Di Jepang (bagian 221)
Kini samurai itu meluncur turun. Sebenarnya dengan mudah si Bungsu dapat menyudahi nyawa Saburo. Namun Michiko telah memeluk ayahnya!
Tanpa sadar sedikitpun, samurai yang tadi melambung meluncur turun, persis tentang kedua anak beranak itu.
Si Bungsu tertegun. Samurai itu pasti akan menancap di tengkuk Saburo yang memeluk anaknya!
Selintas dia teringat betapa pedihnya hidup tanpa ayah, tanpa ibu dan saudara. Oo, bertahun dia telah hidup demikian. Kini, ada seorang gadis yang telah kematian ibu, seorang anak tunggal, yang akan kematian ayahnya pula. Akan dia tambahkah jumlah kanak-kanak yang yatim piatu? Yang tersikasa oleh kesepian tanpa kasih sayang ayah dan bunda? Pantaskah dia membalaskan penderitaannya pada orang lain? Pikiran itu demikian cepat menyelinapnya. Dan dengan sebuah gerakan lompat tupai yang sempurna, dia bergulingan di lantai. Dan sejari lagi samurai yang meluncur turun itu akan menancap di tengkuk Saburo, samurai si Bungsu datang menghantamnya. Samurai itu terpukul dan menancap di lantai jauh dari Saburo!
Semua pendeta yang tadi sudah meramalkan kematian Obosan mereka, jadi terkesima oleh gerakan yang tak pernah mereka bayangkan akan sanggup dilakukan seorang manusia biasa itu! Saburo selamat!
Saburo menyadari bahwa nyawanya telah diselamatkan lagi. Dia menatap heran pada si Bungsu, si Bungsu menatap pada Saburo tanpa berkedip. Michiko juga menatapnya diantara deraian airmata…
“Lelaki kejam. Lelaki yang tak berperasaan. Kau bunuhlah aku jika engkau mau membunuh ayahku!!” Michiko berkata diantara tangisnya.
Si bungsu terdiam. Perlahan sekali, dia menyarungkan kembali samurainya. Memandang pada Michiko. Memandang pada Saburo. Memandang keliling. Pada para pendeta kuil Shimogamo itu. Memandang pada mayat-mayat para pendeta. Dan tiba-tiba dia merasakan dirinya sebagai pembunuh. Membunuh para pendeta di kuil mereka yang suci. Kenapa harus saling bunuh di kuil ini!
“Maafkan saya….” Katanya kepada para pendeta itu.
Kemudian dia melangkah meninggalkan ruangan tersebut. Para pendeta yang melingkar berkuak memberi jalan.
“Bungsu-san….”suara Michiko terdengar memanggil.
Si Bungsu mendengarnya, tapi dia tak menoleh.
“Bungsu-saaan…’ suara Michiko terdengar getir.
Namun si Bungsu sudah berada di luar. Angin musim dingin menampar-nampar wajahnya.
Dan ketika dia melangkah di altar di depan Doyo dimana para pendeta muda itu tadi berlatih, dia dengar pekikan Michiko. Dia ingin berhenti, tapi buat apa?
Dia melangkah di jalan yang terbuat dari batu dalam taman di depan kuil Shimogamo itu. Kemudian ke luar ke jalan raya Shimogamo Hon. Dia melangkah ke mana saja kakinya membawa.
Di jalan raya, dia berbaur dengan tentara Amerika yang berseliweran. Berbaur dengan orang-orang Jepang yang juga berseliweran. Dia tak tahu ke mana kainya membawa.
Dia tak ingin berhenti. Tapi juga tak ingin berjalan. Dia tak ingin berbuat apa-apa. Dia tak ingin, tak ingin…. Apa yang dia ingini kini?
Akhirnya dia mendapatkan dirinya terduduk di sebuah kursi kayu yang dingin di sebuah taman yang rasanya belum pernah dia jejak. Bila pula dia akan menjejak taman di kota ini, padahal baru tiga hari dia di Kyoto ini?
Tak ada orang di taman itu. Siapa pula orang yang akan berada di taman dalam musim dingin begini? Dia duduk sendiri. Duduk menyesali diri. Kenapa Saburo tak dia bunuh? Kenapa dia lepaskan setelah bertahun dia mencarinya. Kenapa dia biarkan jahanam itu hidup padahal ayahnya bersumpah akan membunuh jahanam itu sesaat sebelum dia menghentakkan nafasnya?
Apakah dia menjadi lemah karena Michiko? Apakah nyawa ayah dan ibunya, kehormatan dan nyawa kakaknya, dan kehormatan puluhan gadis serta nyawa puluhan orang kampungnya, penduduk Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sago di Minangkabau sana lebih rendahnya daripada nyawa Saburo? Apakah hanya karena sayang pada Michiko dia biarkan ayah, ibu dan kakak serta orang kampungnya mati tanpa ada yang menuntut bela?
Dia merasa pikirannya jadi buntu. Jadi tak menentu. Sampai suatu saat, di taman itu dia mendengar bunyi tabuh. Suara tabuh mengingatkan dia pada sholat.
Tabuh apakah itu? Pastilah gendang upacara agama Shinto. Dan dia teringat bahwa belum sholat. Dia sedang berniat bangkit ketika tiba-tiba dia mendengar suara azan! Suara azan di Kyoto! Mungkinkah itu? Dia tegak tertegun sambil mempertajam pendengarannya.
“Asyhaduala ila hailallaaaahh….”
Suara azan itu berkumandang dalam suara dingin. Tanpa dapat dia tahan, bulu tengkunya merinding dan matanya basah mendengar azan itu.
Ya, pastilah beduk tadi dari sebuah mesjid atau langgar di sekitar taman ini. Dia coba mencari suara itu.
Kini samurai itu meluncur turun. Sebenarnya dengan mudah si Bungsu dapat menyudahi nyawa Saburo. Namun Michiko telah memeluk ayahnya!
Tanpa sadar sedikitpun, samurai yang tadi melambung meluncur turun, persis tentang kedua anak beranak itu.
Si Bungsu tertegun. Samurai itu pasti akan menancap di tengkuk Saburo yang memeluk anaknya!
Si Bungsu tertegun. Samurai itu pasti akan menancap di tengkuk Saburo yang memeluk anaknya!
Selintas dia teringat betapa pedihnya hidup tanpa ayah, tanpa ibu dan saudara. Oo, bertahun dia telah hidup demikian. Kini, ada seorang gadis yang telah kematian ibu, seorang anak tunggal, yang akan kematian ayahnya pula. Akan dia tambahkah jumlah kanak-kanak yang yatim piatu? Yang tersikasa oleh kesepian tanpa kasih sayang ayah dan bunda? Pantaskah dia membalaskan penderitaannya pada orang lain? Pikiran itu demikian cepat menyelinapnya. Dan dengan sebuah gerakan lompat tupai yang sempurna, dia bergulingan di lantai. Dan sejari lagi samurai yang meluncur turun itu akan menancap di tengkuk Saburo, samurai si Bungsu datang menghantamnya. Samurai itu terpukul dan menancap di lantai jauh dari Saburo!
Semua pendeta yang tadi sudah meramalkan kematian Obosan mereka, jadi terkesima oleh gerakan yang tak pernah mereka bayangkan akan sanggup dilakukan seorang manusia biasa itu! Saburo selamat!
Saburo menyadari bahwa nyawanya telah diselamatkan lagi. Dia menatap heran pada si Bungsu, si Bungsu menatap pada Saburo tanpa berkedip. Michiko juga menatapnya diantara deraian airmata…
“Lelaki kejam. Lelaki yang tak berperasaan. Kau bunuhlah aku jika engkau mau membunuh ayahku!!” Michiko berkata diantara tangisnya.
Kemudian dia melangkah meninggalkan ruangan tersebut. Para pendeta yang melingkar berkuak memberi jalan.
“Bungsu-san….”suara Michiko terdengar memanggil.
Si Bungsu mendengarnya, tapi dia tak menoleh.
“Bungsu-saaan…’ suara Michiko terdengar getir.
Namun si Bungsu sudah berada di luar. Angin musim dingin menampar-nampar wajahnya.
Dan ketika dia melangkah di altar di depan Doyo dimana para pendeta muda itu tadi berlatih, dia dengar pekikan Michiko. Dia ingin berhenti, tapi buat apa?
Dia melangkah di jalan yang terbuat dari batu dalam taman di depan kuil Shimogamo itu. Kemudian ke luar ke jalan raya Shimogamo Hon. Dia melangkah ke mana saja kakinya membawa.
Di jalan raya, dia berbaur dengan tentara Amerika yang berseliweran. Berbaur dengan orang-orang Jepang yang juga berseliweran. Dia tak tahu ke mana kainya membawa.
Dia tak ingin berhenti. Tapi juga tak ingin berjalan. Dia tak ingin berbuat apa-apa. Dia tak ingin, tak ingin…. Apa yang dia ingini kini?
Akhirnya dia mendapatkan dirinya terduduk di sebuah kursi kayu yang dingin di sebuah taman yang rasanya belum pernah dia jejak. Bila pula dia akan menjejak taman di kota ini, padahal baru tiga hari dia di Kyoto ini?
Tak ada orang di taman itu. Siapa pula orang yang akan berada di taman dalam musim dingin begini? Dia duduk sendiri. Duduk menyesali diri. Kenapa Saburo tak dia bunuh? Kenapa dia lepaskan setelah bertahun dia mencarinya. Kenapa dia biarkan jahanam itu hidup padahal ayahnya bersumpah akan membunuh jahanam itu sesaat sebelum dia menghentakkan nafasnya?
Apakah dia menjadi lemah karena Michiko? Apakah nyawa ayah dan ibunya, kehormatan dan nyawa kakaknya, dan kehormatan puluhan gadis serta nyawa puluhan orang kampungnya, penduduk Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sago di Minangkabau sana lebih rendahnya daripada nyawa Saburo? Apakah hanya karena sayang pada Michiko dia biarkan ayah, ibu dan kakak serta orang kampungnya mati tanpa ada yang menuntut bela?
Dia merasa pikirannya jadi buntu. Jadi tak menentu. Sampai suatu saat, di taman itu dia mendengar bunyi tabuh. Suara tabuh mengingatkan dia pada sholat.
Tabuh apakah itu? Pastilah gendang upacara agama Shinto. Dan dia teringat bahwa belum sholat. Dia sedang berniat bangkit ketika tiba-tiba dia mendengar suara azan! Suara azan di Kyoto! Mungkinkah itu? Dia tegak tertegun sambil mempertajam pendengarannya.
“Asyhaduala ila hailallaaaahh….”
Suara azan itu berkumandang dalam suara dingin. Tanpa dapat dia tahan, bulu tengkunya merinding dan matanya basah mendengar azan itu.Ya, pastilah beduk tadi dari sebuah mesjid atau langgar di sekitar taman ini. Dia coba mencari suara itu.
Di Jepang (bagian 222)
Suara azan di Kyoto. Menyebabkan dia teringat pada kampung halamannya. Suara azan itu seperti suara azan dari mesjid di kampungnya. Menyelinap diantara dedaun pohon. Menembus udara dingin. Dan kakinya melangkah mencari sumber suara azan itu. Dimanakah dia kini?
Seorang tua terlihat berjalan cepat-cepat dengan sandal kayunya yang berbunyi berdetak-detak di jalan yang terbuat dari semen.
“Maaf, numpang tanya…”
“Hai….” Jawab orang tua itu sambil berhenti.
“Dengar suara itu?”
“Anda maksud suara azan itu?” tanya lelaki tua itu.
“Ya, suara azan itu…” jawab si Bungsu heran. Heran kenapa orang tua Jepang ini mengetahui kalau suara itu adalah suara azan.
“Apakah anda orang Kristen?” tanya orang tua itu.
“Tidak, saya orang Islam…”
“Itu dari mesjid kami. Mesjid Okazaki….” Kata orang tua itu sambil mempercepat langkahnya.
Si Bungsu mengikuti langkah orang tua itu. Setelah berbelok ke kiri dua kali, tiba-tiba dia melihat sebuah gedung tua yang ditengahnya ada kubah.
“Mesjid…!” katanya hampir-hampir tak percaya. Orang tua itu telah masuk.
Di kanan mesjid yang tak seberapa besar itu ada sebuah kolam yang airnya mengalir terus. Si Bungsu mengambil wudhuk di sana. Kemudian menaiki tangga mar-mar. lalu dia berada di pintu sebuah ruangan yang bersih mengkilap.
“Assalamualaikum…” katanya.
“Waalaikumussalam…” belasan lelaki yang ada dalam ruangan itu menjawab tanpa menolehkan kepala.
Jam dinding tua yang tergantung menunjukkan angka tiga romawi. Suara detaknya bergema perlahan. Seorang Imam langsung tegak. Dan sembahyang berjemaah itupun mulai.
Si Bungsu tegak di saf kedua. Bacaan ayat Imam tua itu terdengar lancar dan fasih sekali. Si Bungsu seperti sholat ketika di Bukittinggi bersama penduduk Tarok. Yaitu takkala dia hidup di kampung kecil itu bersama Mei-mei. Ketika membaca doa, tiba-tiba dia rasa tenteram dan bahagia menyelimuti hatinya. Dia merasa suatu ketentraman karena tak membunuh Saburo.
Dia yakin, ayah, ibu dan kakaknya yang sudah almarhum juga menyetujui putusannya untuk tidak membunuh Saburo. Bukankah melupakan dendam merupakan suatu pekerjaan mulia? Memang suatu pekerjaan yang alangkah sulitnya buat melupakan segala amarah. Menghapiskan dendam. Tapi bukankah Islam mengajarkan bahwa melupakan dendam itu merupakan bahagian dari keimanan?
Dia sendiri, sudah berapa nyawa yang dia cabut? Benar dia membela diri. Tapi bagaimana kalau anak dari orang-orang yang dia bunuh lalu mencari dirinya dan menuntut balas?
Dia terduduk lama sekali di mesjid kecil disudut taman Okazaki di daerah Higashiyama-ku. Yaitu suatu taman di seberang sungai Takano. Dia merasa tenteram. Kini tugasnya selesai. Dia harus kembali ke Indonesia.
Begitu ingatan untuk kembali menyelusup dihatinya, dia segera teringat pada cincin jari manisnya. Dia menatap cincin itu. Cincin pemberian Salma di Bukittinggi. Sedang mengapa gadis itu kini? Sudah berlalu masa empat tahun sejak dia meninggalkan kota itu. Apakah dia sudah menikah? Dia lalu berniat pulang ke hotelnya. Tapi kemana dia harus pergi?
Hari sudah senja. Tadi dia berjalan tanpa tujuan. Tak dinyana dia sudah sampai kemari. Jalan mana saja yang dia tempuh? Dia keluar dari mesjid itu dengan perasaan benar-benar lapang dan lega. Ketika tiba di jalan besar, sebuah taksi tua lewat. Dia menyetopnya.
“Bisa mengantar saya ke hotel Kamo di daerah persimpangan Imadegawa?”
“Bisa, silakan naik….” Jawab sopir taksi tersebut. Dia lalu naik. Dan tak si tua itu melaju mengantarkannya ke hotel dimana dia menginap.
Hari telah senja benar ketika dia sampai di hotelnya. Dia tidur dengan lelap malam itu. Apalagi yang harus dia fikirkan? Selama ini dia selalu tak lelap tidur. Bagaimana dia akan tidur nyenyak kalau dihatinya selalu membara dendam yang amat dahsyat?
Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun terakhir ini, dia bisa bernafas dengan lega. Dia tak lagi memikirkan bagaimana cara untuk mencari Saburo. Dan tak pula harus memikirkan bagaimana caranya berkelahi melawan bekas perwira itu.
Pikirannya tak lagi dibebani ketakutan. Takut berhadapan dan takur dikalahkan. Bekankah beban mental begini selalu dialami oleh orang-orang yang akan bertarung? Kekalahan adalah sesuatu yang amat ditakuti setiap orang yang akan bertanding.
Padahal dalam kalimat pertarungan hanya ada dua kemungkinan.
Kalah atau menang.
Suara azan di Kyoto. Menyebabkan dia teringat pada kampung halamannya. Suara azan itu seperti suara azan dari mesjid di kampungnya. Menyelinap diantara dedaun pohon. Menembus udara dingin. Dan kakinya melangkah mencari sumber suara azan itu. Dimanakah dia kini?
Seorang tua terlihat berjalan cepat-cepat dengan sandal kayunya yang berbunyi berdetak-detak di jalan yang terbuat dari semen.
“Maaf, numpang tanya…”
“Hai….” Jawab orang tua itu sambil berhenti.
“Dengar suara itu?”
“Anda maksud suara azan itu?” tanya lelaki tua itu.
“Ya, suara azan itu…” jawab si Bungsu heran. Heran kenapa orang tua Jepang ini mengetahui kalau suara itu adalah suara azan.
“Apakah anda orang Kristen?” tanya orang tua itu.“Tidak, saya orang Islam…”
“Itu dari mesjid kami. Mesjid Okazaki….” Kata orang tua itu sambil mempercepat langkahnya.
Si Bungsu mengikuti langkah orang tua itu. Setelah berbelok ke kiri dua kali, tiba-tiba dia melihat sebuah gedung tua yang ditengahnya ada kubah.
“Mesjid…!” katanya hampir-hampir tak percaya. Orang tua itu telah masuk.
Di kanan mesjid yang tak seberapa besar itu ada sebuah kolam yang airnya mengalir terus. Si Bungsu mengambil wudhuk di sana. Kemudian menaiki tangga mar-mar. lalu dia berada di pintu sebuah ruangan yang bersih mengkilap.
“Assalamualaikum…” katanya.
“Waalaikumussalam…” belasan lelaki yang ada dalam ruangan itu menjawab tanpa menolehkan kepala.
Jam dinding tua yang tergantung menunjukkan angka tiga romawi. Suara detaknya bergema perlahan. Seorang Imam langsung tegak. Dan sembahyang berjemaah itupun mulai.
Si Bungsu tegak di saf kedua. Bacaan ayat Imam tua itu terdengar lancar dan fasih sekali. Si Bungsu seperti sholat ketika di Bukittinggi bersama penduduk Tarok. Yaitu takkala dia hidup di kampung kecil itu bersama Mei-mei. Ketika membaca doa, tiba-tiba dia rasa tenteram dan bahagia menyelimuti hatinya. Dia merasa suatu ketentraman karena tak membunuh Saburo.
Dia yakin, ayah, ibu dan kakaknya yang sudah almarhum juga menyetujui putusannya untuk tidak membunuh Saburo. Bukankah melupakan dendam merupakan suatu pekerjaan mulia? Memang suatu pekerjaan yang alangkah sulitnya buat melupakan segala amarah. Menghapiskan dendam. Tapi bukankah Islam mengajarkan bahwa melupakan dendam itu merupakan bahagian dari keimanan?
Dia sendiri, sudah berapa nyawa yang dia cabut? Benar dia membela diri. Tapi bagaimana kalau anak dari orang-orang yang dia bunuh lalu mencari dirinya dan menuntut balas?
Dia terduduk lama sekali di mesjid kecil disudut taman Okazaki di daerah Higashiyama-ku. Yaitu suatu taman di seberang sungai Takano. Dia merasa tenteram. Kini tugasnya selesai. Dia harus kembali ke Indonesia.
Begitu ingatan untuk kembali menyelusup dihatinya, dia segera teringat pada cincin jari manisnya. Dia menatap cincin itu. Cincin pemberian Salma di Bukittinggi. Sedang mengapa gadis itu kini? Sudah berlalu masa empat tahun sejak dia meninggalkan kota itu. Apakah dia sudah menikah? Dia lalu berniat pulang ke hotelnya. Tapi kemana dia harus pergi?
Hari sudah senja. Tadi dia berjalan tanpa tujuan. Tak dinyana dia sudah sampai kemari. Jalan mana saja yang dia tempuh? Dia keluar dari mesjid itu dengan perasaan benar-benar lapang dan lega. Ketika tiba di jalan besar, sebuah taksi tua lewat. Dia menyetopnya.
