak muda itu kini berubah menjadi singa luka yang alangkah berbahayanya!
Keempat samurai sensei itu dia tangkis dengan kecepatan yang luar biasa. Tangan para sensei itu tergetar dan pedih begitu samurai mereka beradu. Mereka terkejut. Namun itulah saat mereka terkejut untuk terakhir kalinya. Sebab setelah itu, kecepatan samurai orang asing itu sudah tak bisa lagi mereka ikuti.
Tahu-tahu mereka mendapatkan diri mereka seperti dilumpuhkan. Ada yang merasa dadanya robek, ada yang merasakan jantungnya pecah. Ada yang merasakan perutnya ngilu.
Lalu dunia mereka gelap! Mereka rubuh, mati!
Hanya dalam sekali gebrak. Keempat sensei kuil Shimogamo ini mati! Namun murid-murid nya yang latihan di luar sudah membanjir masuk. Dan kini dengan tongkat yang panjangnya satu setengah depa, besarnya selengan lebih, mereka menyerang si Bungsu. Si Bungsu melihat ini sebuah bencana besar. Betapapun tangguhnya dia, namun menghadapi tongkat panjang ini amat berbaya.
Di Jepang (bagian 218)
Dia tak bisa mendekati orang-orang itu. Itulah bahayanya. Lagipula, dia harus menghemat tenaga. Sebab setelah ini, lawan yang harus dia hadapi adalah Saburo! Karena itu, begitu ada lowongan sedikit, dia lalu mempergunakan Lompat Tupai. Tubuhnya bergulingan di lantai. Tapi beberapa tongkat sempat menghajar tubuhnya.
Sakitnya bukan main.
Dia menahan sakitnya dengan tetap bergulingan.
Yang dia tuju adalah Michiko! Dan dalam gulingan terakhir dia mencapai diri Michiko yang terduduk lemah dan menangis!
Dia sambar tubuh gadis itu. Membawanya bergulingan di lantai. Sebelum orang-orang tahu dan sadar apa yang terjadi, dia sudah bangkit mengapit Michiko dengan melekatkan samurai itu ke leher gadis tersebut!
“Majulah, dan gadis ini akan kupotong lehernya!” dia mendesis di antara nafasnya yang memburu.
Semua orang terpaku di tempatnya. Saburo terbelalak. Michiko menggigil dan menangis.
“Perintahkan mereka mundur semua Saburo. Atau kau ingin anakmu ini terbunuh….?!”
Suara si Bungsu mengancam lagi seperti sayatan pisau cukur.
“Mundur….! Mundurlah semua!! “ kata Saburo.
Suaranya terdengar sangat bermohon. Dia sangat megkhawartirkan nasib puterinya. Belasan pendeta itu segera mundur. Dan di tengah ruangan kini tegak si Bungsu mengepit Michiko.
Lima depa di depannya tegak dengan tubuh lunglai Saburo Matsuyama. Si Bungsu menatap keliling. Menatap pada pendeta-pendeta yang mengepungnya. Kini seluruh pendeta yang di luar yang tadi latihan di altar Doyo, sudah masuk. Mereka memegang berbagai senjata. Tongkat kayu, samurai, rantai, double stick dan tombak. Di tengah ruangan, selain si Bungsu, Michiko dan Saburo, juga tergeletak empat mayat pendeta yang mati dimakan samurai si Bungsu.
Para pendeta yang masih hidup termasuk Saburo, benar-benar terkejut melihat kehebatan orang asing ini mempergunakan samurai. Tak pernah terbayangkan di fikiran mereka bahwa ada seorang asing yang akan mampu mempergunakan samurai seperti itu. Mereka kini tegak dengan diam.
“Kalian dengarlah!” si Bungsu berkata dengan tetap mengancamkan samurainya pada leher Michiko.
“Saya tak bermusuhan dengan kalian. Saya datang dari Indonesia mencari seorang lelaki yang telah membunuh ayah saya dengan licik. Yang sampai hati membunuh ibu saya. Seorang perempuan yang tak berdaya. Lelaki itu juga memperkosa kakak saya. Kemudian, setelah dia puas, dia membunuhnya. Lelaki jahanam itu menghantam saya dengan samurainya. Saya rubuh. Kemudian lelaki itu, yang memimpin sebuah pasukan yang paling kejam, membakar kampung saya membunuhi para lelaki dan kanak-kanak. Memperkosa perempuannya. Tuhan mentakdirkan saya tetap hidup. Saya bersumpah untuk mencari lelaki itu. Saya berlatih samurai. Dan bersumpah akan membunuh lelaki jahanam itu dengan samurai yang dia pergunakan membunuh keluarga saya. Dari jauh saya datang, di sini saya temukan lelaki itu. Dialah Obosan Saburo Matsuyama!”