“Bisa mengantar saya ke hotel Kamo di daerah persimpangan Imadegawa?”
“Bisa, silakan naik….” Jawab sopir taksi tersebut. Dia lalu naik. Dan tak si tua itu melaju mengantarkannya ke hotel dimana dia menginap.
Hari telah senja benar ketika dia sampai di hotelnya. Dia tidur dengan lelap malam itu. Apalagi yang harus dia fikirkan? Selama ini dia selalu tak lelap tidur. Bagaimana dia akan tidur nyenyak kalau dihatinya selalu membara dendam yang amat dahsyat?
Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun terakhir ini, dia bisa bernafas dengan lega. Dia tak lagi memikirkan bagaimana cara untuk mencari Saburo. Dan tak pula harus memikirkan bagaimana caranya berkelahi melawan bekas perwira itu.
Pikirannya tak lagi dibebani ketakutan. Takut berhadapan dan takur dikalahkan. Bekankah beban mental begini selalu dialami oleh orang-orang yang akan bertarung? Kekalahan adalah sesuatu yang amat ditakuti setiap orang yang akan bertanding.
Padahal dalam kalimat pertarungan hanya ada dua kemungkinan.
Kalah atau menang.
Pikirannya tak lagi dibebani ketakutan. Takut berhadapan dan takur dikalahkan. Bekankah beban mental begini selalu dialami oleh orang-orang yang akan bertarung? Kekalahan adalah sesuatu yang amat ditakuti setiap orang yang akan bertanding.
Padahal dalam kalimat pertarungan hanya ada dua kemungkinan.
Kalah atau menang.
Di Jepang (bagian 223)
Keinginan untuk menang adalah hasrat terakhir dari setiap orang yang bertarung.
Namun kekalahan adalah juga merupakan haknya. Setiap yang meginginkan kemenangan harus sadar bahwa kekalahan juga mengintainya. Dan kini masa, memikul beban seperti itu sudah dia lalui.
Barangkali dia dianggap orang lemah. Bertahun mencari musuh. Dan ketika musuh itu dengan mudah bisa dibunuh, dia melepaskan begitu saja. Apakah itu suatu “kelemahan?” atau itu juga suatu “Kekalahan?”
Kalau itu dianggap suatu kelemahan atau suatu kekalahan, maka dia dengan lapang hati menerima kenyataan itu. Yang jelas, dia merasa lega kini. Lega karena tak membunuh orang lebih banyak.
Pagi harinya dia jadi heran. Di jalan raya di depan hotelnya, kelihatan arak-arakan para pendeta menuju ke utara. Dari berbagai penjuru jalan, kelihatan barisan pendeta-pendeta Budha dan Shinto berbaris dengan wajah sedih.
“Ada apa?” tanyanya pada seorang pengurus hotel.
“Pendeta Besar kuil Shimogamo meninggal karena harakiri kemaren..” jawab pengurus hotel itu.
Si Bungsu merasa dirinya terlambung. Dia tertegak kaku.
“Bunuh diri?” desisnya perlahan.
“Ya. Pagi kemaren, kabarnya seorang musuhnya datang ke sana untuk menuntut balas. Muridnya, para pendekar kuil Shimogamo yang tersohor pendekarnya itu, berusaha membantunya. Namun kabarnya delapan orang di antara mereka mati dimakan samurai musuh Obosan itu. Menurut orang yang menyaksikan di kuil itu kemaren pagi, belum pernah ada manusia yang demikian cepatnya mempergunakan samurai di Jepang ini, seperti musuh Obosan itu. Mungkin orang itu murid atau turunan dinasti Tokugawa. Pendekar Samurai yang tershor itu…..”
Pengurus gotel itu bicara terus. Namun si Bungsu tak mendengarkannya. Dia teringat pada pekikan Michiko kemaren sesaat dia akan meninggalkan kuil Shimogamo itu.
Apakah saat itu Saburo bunuh diri?
“Kini semua pendeta dari seluruh kuil yang ada di Kyoto ini…” pengurus hotel itu melanjutkan…
” menuju ke sana. Untuk memberikan penghormatan pada Obosan itu. Obosan itu sangat disegani di kota ini. Sangat berpengaruh dan dihormati…”
Si Bungsu tak mendengarkannya. Dia justru tengah melangkah mengikuti palunan manusia menuju kuil Shimogamo! Pikirannya yang malam tadi telah tenang, kini kembali mendapat beban lagi. Kini beban itu justru makin berat.
Dia sampai di altar kuil dimana kemaren dia melihat puluhan pendeta muda sedang berlatih beladiri. Altar itu kini sudah penuh di kiri kanannya. Ada jalan selebar tiga meter di tengah untuk menuju ke tangga utama di kuil tersebut.
Dan di sana, di puncak anak tangga kuil yang belasan jumlahnya itu, terletak peti jenazah Obosan kuil Shimogamo. Diselimuti dengan kain beludru merah.
Jenjang kuil itu dialas seluruhnya dengan beludru kuning. Dan di samping peti yang diletakkan agak tinggi itu, kelihatan seorang gadis berbaju serba putih duduk berlutut. Tangannya menelungkup bersama wajahnya ke peti jenazah.
“Michiko….” Kata si Bungsu perlahan.
Di sekitar peti jenazah kelihatan puluhan lilin tengah dipasang. Dan berjejer di setiap anak tangga, kelihatan puluhan pendeta kuil Shimogamo berjubah merah dan kuning berguman membaca doa. Jarak antara si Bungsu dengan peti jenazah di mana Michiko menelungkup itu masih jauh.
Si Bungsu berusaha mendekat lewat di antara jubelan manusia yang ribuan orang banyaknya itu. Yang hadir dalam upacara tersebut ternyata tidak hanya pendeta dari kuil-kuil di kota Kyoto saja. Berita itu ternyata telah pecah dan menyelusup ke seluruh pelosok kota.
Orang berdatangan ingin memberi penghormatan akhir pada Obosan itu. Selain itu, tentara Amerika juga berdatangan. Ada yang datang karena bersifat politis, ada yang datang karena ingin melihat upacara sakral itu dilangsungkan.
Gong tiba-tiba dipalu. Berdengung dan bersipongang. Menggetarkan hati setiap orang yang berada di sekitar kuil itu. Si Bungsu baru menyadari bahwa musuh bebuyutannya itu ternyata memang bukan orang sembarangan. Ternyata dia orang terhormat dan berpengaruh. Upacara dihari kematiannya ini membuktikan hal itu.
Begitu gong ketiga berakhir, utusan-utusan dari selusin kuil yang ada di kota Kyoto itu maju dalam barisan yang teratur. Dua orang tiap kuil. Mereka maju membawa semacam baki mendaki tangga upacara. Michiko berdiri menerima penghormatan itu.
Si Bungsu melihat betapa mata gadis itu bengkak bekas menangis. Wajahnya yang cantik kelihatan pucat sekali. Dan saat itulah Michiko melihat si Bungsu tegak di baris kedua dari jalan di tangga paling bawah.
Mata mereka saling tatap. Wajah Michiko tiba-tiba jadi keras. Dan tiba-tiba pula lilin ditangannya jatuh. Dia menatap lurus pada si Bungsu. Semua orang jadi kaget. Termasuk para pendeta, para biksu dari seluruh kuil yang hadir di sana.
“Michiko-san…” seorang pendeta tua wakil Saburo mengingatkan Michiko atas sikapnya itu.
Namun Michiko sudah melangkah menuruni anak tangga. Menuju lurus-lurus ke arah si Bungsu.
Keinginan untuk menang adalah hasrat terakhir dari setiap orang yang bertarung.
Namun kekalahan adalah juga merupakan haknya. Setiap yang meginginkan kemenangan harus sadar bahwa kekalahan juga mengintainya. Dan kini masa, memikul beban seperti itu sudah dia lalui.
Namun kekalahan adalah juga merupakan haknya. Setiap yang meginginkan kemenangan harus sadar bahwa kekalahan juga mengintainya. Dan kini masa, memikul beban seperti itu sudah dia lalui.
Barangkali dia dianggap orang lemah. Bertahun mencari musuh. Dan ketika musuh itu dengan mudah bisa dibunuh, dia melepaskan begitu saja. Apakah itu suatu “kelemahan?” atau itu juga suatu “Kekalahan?”
Kalau itu dianggap suatu kelemahan atau suatu kekalahan, maka dia dengan lapang hati menerima kenyataan itu. Yang jelas, dia merasa lega kini. Lega karena tak membunuh orang lebih banyak.Pagi harinya dia jadi heran. Di jalan raya di depan hotelnya, kelihatan arak-arakan para pendeta menuju ke utara. Dari berbagai penjuru jalan, kelihatan barisan pendeta-pendeta Budha dan Shinto berbaris dengan wajah sedih.
“Ada apa?” tanyanya pada seorang pengurus hotel.
“Pendeta Besar kuil Shimogamo meninggal karena harakiri kemaren..” jawab pengurus hotel itu.
Si Bungsu merasa dirinya terlambung. Dia tertegak kaku.
“Bunuh diri?” desisnya perlahan.
“Ya. Pagi kemaren, kabarnya seorang musuhnya datang ke sana untuk menuntut balas. Muridnya, para pendekar kuil Shimogamo yang tersohor pendekarnya itu, berusaha membantunya. Namun kabarnya delapan orang di antara mereka mati dimakan samurai musuh Obosan itu. Menurut orang yang menyaksikan di kuil itu kemaren pagi, belum pernah ada manusia yang demikian cepatnya mempergunakan samurai di Jepang ini, seperti musuh Obosan itu. Mungkin orang itu murid atau turunan dinasti Tokugawa. Pendekar Samurai yang tershor itu…..”
Pengurus gotel itu bicara terus. Namun si Bungsu tak mendengarkannya. Dia teringat pada pekikan Michiko kemaren sesaat dia akan meninggalkan kuil Shimogamo itu.
Apakah saat itu Saburo bunuh diri?
“Kini semua pendeta dari seluruh kuil yang ada di Kyoto ini…” pengurus hotel itu melanjutkan…
” menuju ke sana. Untuk memberikan penghormatan pada Obosan itu. Obosan itu sangat disegani di kota ini. Sangat berpengaruh dan dihormati…”
Si Bungsu tak mendengarkannya. Dia justru tengah melangkah mengikuti palunan manusia menuju kuil Shimogamo! Pikirannya yang malam tadi telah tenang, kini kembali mendapat beban lagi. Kini beban itu justru makin berat.
Dia sampai di altar kuil dimana kemaren dia melihat puluhan pendeta muda sedang berlatih beladiri. Altar itu kini sudah penuh di kiri kanannya. Ada jalan selebar tiga meter di tengah untuk menuju ke tangga utama di kuil tersebut.
Dan di sana, di puncak anak tangga kuil yang belasan jumlahnya itu, terletak peti jenazah Obosan kuil Shimogamo. Diselimuti dengan kain beludru merah.
Dan di sana, di puncak anak tangga kuil yang belasan jumlahnya itu, terletak peti jenazah Obosan kuil Shimogamo. Diselimuti dengan kain beludru merah.
Jenjang kuil itu dialas seluruhnya dengan beludru kuning. Dan di samping peti yang diletakkan agak tinggi itu, kelihatan seorang gadis berbaju serba putih duduk berlutut. Tangannya menelungkup bersama wajahnya ke peti jenazah.
“Michiko….” Kata si Bungsu perlahan.Di sekitar peti jenazah kelihatan puluhan lilin tengah dipasang. Dan berjejer di setiap anak tangga, kelihatan puluhan pendeta kuil Shimogamo berjubah merah dan kuning berguman membaca doa. Jarak antara si Bungsu dengan peti jenazah di mana Michiko menelungkup itu masih jauh.
Si Bungsu berusaha mendekat lewat di antara jubelan manusia yang ribuan orang banyaknya itu. Yang hadir dalam upacara tersebut ternyata tidak hanya pendeta dari kuil-kuil di kota Kyoto saja. Berita itu ternyata telah pecah dan menyelusup ke seluruh pelosok kota.
Orang berdatangan ingin memberi penghormatan akhir pada Obosan itu. Selain itu, tentara Amerika juga berdatangan. Ada yang datang karena bersifat politis, ada yang datang karena ingin melihat upacara sakral itu dilangsungkan.
Gong tiba-tiba dipalu. Berdengung dan bersipongang. Menggetarkan hati setiap orang yang berada di sekitar kuil itu. Si Bungsu baru menyadari bahwa musuh bebuyutannya itu ternyata memang bukan orang sembarangan. Ternyata dia orang terhormat dan berpengaruh. Upacara dihari kematiannya ini membuktikan hal itu.
Begitu gong ketiga berakhir, utusan-utusan dari selusin kuil yang ada di kota Kyoto itu maju dalam barisan yang teratur. Dua orang tiap kuil. Mereka maju membawa semacam baki mendaki tangga upacara. Michiko berdiri menerima penghormatan itu.
Si Bungsu melihat betapa mata gadis itu bengkak bekas menangis. Wajahnya yang cantik kelihatan pucat sekali. Dan saat itulah Michiko melihat si Bungsu tegak di baris kedua dari jalan di tangga paling bawah.
Mata mereka saling tatap. Wajah Michiko tiba-tiba jadi keras. Dan tiba-tiba pula lilin ditangannya jatuh. Dia menatap lurus pada si Bungsu. Semua orang jadi kaget. Termasuk para pendeta, para biksu dari seluruh kuil yang hadir di sana.
“Michiko-san…” seorang pendeta tua wakil Saburo mengingatkan Michiko atas sikapnya itu.
Di Jepang (bagian 224)
“Michiko-san…!” wakil Obosan itu kembali menegur Michiko yang meninggalkan altar upacara.
Namun Michiko sudah sampai di bawah. Melihat gadis itu datang padanya, si Bungsu maju menyeruak di antara barisan pendeta. Dan kini berdiri di depan. Semua mata menatap kedua anak muda ini. Selain para pendeta dari kuil Shimogamo, tak seorangpun yang mengenal anak muda asing itu.
“Saya menyampaikan rasa duka cita yang…” ucapan si Bungsu sambil membungkuk dalam itu terhenti takkala tiba-tiba tangan Michiko secepat kilat menyambar samurai dari seorang pendeta yang tegak di dekatnya.
Dan samurai itu dengan kecepatan yang sulit diikuti mata pula, menghajar bahu si Bungsu!
Darah menyembur dari bekas luka yang menganga itu!
“Michiko-san!!!” wakil Saburo di kuil Shimogamo itu membentak seiring dengan teriakan-teriakan kaget dari seluruh pengunjung melihat kejadian itu.
Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa ada bunyi senjata menyerangnya. Kalau dia mau, dia bisa mengelak. Bahkan dia bisa mematahkan serangan itu. Namun dia sengaja tak melakukannya! Bukankah hal yang sama juga dia lakukan dahulu ketika ayahnya mati ditangan Saburo? Bukankah waktu itu dia ingin berlari memeluk ayah dan ibunya tapi kemudian Saburo membabatnya dengan samurai? Dan itulah penyebab kenapa dia bertahun-tahun mencari Saburo sampai kemari. Kini, kalau dia patahkan pula serangan Michiko. Gadis itu tentu akan mencarinya untuk membalas dendamnya! Dia tak ingin hal itu terjadi. Dia ingin hal ini selesai disini. Makanya dia membiarkan dirinya dilukai.
“Lelaki jahanam! Cabut samuraimu! Aku Michiko Matsuyama akan membalas dendam kematian ayahku! Apakah engkau sangka engkau saja yang berhak membalas kematian ayah dan ibumu?”
Suara Michiko terdengar lantang dan bergetar. Dan hanya dalam waktu beberapa detik setelah ucapannya itu, semua orang yang hadir segera mengetahui, bahwa anak muda itulah rupanya yang telah mengalahkan Obosan kuil Shimogamo ini dan beberapa murid utamanya! Semua mereka kini memperhatikan dengan seksama.
“Indonesia-Jin…. Indonesia-Jin….” (Orang Indonesia…orang Indonesia!) terdengar suara berbisik-bisik.
Para pendeta kuil Shimogamo itu berlarian mengelilingi Michiko dan si Bungsu.
Wakil Saburo di kuil itu, seorang pendeta tua gemuk dan berwibawa segera membungkuk hormat dan berkata perlahan:
“Mohon Michiko-san jangan menuruti hati marah. Obosan meninggal dengan terhormat. Dia mati dengan Harakiri. Bukan dibunuh oleh anak muda ini. Lagipula bukankah kemaren sebelum dia meninggal Obosan berpesan bahwa dia tak ingin ada dendam yang berlanjut antara kita dengan Bungsu-san…? Bukankah Obosan sudah menerima salah atas perbuatannya terhadap keluarga Bungsu-san? Mohon Michiko-san menyabarkan hati….”
Namun Michiko nampaknya sangat terpukul atas kematian ayahnya. Itu terbukti ketika dia berkata dengan lantang:
“Dengan pihak kuil Shimogamo boleh tak ada urusan. Tapi dengan diriku, huh, kenapa harus kalian larang? Apakah ada aturan yang melarang seorang anak menuntut balas kematian ayahnya?”
Pendeta itu tersurut mendengar ucapan yang kurang pantas ini. Si Bungsu masih tegak. Tangannya tergantung lemas. Bahu kirinya berlumur darah. Namun dia tetap tegak dengan tenang. Dan dengan tenang pula dia menghadap pendeta-pendeta kuil Shimogamo, lalu berkata:
“Saya minta maaf atas kejadian kemaren. Dan saya ikut berduka atas kematian Obosan Saburo…” dia membungkuk dalam.
Dua belas pendeta yang tegak mengitarinya membalas penghormatannya dengan membungkuk pula dalam-dalam.
“Terimakasih atas kunjunganmu kemari Bungsu-san. Kami menghargai sikap satria. Dan kami memuliakan kejujuran…” wakil obosan itu menjawab.
Ucapan mereka diputus oleh Michiko:
“Nah, kita lanjutkan persoalan antara kita yang belum selesai. Cabutlah samuraimu. Jangan kau kira engkau saja yang mampu mempergunakannya!”
Suara Michiko terdengar nyaring, getir dan bernada luka. Si Bungsu menatapnya. Dan dia dapat merasakan betapa hancurnya hati gadis itu. Bukankah dia juga pernah menaruh dendam yang sama seperti yang dialami gadis ini? Dendam dan kebencian yang berkobar, yang menjalani segenap pembuluh darah dan segenap tulang belulang terhadap orang yang membunuh ayah, ibu dan kakaknya? Dan itulah kini yang dialami Michiko.
Namun Michiko sudah sampai di bawah. Melihat gadis itu datang padanya, si Bungsu maju menyeruak di antara barisan pendeta. Dan kini berdiri di depan. Semua mata menatap kedua anak muda ini. Selain para pendeta dari kuil Shimogamo, tak seorangpun yang mengenal anak muda asing itu.
“Saya menyampaikan rasa duka cita yang…” ucapan si Bungsu sambil membungkuk dalam itu terhenti takkala tiba-tiba tangan Michiko secepat kilat menyambar samurai dari seorang pendeta yang tegak di dekatnya.
Dan samurai itu dengan kecepatan yang sulit diikuti mata pula, menghajar bahu si Bungsu!
Darah menyembur dari bekas luka yang menganga itu!
“Michiko-san!!!” wakil Saburo di kuil Shimogamo itu membentak seiring dengan teriakan-teriakan kaget dari seluruh pengunjung melihat kejadian itu.
Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa ada bunyi senjata menyerangnya. Kalau dia mau, dia bisa mengelak. Bahkan dia bisa mematahkan serangan itu. Namun dia sengaja tak melakukannya! Bukankah hal yang sama juga dia lakukan dahulu ketika ayahnya mati ditangan Saburo? Bukankah waktu itu dia ingin berlari memeluk ayah dan ibunya tapi kemudian Saburo membabatnya dengan samurai? Dan itulah penyebab kenapa dia bertahun-tahun mencari Saburo sampai kemari. Kini, kalau dia patahkan pula serangan Michiko. Gadis itu tentu akan mencarinya untuk membalas dendamnya! Dia tak ingin hal itu terjadi. Dia ingin hal ini selesai disini. Makanya dia membiarkan dirinya dilukai.
“Lelaki jahanam! Cabut samuraimu! Aku Michiko Matsuyama akan membalas dendam kematian ayahku! Apakah engkau sangka engkau saja yang berhak membalas kematian ayah dan ibumu?”
Suara Michiko terdengar lantang dan bergetar. Dan hanya dalam waktu beberapa detik setelah ucapannya itu, semua orang yang hadir segera mengetahui, bahwa anak muda itulah rupanya yang telah mengalahkan Obosan kuil Shimogamo ini dan beberapa murid utamanya! Semua mereka kini memperhatikan dengan seksama.
“Indonesia-Jin…. Indonesia-Jin….” (Orang Indonesia…orang Indonesia!) terdengar suara berbisik-bisik.
Para pendeta kuil Shimogamo itu berlarian mengelilingi Michiko dan si Bungsu.
Wakil Saburo di kuil itu, seorang pendeta tua gemuk dan berwibawa segera membungkuk hormat dan berkata perlahan:
“Mohon Michiko-san jangan menuruti hati marah. Obosan meninggal dengan terhormat. Dia mati dengan Harakiri. Bukan dibunuh oleh anak muda ini. Lagipula bukankah kemaren sebelum dia meninggal Obosan berpesan bahwa dia tak ingin ada dendam yang berlanjut antara kita dengan Bungsu-san…? Bukankah Obosan sudah menerima salah atas perbuatannya terhadap keluarga Bungsu-san? Mohon Michiko-san menyabarkan hati….”
Namun Michiko nampaknya sangat terpukul atas kematian ayahnya. Itu terbukti ketika dia berkata dengan lantang:
“Dengan pihak kuil Shimogamo boleh tak ada urusan. Tapi dengan diriku, huh, kenapa harus kalian larang? Apakah ada aturan yang melarang seorang anak menuntut balas kematian ayahnya?”
Pendeta itu tersurut mendengar ucapan yang kurang pantas ini. Si Bungsu masih tegak. Tangannya tergantung lemas. Bahu kirinya berlumur darah. Namun dia tetap tegak dengan tenang. Dan dengan tenang pula dia menghadap pendeta-pendeta kuil Shimogamo, lalu berkata:
“Saya minta maaf atas kejadian kemaren. Dan saya ikut berduka atas kematian Obosan Saburo…” dia membungkuk dalam.
Dua belas pendeta yang tegak mengitarinya membalas penghormatannya dengan membungkuk pula dalam-dalam.
“Terimakasih atas kunjunganmu kemari Bungsu-san. Kami menghargai sikap satria. Dan kami memuliakan kejujuran…” wakil obosan itu menjawab.
Ucapan mereka diputus oleh Michiko:
“Nah, kita lanjutkan persoalan antara kita yang belum selesai. Cabutlah samuraimu. Jangan kau kira engkau saja yang mampu mempergunakannya!”
Suara Michiko terdengar nyaring, getir dan bernada luka. Si Bungsu menatapnya. Dan dia dapat merasakan betapa hancurnya hati gadis itu. Bukankah dia juga pernah menaruh dendam yang sama seperti yang dialami gadis ini? Dendam dan kebencian yang berkobar, yang menjalani segenap pembuluh darah dan segenap tulang belulang terhadap orang yang membunuh ayah, ibu dan kakaknya? Dan itulah kini yang dialami Michiko.
Di Jepang (bagian 225)
Tidak, yang dialami Michiko sebenarnya bukan hanya kebencian dan dendam saja. Jika dibandingkan antara dia jutuh dan delapan tahun yang lalu, yaitu ketika ayah, ibu dan kakaknya dibunuh Saburo, maka keadaan gadis ini jauh lebih menyedihkan.
Perbedaannya terutama pada dua hal. Pertama, si Bungsu adalah seorang lelaki. Betapapun sengsara yang menimpa dirinya, sebagai seorang lelaki dia masih tetap punya keteguhan.
Sementara Michiko adalah seorang wanita. Betapa perkasanya seorang perempuan, namun fitrahnya tetap saja seorang perempuan. Lengkap dengan kelemahan-kelemahannya.
Dan perbedaan yang kedua adalah soal perasaan. Si Bungsu mendendam dan membenci Saburo sebagai lawan yang benar-benar tegak berlain sisi dengan dirinya. Artinya, dia tak kenal Saburo. Dan dalam situasi itu, Saburo justru adalah lelaki yang harus dia bunuh. Sebab lelaki itu adalah tentara dari suatu negeri yang menjajah negerinya.
Jadi tak ada beban jiwa yang dipikul si Bungsu dalam memusuhi Saburo.
Berlainan halnya dengan Michiko. Dia kini membenci dan memusuhi lelaki yang telah menyelamatkan kehormatan dan nyawanya. Dan lebih daripada sekedar hanya pertolongan itu, yang lebih parah adalah karena dia harus membenci dan mendendam pada lelaki yang dia cintai! Inilah beban yang paling berat yang harus dipikul gadis itu!
Sejak anak muda itu menyelamatkan dirinya dari perkosaan di hotel Asakusa di Tokyo dahulu, dia sudah tak bisa melupakannya. Dan peristiwa di kereta api ketika menuju ke Kyoto ini menyebabkan hatinya benar-benar tertambat pada pemuda Indonesia ini.
Sikap si Bungsu yang lembut, tutur sapanya yang sopan dan tahu menempatkan diri, dan sudah tentu keperkasaannya, meruntuhkan hatinya.
Setiap yang dia pikirkan adalah bagaimana bisa bertemu dengan anak muda itu. Dia benar-benar merindukannya.
Dan dalam saat seperti itulah bencana itu terjadi. Si Bungsu ternyata mencari ayahnya untuk membalaskan dendam. Dan dalam pertarungan kemarin, si Bungsu telah melukai punggungnya dan mengalahkan ayahnya. Meskipun ayahnya mati karena harakiri, namun hal itu takkan terjadi kalau tidak karena si Bungsu.
Kematian ayahnya adalah kematian segala-galnya bagi gadis ini. Itulah sebanya kenapa dia merasa benci dan berniat menuntut balas pada si Bungsu. membenci dan memusuhi orang yang sangat dicintai! Adakah hal lain yang lebih menyiksa dalam hidup ini selain yang dialami Michiko? Dan si Bungsu menyadari hal itu. Itulah sebanya dia tak sampai hati melayani amarah gadis tersebut.
Dan ketika Michiko kembali melontarkan tantangannya, si Bungsu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam, kemudian dengan tangan kanan tetap memegang luka yang mengalirkan darah di bahu kirinya, dia melangkah pergi.
Michiko yang perasaannya benar-benar terluka dan menderita, berteriak menahannya:
“Lelaki pengecut, jangan pergi sebelum kau lunasi hutang nayawamu!!”
Sambil berkata begini, dia menghayunkan samurai di tangannya. Namun pendeta-pendeta kuil Shimogamo yang mengitarinya segera turun tangan mencegah. Para pendeta ini memang menghormati sikap si Bungsu.
Dan secara kesatria pula, mereka mengagumi anak muda itu. Mereka memang menghormati Obosan mereka. Tapi kisah anak muda ini, bagaimana bertahun-tahun dia mencari Saburo yang telah jadi Obosan itu untuk membalaskan dendamnya, benar-benar membuat mereka jadi simpati! Apalagi dari mulut Saburo sendiri sesaat sebelum meninggal mereka mengetahui bahwa anak muda itu telah menolong Michiko dari perkosaan tentara Amerika di Tokyo.
Michiko terkulai pingsan. Bukan karena dendamnya tak kesampaian untuk membunuh si Bungsu. tidak. Dia pingsan karena pukulan bathin yang luar biasa.
Dia ingin si Bungsu tak meninggalkan tempat itu. Dia ingin si Bungsu menemaninya dalam saat dukanya ini. Dia ingin pemuda itu melindunginya dalam dekapan yang kukuh. Dia ingin pemuda itu membelai wajahnya. Menciumnya dengan penuh sayang. Dia ingin sekali semuanya. Tapi disaat yang bersamaan, dia juga ingin anak muda itu mati ditangannya. Dia ingin anak muda itu tercencang tubuhnya oleh samurainya. Dia ingin membalaskan dendam kematian ayahnya. Dia ingin anak muda itu tak pernah ada di permukaan bumi ini.
Dan keinginan yang alangkah bertolak belakangnya ini, memukul bathinnya secara dahsyat. Itulah yang membuat dirinya tak sanggup tegak dan rubuh pingsan! Gadis ini benar-benar seorang yang patut dikasihani. Demikian berat cobaan yang mendera dirinya dalam usia yang belum cukup dua puluh tahun.
Si Bungsu tak mengetahui, bahwa di saat dia membelakang dan menjauhi tempat itu. Michiko rubuh pingsan. Dia melanjutkan langkahnya meninggalkan altar tersebut. Meninggalkan kuil Shimogamo itu. Meninggalkan prosesi pemakaman Obosan Saburo Matsuyama. Lelaki yang pernah dia cari selama bertahun-tahun untuk membalaskan dendam keluarganya. Dan hari ini, lelaki itu dikuburkan dengan upacara penuh kehormatan.
Tidak, yang dialami Michiko sebenarnya bukan hanya kebencian dan dendam saja. Jika dibandingkan antara dia jutuh dan delapan tahun yang lalu, yaitu ketika ayah, ibu dan kakaknya dibunuh Saburo, maka keadaan gadis ini jauh lebih menyedihkan.
Perbedaannya terutama pada dua hal. Pertama, si Bungsu adalah seorang lelaki. Betapapun sengsara yang menimpa dirinya, sebagai seorang lelaki dia masih tetap punya keteguhan.
Sementara Michiko adalah seorang wanita. Betapa perkasanya seorang perempuan, namun fitrahnya tetap saja seorang perempuan. Lengkap dengan kelemahan-kelemahannya.
Dan perbedaan yang kedua adalah soal perasaan. Si Bungsu mendendam dan membenci Saburo sebagai lawan yang benar-benar tegak berlain sisi dengan dirinya. Artinya, dia tak kenal Saburo. Dan dalam situasi itu, Saburo justru adalah lelaki yang harus dia bunuh. Sebab lelaki itu adalah tentara dari suatu negeri yang menjajah negerinya.
Jadi tak ada beban jiwa yang dipikul si Bungsu dalam memusuhi Saburo.
Berlainan halnya dengan Michiko. Dia kini membenci dan memusuhi lelaki yang telah menyelamatkan kehormatan dan nyawanya. Dan lebih daripada sekedar hanya pertolongan itu, yang lebih parah adalah karena dia harus membenci dan mendendam pada lelaki yang dia cintai! Inilah beban yang paling berat yang harus dipikul gadis itu!
Sejak anak muda itu menyelamatkan dirinya dari perkosaan di hotel Asakusa di Tokyo dahulu, dia sudah tak bisa melupakannya. Dan peristiwa di kereta api ketika menuju ke Kyoto ini menyebabkan hatinya benar-benar tertambat pada pemuda Indonesia ini.
Sikap si Bungsu yang lembut, tutur sapanya yang sopan dan tahu menempatkan diri, dan sudah tentu keperkasaannya, meruntuhkan hatinya.
Setiap yang dia pikirkan adalah bagaimana bisa bertemu dengan anak muda itu. Dia benar-benar merindukannya.
Dan dalam saat seperti itulah bencana itu terjadi. Si Bungsu ternyata mencari ayahnya untuk membalaskan dendam. Dan dalam pertarungan kemarin, si Bungsu telah melukai punggungnya dan mengalahkan ayahnya. Meskipun ayahnya mati karena harakiri, namun hal itu takkan terjadi kalau tidak karena si Bungsu.
Kematian ayahnya adalah kematian segala-galnya bagi gadis ini. Itulah sebanya kenapa dia merasa benci dan berniat menuntut balas pada si Bungsu. membenci dan memusuhi orang yang sangat dicintai! Adakah hal lain yang lebih menyiksa dalam hidup ini selain yang dialami Michiko? Dan si Bungsu menyadari hal itu. Itulah sebanya dia tak sampai hati melayani amarah gadis tersebut.
Dan ketika Michiko kembali melontarkan tantangannya, si Bungsu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam, kemudian dengan tangan kanan tetap memegang luka yang mengalirkan darah di bahu kirinya, dia melangkah pergi.
Michiko yang perasaannya benar-benar terluka dan menderita, berteriak menahannya:
“Lelaki pengecut, jangan pergi sebelum kau lunasi hutang nayawamu!!”
Sambil berkata begini, dia menghayunkan samurai di tangannya. Namun pendeta-pendeta kuil Shimogamo yang mengitarinya segera turun tangan mencegah. Para pendeta ini memang menghormati sikap si Bungsu.
Dan secara kesatria pula, mereka mengagumi anak muda itu. Mereka memang menghormati Obosan mereka. Tapi kisah anak muda ini, bagaimana bertahun-tahun dia mencari Saburo yang telah jadi Obosan itu untuk membalaskan dendamnya, benar-benar membuat mereka jadi simpati! Apalagi dari mulut Saburo sendiri sesaat sebelum meninggal mereka mengetahui bahwa anak muda itu telah menolong Michiko dari perkosaan tentara Amerika di Tokyo.
Michiko terkulai pingsan. Bukan karena dendamnya tak kesampaian untuk membunuh si Bungsu. tidak. Dia pingsan karena pukulan bathin yang luar biasa.
Dia ingin si Bungsu tak meninggalkan tempat itu. Dia ingin si Bungsu menemaninya dalam saat dukanya ini. Dia ingin pemuda itu melindunginya dalam dekapan yang kukuh. Dia ingin pemuda itu membelai wajahnya. Menciumnya dengan penuh sayang. Dia ingin sekali semuanya. Tapi disaat yang bersamaan, dia juga ingin anak muda itu mati ditangannya. Dia ingin anak muda itu tercencang tubuhnya oleh samurainya. Dia ingin membalaskan dendam kematian ayahnya. Dia ingin anak muda itu tak pernah ada di permukaan bumi ini.
Dan keinginan yang alangkah bertolak belakangnya ini, memukul bathinnya secara dahsyat. Itulah yang membuat dirinya tak sanggup tegak dan rubuh pingsan! Gadis ini benar-benar seorang yang patut dikasihani. Demikian berat cobaan yang mendera dirinya dalam usia yang belum cukup dua puluh tahun.
Si Bungsu tak mengetahui, bahwa di saat dia membelakang dan menjauhi tempat itu. Michiko rubuh pingsan. Dia melanjutkan langkahnya meninggalkan altar tersebut. Meninggalkan kuil Shimogamo itu. Meninggalkan prosesi pemakaman Obosan Saburo Matsuyama. Lelaki yang pernah dia cari selama bertahun-tahun untuk membalaskan dendam keluarganya. Dan hari ini, lelaki itu dikuburkan dengan upacara penuh kehormatan.
Di Jepang (bagian 226)
Sepuluh hari lamanya dia terbaring dalam musim dingin itu. Terbaring dihotelnya sambil mengobati luka bekas hantaman samurai Michiko.
Namun hari ke sepuluh nampaknya dia harus meninggalkan hotel itu. Sore harinya dia tengah duduk selesai minum sake ketika di luar dia dengar suara bertengkar.
Salah satu suara itu dikenalnya baik sebagai suara seorang pelayan hotel tersebut.
Kemudian didengarnya suara tamparan. Dan pintu kamarnya dibuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Dia menatap empat lelaki tegak dipintu kamarnya. Keempatnya memakai senjata.
Dua orang menggantungkan samurai di pinggangnya. Seorang memakai rantai sebesar ibu jari kaki yang digantungkan ke lehernya. Seorang lagi memaki trisula. Sejenis senjata seperti tombak yang mempunyai tiga cabang.
“Kami dari Kumagaigumi!” yang memegang tombak trisula itu berkata dengan suara serak.
Dan ucapannya diiringi dengan hayunan tombak trisulanya ke arah si Bungsu!
Si Bungsu sudah merasa sejak dia mendengar pertengkaran di luar tadi. Bahwa orang yang datang ini pastilah berniat tak baik. Dan ketika lelaki itu menyebut Kumagaigumi, dia segera ingat pada organisasi bandit yang anggotanya pernah dia sudahi di depan stasiun kota Gamagori. Yaitu ketika dia menyelamatkan Michiko dari gangguan dua orang anggota komplotan itu.
Kemudian ternyata yang dua orang ini memanggil tiga temannya lagi. Salah seorang diantaranya ternyata adalah pimpinan Kumagaigumi di kota itu.
Dan kini kelompok itu datang membalas dendam. Si Bungsu sudah waspada disaat orang itu menghayunkan tangannya menghujamkan tongkat trisula. Anak muda ini menggulingkan tubuh ke belakang. Dan tombak itu menghujam di kasurnya. Dan tanpa memberi waktu sedikitpun, ketiga lelaki lainnya segera mengepungnya dan mengahntamnya dengan senjata di tangan mereka.
“Tahan….!” Si Bungsu berseru.
Anak muda ini sudah merasa jenuh dengan perkelahian. Dia sudah merasa seperti tukang bantai. Karena itu, dia tak ingin berlarut-larut. Untungnya, keempat lelaki itu mau menahan serangan mereka.
“Kalian datang untuk membalaskan kematian lima teman kalian di stasiun Gamagori?”
Keempat lelaki itu menyeringai. Dan yang menjawab adalah yang memakai tombak trisula itu. Nampaknya dia adalah pimpinan di antara keempat lelaki tersebut.
“Ya. Kami datang untuk menuntut balas kematiannya. Dan kini engkau bersiaplah menerima nasibmu…”
“Tunggu! Untuk apa kita memperpanjang persengketaan ini? Saya tidak ingin mengatakan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa itu, tapi apakah tak ada jalan lain untuk menyelesaikannya tanpa menumpahkan darah?”
Keempat lelaki itu saling pandang. Dan malangnya, keempat mereka jadi salah duga terhadap maksud ucapan si Bungsu. anak muda ini benar-benar tak ingin menumpahkan darah lagi. Dia sudah merasa penuh dosa.
Tapi keempat lelaki itu justru menafsirkan bahwa anak muda ini takut kepada mereka berempat. Dan inilah pangkal celaka itu. Kalau saja mereka mau sedikit berfikir agak waras, bahwa anak muda ini datang dari jauh tanpa bekal kecuali samurai dan dendam, mungkin mereka akan dapat mengerti. Namun sudah dasarnya kaum rampok dan penyamun, yang ada pada mereka adalah keangkuhan. Sikap mengalah orang dia duga sebagai sikap takut.
“He…he…jangan menangis anak muda. Engkau barangkali bisa kami ampuni kalau engkau mau merangkak keliling kamar ini….:
Si Bungsu menatapnya. Keempat lelaki itu menyeringai.
“Ya, kalau kau mau merangkak dan minta ampun pada kami, maka kami akan pertimbangkan untuk tetap membiarkan engkau hidup…”
Si Bungsu masih menatap mereka.
“Kalau kau mau, mulailah….”
Si Bungsu masih menatap dengan diam.
“Kau tak mau? Kami akan menguliti kepalamu dan engkau akan kami cencang…”
“Apakah persoalan memang bisa selesai dengan hanya merangkak dan minta ampun?” suara si Bungsu terdengar perlahan.
Anak muda ini sebenarnya memang bersedia melakukan seperti yang diminta oleh bandit-bandit Kumagaigumi itu. Yaitu kalau persoalan itu memang bisa diselesaikan dengan cara demikian. Tapi orang Kumagaigumi ini mana mau persoalan hanya sampai disana. Mereka datang memang untuk membalas dendam.
Kemudian dengan pernyataan anak muda itu, mereka merasa di atas angin. Mereka menduga anak muda itu takut. Karena itu, kesombongan mereka menjadi-jadi.