Si Bungsu menunjuk pada Saburo dengan ujung samurainya yang berlumur darah. Semua pendeta kuil Shimogamo itu tertegun. Mereka menatap pada obosan mereka. Suasana jadi amat sepi. Saburo menjatuhkan diri. Berlutut di lantai. Kepalanya menunduk dalam-dalam.
Lalu terdengar suaranya serak:
“Benar. Semua yang diucapkan anak muda itu adalah suatu kebenaran. Hidup saya dimasa lalu dilumuri dosa dan darah. Apa yang dia katakan memang benar….saya pantas menerima pembalasan yang setimpal” suara Obosan itu mirip sebuah tangisan.
Bergetar dan nyata bathinnya sangat terpukul. Semua pendeta yang mendengar pengakuan itu seperti mendengar petir di siang hari. Mereka adalah orang-orang pencinta perdamaian.
Kuil Shimogamo selain disegani karena pendekar-pendekarnya, karena Obosannya yang berwibawa juga disegani dan banyak pengikutnya karena kasih sayang yang disebarkannya.
Di Kyoto ini ada beberapa buah kuil besar. Kuil-kuil besar yang dihormati dan disegani orang itu adalah kuil Shimogamo, kuil Daitokuji dan kuil Kinkakuji. Keduanya terletak di daerah Kitaku. Kemudian kuil Kitano, kuil Myoshinji, kuil Koryuji, kuil Toji dan kuil Higashi Honganji.
Namun diantara kuil-kuil besar itu, maka kuil Shimogamo merupakan kuil yang paling dihormati dan disegani penduduk Kyoto.
Dan kini, ternyata Obosan mereka, Kepala Pendeta yang selama ini merela hormati, yang selama ini mereka banggakan, dituduh sebagai seorang pembunuh, penyebar bencana, pemerkosa dan malah pembunuh kanak-kanak! Mereka hampir-hampir tak percaya.
Tapi betapa mereka takkan percaya, kalau Obosan sendiri mengakui hal itu?
Bagi Saburo, ini adalah pukulan terhebat selama hidupnya setelah kematian isterinya.
Melihat Saburo yang berlutut di lantai itu, si Bungsu berkata :
Dia tak bisa mendekati orang-orang itu. Itulah bahayanya. Lagipula, dia harus menghemat tenaga. Sebab setelah ini, lawan yang harus dia hadapi adalah Saburo! Karena itu, begitu ada lowongan sedikit, dia lalu mempergunakan Lompat Tupai. Tubuhnya bergulingan di lantai. Tapi beberapa tongkat sempat menghajar tubuhnya.
Sakitnya bukan main.
Dia menahan sakitnya dengan tetap bergulingan.
Yang dia tuju adalah Michiko! Dan dalam gulingan terakhir dia mencapai diri Michiko yang terduduk lemah dan menangis!
Dia sambar tubuh gadis itu. Membawanya bergulingan di lantai. Sebelum orang-orang tahu dan sadar apa yang terjadi, dia sudah bangkit mengapit Michiko dengan melekatkan samurai itu ke leher gadis tersebut!
“Majulah, dan gadis ini akan kupotong lehernya!” dia mendesis di antara nafasnya yang memburu.
Semua orang terpaku di tempatnya. Saburo terbelalak. Michiko menggigil dan menangis.
“Perintahkan mereka mundur semua Saburo. Atau kau ingin anakmu ini terbunuh….?!”
Suara si Bungsu mengancam lagi seperti sayatan pisau cukur.
“Mundur….! Mundurlah semua!! “ kata Saburo.
Suaranya terdengar sangat bermohon. Dia sangat megkhawartirkan nasib puterinya. Belasan pendeta itu segera mundur. Dan di tengah ruangan kini tegak si Bungsu mengepit Michiko.
Lima depa di depannya tegak dengan tubuh lunglai Saburo Matsuyama. Si Bungsu menatap keliling. Menatap pada pendeta-pendeta yang mengepungnya. Kini seluruh pendeta yang di luar yang tadi latihan di altar Doyo, sudah masuk. Mereka memegang berbagai senjata. Tongkat kayu, samurai, rantai, double stick dan tombak. Di tengah ruangan, selain si Bungsu, Michiko dan Saburo, juga tergeletak empat mayat pendeta yang mati dimakan samurai si Bungsu.
Para pendeta yang masih hidup termasuk Saburo, benar-benar terkejut melihat kehebatan orang asing ini mempergunakan samurai. Tak pernah terbayangkan di fikiran mereka bahwa ada seorang asing yang akan mampu mempergunakan samurai seperti itu. Mereka kini tegak dengan diam.
“Kalian dengarlah!” si Bungsu berkata dengan tetap mengancamkan samurainya pada leher Michiko.
“Saya tak bermusuhan dengan kalian. Saya datang dari Indonesia mencari seorang lelaki yang telah membunuh ayah saya dengan licik. Yang sampai hati membunuh ibu saya. Seorang perempuan yang tak berdaya. Lelaki itu juga memperkosa kakak saya. Kemudian, setelah dia puas, dia membunuhnya. Lelaki jahanam itu menghantam saya dengan samurainya. Saya rubuh. Kemudian lelaki itu, yang memimpin sebuah pasukan yang paling kejam, membakar kampung saya membunuhi para lelaki dan kanak-kanak. Memperkosa perempuannya. Tuhan mentakdirkan saya tetap hidup. Saya bersumpah untuk mencari lelaki itu. Saya berlatih samurai. Dan bersumpah akan membunuh lelaki jahanam itu dengan samurai yang dia pergunakan membunuh keluarga saya. Dari jauh saya datang, di sini saya temukan lelaki itu. Dialah Obosan Saburo Matsuyama!”
Si Bungsu menunjuk pada Saburo dengan ujung samurainya yang berlumur darah. Semua pendeta kuil Shimogamo itu tertegun. Mereka menatap pada obosan mereka. Suasana jadi amat sepi. Saburo menjatuhkan diri. Berlutut di lantai. Kepalanya menunduk dalam-dalam.
Lalu terdengar suaranya serak:
“Benar. Semua yang diucapkan anak muda itu adalah suatu kebenaran. Hidup saya dimasa lalu dilumuri dosa dan darah. Apa yang dia katakan memang benar….saya pantas menerima pembalasan yang setimpal” suara Obosan itu mirip sebuah tangisan.
Bergetar dan nyata bathinnya sangat terpukul. Semua pendeta yang mendengar pengakuan itu seperti mendengar petir di siang hari. Mereka adalah orang-orang pencinta perdamaian.
Kuil Shimogamo selain disegani karena pendekar-pendekarnya, karena Obosannya yang berwibawa juga disegani dan banyak pengikutnya karena kasih sayang yang disebarkannya.
Kuil Shimogamo selain disegani karena pendekar-pendekarnya, karena Obosannya yang berwibawa juga disegani dan banyak pengikutnya karena kasih sayang yang disebarkannya.
Di Kyoto ini ada beberapa buah kuil besar. Kuil-kuil besar yang dihormati dan disegani orang itu adalah kuil Shimogamo, kuil Daitokuji dan kuil Kinkakuji. Keduanya terletak di daerah Kitaku. Kemudian kuil Kitano, kuil Myoshinji, kuil Koryuji, kuil Toji dan kuil Higashi Honganji.
Namun diantara kuil-kuil besar itu, maka kuil Shimogamo merupakan kuil yang paling dihormati dan disegani penduduk Kyoto.
Dan kini, ternyata Obosan mereka, Kepala Pendeta yang selama ini merela hormati, yang selama ini mereka banggakan, dituduh sebagai seorang pembunuh, penyebar bencana, pemerkosa dan malah pembunuh kanak-kanak! Mereka hampir-hampir tak percaya.
Tapi betapa mereka takkan percaya, kalau Obosan sendiri mengakui hal itu?
Bagi Saburo, ini adalah pukulan terhebat selama hidupnya setelah kematian isterinya.
Melihat Saburo yang berlutut di lantai itu, si Bungsu berkata :
Di Jepang (bagian 219)
“Bagaimana kalau hari ini anakmu ini kuperkosa sebagai balasan atas yang engkau perlakukan pada kakakku, pada puluhan wanita Indonesia lainnya semasa engkau jadi perwira Kempetai?”
Kepala Saburo terangkat menatap pada si Bungsu.
“Ampunkan saya, jangan sakiti anak saya. Engkau cencang dan bunuhlah saya, tapi jangan ganggu anak saya…”
Suaranya yang bermohon itu tambah menyakitkan hati si Bungsu.
“Bukankah ketika engkau akan membunuh ayahku, ibuku datang menyembah kakimu, memohon belas kasihanmu agar jangan membunuh suaminya?
Namun saat itu engkau tega membunuhnya.
Sekarang aku akan bunuh anakmu…..!”
Sebenarnya tak ada niat si Bungsu untuk menyakiti Michiko. Namun ingatan terhadap kematian ayah, ibu dan kakaknya, benar-benar melukai hati anak muda ini. Dan tanpa dapat dia kuasai sepenuhnya, tangannya bergerak mendorong tubuh Michiko yang ada dalam dekapannya. Gadis itu terpekik dan rubuh mandi darah! Pakaian tentang punggungnya robek.
Darah mengalir dari sana. Saburo terlompat tegak.
“Michiko-sannnn…” Saburo benar-benar memekik dan menangis sambil menubruk tubuh anaknya itu.