“Ya, merangkaklah. Dan kemudian menyembah minta ampun. Lalu tindakan berikutnya boleh kita pikirkan apakah engkau bisa bebas atau ditambah dengan acara lainnya…” kembali yang memakai tombak trisula itu bicara.
Si Bungsu menyadari, bahwa apapun yang dia lakukan, maka keempat orang ini hanya berniat satu. Yaitu menghendaki nyawanya.
Sepuluh hari lamanya dia terbaring dalam musim dingin itu. Terbaring dihotelnya sambil mengobati luka bekas hantaman samurai Michiko.
Namun hari ke sepuluh nampaknya dia harus meninggalkan hotel itu. Sore harinya dia tengah duduk selesai minum sake ketika di luar dia dengar suara bertengkar.
Salah satu suara itu dikenalnya baik sebagai suara seorang pelayan hotel tersebut.
Kemudian didengarnya suara tamparan. Dan pintu kamarnya dibuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Dia menatap empat lelaki tegak dipintu kamarnya. Keempatnya memakai senjata.
Dua orang menggantungkan samurai di pinggangnya. Seorang memakai rantai sebesar ibu jari kaki yang digantungkan ke lehernya. Seorang lagi memaki trisula. Sejenis senjata seperti tombak yang mempunyai tiga cabang.
“Kami dari Kumagaigumi!” yang memegang tombak trisula itu berkata dengan suara serak.
Dan ucapannya diiringi dengan hayunan tombak trisulanya ke arah si Bungsu!
Si Bungsu sudah merasa sejak dia mendengar pertengkaran di luar tadi. Bahwa orang yang datang ini pastilah berniat tak baik. Dan ketika lelaki itu menyebut Kumagaigumi, dia segera ingat pada organisasi bandit yang anggotanya pernah dia sudahi di depan stasiun kota Gamagori. Yaitu ketika dia menyelamatkan Michiko dari gangguan dua orang anggota komplotan itu.
Kemudian ternyata yang dua orang ini memanggil tiga temannya lagi. Salah seorang diantaranya ternyata adalah pimpinan Kumagaigumi di kota itu.
Kemudian ternyata yang dua orang ini memanggil tiga temannya lagi. Salah seorang diantaranya ternyata adalah pimpinan Kumagaigumi di kota itu.
Dan kini kelompok itu datang membalas dendam. Si Bungsu sudah waspada disaat orang itu menghayunkan tangannya menghujamkan tongkat trisula. Anak muda ini menggulingkan tubuh ke belakang. Dan tombak itu menghujam di kasurnya. Dan tanpa memberi waktu sedikitpun, ketiga lelaki lainnya segera mengepungnya dan mengahntamnya dengan senjata di tangan mereka.
“Tahan….!” Si Bungsu berseru.
Anak muda ini sudah merasa jenuh dengan perkelahian. Dia sudah merasa seperti tukang bantai. Karena itu, dia tak ingin berlarut-larut. Untungnya, keempat lelaki itu mau menahan serangan mereka.
“Kalian datang untuk membalaskan kematian lima teman kalian di stasiun Gamagori?”
Keempat lelaki itu menyeringai. Dan yang menjawab adalah yang memakai tombak trisula itu. Nampaknya dia adalah pimpinan di antara keempat lelaki tersebut.
“Ya. Kami datang untuk menuntut balas kematiannya. Dan kini engkau bersiaplah menerima nasibmu…”
“Tunggu! Untuk apa kita memperpanjang persengketaan ini? Saya tidak ingin mengatakan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa itu, tapi apakah tak ada jalan lain untuk menyelesaikannya tanpa menumpahkan darah?”
Keempat lelaki itu saling pandang. Dan malangnya, keempat mereka jadi salah duga terhadap maksud ucapan si Bungsu. anak muda ini benar-benar tak ingin menumpahkan darah lagi. Dia sudah merasa penuh dosa.
Tapi keempat lelaki itu justru menafsirkan bahwa anak muda ini takut kepada mereka berempat. Dan inilah pangkal celaka itu. Kalau saja mereka mau sedikit berfikir agak waras, bahwa anak muda ini datang dari jauh tanpa bekal kecuali samurai dan dendam, mungkin mereka akan dapat mengerti. Namun sudah dasarnya kaum rampok dan penyamun, yang ada pada mereka adalah keangkuhan. Sikap mengalah orang dia duga sebagai sikap takut.
“He…he…jangan menangis anak muda. Engkau barangkali bisa kami ampuni kalau engkau mau merangkak keliling kamar ini….:Si Bungsu menatapnya. Keempat lelaki itu menyeringai.
“Ya, kalau kau mau merangkak dan minta ampun pada kami, maka kami akan pertimbangkan untuk tetap membiarkan engkau hidup…”
Si Bungsu masih menatap mereka.
“Kalau kau mau, mulailah….”
Si Bungsu masih menatap dengan diam.
“Kau tak mau? Kami akan menguliti kepalamu dan engkau akan kami cencang…”
“Apakah persoalan memang bisa selesai dengan hanya merangkak dan minta ampun?” suara si Bungsu terdengar perlahan.
Anak muda ini sebenarnya memang bersedia melakukan seperti yang diminta oleh bandit-bandit Kumagaigumi itu. Yaitu kalau persoalan itu memang bisa diselesaikan dengan cara demikian. Tapi orang Kumagaigumi ini mana mau persoalan hanya sampai disana. Mereka datang memang untuk membalas dendam.
Kemudian dengan pernyataan anak muda itu, mereka merasa di atas angin. Mereka menduga anak muda itu takut. Karena itu, kesombongan mereka menjadi-jadi.
Kemudian dengan pernyataan anak muda itu, mereka merasa di atas angin. Mereka menduga anak muda itu takut. Karena itu, kesombongan mereka menjadi-jadi.
“Ya, merangkaklah. Dan kemudian menyembah minta ampun. Lalu tindakan berikutnya boleh kita pikirkan apakah engkau bisa bebas atau ditambah dengan acara lainnya…” kembali yang memakai tombak trisula itu bicara.
Si Bungsu menyadari, bahwa apapun yang dia lakukan, maka keempat orang ini hanya berniat satu. Yaitu menghendaki nyawanya.
Di Jepang (bagian 227)
Dia jadi menyesal. Menyesal karena tak bisa menghindarkan diri dari perkelahian. Kalau berkelahi, itu tak lain artinya adalah maut. Sampai bila dia harus jadi tukang bantai? Dia menarik nafas panjang.
Dan karena dia tetap tak merangkak, tidak pula minta maaf atau menyembah seperti yang diminta, maka yang memakai rantai segera melecutkan rantainya ke arah si Bungsu.
Anak muda ini kembali bergulingan di lantai dengan jurus lompat tupai itu. Dan dia luput dari hantaman rantai besar itu. Tiga orang lagi maju dengan senjata mereka. Si Bungsu menyambar samurainya yang terletak di tempat tidur.
Dan sebelum orang-orang Kumagaigumi itu sadar apa yang terjadi, terdengar mereka saling berseru kaget. Dan mereka tersurut. Dada mereka keempatnya terasa perih. Ketika mereka menoleh, ternyata kimono mereka telah robek tentang dada. Melintang dari kanan ke kiri. Dan dari balik kimono yang robek itu darah mengalir perlahan.
Si Bungsu telah bergerak amat cepat,. Namun tetap saja anak muda ini tak menginginkan ada nyawa yang tercabut. Itulah sebabnya dia tak mau membunuh keempat lelaki itu. Meskipun kalau dia mau, dengan mudah bisa dia lakukan. Kini dia tegak di atas tempat tidur dengan samurai sudah berada dalam sarungnya.
“Saya berharap hal ini bisa diselesaikan dengan baik-baik” kembali suaranya terdengar perlahan.
Namun keempat anggota Kumagaigumi itu bukannya merasa beruntung bahwa anak muda itu telah berlaku sabar. Mereka justru merasa terhina dan menjadi meluap amarahnya. Seperti dikomando, mereka lalu serentak maju menyerang. Kembali samurai si Bungsu berkelebat. Dia tak mau menjatuhkan tangan kejam. Samurainya kembali hanya melukai kaki dan tangan mereka. Dia berharap dengan itu keempat mereka jadi jera. Namun karena tak mau mencederai, maka gerakannya jadi lambat. Suatu saat, rantai besar itu berhasil membelit samurainya. Dan disaat yang sama dua samurai yang lain membabat tangannya.
Benar-benar berbahaya.
Dan satu-satunya jalan untuk selamat adalah melepaskan samurai tersebut! Dan itulah yang dilakukan anak muda ini. Dia melepaskan samurainya yang terbelit rantai. Dengan demikian tangannya selamat dari pancungan kedua samurai lawannya. Serangan tombak trisula yang datang menghujam rusuknya dia elakkan dengan melompat ke sisi. Serangan berikutnya, yaitu hantaman rantai, terkaman mata samurai dan tikaman tombak, dia elakkan dengan bergulungan di lantai memakai lompat tupai yang terkenal itu.
Tapi sampai kapan dia dapat bertahan? Nafasnya memburu. Lawan yang dia hadapi bukan lawan sembarangan. Lawannya ini adalah pembunuh-pembunuh kelas satu di kota Kyoto. Pembunuh kelas satu dalam organisasi Kumagaigumi!
Maka dia hanya dapat bertahan dengan bergulingan beberapa saat saja. Sambil bergulingan dia mencari kemungkinan untuk lari keluar. Tapi keempat lelaki itu seperti menebak apa yang dia inginkan. Karena itu pintu mereka jaga dengan ketat!
Dan akhirnya si Bungsu lelah diburu keempat senjata Kumagaigumi ini. Pada jurus keenam belas dari serangan mereka, rantai sebesar empu kaki dengan panjang dua meter itu menghajar perut si Bungsu. Sakitnya bukan main. Dia bergulingan berusaha mencapai samurainya. Namun samurai itu ditendang oleh yang memakai tombak hingga terpental ke dekat pintu. Dan kembali rantai itu menghajar punggungnya! Dia tersandar ke dinding. Tubuhnya lemah. Keempat anggota Kumagaigumi itu berhenti. Menyeringai buruk.
Yang memakai samurai tiba-tiba bergerak. Dan tanpa ampun, kedua bilah samurai itu berkerja. Dada, perut, bahu dan paha si Bungsu kena sabet oleh samurai itu. Luka menganga! Si Bungsu berusaha untuk tak memekik meski sakitnya bukan main! Darah merembes terus.
“Indonesia jin!
Engkau telah lancang dan kurang ajar membunuh lima orang anggota kami di kota Gamagori. Kini saatnya kau merasakan pembalasan kami…!”
Yang bicara ini adalah yang pakai tombak trisula.
Dan kata-katanya diakhiri dengan meluncurnya tombak bercabang tiga di tangannya.
Si Bungsu yakin, betapapun dia coba mengelak, namun sudah tak ada gunanya lagi. Dia tak lagi punya tenaga. Dan tombak bercabang tiga itu menghujam dalam di pahanya!
Hanya Tuhan yang tahu betapa sakitnya paha si Bungsu. namun dia tak memekik sedikitpun! Bukankah azaban yang jauh lebih dahsyat, yaitu ketika kuku dan jarinya dicabut dan dipatahkan Jepang di terowongan bawah tanah Bukittinggi dulu jauh lebih hebat?
Dia hanya menatap diam pada keempat anggota Kumagaigumi itu. Keempat lelaki Jepang itu mau tak mau mengerenyitkan kening mereka. Dan saling pandang sesamanya.
Ketabahan dan ketangguhan anak muda Indonesia ini benar-benar luar biasa bagi mereka!
Dia jadi menyesal. Menyesal karena tak bisa menghindarkan diri dari perkelahian. Kalau berkelahi, itu tak lain artinya adalah maut. Sampai bila dia harus jadi tukang bantai? Dia menarik nafas panjang.
Dan karena dia tetap tak merangkak, tidak pula minta maaf atau menyembah seperti yang diminta, maka yang memakai rantai segera melecutkan rantainya ke arah si Bungsu.
Anak muda ini kembali bergulingan di lantai dengan jurus lompat tupai itu. Dan dia luput dari hantaman rantai besar itu. Tiga orang lagi maju dengan senjata mereka. Si Bungsu menyambar samurainya yang terletak di tempat tidur.
Dan sebelum orang-orang Kumagaigumi itu sadar apa yang terjadi, terdengar mereka saling berseru kaget. Dan mereka tersurut. Dada mereka keempatnya terasa perih. Ketika mereka menoleh, ternyata kimono mereka telah robek tentang dada. Melintang dari kanan ke kiri. Dan dari balik kimono yang robek itu darah mengalir perlahan.
Si Bungsu telah bergerak amat cepat,. Namun tetap saja anak muda ini tak menginginkan ada nyawa yang tercabut. Itulah sebabnya dia tak mau membunuh keempat lelaki itu. Meskipun kalau dia mau, dengan mudah bisa dia lakukan. Kini dia tegak di atas tempat tidur dengan samurai sudah berada dalam sarungnya.
“Saya berharap hal ini bisa diselesaikan dengan baik-baik” kembali suaranya terdengar perlahan.
Namun keempat anggota Kumagaigumi itu bukannya merasa beruntung bahwa anak muda itu telah berlaku sabar. Mereka justru merasa terhina dan menjadi meluap amarahnya. Seperti dikomando, mereka lalu serentak maju menyerang. Kembali samurai si Bungsu berkelebat. Dia tak mau menjatuhkan tangan kejam. Samurainya kembali hanya melukai kaki dan tangan mereka. Dia berharap dengan itu keempat mereka jadi jera. Namun karena tak mau mencederai, maka gerakannya jadi lambat. Suatu saat, rantai besar itu berhasil membelit samurainya. Dan disaat yang sama dua samurai yang lain membabat tangannya.
Benar-benar berbahaya.
Dan satu-satunya jalan untuk selamat adalah melepaskan samurai tersebut! Dan itulah yang dilakukan anak muda ini. Dia melepaskan samurainya yang terbelit rantai. Dengan demikian tangannya selamat dari pancungan kedua samurai lawannya. Serangan tombak trisula yang datang menghujam rusuknya dia elakkan dengan melompat ke sisi. Serangan berikutnya, yaitu hantaman rantai, terkaman mata samurai dan tikaman tombak, dia elakkan dengan bergulungan di lantai memakai lompat tupai yang terkenal itu.
Tapi sampai kapan dia dapat bertahan? Nafasnya memburu. Lawan yang dia hadapi bukan lawan sembarangan. Lawannya ini adalah pembunuh-pembunuh kelas satu di kota Kyoto. Pembunuh kelas satu dalam organisasi Kumagaigumi!
Maka dia hanya dapat bertahan dengan bergulingan beberapa saat saja. Sambil bergulingan dia mencari kemungkinan untuk lari keluar. Tapi keempat lelaki itu seperti menebak apa yang dia inginkan. Karena itu pintu mereka jaga dengan ketat!
Dan akhirnya si Bungsu lelah diburu keempat senjata Kumagaigumi ini. Pada jurus keenam belas dari serangan mereka, rantai sebesar empu kaki dengan panjang dua meter itu menghajar perut si Bungsu. Sakitnya bukan main. Dia bergulingan berusaha mencapai samurainya. Namun samurai itu ditendang oleh yang memakai tombak hingga terpental ke dekat pintu. Dan kembali rantai itu menghajar punggungnya! Dia tersandar ke dinding. Tubuhnya lemah. Keempat anggota Kumagaigumi itu berhenti. Menyeringai buruk.
Yang memakai samurai tiba-tiba bergerak. Dan tanpa ampun, kedua bilah samurai itu berkerja. Dada, perut, bahu dan paha si Bungsu kena sabet oleh samurai itu. Luka menganga! Si Bungsu berusaha untuk tak memekik meski sakitnya bukan main! Darah merembes terus.
“Indonesia jin!
Engkau telah lancang dan kurang ajar membunuh lima orang anggota kami di kota Gamagori. Kini saatnya kau merasakan pembalasan kami…!”
Engkau telah lancang dan kurang ajar membunuh lima orang anggota kami di kota Gamagori. Kini saatnya kau merasakan pembalasan kami…!”
Yang bicara ini adalah yang pakai tombak trisula.
Dan kata-katanya diakhiri dengan meluncurnya tombak bercabang tiga di tangannya.
Si Bungsu yakin, betapapun dia coba mengelak, namun sudah tak ada gunanya lagi. Dia tak lagi punya tenaga. Dan tombak bercabang tiga itu menghujam dalam di pahanya!
Dan kata-katanya diakhiri dengan meluncurnya tombak bercabang tiga di tangannya.
Si Bungsu yakin, betapapun dia coba mengelak, namun sudah tak ada gunanya lagi. Dia tak lagi punya tenaga. Dan tombak bercabang tiga itu menghujam dalam di pahanya!
Hanya Tuhan yang tahu betapa sakitnya paha si Bungsu. namun dia tak memekik sedikitpun! Bukankah azaban yang jauh lebih dahsyat, yaitu ketika kuku dan jarinya dicabut dan dipatahkan Jepang di terowongan bawah tanah Bukittinggi dulu jauh lebih hebat?
Dia hanya menatap diam pada keempat anggota Kumagaigumi itu. Keempat lelaki Jepang itu mau tak mau mengerenyitkan kening mereka. Dan saling pandang sesamanya.
Ketabahan dan ketangguhan anak muda Indonesia ini benar-benar luar biasa bagi mereka!
Ketabahan dan ketangguhan anak muda Indonesia ini benar-benar luar biasa bagi mereka!
Di Jepang (bagian 228)
“Kita sudahi saja cepat anak ini…” kata yang memakai samurai.
Dan keempat mereka nampaknya sepakat untuk “menyudahi” orang Indonesia itu.
Si Bungsu sudah pasrah pada nasibnya. Tanpa dia sengaja, jari jemarinya meraba cincin bermata berlian di jari manisnya. Cincin pemberian Salma. Sesaat dia teringat pada gadis itu. Teringat pada kampung halamannya. Pada Situjuh Ladang Laweh. Pada Gunung Sago dan Payakumbuh. Tugasku selesai, aku rela mati di sini, hatinya berkata perlahan begitu keempat lelaki itu mengambil ancang-ancang untuk menyudahi nyawanya.
Dia menatap keempat anggota Beruang Gunung itu. Menatap dengan tak berkedip.
Namun saat itu terdengar seseorang batuk di pintu.
Keempat anggota Kumagaigumi itu menghentikan gerakan mereka dan menoleh ke pintu. Si Bungsu juga menoleh ke pintu. Lewat keempat tubuh lelaki itu dia melihat seorang lelaki Jepang tegak di pintu. Lelaki yang baru muncul itu berambut sangat pendek. Hanya satu senti. Tubuhnya agak gemuk. Memakai kimono berwarna coklat. Dia tegak dibalik pintu yang telah ditutupkan. Rupanya tak seorangpun yang tahu kapan dia membuka pintu dan masuk kemudian menutupkan pintu. Kini dia tegak dengan kepala menunduk.
“Siapa kau?” bentak yang memegang tombak.
Lelaki itu masih menunduk.
Di tangannya dia memegang sebuah tongkat panjang. Dan si Bungsu segera mengenali, bahwa tongkat di tangan lelaki itu mirip dengan “tongkat” yang selalu dia bawa.
Tongkat di tangan lelaki itu pasti samurai! Tapi berlainan dengan samurai yang dia miliki, samurai di tangan lelaki itu nampaknya lebih kecil ukurannya. Meski panjangnya sama, tapi lebarnya berbeda.
“Siapa kau!!” yang bertombak itu membentak lagi.
Dengan masih menunduk, terdengar suara lelaki yang baru muncul itu perlahan:
“Hmmm… alangkahnya tak bermalunya. Ramai-ramai mengeroyok orang asing di kota ini”
Keempat lelaki itu saling pandang sesamanya. Mereka sungguh mati tak pernah mengenal lelaki ini. Si Bungsu juga heran. Dia tak pernah mengenal lelaki ini sebelumnya. Mengapa lelaki tak dikenal ini tiba-tiba saja muncul dalam kamarnya?