Gadis itu memang jantung hatinya. Anak tunggal yang sangat disayangi. Melihat si Bungsu sudah mencelakai Michiko dua orang pendeta yang menjadi instruktur Samurai maju serentak. Namun yang mereka hadapi saat ini, mungkin satu-satunya manusia yang tercepat mempergunakan samurai di seluruh tanah Jepang saat itu.
Hal itu segera terbukti, ketika dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata, samurai ditangannya membabat samurai di tangan kedua sensei itu.
Kedua samurai pendeta itu hampir saja terpental ke udara saking kuat dan kukuhnya benturan samurai si Bungsu. Mereka kaget.
Dan kekagetan itu adalah kelemahan mereka. Sebab waktu yang sedetik untuk kaget itu sudah terlalu panjang bagi si Bungsu. Samurainya bekerja lagi. Salah satu samurai di tangan pendeta itu terpental ke udara. Dan kedua pendeta itu rubuh dengan dada robek.
Si Bungsu berputar, dan samurainya memukul samurai yang terpental ke udara, yang saat itu sedang meluncur turun. Terdengar suara besi beradu dan bunga api memercik. Kemudian samurai pendeta yang terpukul itu tertancap setengah jari dari tubuh Saburo Matsuyama yang tengah memeluk Michiko. Kejadian beruntun itu amat cepat. Suasana tiba-tiba jadi sepi. Samurai yang tertancap di lantai itu bergoyang.
“Apakah engkau akan berlindung terus dibalik punggung murid-muridmu Saburo? Apakah engkau tak mengenal malu menyuruh pendeta yang tak berdosa ini untuk bertarung menyelamatkan nyawamu? Tegak dan pertahankan dirimu! Aku bukan hewan seperti engkau yang sampai hati membunuh perempuan. Anakmu hanya terluka kulit”
Suara si Bungsu terdengar dingin. Dan dia tegak dengan samurai berdarah di tangannya. Dengan kaki terpentang lebar. Michiko memang tak cedera. Hanya kulit punggungnya luka sedikit. Luka tergores. Si Bungsu memang tak berniat menderainya. Dia hanya bermaksud memancing amarah Saburo untuk mau melawannya.
Dan kali ini, tak seorangpun diantara para pendeta yang puluhan banyaknya itu berani maju menyerang. Sudah delapan orang pendeta pendeta kuil mereka yang menemui ajal ditangan anak muda perkasa ini. Dan kedelapan orang itu, semua adalah para sensei.
Instruktur mereka. Kalau instruktur mereka saja dengan mudah dirubuhkan anak muda itu, apalagi diri mereka.
Kini mereka hanya tegak berkeliling menanti sikap obosan mereka. Saburo akhirnya tegak. Menatap pada si Bungsu.
Dia akhirnya menyadari, bahwa anak muda ini tak berniat mencelakai diri Michiko. Dia akhirnya menyadari, bahwa dari jauh anak muda ini datang benar-benar dengan maksud mencari dan menghendaki nyawanya.
Dia sudah mengukur kemampuan anak muda ini dalam memakai samurai. Dalam Kempetai yang bertugas di Asia, dia termasuk salah seorang samurai yang tangguh.
Tapi, kini melihat cara anak muda itu mempergunakan senjata tradisionil mereka itu, dia yakin jarang tandingannya di negeri ini. Anak muda ini bersilat samurai bukan dengan sistim dan ilmu samurai yang biasa. Dia bersilat dengan hati dan istinknya! Inilah kelebihan anak muda itu.
Kelebihan yang tak mungkin ditandingi.
“Bagaimana kalau hari ini anakmu ini kuperkosa sebagai balasan atas yang engkau perlakukan pada kakakku, pada puluhan wanita Indonesia lainnya semasa engkau jadi perwira Kempetai?”
Kepala Saburo terangkat menatap pada si Bungsu.
“Ampunkan saya, jangan sakiti anak saya. Engkau cencang dan bunuhlah saya, tapi jangan ganggu anak saya…”
Suaranya yang bermohon itu tambah menyakitkan hati si Bungsu.
“Bukankah ketika engkau akan membunuh ayahku, ibuku datang menyembah kakimu, memohon belas kasihanmu agar jangan membunuh suaminya?
Namun saat itu engkau tega membunuhnya.
Sekarang aku akan bunuh anakmu…..!”
Namun saat itu engkau tega membunuhnya.
Sekarang aku akan bunuh anakmu…..!”
Sebenarnya tak ada niat si Bungsu untuk menyakiti Michiko. Namun ingatan terhadap kematian ayah, ibu dan kakaknya, benar-benar melukai hati anak muda ini. Dan tanpa dapat dia kuasai sepenuhnya, tangannya bergerak mendorong tubuh Michiko yang ada dalam dekapannya. Gadis itu terpekik dan rubuh mandi darah! Pakaian tentang punggungnya robek.
Darah mengalir dari sana. Saburo terlompat tegak.
Darah mengalir dari sana. Saburo terlompat tegak.
“Michiko-sannnn…” Saburo benar-benar memekik dan menangis sambil menubruk tubuh anaknya itu.
Gadis itu memang jantung hatinya. Anak tunggal yang sangat disayangi. Melihat si Bungsu sudah mencelakai Michiko dua orang pendeta yang menjadi instruktur Samurai maju serentak. Namun yang mereka hadapi saat ini, mungkin satu-satunya manusia yang tercepat mempergunakan samurai di seluruh tanah Jepang saat itu.
Hal itu segera terbukti, ketika dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata, samurai ditangannya membabat samurai di tangan kedua sensei itu.
Kedua samurai pendeta itu hampir saja terpental ke udara saking kuat dan kukuhnya benturan samurai si Bungsu. Mereka kaget.
Dan kekagetan itu adalah kelemahan mereka. Sebab waktu yang sedetik untuk kaget itu sudah terlalu panjang bagi si Bungsu. Samurainya bekerja lagi. Salah satu samurai di tangan pendeta itu terpental ke udara. Dan kedua pendeta itu rubuh dengan dada robek.
Hal itu segera terbukti, ketika dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata, samurai ditangannya membabat samurai di tangan kedua sensei itu.
Kedua samurai pendeta itu hampir saja terpental ke udara saking kuat dan kukuhnya benturan samurai si Bungsu. Mereka kaget.
Dan kekagetan itu adalah kelemahan mereka. Sebab waktu yang sedetik untuk kaget itu sudah terlalu panjang bagi si Bungsu. Samurainya bekerja lagi. Salah satu samurai di tangan pendeta itu terpental ke udara. Dan kedua pendeta itu rubuh dengan dada robek.
Si Bungsu berputar, dan samurainya memukul samurai yang terpental ke udara, yang saat itu sedang meluncur turun. Terdengar suara besi beradu dan bunga api memercik. Kemudian samurai pendeta yang terpukul itu tertancap setengah jari dari tubuh Saburo Matsuyama yang tengah memeluk Michiko. Kejadian beruntun itu amat cepat. Suasana tiba-tiba jadi sepi. Samurai yang tertancap di lantai itu bergoyang.
“Apakah engkau akan berlindung terus dibalik punggung murid-muridmu Saburo? Apakah engkau tak mengenal malu menyuruh pendeta yang tak berdosa ini untuk bertarung menyelamatkan nyawamu? Tegak dan pertahankan dirimu! Aku bukan hewan seperti engkau yang sampai hati membunuh perempuan. Anakmu hanya terluka kulit”
Suara si Bungsu terdengar dingin. Dan dia tegak dengan samurai berdarah di tangannya. Dengan kaki terpentang lebar. Michiko memang tak cedera. Hanya kulit punggungnya luka sedikit. Luka tergores. Si Bungsu memang tak berniat menderainya. Dia hanya bermaksud memancing amarah Saburo untuk mau melawannya.
Dan kali ini, tak seorangpun diantara para pendeta yang puluhan banyaknya itu berani maju menyerang. Sudah delapan orang pendeta pendeta kuil mereka yang menemui ajal ditangan anak muda perkasa ini. Dan kedelapan orang itu, semua adalah para sensei.
Instruktur mereka. Kalau instruktur mereka saja dengan mudah dirubuhkan anak muda itu, apalagi diri mereka.
Kini mereka hanya tegak berkeliling menanti sikap obosan mereka. Saburo akhirnya tegak. Menatap pada si Bungsu.
Dan kali ini, tak seorangpun diantara para pendeta yang puluhan banyaknya itu berani maju menyerang. Sudah delapan orang pendeta pendeta kuil mereka yang menemui ajal ditangan anak muda perkasa ini. Dan kedelapan orang itu, semua adalah para sensei.
Instruktur mereka. Kalau instruktur mereka saja dengan mudah dirubuhkan anak muda itu, apalagi diri mereka.
Kini mereka hanya tegak berkeliling menanti sikap obosan mereka. Saburo akhirnya tegak. Menatap pada si Bungsu.
Dia akhirnya menyadari, bahwa anak muda ini tak berniat mencelakai diri Michiko. Dia akhirnya menyadari, bahwa dari jauh anak muda ini datang benar-benar dengan maksud mencari dan menghendaki nyawanya.
Dia sudah mengukur kemampuan anak muda ini dalam memakai samurai. Dalam Kempetai yang bertugas di Asia, dia termasuk salah seorang samurai yang tangguh.