“Engkau pemilik samurai ini orang asing?” lelaki itu bertanya perlahan.
Dan di tangannya rupanya telah tergenggam samurai si Bungsu yang tadi disepakkan ke dekat pintu oleh anggota Kumagaigumi itu.
“Ya….” Kata si Bungsu perlahan.
“Nah, ambillah kembali…” lelaki asing yang baru datang itu berkata dan tiba-tiba melambungkan samurai itu tinggi-tinggi.
Melewati kepala keempat anggota Kumagaigumi itu. Dan tanpa dapat dicegah jatuh tepat di depan si Bungsu. Sudah tentu si Bungsu tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan sisa tenaga, dia menyambar samurainya itu.
Keempat anggota Kumagaigumi itu bukan main berangnya. Mereka sesaat melupakan si Bungsu yang tak berdaya. Serentak mereka menyerang orang lancang yang baru masuk itu.
Namun yang berada paling depan, yaitu yang memakai samurai, terpekik dan terguling rubuh.
Dia mendekap mukanya yang berdarah. Ketiga lelaki lainnya segera maju. Namun lagi-lagi mereka terpekik. Dan kali ini, dua diantaranya mati. Yaitu yang memegang tombak bercabang tiga dan yang memekai rantai!
Si Bungsu sendiri kaget bukan main melihat kecepatan lelaki ini. Dia seperti tak melihat pada keempat anggota Kumagaigumi itu. Namun gerakannya demikian cepat. Samurainya berkelabat seperti kilat yang amat sulit diketahui.
Dua orang anggota Kumagaigumi yang masih hidup jadi kaget. Mereka kini terjepit antara dua lelaki yang kemahirannya bersamurai bukan main. Yaitu antara lelaki baru masuk itu di pintu, dengan orang Indonesia itu dibahagian dalam kamar.
“Sis…siapa engkau….?” Yang memakai tombak itu bertanya gugup.
Lelaki itu mengangkat wajahnya.
Dan dengan kaget, baik si Bungsu, terlebih lagi anggota Kumagaigumi itu mengetahui, bahwa lelaki ini ternyata buta!
“Zato Ichi….!” Suara anggota Kumagaigumi itu terdengar seperti tangisan.
Lelaki yang buta itu menunduk. Dan yang tak tanggung-tanggung kagetnya adalah si Bungsu. dia kaget mendengar nama Zato Ichi itu. Siapa di antara orang di Jepang yang tak mengenal dan mendengar nama Zato Ichi? Nama itu sebuah legenda.
Nama seorang pahlawan rakyat Jepang. Seorang lelaki buta yang kecepatan samurainya hampir-hampir tak tertandingi.
Dan dengan kemahiran bersamurai itu, meskipun buta, dia malang melintang di seluruh tanah Jepang. Berkelana dari satu negeri ke satu negeri menegakkan keadilan. Dia seperti malaikat penolong orang-orang teraniaya.
“Kita sudahi saja cepat anak ini…” kata yang memakai samurai.
Dan keempat mereka nampaknya sepakat untuk “menyudahi” orang Indonesia itu.
Si Bungsu sudah pasrah pada nasibnya. Tanpa dia sengaja, jari jemarinya meraba cincin bermata berlian di jari manisnya. Cincin pemberian Salma. Sesaat dia teringat pada gadis itu. Teringat pada kampung halamannya. Pada Situjuh Ladang Laweh. Pada Gunung Sago dan Payakumbuh. Tugasku selesai, aku rela mati di sini, hatinya berkata perlahan begitu keempat lelaki itu mengambil ancang-ancang untuk menyudahi nyawanya.
Dia menatap keempat anggota Beruang Gunung itu. Menatap dengan tak berkedip.
Namun saat itu terdengar seseorang batuk di pintu.
Keempat anggota Kumagaigumi itu menghentikan gerakan mereka dan menoleh ke pintu. Si Bungsu juga menoleh ke pintu. Lewat keempat tubuh lelaki itu dia melihat seorang lelaki Jepang tegak di pintu. Lelaki yang baru muncul itu berambut sangat pendek. Hanya satu senti. Tubuhnya agak gemuk. Memakai kimono berwarna coklat. Dia tegak dibalik pintu yang telah ditutupkan. Rupanya tak seorangpun yang tahu kapan dia membuka pintu dan masuk kemudian menutupkan pintu. Kini dia tegak dengan kepala menunduk.
“Siapa kau?” bentak yang memegang tombak.
Lelaki itu masih menunduk.
Di tangannya dia memegang sebuah tongkat panjang. Dan si Bungsu segera mengenali, bahwa tongkat di tangan lelaki itu mirip dengan “tongkat” yang selalu dia bawa.
Tongkat di tangan lelaki itu pasti samurai! Tapi berlainan dengan samurai yang dia miliki, samurai di tangan lelaki itu nampaknya lebih kecil ukurannya. Meski panjangnya sama, tapi lebarnya berbeda.
Di tangannya dia memegang sebuah tongkat panjang. Dan si Bungsu segera mengenali, bahwa tongkat di tangan lelaki itu mirip dengan “tongkat” yang selalu dia bawa.
Tongkat di tangan lelaki itu pasti samurai! Tapi berlainan dengan samurai yang dia miliki, samurai di tangan lelaki itu nampaknya lebih kecil ukurannya. Meski panjangnya sama, tapi lebarnya berbeda.
“Siapa kau!!” yang bertombak itu membentak lagi.
Dengan masih menunduk, terdengar suara lelaki yang baru muncul itu perlahan:
“Hmmm… alangkahnya tak bermalunya. Ramai-ramai mengeroyok orang asing di kota ini”
Keempat lelaki itu saling pandang sesamanya. Mereka sungguh mati tak pernah mengenal lelaki ini. Si Bungsu juga heran. Dia tak pernah mengenal lelaki ini sebelumnya. Mengapa lelaki tak dikenal ini tiba-tiba saja muncul dalam kamarnya?
“Engkau pemilik samurai ini orang asing?” lelaki itu bertanya perlahan.
Dan di tangannya rupanya telah tergenggam samurai si Bungsu yang tadi disepakkan ke dekat pintu oleh anggota Kumagaigumi itu.
“Ya….” Kata si Bungsu perlahan.
“Nah, ambillah kembali…” lelaki asing yang baru datang itu berkata dan tiba-tiba melambungkan samurai itu tinggi-tinggi.
Melewati kepala keempat anggota Kumagaigumi itu. Dan tanpa dapat dicegah jatuh tepat di depan si Bungsu. Sudah tentu si Bungsu tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan sisa tenaga, dia menyambar samurainya itu.
Keempat anggota Kumagaigumi itu bukan main berangnya. Mereka sesaat melupakan si Bungsu yang tak berdaya. Serentak mereka menyerang orang lancang yang baru masuk itu.
Namun yang berada paling depan, yaitu yang memakai samurai, terpekik dan terguling rubuh.
Dia mendekap mukanya yang berdarah. Ketiga lelaki lainnya segera maju. Namun lagi-lagi mereka terpekik. Dan kali ini, dua diantaranya mati. Yaitu yang memegang tombak bercabang tiga dan yang memekai rantai!
Dia mendekap mukanya yang berdarah. Ketiga lelaki lainnya segera maju. Namun lagi-lagi mereka terpekik. Dan kali ini, dua diantaranya mati. Yaitu yang memegang tombak bercabang tiga dan yang memekai rantai!
Si Bungsu sendiri kaget bukan main melihat kecepatan lelaki ini. Dia seperti tak melihat pada keempat anggota Kumagaigumi itu. Namun gerakannya demikian cepat. Samurainya berkelabat seperti kilat yang amat sulit diketahui.
Dua orang anggota Kumagaigumi yang masih hidup jadi kaget. Mereka kini terjepit antara dua lelaki yang kemahirannya bersamurai bukan main. Yaitu antara lelaki baru masuk itu di pintu, dengan orang Indonesia itu dibahagian dalam kamar.
“Sis…siapa engkau….?” Yang memakai tombak itu bertanya gugup.
Lelaki itu mengangkat wajahnya.
Dan dengan kaget, baik si Bungsu, terlebih lagi anggota Kumagaigumi itu mengetahui, bahwa lelaki ini ternyata buta!
Dan dengan kaget, baik si Bungsu, terlebih lagi anggota Kumagaigumi itu mengetahui, bahwa lelaki ini ternyata buta!
“Zato Ichi….!” Suara anggota Kumagaigumi itu terdengar seperti tangisan.
Lelaki yang buta itu menunduk. Dan yang tak tanggung-tanggung kagetnya adalah si Bungsu. dia kaget mendengar nama Zato Ichi itu. Siapa di antara orang di Jepang yang tak mengenal dan mendengar nama Zato Ichi? Nama itu sebuah legenda.
Nama seorang pahlawan rakyat Jepang. Seorang lelaki buta yang kecepatan samurainya hampir-hampir tak tertandingi.
Dan dengan kemahiran bersamurai itu, meskipun buta, dia malang melintang di seluruh tanah Jepang. Berkelana dari satu negeri ke satu negeri menegakkan keadilan. Dia seperti malaikat penolong orang-orang teraniaya.
Nama seorang pahlawan rakyat Jepang. Seorang lelaki buta yang kecepatan samurainya hampir-hampir tak tertandingi.
Dan dengan kemahiran bersamurai itu, meskipun buta, dia malang melintang di seluruh tanah Jepang. Berkelana dari satu negeri ke satu negeri menegakkan keadilan. Dia seperti malaikat penolong orang-orang teraniaya.
Di Jepang (bagian 229)
Meskipun matanya buta, tapi hatinya sangat mulia. Orang Jepang mendewakan dia. Kaum penjahat sangat menakutinya.
Dan si Bungsu mendengar kisah kepahlawanan Zato Ichi si pendekar buta ini. Dia mendengar cerita itu dari Kenji dan adik-adiknya. Namun, bukankah masa Zato Ichi sudah lama sekali berlalu? Nama itu kini hanya terdengar sebagai suatu legenda. Seorang tokoh di masa lalu.
Dan kalu kini dia hadir dalam kamarnya, bukankah itu suatu keanehan? Dan keanehan itu juga terasa di hati anggota Kumagaigumi itu. Zato Ichi sudah lama lenyap. Bahkan banyak orang menyangka dia telah lama mati. Kini siapa yang tegak di pintu itu?
Dan suara lelaki buta itu seperti menjawab pertanyaan tersebut:
“Ya, saya Zato Ichi….”
Suaranya perlahan, lembut dan sabar sekali.
“Tet….tet…tetapi engkau sudah lama mati…”
Zato Ichi tertawa renyai. Dia menunduk.
“Ya, saya sudah lama mati. Dan yang ada kini adalah hantu yang akan memusnahkan kejahatan kalian….” Suaranya seperti bergurau, namun anggota Kumagaigumi itu takutnya bukan main.
Dia mundur, dan tiba-tiba tangannya yang bertombak itu menyerang si Bungsu. kalau orang ini benar Zato Ichi, maka dia harus berjuang keras untuk bisa hidup. Dan jalan pertama yang dia tempuh adalah menyudahi orang Indonesia yang masih duduk terhenyak ke dinding itu.
Tombaknya terangkat. Namun si Bungsu sudah waspada. Begitu tombak orang itu terayun, tangannya yang bersamurai juga terayun. Tombak itu meluncur amat kencang. Tapi pada saat yang bersamaan, samurainya juga lepas terhayun menyerang anggota Kumagaigumi itu. Si Bungsu melontarkan samurainya sambil menggulingkan tubuhnya ke lantai.
Tombak bercabang tiga itu menghujam ke dinding, sejari dari leher si Bungsu. dan lelaki anggota Kumagaigumi itu terlolong. Lontaran samurai si Bungsu persis menerkam jantungnya. Lelaki itu mendelik, menggelepar. Dan mati!
Kini hanya seorang anggota Kumagaigumi lagi. Yaitu yang tadi mukanya disabet dengan samurai hingga berlumur darah oleh Zato Ichi. Lelaki itu mundur ketakutan. Dia mengambil rantainya dan menyerang Zato Ichi di pintu. Suara rantainya gemercing dan menimbulkan angin yang bersuit. Namun dengan sebuah putaran tubuh yang cepat samurai Zato Ichi bekerja. Lelaki itu mati dengan bahu belah! Kamar itu kini berubah jadi kamar pembantaian. Darah membanjir dimana-mana. Dan empat mayat melang melintang.
Kini yang hidup dalam kamar itu hanya mereka berdua. Si Bungsu dari Situjuh Ladang Laweh dan Zato Ichi, pahlawan samurai negeri Jepang!
Si Bungsu kembali duduk di sisi tombak bercabang tiga yang menancap dalam di dinding kamar.
Dia belum mampu tegak. Sebab dada, perut, tangan dan pahanya luka parah. Yang terasa sangat sakit adalah luka dipahanya bekas dihujam tombak bercabang tiga itu.
Dia menatap pada Zato Ichi. Zato Ichi bersandar ke pintu. Dan perlahan, tubuhnya yang bersandar itu meluncur turun lalu duduk dilantai dengan tetap bersandar.
Kepalanya terangkat.
Dia seperti menatap pada si Bungsu. Dan untuk pertama kalinya si Bungsu melihat bahwa lelaki yang bernama Zato Ichi ini sebenarnya sudah tua.
Kerut di wajahnya, serta rambutnya yang sudah memutih membuktikan ketuaannya itu. Namun, secara menyeluruh, lelaki itu kelihatan penyabar dan tenang. Sikapnya tidak hanya menimbulkan rasa kasihan, tapi juga menimbulkan rasa simpati.
“Domo arigato gozaimasu Ichi-san. Saya banyak mendengar kehebatan Zato Ichi-san…” dia berkata perlahan.
Zato Ichi menarik nafas panjang. Kemudian menunduk.
“Luar biasa. Benar-benar luar biasa. Seorang asing menjadi jagoan samurai yang ditakuti di negeri Jepang. Heh…heh..engkau benar-benar seorang yang luar biasa Bungsu-san…”
Suara Zato Ichi bergema dari tempat duduknya di lantai dan bersandar ke pintu.
Si Bungsu diam. Dia berusaha tegak.
Namun dengan keluhan sakit, dia terduduk lagi.
“Hmmm, nampaknya engkau luka parah. Kamar ini terlalu bau bangkai, engkau harus keluar dari sini anak muda….
” Zato Ichi berkata.
“Ya, saya rasa saya menang harus keluar. Tapi….” Suaranya terhenti.
“Saya bisa membantumu. Mari…..” Zato Ichi berdiri. Dan si Bungsu melihat betapa lelaki itu tegak bertumpu dengan samurainya yang merangkap sebagai tongkat.
Kemudian dengan tongkat itu pula, dia melangkah tertatih-tatih mencari jalan. Bila ujung tongkatnya menyentuh mayat salah seorang anggota Kumagaigumi, dia lalu menghindarkan langkahnya dari sana. Caranya berjalan sangat mengharukan. Dengan beberapa kali tersandung pada tubuh mayat-mayat itu, akhirnya Zato Ichi sampai ke dekat si Bungsu.
Dia berjongkok. Meraba tangan, dada dan paha si Bungsu.
Meskipun matanya buta, tapi hatinya sangat mulia. Orang Jepang mendewakan dia. Kaum penjahat sangat menakutinya.
Dan si Bungsu mendengar kisah kepahlawanan Zato Ichi si pendekar buta ini. Dia mendengar cerita itu dari Kenji dan adik-adiknya. Namun, bukankah masa Zato Ichi sudah lama sekali berlalu? Nama itu kini hanya terdengar sebagai suatu legenda. Seorang tokoh di masa lalu.
Dan kalu kini dia hadir dalam kamarnya, bukankah itu suatu keanehan? Dan keanehan itu juga terasa di hati anggota Kumagaigumi itu. Zato Ichi sudah lama lenyap. Bahkan banyak orang menyangka dia telah lama mati. Kini siapa yang tegak di pintu itu?
Dan suara lelaki buta itu seperti menjawab pertanyaan tersebut:
“Ya, saya Zato Ichi….”
Suaranya perlahan, lembut dan sabar sekali.
“Tet….tet…tetapi engkau sudah lama mati…”
Zato Ichi tertawa renyai. Dia menunduk.
“Ya, saya sudah lama mati. Dan yang ada kini adalah hantu yang akan memusnahkan kejahatan kalian….” Suaranya seperti bergurau, namun anggota Kumagaigumi itu takutnya bukan main.
Dia mundur, dan tiba-tiba tangannya yang bertombak itu menyerang si Bungsu. kalau orang ini benar Zato Ichi, maka dia harus berjuang keras untuk bisa hidup. Dan jalan pertama yang dia tempuh adalah menyudahi orang Indonesia yang masih duduk terhenyak ke dinding itu.
Tombaknya terangkat. Namun si Bungsu sudah waspada. Begitu tombak orang itu terayun, tangannya yang bersamurai juga terayun. Tombak itu meluncur amat kencang. Tapi pada saat yang bersamaan, samurainya juga lepas terhayun menyerang anggota Kumagaigumi itu. Si Bungsu melontarkan samurainya sambil menggulingkan tubuhnya ke lantai.
Tombak bercabang tiga itu menghujam ke dinding, sejari dari leher si Bungsu. dan lelaki anggota Kumagaigumi itu terlolong. Lontaran samurai si Bungsu persis menerkam jantungnya. Lelaki itu mendelik, menggelepar. Dan mati!
Kini hanya seorang anggota Kumagaigumi lagi. Yaitu yang tadi mukanya disabet dengan samurai hingga berlumur darah oleh Zato Ichi. Lelaki itu mundur ketakutan. Dia mengambil rantainya dan menyerang Zato Ichi di pintu. Suara rantainya gemercing dan menimbulkan angin yang bersuit. Namun dengan sebuah putaran tubuh yang cepat samurai Zato Ichi bekerja. Lelaki itu mati dengan bahu belah! Kamar itu kini berubah jadi kamar pembantaian. Darah membanjir dimana-mana. Dan empat mayat melang melintang.
Kini yang hidup dalam kamar itu hanya mereka berdua. Si Bungsu dari Situjuh Ladang Laweh dan Zato Ichi, pahlawan samurai negeri Jepang!
Si Bungsu kembali duduk di sisi tombak bercabang tiga yang menancap dalam di dinding kamar. Dia belum mampu tegak. Sebab dada, perut, tangan dan pahanya luka parah. Yang terasa sangat sakit adalah luka dipahanya bekas dihujam tombak bercabang tiga itu.
Dia menatap pada Zato Ichi. Zato Ichi bersandar ke pintu. Dan perlahan, tubuhnya yang bersandar itu meluncur turun lalu duduk dilantai dengan tetap bersandar.
Kepalanya terangkat.
Dia seperti menatap pada si Bungsu. Dan untuk pertama kalinya si Bungsu melihat bahwa lelaki yang bernama Zato Ichi ini sebenarnya sudah tua.
Dia seperti menatap pada si Bungsu. Dan untuk pertama kalinya si Bungsu melihat bahwa lelaki yang bernama Zato Ichi ini sebenarnya sudah tua.
Kerut di wajahnya, serta rambutnya yang sudah memutih membuktikan ketuaannya itu. Namun, secara menyeluruh, lelaki itu kelihatan penyabar dan tenang. Sikapnya tidak hanya menimbulkan rasa kasihan, tapi juga menimbulkan rasa simpati.
“Domo arigato gozaimasu Ichi-san. Saya banyak mendengar kehebatan Zato Ichi-san…” dia berkata perlahan.
Zato Ichi menarik nafas panjang. Kemudian menunduk.
“Luar biasa. Benar-benar luar biasa. Seorang asing menjadi jagoan samurai yang ditakuti di negeri Jepang. Heh…heh..engkau benar-benar seorang yang luar biasa Bungsu-san…”
Suara Zato Ichi bergema dari tempat duduknya di lantai dan bersandar ke pintu.
Si Bungsu diam. Dia berusaha tegak.
Namun dengan keluhan sakit, dia terduduk lagi.
Si Bungsu diam. Dia berusaha tegak.