Tapi, kini melihat cara anak muda itu mempergunakan senjata tradisionil mereka itu, dia yakin jarang tandingannya di negeri ini. Anak muda ini bersilat samurai bukan dengan sistim dan ilmu samurai yang biasa. Dia bersilat dengan hati dan istinknya! Inilah kelebihan anak muda itu.
Kelebihan yang tak mungkin ditandingi.
Tapi, kini melihat cara anak muda itu mempergunakan senjata tradisionil mereka itu, dia yakin jarang tandingannya di negeri ini. Anak muda ini bersilat samurai bukan dengan sistim dan ilmu samurai yang biasa. Dia bersilat dengan hati dan istinknya! Inilah kelebihan anak muda itu.
Kelebihan yang tak mungkin ditandingi.
Di Jepang (bagian 220)
Namun, meskipun dia sadar bahwa anak muda itu takkan terlawan, dia tak mau membuat anak muda itu kecewa. Dia harus melawannya. Anak muda itu tak mau membunuh Michiko. Itu saja sudah sebuah kebaikan yang takkan mungkin dia lupakan diakhir hayatnya ini.
“Baiklah. Saya akan melawanmu….” Katanya perlahan.
Kemudian perlahan dia mencabut samurai yang terancap di lantai di sisi Michiko. Dia tegak lurus-lurus menatap si Bungsu, lalu perlahan-lahan kepalanya berpaling kepada para pendeta anak buahnya yang tegak berkeliling.
“Jika dia keluar sebagai pemenang dalam perkelahian ini, biarkan dia keluarkan dengan selamat dari sini. Dia menang dalam suatu perkelahian yang terhormat. Karena itu dia berhak dihormati sebagai seorang samurai sejati…”
Sehabis berkata begini, dengan cepat kakinya menggeser dua langkah menghampiri si Bungsu. Michiko sudah tak sadar diri. Dia tetap terlentang. Ketika si Bungsu mengancamkan samurai ke lehernya, dia ingin mati saja di tangan anak muda itu.
Dan ketika si Bungsu akan membunuh atau memperkosanya, dia sudah tak sadar diri.
Hatinya benar-benar sakit dan terluka mendengar ucapan anak muda yang diam-diam dia cintai itu. Kalau saat ini dia jatuh pingsan, maka dia pingsan bukan karena luka di pungggungnya. Melainkan karena luka di hatinya.
Dan saat itu Saburo Matsuyama sudah berhadapan dengan si Bungsu! Ketika Saburo maju menggeserkan kakinya di lantai, perlahan si Bungsu menyarungkan kembali Samurainya.
Samurainya itu dia pegang di tangan kiri. Tangan kanannya terkulai lemah. Dia menahan nafas. Semua pendeta yang mengelilingi mereka jadi terheran-heran akan sikap demikian.
Tadi anak ini yang menantang Obosan mereka. Tapi kini, ketika Obosan maju dengan samurai siap menyerang, tahu-tahu anak muda itu menyarungkan samurainya kembali.
Apakah anak muda ini merasa takut dan merobah niatnya? Pikir mereka. Namun yang tak heran, malah terkejut melihat sikap anak muda itu adalah Saburo Matsuyama. Tadi dia sudah menebak, bahwa anak muda ini bertarung dengan hati dan nalurinya. Tidak dengan sistim dan ilmu silat samurai biasa. Dan begitu melihat samurai si Bungsu menyisipkan samurai, dia segera tahu, bahwa anak muda ini benar-benar seorang yang tangguh. Seorang yang amat percaya pada diri dan kemampuannya. Dan dia ingin mencoba.
Sebuah bentakan berikut suatu serangan tiga kali bacokan cepat dia lakukan pada si Bungsu, serangannya amat cepat. Malah cepat sekali. Dia menyerang sambil pindah tempat dua kali. Serangan pertama ke arah leher dari depan. Serangan kedua dari kiri dengan memindahkan kaki kanannya ke samping menyerang pinggang.
Serangan ketiga dari kanan dengan menggeserkan kaki kirinya menyerang lutut! Namun tangan kanan si Bungsu bergerak seperti bayang-bayang.
Ketiga serangan itu dia tangkis tanpa menggeser tegak seincipun! Bunga api beberapa kali memercik ketika samurai mereka beradu! Mereka kini tegak saling pandang. Saburo dengan kaki kiri di depan dengan samurai teracung setinggi dada.
Si Bungsu tegak dengan kaki terpentang ke kiri dan ke kanan selebar bahu. Samurai sudah dalam sarung di tangan kiri!
Tiba-tiba kembali dengan gerakan cepat Saburo mengelilingi si Bungsu, dan begitu dia berada di belakang, dia melancarkan serangan kilat memancung dari atas. Si Bungsu membelintangkan samurainya di atas kepala.