Namun dengan keluhan sakit, dia terduduk lagi.
“Hmmm, nampaknya engkau luka parah. Kamar ini terlalu bau bangkai, engkau harus keluar dari sini anak muda….
” Zato Ichi berkata.
” Zato Ichi berkata.
“Ya, saya rasa saya menang harus keluar. Tapi….” Suaranya terhenti.
“Saya bisa membantumu. Mari…..” Zato Ichi berdiri. Dan si Bungsu melihat betapa lelaki itu tegak bertumpu dengan samurainya yang merangkap sebagai tongkat.
Kemudian dengan tongkat itu pula, dia melangkah tertatih-tatih mencari jalan. Bila ujung tongkatnya menyentuh mayat salah seorang anggota Kumagaigumi, dia lalu menghindarkan langkahnya dari sana. Caranya berjalan sangat mengharukan. Dengan beberapa kali tersandung pada tubuh mayat-mayat itu, akhirnya Zato Ichi sampai ke dekat si Bungsu.
Dia berjongkok. Meraba tangan, dada dan paha si Bungsu.
Di Jepang (bagian 230)
“Hmmm, mereka membantaimu Bungsu-san…” katanya perlahan.
Dan dengan berpegang ke tangan Zato Ichi si Bungsu berdiri. Diam-diam Zato Ichi merasa kagum atas ketangguhan anak muda ini. Tangguh dalam bersamurai dan tangguh dalam mengahadapi derita.
Dan senja itu, dia pindah dari hotel tersebut. Dengan sebuah taksi yang dipanggilkan oleh pelayan hotel dia dibawa Zato Ichi jauh ke luar kota. Ke sebuah kuil tua.
Di bahagian belakang kuil itu ada sebuah rumah kecil. Dan rupanya di rumah inilah Zato Ichi tinggal. Itu terbukti dengan bergantungan beberapa helai pakaian Zato Ichi.
“Nah, tenanglah. Kita akan coba mengobati luka-lukamu. Disini engkau aman. Takkan ada orang yang mencarimu kemari….” Kata Zato Ichi sambil berjalan ke meja.
Kamar ini nampaknya sudah dia kenali betul letak-letak barangnya. Sebab si Bungsu melihat betapa dengan mudah dia melangkah ke segenap penjuru tanpa menabrak benda-benda dalam rumah kecil itu.
Sementara Zato Ichi meramu obat, si Bungsu masih digeluti penasaran heran dan takjub. Heran kenapa lelaki yang jadi tokoh legenda itu bisa hadir di kamarnya tadi? Takjub, apakah benar bahwa lelaki ini adalah Zato ichi, pahlawan samurai yang tersohor itu?
“Kota nampaknya semakin ramai….” Suara Zato Ichi terdengar perlahan.
Si Bungsu yang terbaring di tempat tidur menolehkan kepala. Tak berniat memberikan komentar. Dia ingin mendengar lebih banyak tentang lelaki ini.
“Dahulu, tiga puluh tahun yang lalu, ketika saya masih muda, Kyoto adalah kota yang tenang. Penduduknya memang ramai. Tapi mobilnya tak sebanyak sekarang. Hanya ada dua atau tiga mobil. Kini ribuan. Ah, orang buta seperti saya akan hancur digilasnya kalau sering ke kota….”
Si Bungsu tetap tak memberikan komentar. Zato Ichio meneruskan meramu obat. Dan si Bungsu segera mengetahui, bahwa Zato Ichi ternyata juga seorang yang mahir dalam meramu obat tradisional. Hal itu segera dia ketahui ketika melihat lelaki itu mengeluarkan akar-akar dan beberapa jenis batu-batuan yang dia kikis.
“Negeri ini dahulu adalah negeri yang aman.
Tapi tentara membuat seluruh jadi berobah. Keinginan untuk berkuasa di Asia merembet untuk berkuasa di dunia.
Akhirnya menjerumuskan bangsa ke dalam kancah peperangan yang menghancurkan diri sendiri….”
Zato Ichi berkata terus sambil terus pula meramu obat.
“Nah, selesai….” Katanya sambil menuangkan obat dari tempat penggilingan ke dalam sebuah pring kecil.
Lalu seperti orang yang bisa melihat sepenuhnya, dia melangkah ke pembaringan.
Dari dalam baskom yang diisi air panas dia mengeluarkan handuk kecil yang bersih. Lalu dengan handuk itu dia mencuci luka di sekujur tubuh si Bungsu. si Bungsu masih tak habis pikir, kenapa tokoh legendaris Jepang ini mau menolong dirinya.
Tak hanya sekedar menolong menyelamatkan nyawanya dari pembantaian anggota Kumagaigumi, tapi juga menolong merawat dirinya. Dia tak menemukan jawaban apa sebenarnya.
Sementara Zato Ichi yang telah tua itu, tapi gerakannya masih kukuh dan lincah, selesai membersihkan seluruh luka di tubuhnya.’
“Nah, kini saatnya obat ini saya tuangkan ke luka di tubuhmu. Obat ini sangat manjur. Dalam tiga hari akan sembuh lukamu. Tapi pedihnya memang tak tertahankan. Pedih dan memilukan. Saya pernah diobat dengan ramuan ini. Dan untuk itu seluruh tangan dan kaki saya diikat ke pembaringan. Saya rasa ada baiknya kakimu dan tanganmu juga diikat Bungsu-san…”
“Tidak….tak apa. Barangkali saya bisa tahan…”
“Engkau sungguh-sungguh?”
“Saya coba…”
Tangan kanan Zato Ichi mengangkat piring berisi obat itu. Tangan kirinya meraba bekas luka di tubuh si Bungsu. Dan obat itu dia teteskan ke luka di dada. Mula-mula rasa panas menyengat. Kemudian sakit dan pedih yang menggigilkan jantung. Namun si Bungsu segera membandingkannya dengan rasa sakit ketika dia diazab dalam terowongan Jepang di Bukittinggi. Yaitu ketika kukunya dicabut dan jarinya dipatahkan satu demi satu.
Siksaan itu jauh lebih sakit daripada yang sekarang. Karena itu, dia hanya memejamkan mata.
Dan Zato Ichi kembali terkejut melihat daya tahan anak muda ini.
Demikianlah, obat itu disiramkan ke seluruh luka di tubuh si Bungsu. kemudian ditempel dengan sejenis daun kayu yang telah didiang panas ke api. Peluh si Bungsu meleleh membasahi tubuhnya ketika pengobatan itu selesai.
“Benar-benar luar biasa. Engkau benar-benar lelaki tangguh Bungsu-san….” Kata Zato Ichi.
Namun suaranya tak didengar lagi oleh si Bungsu. Anak muda itu sudah tertidur.
Obat tradisional itu memang bercampur dengan sejenis candu. Candu yang kadar biusnya amat besar.
Zat bius itu mengalir di pembuluh darahnya lewat luka yang ditaburi obet tersebut.
Demikian besarnya zat rekat candu dan zat bius dalam obat itu, sehingga si Bungsu serta merta jadi tertidur sebelum pengobatan itu selesai.
“Hmmm, mereka membantaimu Bungsu-san…” katanya perlahan.
Dan dengan berpegang ke tangan Zato Ichi si Bungsu berdiri. Diam-diam Zato Ichi merasa kagum atas ketangguhan anak muda ini. Tangguh dalam bersamurai dan tangguh dalam mengahadapi derita.
Dan senja itu, dia pindah dari hotel tersebut. Dengan sebuah taksi yang dipanggilkan oleh pelayan hotel dia dibawa Zato Ichi jauh ke luar kota. Ke sebuah kuil tua.
Di bahagian belakang kuil itu ada sebuah rumah kecil. Dan rupanya di rumah inilah Zato Ichi tinggal. Itu terbukti dengan bergantungan beberapa helai pakaian Zato Ichi.
Di bahagian belakang kuil itu ada sebuah rumah kecil. Dan rupanya di rumah inilah Zato Ichi tinggal. Itu terbukti dengan bergantungan beberapa helai pakaian Zato Ichi.
“Nah, tenanglah. Kita akan coba mengobati luka-lukamu. Disini engkau aman. Takkan ada orang yang mencarimu kemari….” Kata Zato Ichi sambil berjalan ke meja.
Kamar ini nampaknya sudah dia kenali betul letak-letak barangnya. Sebab si Bungsu melihat betapa dengan mudah dia melangkah ke segenap penjuru tanpa menabrak benda-benda dalam rumah kecil itu.
Sementara Zato Ichi meramu obat, si Bungsu masih digeluti penasaran heran dan takjub. Heran kenapa lelaki yang jadi tokoh legenda itu bisa hadir di kamarnya tadi? Takjub, apakah benar bahwa lelaki ini adalah Zato ichi, pahlawan samurai yang tersohor itu?
“Kota nampaknya semakin ramai….” Suara Zato Ichi terdengar perlahan.
Si Bungsu yang terbaring di tempat tidur menolehkan kepala. Tak berniat memberikan komentar. Dia ingin mendengar lebih banyak tentang lelaki ini.
“Dahulu, tiga puluh tahun yang lalu, ketika saya masih muda, Kyoto adalah kota yang tenang. Penduduknya memang ramai. Tapi mobilnya tak sebanyak sekarang. Hanya ada dua atau tiga mobil. Kini ribuan. Ah, orang buta seperti saya akan hancur digilasnya kalau sering ke kota….”
Si Bungsu tetap tak memberikan komentar. Zato Ichio meneruskan meramu obat. Dan si Bungsu segera mengetahui, bahwa Zato Ichi ternyata juga seorang yang mahir dalam meramu obat tradisional. Hal itu segera dia ketahui ketika melihat lelaki itu mengeluarkan akar-akar dan beberapa jenis batu-batuan yang dia kikis.
“Negeri ini dahulu adalah negeri yang aman.
Tapi tentara membuat seluruh jadi berobah. Keinginan untuk berkuasa di Asia merembet untuk berkuasa di dunia.
Akhirnya menjerumuskan bangsa ke dalam kancah peperangan yang menghancurkan diri sendiri….”
Tapi tentara membuat seluruh jadi berobah. Keinginan untuk berkuasa di Asia merembet untuk berkuasa di dunia.
Akhirnya menjerumuskan bangsa ke dalam kancah peperangan yang menghancurkan diri sendiri….”
Zato Ichi berkata terus sambil terus pula meramu obat.
“Nah, selesai….” Katanya sambil menuangkan obat dari tempat penggilingan ke dalam sebuah pring kecil.
Lalu seperti orang yang bisa melihat sepenuhnya, dia melangkah ke pembaringan.
Dari dalam baskom yang diisi air panas dia mengeluarkan handuk kecil yang bersih. Lalu dengan handuk itu dia mencuci luka di sekujur tubuh si Bungsu. si Bungsu masih tak habis pikir, kenapa tokoh legendaris Jepang ini mau menolong dirinya.
Tak hanya sekedar menolong menyelamatkan nyawanya dari pembantaian anggota Kumagaigumi, tapi juga menolong merawat dirinya. Dia tak menemukan jawaban apa sebenarnya.
Sementara Zato Ichi yang telah tua itu, tapi gerakannya masih kukuh dan lincah, selesai membersihkan seluruh luka di tubuhnya.’
Sementara Zato Ichi yang telah tua itu, tapi gerakannya masih kukuh dan lincah, selesai membersihkan seluruh luka di tubuhnya.’
“Nah, kini saatnya obat ini saya tuangkan ke luka di tubuhmu. Obat ini sangat manjur. Dalam tiga hari akan sembuh lukamu. Tapi pedihnya memang tak tertahankan. Pedih dan memilukan. Saya pernah diobat dengan ramuan ini. Dan untuk itu seluruh tangan dan kaki saya diikat ke pembaringan. Saya rasa ada baiknya kakimu dan tanganmu juga diikat Bungsu-san…”
“Tidak….tak apa. Barangkali saya bisa tahan…”
“Engkau sungguh-sungguh?”
“Saya coba…”
Tangan kanan Zato Ichi mengangkat piring berisi obat itu. Tangan kirinya meraba bekas luka di tubuh si Bungsu. Dan obat itu dia teteskan ke luka di dada. Mula-mula rasa panas menyengat. Kemudian sakit dan pedih yang menggigilkan jantung. Namun si Bungsu segera membandingkannya dengan rasa sakit ketika dia diazab dalam terowongan Jepang di Bukittinggi. Yaitu ketika kukunya dicabut dan jarinya dipatahkan satu demi satu.
Siksaan itu jauh lebih sakit daripada yang sekarang. Karena itu, dia hanya memejamkan mata.
Dan Zato Ichi kembali terkejut melihat daya tahan anak muda ini.
Dan Zato Ichi kembali terkejut melihat daya tahan anak muda ini.
Demikianlah, obat itu disiramkan ke seluruh luka di tubuh si Bungsu. kemudian ditempel dengan sejenis daun kayu yang telah didiang panas ke api. Peluh si Bungsu meleleh membasahi tubuhnya ketika pengobatan itu selesai.
“Benar-benar luar biasa. Engkau benar-benar lelaki tangguh Bungsu-san….” Kata Zato Ichi.
Namun suaranya tak didengar lagi oleh si Bungsu. Anak muda itu sudah tertidur.
Obat tradisional itu memang bercampur dengan sejenis candu. Candu yang kadar biusnya amat besar.
Zat bius itu mengalir di pembuluh darahnya lewat luka yang ditaburi obet tersebut.
Obat tradisional itu memang bercampur dengan sejenis candu. Candu yang kadar biusnya amat besar.
Zat bius itu mengalir di pembuluh darahnya lewat luka yang ditaburi obet tersebut.
Demikian besarnya zat rekat candu dan zat bius dalam obat itu, sehingga si Bungsu serta merta jadi tertidur sebelum pengobatan itu selesai.
Di Jepang (bagian 231)
Zato Ichi menarik nafas panjang. Dia lalu membereskan peralatan obat-obatannya. Setiap pagi selama tiga hari berturut-turut obat itu harus dia ganti. Dan obat itu memang amat mujarab. Obat tradisional Jepang yang kesohor untuk mengobati luka yang betapa parahnya sekalipun.
Selesai mengemasi peralatan. Zato Ichi menuju ke Kuil Tua di depan rumah kecil dimana si Bungsu terbaring itu. Di Kuil itu dia sembahyang dan berdoa. Kemudian dilantai depan kuil itu, yang terbuat dari kayu keras dan licin mengkilat, dia terbaring.
Angin bertiup dari danau di depannya. Membuat rasa lelahnya lenyap. Dan dia juga tertidur di sana. Tak jauh dari tempatnya berbaring, di pohon-pohon sakura, malam itu burung-burung malam menggigil kedinginan.
Musim dingin tahun ini telah berjalan beberapa hari. Makin lama udaranya masih menusuk. Di Kuil tua itu nampaknya tak ada orang lain. Dan kuil itu juga tak membutuhkan lampu.
Sebab satu-satunya orang yang ada di sana juga tak membutuhkan penerangan.
Apa gunanya penerangan bagi Zato Ichi yang buta? Zato Ichi, siapa yang tak mengenal nama itu di Jepang?
Dia adalah tokoh samurai penolong rakyat miskin. Samurainya selalu menebas kezaliman.
Puluhan tahun yang lalu, dia muncul di setiap ada kezaliman. Menolong orang yang tertindas.
Kemudian pergi tanpa bekas bila pertolongannya tak lagi dibutuhkan orang.
Tapi saat itu, orang Jepang sendiri sudah melupakan Zato Ichi. Bukan karena kepahlawanannya sudah ada yang menandingi.
Tidak. Tapi dia dilupakan karena zaman Zato Ichi sudah lama berlalu.
Perang samurai sudah digantikan dengan gemuruhnya bunyi bedil dan pesawat udara. Pahlawan-pahlawan dalam peperangan di Asia Raya lebih populer. Demikian pula pahlawan-pahlawan udara seperti Saburo yang legendaris. Siapa yang tak mengenal dan tak membicarakan nama pilot dan pahlawan Kamikaze yang bernama Saburo itu? Dia dengan pesawat jenis Kamikazenya itu muncul di atas Armada Perang Amerika. Menyapu kapal-kapal perang itu dengan mitraliyur dan bomnya. Menenggelamkan sebahagian besar kapal kapal perang tersebut. Kemudian merontokkan pesawat pesawat udara Amerika yang coba mencegat atau mengepungnya. Lalu dia pulang kepangkalan dengan tubuh pesawat yang robek atau bolong oleh terkaman peluru musuh. Tapi esoknya, dengan tubuh pesawat seperti tapisan kelapa itu, Saburo mengudara lagi. Menenggelamkan lagi kapal kapal perang dan merontokkan pesawat udara. Begitu terus. Hingga dia menjadi pahlawan Jepang yang kesohor.
Dan itulah kenapa sebanya Zato Ichi terlupakan.
Siapa nyana, justru saat angkatan perang Jepang itu runtuh di bawah kaki Sekutu, saat itu pula pahlawan samurai itu muncul.
Suatu kemunculan yang tak seorangpun pernah menduga. Generasi Zato Ichi, umumnya sudah berkubur.
Kalaupun ada orang yang mengenalnya, itu hanya dari cerita dan dongeng saja. Siapa sangka, ternyata lelaki jagoan samurai itu, saat ini masih sehat walafiat dan kini menolong seorang “jagoan” samurai lainnya yang berasal dari Indonesia, si Bungsu!
Kehadiran Zato Ichi memang merupakan suatu “keajaiban”. Lelaki ini ternyata hidup dengan hati tenteram.
Di saat orang menyangka bahwa dia sudah mati, di saat itu pula sebenarnya dia tengah berkelana dari sebuah pengunungan ke pengunungan lainnya.
Memakan buah-buahan dan daun-daun berkhasiat. Itulah salah satu penyebanya, kenapa dia kelihatan masih utuh. Tidak segera jadi tua renta seperti jamaknya mnusia di kota bila mencapai usia seperti dia.
Lalu kenapa hari ini dia muncul tiba tiba? Dan kenapa kemunculannya justru di kamar hotel si Bungsu di saat anak muda itu diancam maut? Apakah itu suatu kebetulan atau memang ada yang mengatur? Hal ini memang masih merupakan suatu misteri.
Persis tiga hari. Ya, persisi seperti yang dikatakan Zato Ichi ketika mengobati si Bungsu. bahwa dalam tiga hari lukanya akan sembuh. Dan tiga hari setelah itu, luka disekujur tubuh si Bungsu memang sembuh. Yang terlihat kini hanya bekas memutih di tentang luka itu.
Si Bungsu jadi takjub. Dia sudah banyak mengenal obat tradisional. Bahkan dia juga tukang ramu obat seperti itu ketika masih di gunung Sago.
Tapi dengan luka yang demikian parah, dan pengobatannya demikian cepat, memang diluar jangkauan pengetahuannya.
Dan ketika dia tanyakan pada Zato Ichi apa yang menyebabkan demikian cepat daya sembuh obat itu, Zato Ichi menjelaskan.
Zato Ichi menarik nafas panjang. Dia lalu membereskan peralatan obat-obatannya. Setiap pagi selama tiga hari berturut-turut obat itu harus dia ganti. Dan obat itu memang amat mujarab. Obat tradisional Jepang yang kesohor untuk mengobati luka yang betapa parahnya sekalipun.
Selesai mengemasi peralatan. Zato Ichi menuju ke Kuil Tua di depan rumah kecil dimana si Bungsu terbaring itu. Di Kuil itu dia sembahyang dan berdoa. Kemudian dilantai depan kuil itu, yang terbuat dari kayu keras dan licin mengkilat, dia terbaring.
Angin bertiup dari danau di depannya. Membuat rasa lelahnya lenyap. Dan dia juga tertidur di sana. Tak jauh dari tempatnya berbaring, di pohon-pohon sakura, malam itu burung-burung malam menggigil kedinginan.
Musim dingin tahun ini telah berjalan beberapa hari. Makin lama udaranya masih menusuk. Di Kuil tua itu nampaknya tak ada orang lain. Dan kuil itu juga tak membutuhkan lampu.
Sebab satu-satunya orang yang ada di sana juga tak membutuhkan penerangan.
Sebab satu-satunya orang yang ada di sana juga tak membutuhkan penerangan.
Apa gunanya penerangan bagi Zato Ichi yang buta? Zato Ichi, siapa yang tak mengenal nama itu di Jepang?
Dia adalah tokoh samurai penolong rakyat miskin. Samurainya selalu menebas kezaliman.
Puluhan tahun yang lalu, dia muncul di setiap ada kezaliman. Menolong orang yang tertindas.
Kemudian pergi tanpa bekas bila pertolongannya tak lagi dibutuhkan orang.
Dia adalah tokoh samurai penolong rakyat miskin. Samurainya selalu menebas kezaliman.
Puluhan tahun yang lalu, dia muncul di setiap ada kezaliman. Menolong orang yang tertindas.
Kemudian pergi tanpa bekas bila pertolongannya tak lagi dibutuhkan orang.
Tapi saat itu, orang Jepang sendiri sudah melupakan Zato Ichi. Bukan karena kepahlawanannya sudah ada yang menandingi.
Tidak. Tapi dia dilupakan karena zaman Zato Ichi sudah lama berlalu.
Tidak. Tapi dia dilupakan karena zaman Zato Ichi sudah lama berlalu.
Perang samurai sudah digantikan dengan gemuruhnya bunyi bedil dan pesawat udara. Pahlawan-pahlawan dalam peperangan di Asia Raya lebih populer. Demikian pula pahlawan-pahlawan udara seperti Saburo yang legendaris. Siapa yang tak mengenal dan tak membicarakan nama pilot dan pahlawan Kamikaze yang bernama Saburo itu? Dia dengan pesawat jenis Kamikazenya itu muncul di atas Armada Perang Amerika. Menyapu kapal-kapal perang itu dengan mitraliyur dan bomnya. Menenggelamkan sebahagian besar kapal kapal perang tersebut. Kemudian merontokkan pesawat pesawat udara Amerika yang coba mencegat atau mengepungnya. Lalu dia pulang kepangkalan dengan tubuh pesawat yang robek atau bolong oleh terkaman peluru musuh. Tapi esoknya, dengan tubuh pesawat seperti tapisan kelapa itu, Saburo mengudara lagi. Menenggelamkan lagi kapal kapal perang dan merontokkan pesawat udara. Begitu terus. Hingga dia menjadi pahlawan Jepang yang kesohor.
Dan itulah kenapa sebanya Zato Ichi terlupakan.
Siapa nyana, justru saat angkatan perang Jepang itu runtuh di bawah kaki Sekutu, saat itu pula pahlawan samurai itu muncul.
Siapa nyana, justru saat angkatan perang Jepang itu runtuh di bawah kaki Sekutu, saat itu pula pahlawan samurai itu muncul.
Suatu kemunculan yang tak seorangpun pernah menduga. Generasi Zato Ichi, umumnya sudah berkubur.
Kalaupun ada orang yang mengenalnya, itu hanya dari cerita dan dongeng saja. Siapa sangka, ternyata lelaki jagoan samurai itu, saat ini masih sehat walafiat dan kini menolong seorang “jagoan” samurai lainnya yang berasal dari Indonesia, si Bungsu!
Kalaupun ada orang yang mengenalnya, itu hanya dari cerita dan dongeng saja. Siapa sangka, ternyata lelaki jagoan samurai itu, saat ini masih sehat walafiat dan kini menolong seorang “jagoan” samurai lainnya yang berasal dari Indonesia, si Bungsu!
Kehadiran Zato Ichi memang merupakan suatu “keajaiban”. Lelaki ini ternyata hidup dengan hati tenteram.
Di saat orang menyangka bahwa dia sudah mati, di saat itu pula sebenarnya dia tengah berkelana dari sebuah pengunungan ke pengunungan lainnya.
Di saat orang menyangka bahwa dia sudah mati, di saat itu pula sebenarnya dia tengah berkelana dari sebuah pengunungan ke pengunungan lainnya.
Memakan buah-buahan dan daun-daun berkhasiat. Itulah salah satu penyebanya, kenapa dia kelihatan masih utuh. Tidak segera jadi tua renta seperti jamaknya mnusia di kota bila mencapai usia seperti dia.
Lalu kenapa hari ini dia muncul tiba tiba? Dan kenapa kemunculannya justru di kamar hotel si Bungsu di saat anak muda itu diancam maut? Apakah itu suatu kebetulan atau memang ada yang mengatur? Hal ini memang masih merupakan suatu misteri.
Persis tiga hari. Ya, persisi seperti yang dikatakan Zato Ichi ketika mengobati si Bungsu. bahwa dalam tiga hari lukanya akan sembuh. Dan tiga hari setelah itu, luka disekujur tubuh si Bungsu memang sembuh. Yang terlihat kini hanya bekas memutih di tentang luka itu.
Si Bungsu jadi takjub. Dia sudah banyak mengenal obat tradisional. Bahkan dia juga tukang ramu obat seperti itu ketika masih di gunung Sago.
Tapi dengan luka yang demikian parah, dan pengobatannya demikian cepat, memang diluar jangkauan pengetahuannya.
Tapi dengan luka yang demikian parah, dan pengobatannya demikian cepat, memang diluar jangkauan pengetahuannya.
Dan ketika dia tanyakan pada Zato Ichi apa yang menyebabkan demikian cepat daya sembuh obat itu, Zato Ichi menjelaskan.
Di Jepang (bagian 232)
Pendekar samurai itu menunjukkan pada si Bungsu akar dan kulit kulit kayu yang dipakai untuk meramu. Tentang akar dan kulit kayu itu si Bungsu tak heran.
Dia sudah mengetahui cukup banyak.
Dari melihat batang dan jenis daunnya saja seorang peramu obat yang ahli akan segara dapat mengetahui mana pohon yang bisa jadi obat.
“semua akar, daun dan kulit kayu ini direbus dengan batu Giok ini….” Kata Zato Ichi sambil memperlihatkan tiga macam batu-batuan.
Si Bungsu jadi heran melihat batu tersebut. Batu Giok adalah semacam batu mar-mar yang indah dari daratan Tiongkok. Dia sebenarnya hanya mirip mar-mar. tapi batu ini banyak dibuat perhiasan oleh orang. Ketiga batu Giok itu berwarna lumut, merah darah dan kuning.
“Ketiga macam batu ini akan mengeluarkan getah bila direbus bersamaan dengan akar dan kulit kayu tadi….” Zato Ichi menjelaskan.
Tapi kedua mereka tiba-tiba sama terdiam. Si Bungsu melihat betapa Zato Ichi mendongakkan kepala. Nampaknya dia tengah mendengarkan sesuatu.
“Ada orang datang…..” kata lelaki Jepang itu perlahan.
“Ya. Dan mereka mengitari rumah ini” jawab si Bungsu perlahan.
Kedua lelaki ini adalah lelaki-lelaki yang memiliki indera yang amat tajam.
Mereka dapat mendengarkan langkah beberapa orang di luar sana. Padahal saat itu angin musim dingin tengah bersuit kencang. Namun diantara suitan angin itu, masih saja telinga mereka dapat membedakan bunyi langkah kaki manusia.
“Berapa orang mereka?” tanya Zato Ichi.
“Lebih dari lima orang….” Kata si Bungsu.
Zato Ichi tersenyum. Lagi-lagi dia mengagumi anak muda ini.
“Inderamu sangat hebat Bungsu-san….” Katanya. Si Bungsu hanya diam.
“Mari kita ke luar, kita sambut kedatangan mereka….” Kata Zato Ichi sambil tertatih-tatih melangkah ke luar rumah.
Dengan memegang samurainya di tangan kiri. Si Bungsu mengikuti langkah Zato Ichi. Dan tiba-tiba mereka berdiri di halaman belakang kuil tua itu. Angin dingin yang bertiup pagi itu menampar-nampar wajah mereka. Dan begitu mereka berdiri di luar, enam lelaki dalam pakaian kimono hitam tegak membuat setengah lingkaran.
“Zato Ichi…!” terdengar bisik-bisik di antara mereka takkala melihat pada lelaki buta itu.
Bisik bisik itu berbaur dengan rasa terkejut.
“Hmmm, sudah lama kuil ini sepi. Apakah tuan-tuan datang untuk bersembahyang…?” terdengar suara Zato Ichi bergema mengatasi suitan angin kencang.
Keenam lelaki yang baru datang itu saling pandang. Salah seorang diantaranya, yang berkumis tebal, yaitu yang tertua diantara mereka, maju dua tindak.
Suara terompa kayunya terdengar berdetak di atas semen di halaman belakang kuil itu.
“Kami dari organisasi Kumagaigumi. Kami datang….”
“Hmm, Kumagaigumi, kelompok biruang gunung yang sejak dahulu hanya mengacau….’
Suara Zato Ichi memutus ucapan lelaki itu.
“Itu urusan kami. Kami tak pernah mencampuri urusan Zato Ichi. Harap jangan ikut campur urusan kami…” lelaki itu membentak.
Terdengar suara tawa Zato Ichi perlahan.
“Bagaimana aku takkan ikut campur, kalau urusan kalian itu justru merampok dan memperkosa wanita-wanita Jepang? Apa tak lebih baik kalian memperkosa ibu kalian sendiri?”
Muka lelaki yang baru datang itu jadi merah padam.
“Zamanmu sudah lewat Zato Ichi. Lebih baik hari-hari tuamu ini kau lewatkan dengan berdoa dalam kuil. Menghindarlah dari sana. Kami ada urusan dengan anak muda jahanam itu…”
Zato Ichi terdiam. Mukanya terangkat. Matanya yang buta seperti menatap langit yang gelap. Kemudian menunduk.
Dan terdengar suaranya perlahan:
“Ya, saya harusnya berdoa…selesaikanlah urusan kalian…”
Dan sehabis berkata begitu, perlahan mengetuk-ngetuk lantai semen, mencari jalan ke arah kanan rumah. Tak jauh dari sana, ada sebuah bangku-bangku dari semen.
Dan dengan tenang Zato Ichi duduk di bangku tersebut. Kini di depan rumah itu tegak si Bungsu sendiri menghadapi keenam lelaki anggota Kumagaigumi itu.
“Nah, anak muda. Kami datang untuk membawamu pergi. Engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Membunuh anggota kami di kota Gamagori dan di hotel tiga hari yang lalu..”
“Yang, di hotel itu, saya ikut membunuhnya tiga orang…” suara Zato Ichi memutus.
Pimpinan Kumagaigumi itu menoleh. Tapi jelas dia tak ingin pahlawan Samurai itu ikut campur. Kalau dia campur tangan, jelas keadaan akan gawat. Karena itu dia lalu berkata:
“Urusan dengan engkau akan kami bereskan kemudian. Kami berurusan dengan orang asing ini…”
Zato Ichi tertawa berguman. Jelas bahwa dia mengetahui akal licik anggota Kumagaigumi ini. Namun demikian, dia tetap duduk dengan tenang.
“Nah, kau ikutlah kami…” suara lelaki berkumis tebal itu berdengung.
Si Bungsu hanya tersenyum tipis.
Pendekar samurai itu menunjukkan pada si Bungsu akar dan kulit kulit kayu yang dipakai untuk meramu. Tentang akar dan kulit kayu itu si Bungsu tak heran.
Dia sudah mengetahui cukup banyak.
Dari melihat batang dan jenis daunnya saja seorang peramu obat yang ahli akan segara dapat mengetahui mana pohon yang bisa jadi obat.
“semua akar, daun dan kulit kayu ini direbus dengan batu Giok ini….” Kata Zato Ichi sambil memperlihatkan tiga macam batu-batuan.Dia sudah mengetahui cukup banyak.
Dari melihat batang dan jenis daunnya saja seorang peramu obat yang ahli akan segara dapat mengetahui mana pohon yang bisa jadi obat.
Si Bungsu jadi heran melihat batu tersebut. Batu Giok adalah semacam batu mar-mar yang indah dari daratan Tiongkok. Dia sebenarnya hanya mirip mar-mar. tapi batu ini banyak dibuat perhiasan oleh orang. Ketiga batu Giok itu berwarna lumut, merah darah dan kuning.
“Ketiga macam batu ini akan mengeluarkan getah bila direbus bersamaan dengan akar dan kulit kayu tadi….” Zato Ichi menjelaskan.
Tapi kedua mereka tiba-tiba sama terdiam. Si Bungsu melihat betapa Zato Ichi mendongakkan kepala. Nampaknya dia tengah mendengarkan sesuatu.
“Ada orang datang…..” kata lelaki Jepang itu perlahan.
“Ya. Dan mereka mengitari rumah ini” jawab si Bungsu perlahan.
Kedua lelaki ini adalah lelaki-lelaki yang memiliki indera yang amat tajam.
Mereka dapat mendengarkan langkah beberapa orang di luar sana. Padahal saat itu angin musim dingin tengah bersuit kencang. Namun diantara suitan angin itu, masih saja telinga mereka dapat membedakan bunyi langkah kaki manusia.
“Berapa orang mereka?” tanya Zato Ichi.
“Lebih dari lima orang….” Kata si Bungsu.
Zato Ichi tersenyum. Lagi-lagi dia mengagumi anak muda ini.
“Inderamu sangat hebat Bungsu-san….” Katanya. Si Bungsu hanya diam.
“Mari kita ke luar, kita sambut kedatangan mereka….” Kata Zato Ichi sambil tertatih-tatih melangkah ke luar rumah.
Dengan memegang samurainya di tangan kiri. Si Bungsu mengikuti langkah Zato Ichi. Dan tiba-tiba mereka berdiri di halaman belakang kuil tua itu. Angin dingin yang bertiup pagi itu menampar-nampar wajah mereka. Dan begitu mereka berdiri di luar, enam lelaki dalam pakaian kimono hitam tegak membuat setengah lingkaran.
“Zato Ichi…!” terdengar bisik-bisik di antara mereka takkala melihat pada lelaki buta itu.
Bisik bisik itu berbaur dengan rasa terkejut.
“Hmmm, sudah lama kuil ini sepi. Apakah tuan-tuan datang untuk bersembahyang…?” terdengar suara Zato Ichi bergema mengatasi suitan angin kencang.
Keenam lelaki yang baru datang itu saling pandang. Salah seorang diantaranya, yang berkumis tebal, yaitu yang tertua diantara mereka, maju dua tindak.
Suara terompa kayunya terdengar berdetak di atas semen di halaman belakang kuil itu.
“Kami dari organisasi Kumagaigumi. Kami datang….”
“Hmm, Kumagaigumi, kelompok biruang gunung yang sejak dahulu hanya mengacau….’
Suara Zato Ichi memutus ucapan lelaki itu.
“Itu urusan kami. Kami tak pernah mencampuri urusan Zato Ichi. Harap jangan ikut campur urusan kami…” lelaki itu membentak.
Terdengar suara tawa Zato Ichi perlahan.
“Bagaimana aku takkan ikut campur, kalau urusan kalian itu justru merampok dan memperkosa wanita-wanita Jepang? Apa tak lebih baik kalian memperkosa ibu kalian sendiri?”
Muka lelaki yang baru datang itu jadi merah padam.
“Zamanmu sudah lewat Zato Ichi. Lebih baik hari-hari tuamu ini kau lewatkan dengan berdoa dalam kuil. Menghindarlah dari sana. Kami ada urusan dengan anak muda jahanam itu…”
Zato Ichi terdiam. Mukanya terangkat. Matanya yang buta seperti menatap langit yang gelap. Kemudian menunduk.
Dan terdengar suaranya perlahan:
Dan terdengar suaranya perlahan:
“Ya, saya harusnya berdoa…selesaikanlah urusan kalian…”
Dan sehabis berkata begitu, perlahan mengetuk-ngetuk lantai semen, mencari jalan ke arah kanan rumah. Tak jauh dari sana, ada sebuah bangku-bangku dari semen.
Dan dengan tenang Zato Ichi duduk di bangku tersebut. Kini di depan rumah itu tegak si Bungsu sendiri menghadapi keenam lelaki anggota Kumagaigumi itu.
Dan dengan tenang Zato Ichi duduk di bangku tersebut. Kini di depan rumah itu tegak si Bungsu sendiri menghadapi keenam lelaki anggota Kumagaigumi itu.
“Nah, anak muda. Kami datang untuk membawamu pergi. Engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Membunuh anggota kami di kota Gamagori dan di hotel tiga hari yang lalu..”
“Yang, di hotel itu, saya ikut membunuhnya tiga orang…” suara Zato Ichi memutus.
Pimpinan Kumagaigumi itu menoleh. Tapi jelas dia tak ingin pahlawan Samurai itu ikut campur. Kalau dia campur tangan, jelas keadaan akan gawat. Karena itu dia lalu berkata:
“Urusan dengan engkau akan kami bereskan kemudian. Kami berurusan dengan orang asing ini…”
Zato Ichi tertawa berguman. Jelas bahwa dia mengetahui akal licik anggota Kumagaigumi ini. Namun demikian, dia tetap duduk dengan tenang.
“Nah, kau ikutlah kami…” suara lelaki berkumis tebal itu berdengung.
Si Bungsu hanya tersenyum tipis.
Di Jepang (bagian 233)
“Bukan salah saya kalau teman-temanmu yang di hotel itu mati. Telah saya katakan saya tak mau persoalan diperlarut-larut. Buat apa kita saling bunuh? Saya sudah bosan dengan pekerjaan membunuhi orang….”
Ucapan si Bungsu ini sbenarnya keluar dari hati yang ikhlas. Dia memang tak lagi berniat jadi tukang jaga.
Dan itu sudah dia buktikan di hotel ketika anggota Kumagaigumi itu datang tiga hari yang lalu.
Dia tak mau melawan mereka. Dan hal itu hampir saja menyebabkan nyawanya melayang. Keempat lelaki yang memasuki kamar hotelnya itu benar-benar tak berperikemanusiaan.
Untunglah di saat yang sangat gawat Zato Ichi datang membantu.
Dan kali inipun, seperti halnya keempat anggota Kumagaigumi di hotel tiga yang lalu, keenam lelaki ini salah duga akan ucapan si Bungsu.
Kalau yang datang ke hotelnya dulu menganggap bahwa anak muda ini takut, maka keenam lelaki ini justru menganggap dengan ucapannya itu si Bungsu tengah menggertak mereka.
Dengan ucapan “Saya sudah bosan jadi tukang bunuh”, mereka menganggap bahwa anak muda ini seakan-akan berkata : “ dengan mudah saya bisa membunuh kalian. Tapi saya sudah bosan…”
Nah, salah duga biasanya mendatangkan malapetaka. Dan itulah yang akan terjadi di kuil ini.
“Jangan menyombong buyung. Apakah kau sangka dengan kemenanganmu melawan anggota Jakuza di Tokyo, kemudian menang lagi melawan anggota kami di Gamagori, lalu terakhir menang lagi melawan pendeta di kuil Shimogamo, engkau menyangka bahwa dirimu sudah hebat?”
“Tidak. Saya tidak bermaksud menyombong. Saya memang tak berniat untuk berkelahi”
“Baik. Kalau begitu engkau harus ikut kami ke markas..”
“Itu juga tak saya inginkan…”
“Heh, berkelahi tak mau. Ikut kami juga tak mau. Lalu apa maumu?”
“Saya tak ingin apa-apa. Lupakan saja peristiwa yang lalu…”
“Itu bukan menginginkan apa-apa buyung. Meminta kami melupakan perbuatanmu di masa lalu sudah merupakan suatu keinginan yang laknat. Lebih baik kau cabut samuraimu, dan lawan kami…”
Zato Ichi terdengar bersiul kecil. Siulnya menyanyikan lagu Musim Dingin. Suara siulnya lembut dan bergetar. Si Bungsu tersenyum. Tersenyum mendengar tantangan itu dan tersenyum mendengar siul Zato Ichi.