Tapi ternyata serangan itu hanya serangan tipuan. Serangan yang sebenarnya bukanlah dengan samurai. Melainkan dengan tendangan! Tendangan Saburo menghantam punggung si Bungsu! Namun tipuan ternyata di balas dengan tipuan.
Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa gerakan itu adalah gerakan tipuan. Hal itu dia ketahui dari arah angin yang berpindah akibat serangan kaki Saburo!
Dia menarik samurainya yang membelintang di atas kepala dan kini samurai bersarung itu menghantam lutu Saburo!
“Prakkk!!” sarung samurainya mengebrak lutut Obosan itu.
Saburo tersurut. Dia jadi pucat. Sebenarnya kalau si Bungsu mau, maka dia tak perlu menangkis dengan samurai bersarung. Melainkan dengan samurai telanjang.
Dan kalau itu sampai dilakukan anak muda itu, maka kini Saburo tidak lagi memeiliki kaki kanan dari lutut ke bawah! Dia jadi ngeri.
Namun sekali lagi dia menggebrak maju. Waktu itulah Michiko yang pingsan jadi sadar.
Melihat betapa ayahnya menyerang anak muida itu, dia memekik memanggil
“Ayaaaah. Jangaaaaaannn!!!” dan gadis itu tidak hanya sekedar menjerit, dia langsung berdiri dan lompat ke tengah pertarungan!
Saat itu samurai Saburo telah melayang ke arah belikat si Bungsu, samurai si Bungsu menghantam dengan kekuatan penuh. Samurai Saburo terlempar ke udara. Persis seperti terlemparnya samurai di tangan ayah si Bungsu, Datuk Berbangsa di Situjuh Ladang Laweh beberapa tahun yang lalu.
Namun, meskipun dia sadar bahwa anak muda itu takkan terlawan, dia tak mau membuat anak muda itu kecewa. Dia harus melawannya. Anak muda itu tak mau membunuh Michiko. Itu saja sudah sebuah kebaikan yang takkan mungkin dia lupakan diakhir hayatnya ini.
“Baiklah. Saya akan melawanmu….” Katanya perlahan.
Kemudian perlahan dia mencabut samurai yang terancap di lantai di sisi Michiko. Dia tegak lurus-lurus menatap si Bungsu, lalu perlahan-lahan kepalanya berpaling kepada para pendeta anak buahnya yang tegak berkeliling.
“Jika dia keluar sebagai pemenang dalam perkelahian ini, biarkan dia keluarkan dengan selamat dari sini. Dia menang dalam suatu perkelahian yang terhormat. Karena itu dia berhak dihormati sebagai seorang samurai sejati…”
Sehabis berkata begini, dengan cepat kakinya menggeser dua langkah menghampiri si Bungsu. Michiko sudah tak sadar diri. Dia tetap terlentang. Ketika si Bungsu mengancamkan samurai ke lehernya, dia ingin mati saja di tangan anak muda itu.
Dan ketika si Bungsu akan membunuh atau memperkosanya, dia sudah tak sadar diri.
Hatinya benar-benar sakit dan terluka mendengar ucapan anak muda yang diam-diam dia cintai itu. Kalau saat ini dia jatuh pingsan, maka dia pingsan bukan karena luka di pungggungnya. Melainkan karena luka di hatinya.
Dan ketika si Bungsu akan membunuh atau memperkosanya, dia sudah tak sadar diri.
Hatinya benar-benar sakit dan terluka mendengar ucapan anak muda yang diam-diam dia cintai itu. Kalau saat ini dia jatuh pingsan, maka dia pingsan bukan karena luka di pungggungnya. Melainkan karena luka di hatinya.
Dan saat itu Saburo Matsuyama sudah berhadapan dengan si Bungsu! Ketika Saburo maju menggeserkan kakinya di lantai, perlahan si Bungsu menyarungkan kembali Samurainya.
Samurainya itu dia pegang di tangan kiri. Tangan kanannya terkulai lemah. Dia menahan nafas. Semua pendeta yang mengelilingi mereka jadi terheran-heran akan sikap demikian.
Tadi anak ini yang menantang Obosan mereka. Tapi kini, ketika Obosan maju dengan samurai siap menyerang, tahu-tahu anak muda itu menyarungkan samurainya kembali.
Samurainya itu dia pegang di tangan kiri. Tangan kanannya terkulai lemah. Dia menahan nafas. Semua pendeta yang mengelilingi mereka jadi terheran-heran akan sikap demikian.
Tadi anak ini yang menantang Obosan mereka. Tapi kini, ketika Obosan maju dengan samurai siap menyerang, tahu-tahu anak muda itu menyarungkan samurainya kembali.