Dan senyumannya membuat hati pimpinan Kumagaigumi ini jadi berang. Dia memberi isyarat pada tiga anak buahnya. Ketiga orang itu segera maju dengan menghunus samurai mereka.
Mereka mengatur posisi.
Siul Zato Ichi makin jelas terdengar dalam suitan angin musim dingin di luar Kyoto itu. Dan tiba-tiba salah seorang menggebrak maju membabat perut si Bungsu. yang dua lagi dengan cepat menghantam kepala dan kakinya.
Serangan itu demikian cepatnya. Namun si Bungsu tak mencabut samurainya.
Dia mengelakkan ketiga serangan itu dengan memiringkan tubuh, membungkuk dan mengangkat kaki kanan yang dibabat samurai!
Lalu melangkah ke depan dua langkah.
Ketiga serangan itu lewat tanpa mengenai sasaran. Siul Zato Ichi masih terdengar. Mendayu dan kadang-kadang terhenti pada puncak nada yang tinggi. Tiga serangan lagi menggebu ke arahnya.
Si Bungsu mempergunakan sarung samurainya untuk menangkis serangan itu. Dia sengaja tak mencabut samurai dari sarungnya. Dan sarung samurai yang terbuat dari kayu keras itu dia pergunakan sedemikian rupa hingga ketika membentur samurai lawan jadi mencong arah serangannya.
Dua kali serangan seorang. Berarti si Bungsu sudah menggagalkan enam jurus serangan ketiga lawannya tanpa menjatuhkan korban. Ketiga orang itu saling pandang. Demikian juga tiga temannya yang belum turun tangan ikut kaget melihat kehebatan anak muda ini.
Kemudian seperti dikomandokan, mungkin karena ingin cepat menyelesaikan perhitungan ini, keenam mereka tiba-tiba maju serentak.
Enam samurai dari penjahat-penjahat Kumagaigumi yang terkenal, menggebu-gebu ke tubuh si Bungsu. keenam mata samurai itu menyeranga enam tempat yang berbahaya ditubuhnya.
Sebenarnya, bagi mata samurai, bahagian manapun di tubuh manusia tetap saja merupakan bahagian yang berbahaya. Karena meskipun mengenai tempat yang tak mematikan, mengenai kaki atau tangan misalnya, tapi serangan itu bisa membuat orang lumpuh seketika. Bayangkan saja kalau tangan atau kaki putus.
Maka kini, nasib itulah yang sedang di hadapi si Bungsu. namun kali ini dia tak mau anggap enteng. Bermain samurai baginya kahir-akhir ini memang bukan merupakan suatu “kerja” yang mendatangan rasa susah.
“Bukan salah saya kalau teman-temanmu yang di hotel itu mati. Telah saya katakan saya tak mau persoalan diperlarut-larut. Buat apa kita saling bunuh? Saya sudah bosan dengan pekerjaan membunuhi orang….”
Ucapan si Bungsu ini sbenarnya keluar dari hati yang ikhlas. Dia memang tak lagi berniat jadi tukang jaga.
Dan itu sudah dia buktikan di hotel ketika anggota Kumagaigumi itu datang tiga hari yang lalu.
Dia tak mau melawan mereka. Dan hal itu hampir saja menyebabkan nyawanya melayang. Keempat lelaki yang memasuki kamar hotelnya itu benar-benar tak berperikemanusiaan.
Untunglah di saat yang sangat gawat Zato Ichi datang membantu.
Dan itu sudah dia buktikan di hotel ketika anggota Kumagaigumi itu datang tiga hari yang lalu.
Dia tak mau melawan mereka. Dan hal itu hampir saja menyebabkan nyawanya melayang. Keempat lelaki yang memasuki kamar hotelnya itu benar-benar tak berperikemanusiaan.
Untunglah di saat yang sangat gawat Zato Ichi datang membantu.
Dan kali inipun, seperti halnya keempat anggota Kumagaigumi di hotel tiga yang lalu, keenam lelaki ini salah duga akan ucapan si Bungsu.
Kalau yang datang ke hotelnya dulu menganggap bahwa anak muda ini takut, maka keenam lelaki ini justru menganggap dengan ucapannya itu si Bungsu tengah menggertak mereka.
Dengan ucapan “Saya sudah bosan jadi tukang bunuh”, mereka menganggap bahwa anak muda ini seakan-akan berkata : “ dengan mudah saya bisa membunuh kalian. Tapi saya sudah bosan…”
Nah, salah duga biasanya mendatangkan malapetaka. Dan itulah yang akan terjadi di kuil ini.
“Jangan menyombong buyung. Apakah kau sangka dengan kemenanganmu melawan anggota Jakuza di Tokyo, kemudian menang lagi melawan anggota kami di Gamagori, lalu terakhir menang lagi melawan pendeta di kuil Shimogamo, engkau menyangka bahwa dirimu sudah hebat?”
“Tidak. Saya tidak bermaksud menyombong. Saya memang tak berniat untuk berkelahi”
“Baik. Kalau begitu engkau harus ikut kami ke markas..”
“Itu juga tak saya inginkan…”
“Heh, berkelahi tak mau. Ikut kami juga tak mau. Lalu apa maumu?”
“Saya tak ingin apa-apa. Lupakan saja peristiwa yang lalu…”
“Itu bukan menginginkan apa-apa buyung. Meminta kami melupakan perbuatanmu di masa lalu sudah merupakan suatu keinginan yang laknat. Lebih baik kau cabut samuraimu, dan lawan kami…”
Zato Ichi terdengar bersiul kecil. Siulnya menyanyikan lagu Musim Dingin. Suara siulnya lembut dan bergetar. Si Bungsu tersenyum. Tersenyum mendengar tantangan itu dan tersenyum mendengar siul Zato Ichi.
Dan senyumannya membuat hati pimpinan Kumagaigumi ini jadi berang. Dia memberi isyarat pada tiga anak buahnya. Ketiga orang itu segera maju dengan menghunus samurai mereka.
Mereka mengatur posisi.
Dan senyumannya membuat hati pimpinan Kumagaigumi ini jadi berang. Dia memberi isyarat pada tiga anak buahnya. Ketiga orang itu segera maju dengan menghunus samurai mereka.
Mereka mengatur posisi.
Siul Zato Ichi makin jelas terdengar dalam suitan angin musim dingin di luar Kyoto itu. Dan tiba-tiba salah seorang menggebrak maju membabat perut si Bungsu. yang dua lagi dengan cepat menghantam kepala dan kakinya.
Serangan itu demikian cepatnya. Namun si Bungsu tak mencabut samurainya.
Dia mengelakkan ketiga serangan itu dengan memiringkan tubuh, membungkuk dan mengangkat kaki kanan yang dibabat samurai!
Dia mengelakkan ketiga serangan itu dengan memiringkan tubuh, membungkuk dan mengangkat kaki kanan yang dibabat samurai!
Lalu melangkah ke depan dua langkah.
Ketiga serangan itu lewat tanpa mengenai sasaran. Siul Zato Ichi masih terdengar. Mendayu dan kadang-kadang terhenti pada puncak nada yang tinggi. Tiga serangan lagi menggebu ke arahnya.
Ketiga serangan itu lewat tanpa mengenai sasaran. Siul Zato Ichi masih terdengar. Mendayu dan kadang-kadang terhenti pada puncak nada yang tinggi. Tiga serangan lagi menggebu ke arahnya.
Si Bungsu mempergunakan sarung samurainya untuk menangkis serangan itu. Dia sengaja tak mencabut samurai dari sarungnya. Dan sarung samurai yang terbuat dari kayu keras itu dia pergunakan sedemikian rupa hingga ketika membentur samurai lawan jadi mencong arah serangannya.
Dua kali serangan seorang. Berarti si Bungsu sudah menggagalkan enam jurus serangan ketiga lawannya tanpa menjatuhkan korban. Ketiga orang itu saling pandang. Demikian juga tiga temannya yang belum turun tangan ikut kaget melihat kehebatan anak muda ini.
Kemudian seperti dikomandokan, mungkin karena ingin cepat menyelesaikan perhitungan ini, keenam mereka tiba-tiba maju serentak.
Enam samurai dari penjahat-penjahat Kumagaigumi yang terkenal, menggebu-gebu ke tubuh si Bungsu. keenam mata samurai itu menyeranga enam tempat yang berbahaya ditubuhnya.
Sebenarnya, bagi mata samurai, bahagian manapun di tubuh manusia tetap saja merupakan bahagian yang berbahaya. Karena meskipun mengenai tempat yang tak mematikan, mengenai kaki atau tangan misalnya, tapi serangan itu bisa membuat orang lumpuh seketika. Bayangkan saja kalau tangan atau kaki putus.
Maka kini, nasib itulah yang sedang di hadapi si Bungsu. namun kali ini dia tak mau anggap enteng. Bermain samurai baginya kahir-akhir ini memang bukan merupakan suatu “kerja” yang mendatangan rasa susah.
Di Jepang (bagian 234)
Gerak tangannya mempergunakan samurai itu hampir-hampir merupakan gerak yang tak diperhitungkan. Merupakan sesuatu kewajaran yang mutlak dan sangat berperhitungan.
Begitu gebrakan keenam samurai itu menderu mengurung dirinya, tangan kanannya bergerak pula. Samurai tercabut tak sampai sekerdipan mata. Dan saat berikutnya, suara beradunya baja terdengar mengoyak suitan angin dingin. Beberapa bunga api memercik dari pertemuan samurai itu.
Kemudian terdengar seruan-seruan tertahan dan rasa kaget. Keenam anggota Kumagaigumi itu tersurut setindak begitu samurai mereka dihantam samurai anak muda itu.
Tangan mereka terasa sakit dan tergetar hebat takkala samurai mereka beradu tadi. Hampir saja samurai di tangan mereka berpentalan ke udara kalau mereka tak cepat-cepat mundur.
Dan kini si Bungsu tegak dengan diam dan dengan samurai tersisip kembali dalam sarangnya!
“Sudahlah, kita akhiri saja pertikaian ini….” Dia ingin berkata demikian.
Namun ucapannya belum sempat keluar takkala keenam lelaki itu dengan didahului sebuah pekik Banzai menggebrak lagi maju!
Enam samurai kembali bersuitan dengan kecepatan luar biasa. Namun saat berikutnya hanya pekik kaget dan sakit yang terdengar. Keenam samurai di tangan anggota Kumagaigumi itu mental ke udara. Tercampak jauh dan menimbulkan bunyi yang berisik ketika menimpa lantai batu di halaman belakang kuil tua itu.
Dan keenam lelaki itu merasakan betapa tangan atau rusuk mereka jadi pedih dan mengalirkan darah! Siul Zato Ichi terhenti seketika. Kepalanya tertegak.
Si Bungsu masih tetap tegak. Dan kali ini perlahan dia menyarungkan kembali samurainya. Dan keenam lelaki itu, termasuk Zato Ichi, segera sadar sepenuhnya, bahwa anak muda ini benar-benar telah bermurah hati mengampuni nyawa mereka. Kalau saja dia mau, maka dengan mudah dia bisa menghabisi mereka semua.
Tapi buktinya tak seorangpun di antara mereka berenam yang luka parah. Luka di tangan dan rusuk mereka saat ini hanyalah semacam “pemberitahuan”.
“Saya tak suka kekerasan. Saya berharap pertikaian kita selesai disini. Dan saya maafkan kalian. Namun saya peringatkan, setelah kejadian ini jika masih ada anggota Kumagaigumi yang menghadang jalan yang saya tempuh, maka saya akan membunuhnya disaat pertama?”
Suara anak muda ini terdengar amat dingin. Mengatasi udara dingin di musim dingin saat itu. Dan tak seorangpun di antara mereka yang hadir disana, termasuk Zato Ichi yang menganggap bahwa anak muda ini hanya tukang bual dengan ucapannya barusan.
Semua mereka yakin, bahwa anak muda itu akan mampu membuktikan ucapannya itu. Bukan hanya sekefar gertak sambal!
Dengan didahului oleh pimpinannya yang bertubuh kekar berkumis lebat, keenam anggota Beruang Gunung itu segera angkat kaki tanpa memungut samurai mereka yang bertebaran di halaman kuil itu.
“Ck…ck…ck! Benar-benar ilmu samurai yang luar biasa…”
Si Bungsu menoleh dan melihat Zato Ichi masih duduk di kursi batu enam depa dari tempatnya tegak.
Zato Ichio bukan hanya sekedar memuji. Dia sengaja tak ikut membantu anak muda itu karena ingin “melihat” bagaimana caranya orang asing ini mempergunakan samurai.
Dia “melihat” dengan indera pendengarannya yang tajam luar biasa itu. Ya, meski matanya buta, Zato Ichi bisa “melihat” dengan jelas melalui indera pendengaran, penciuman dan tangannya.
Dari bau yang tercium oleh hidungnya dia segera mengetahui ada manusia, hewan atau benda lain yang tak bergerak disekitarnya. Kegelapan merupakan kawan utamanya sepanjang hidup. Bayangkan hidup tanpa mata. Itulah yang selalu dilawan oleh Zato Ichi.
Dan perkelahian si Bungsu dengan keenam anggota Kumagaigumi itu dengan jelas bisa dia “saksikan”. Dia tahu dengan pasti, betapa samurai anak muda itu menghantam samurai-samurai anggota Kumagaigumi itu.
Dia tahu pula dengan pasti, bahwa anak muda itu menghantam samurai keenam lelaki itu dengan punggung samurainya. Pukulan dengan punggung samurai itu sangat keras. Dan itulah sebabnya keenamnya terpental.
Kekuatan yang dikombinasikan dengan perhitungan dan tekhnik yang hampir-hampir sempurna.
“Nampaknya engkau memiliki banyak musuh anak muda. Setiap orang di negeri ini menghendaki nayawamu…” suara Zato Ichi kembali bergema.
Si Bungsu menarik nafas panjang.
Seperti sebuah keluhan yang dalam. Ya, setiap orang seperti menghendaki nyawanya. Termasuk Michiko!!
“Apakah mereka akan datang lagi?” si Bungsu bertanya perlahan.
“Barangkali.
Tapi meskipun mereka tak datang kemari, mereka akan tetap menghadang jalanmu..”
“Bila itu terjadi, maka aku akan membuktikan kata-kataku tadi..”
Gerak tangannya mempergunakan samurai itu hampir-hampir merupakan gerak yang tak diperhitungkan. Merupakan sesuatu kewajaran yang mutlak dan sangat berperhitungan.
Begitu gebrakan keenam samurai itu menderu mengurung dirinya, tangan kanannya bergerak pula. Samurai tercabut tak sampai sekerdipan mata. Dan saat berikutnya, suara beradunya baja terdengar mengoyak suitan angin dingin. Beberapa bunga api memercik dari pertemuan samurai itu.
Kemudian terdengar seruan-seruan tertahan dan rasa kaget. Keenam anggota Kumagaigumi itu tersurut setindak begitu samurai mereka dihantam samurai anak muda itu.
Tangan mereka terasa sakit dan tergetar hebat takkala samurai mereka beradu tadi. Hampir saja samurai di tangan mereka berpentalan ke udara kalau mereka tak cepat-cepat mundur.
Dan kini si Bungsu tegak dengan diam dan dengan samurai tersisip kembali dalam sarangnya!
“Sudahlah, kita akhiri saja pertikaian ini….” Dia ingin berkata demikian.
Namun ucapannya belum sempat keluar takkala keenam lelaki itu dengan didahului sebuah pekik Banzai menggebrak lagi maju!
Enam samurai kembali bersuitan dengan kecepatan luar biasa. Namun saat berikutnya hanya pekik kaget dan sakit yang terdengar. Keenam samurai di tangan anggota Kumagaigumi itu mental ke udara. Tercampak jauh dan menimbulkan bunyi yang berisik ketika menimpa lantai batu di halaman belakang kuil tua itu.
Dan keenam lelaki itu merasakan betapa tangan atau rusuk mereka jadi pedih dan mengalirkan darah! Siul Zato Ichi terhenti seketika. Kepalanya tertegak.
Si Bungsu masih tetap tegak. Dan kali ini perlahan dia menyarungkan kembali samurainya. Dan keenam lelaki itu, termasuk Zato Ichi, segera sadar sepenuhnya, bahwa anak muda ini benar-benar telah bermurah hati mengampuni nyawa mereka. Kalau saja dia mau, maka dengan mudah dia bisa menghabisi mereka semua.
Tapi buktinya tak seorangpun di antara mereka berenam yang luka parah. Luka di tangan dan rusuk mereka saat ini hanyalah semacam “pemberitahuan”.
“Saya tak suka kekerasan. Saya berharap pertikaian kita selesai disini. Dan saya maafkan kalian. Namun saya peringatkan, setelah kejadian ini jika masih ada anggota Kumagaigumi yang menghadang jalan yang saya tempuh, maka saya akan membunuhnya disaat pertama?”
Suara anak muda ini terdengar amat dingin. Mengatasi udara dingin di musim dingin saat itu. Dan tak seorangpun di antara mereka yang hadir disana, termasuk Zato Ichi yang menganggap bahwa anak muda ini hanya tukang bual dengan ucapannya barusan.
Semua mereka yakin, bahwa anak muda itu akan mampu membuktikan ucapannya itu. Bukan hanya sekefar gertak sambal!
Dengan didahului oleh pimpinannya yang bertubuh kekar berkumis lebat, keenam anggota Beruang Gunung itu segera angkat kaki tanpa memungut samurai mereka yang bertebaran di halaman kuil itu.
“Ck…ck…ck! Benar-benar ilmu samurai yang luar biasa…”
Si Bungsu menoleh dan melihat Zato Ichi masih duduk di kursi batu enam depa dari tempatnya tegak.
Zato Ichio bukan hanya sekedar memuji. Dia sengaja tak ikut membantu anak muda itu karena ingin “melihat” bagaimana caranya orang asing ini mempergunakan samurai.
Dia “melihat” dengan indera pendengarannya yang tajam luar biasa itu. Ya, meski matanya buta, Zato Ichi bisa “melihat” dengan jelas melalui indera pendengaran, penciuman dan tangannya.
Dari bau yang tercium oleh hidungnya dia segera mengetahui ada manusia, hewan atau benda lain yang tak bergerak disekitarnya. Kegelapan merupakan kawan utamanya sepanjang hidup. Bayangkan hidup tanpa mata. Itulah yang selalu dilawan oleh Zato Ichi.
Dan perkelahian si Bungsu dengan keenam anggota Kumagaigumi itu dengan jelas bisa dia “saksikan”. Dia tahu dengan pasti, betapa samurai anak muda itu menghantam samurai-samurai anggota Kumagaigumi itu.
Dia tahu pula dengan pasti, bahwa anak muda itu menghantam samurai keenam lelaki itu dengan punggung samurainya. Pukulan dengan punggung samurai itu sangat keras. Dan itulah sebabnya keenamnya terpental.
Kekuatan yang dikombinasikan dengan perhitungan dan tekhnik yang hampir-hampir sempurna.
“Nampaknya engkau memiliki banyak musuh anak muda. Setiap orang di negeri ini menghendaki nayawamu…” suara Zato Ichi kembali bergema.Kekuatan yang dikombinasikan dengan perhitungan dan tekhnik yang hampir-hampir sempurna.
Si Bungsu menarik nafas panjang.
Seperti sebuah keluhan yang dalam. Ya, setiap orang seperti menghendaki nyawanya. Termasuk Michiko!!
“Apakah mereka akan datang lagi?” si Bungsu bertanya perlahan.
“Barangkali.
Tapi meskipun mereka tak datang kemari, mereka akan tetap menghadang jalanmu..”
“Bila itu terjadi, maka aku akan membuktikan kata-kataku tadi..”
Di Jepang (bagian 235)
“Ya. Engkau harus. Sebab mereka memang menghendaki nyawamu. Barangkali engkau ingin tetap mengalah. Tapi sampai bila engkau mampu bertahan? Suatu saat, engkau akan sampai pada titik, dimana engkau harus memilih antara membunuh atau dibunuh”
Si Bungsu termenung.
“Apa yang kau alami hari ini dan hari-hari mendatang