Apakah anak muda ini merasa takut dan merobah niatnya? Pikir mereka. Namun yang tak heran, malah terkejut melihat sikap anak muda itu adalah Saburo Matsuyama. Tadi dia sudah menebak, bahwa anak muda ini bertarung dengan hati dan nalurinya. Tidak dengan sistim dan ilmu silat samurai biasa. Dan begitu melihat samurai si Bungsu menyisipkan samurai, dia segera tahu, bahwa anak muda ini benar-benar seorang yang tangguh. Seorang yang amat percaya pada diri dan kemampuannya. Dan dia ingin mencoba.
Sebuah bentakan berikut suatu serangan tiga kali bacokan cepat dia lakukan pada si Bungsu, serangannya amat cepat. Malah cepat sekali. Dia menyerang sambil pindah tempat dua kali. Serangan pertama ke arah leher dari depan. Serangan kedua dari kiri dengan memindahkan kaki kanannya ke samping menyerang pinggang.
Serangan ketiga dari kanan dengan menggeserkan kaki kirinya menyerang lutut! Namun tangan kanan si Bungsu bergerak seperti bayang-bayang.
Ketiga serangan itu dia tangkis tanpa menggeser tegak seincipun! Bunga api beberapa kali memercik ketika samurai mereka beradu! Mereka kini tegak saling pandang. Saburo dengan kaki kiri di depan dengan samurai teracung setinggi dada.
Si Bungsu tegak dengan kaki terpentang ke kiri dan ke kanan selebar bahu. Samurai sudah dalam sarung di tangan kiri!
Serangan ketiga dari kanan dengan menggeserkan kaki kirinya menyerang lutut! Namun tangan kanan si Bungsu bergerak seperti bayang-bayang.
Ketiga serangan itu dia tangkis tanpa menggeser tegak seincipun! Bunga api beberapa kali memercik ketika samurai mereka beradu! Mereka kini tegak saling pandang. Saburo dengan kaki kiri di depan dengan samurai teracung setinggi dada.
Si Bungsu tegak dengan kaki terpentang ke kiri dan ke kanan selebar bahu. Samurai sudah dalam sarung di tangan kiri!
Tiba-tiba kembali dengan gerakan cepat Saburo mengelilingi si Bungsu, dan begitu dia berada di belakang, dia melancarkan serangan kilat memancung dari atas. Si Bungsu membelintangkan samurainya di atas kepala.
Tapi ternyata serangan itu hanya serangan tipuan. Serangan yang sebenarnya bukanlah dengan samurai. Melainkan dengan tendangan! Tendangan Saburo menghantam punggung si Bungsu! Namun tipuan ternyata di balas dengan tipuan.
Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa gerakan itu adalah gerakan tipuan. Hal itu dia ketahui dari arah angin yang berpindah akibat serangan kaki Saburo!
Dia menarik samurainya yang membelintang di atas kepala dan kini samurai bersarung itu menghantam lutu Saburo!
Tapi ternyata serangan itu hanya serangan tipuan. Serangan yang sebenarnya bukanlah dengan samurai. Melainkan dengan tendangan! Tendangan Saburo menghantam punggung si Bungsu! Namun tipuan ternyata di balas dengan tipuan.
Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa gerakan itu adalah gerakan tipuan. Hal itu dia ketahui dari arah angin yang berpindah akibat serangan kaki Saburo!
Dia menarik samurainya yang membelintang di atas kepala dan kini samurai bersarung itu menghantam lutu Saburo!
“Prakkk!!” sarung samurainya mengebrak lutut Obosan itu.
Saburo tersurut. Dia jadi pucat. Sebenarnya kalau si Bungsu mau, maka dia tak perlu menangkis dengan samurai bersarung. Melainkan dengan samurai telanjang.
Dan kalau itu sampai dilakukan anak muda itu, maka kini Saburo tidak lagi memeiliki kaki kanan dari lutut ke bawah! Dia jadi ngeri.
Namun sekali lagi dia menggebrak maju. Waktu itulah Michiko yang pingsan jadi sadar.
Melihat betapa ayahnya menyerang anak muida itu, dia memekik memanggil
Dan kalau itu sampai dilakukan anak muda itu, maka kini Saburo tidak lagi memeiliki kaki kanan dari lutut ke bawah! Dia jadi ngeri.
Namun sekali lagi dia menggebrak maju. Waktu itulah Michiko yang pingsan jadi sadar.
Melihat betapa ayahnya menyerang anak muida itu, dia memekik memanggil
“Ayaaaah. Jangaaaaaannn!!!” dan gadis itu tidak hanya sekedar menjerit, dia langsung berdiri dan lompat ke tengah pertarungan!
Saat itu samurai Saburo telah melayang ke arah belikat si Bungsu, samurai si Bungsu menghantam dengan kekuatan penuh. Samurai Saburo terlempar ke udara. Persis seperti terlemparnya samurai di tangan ayah si Bungsu, Datuk Berbangsa di Situjuh Ladang Laweh beberapa tahun yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar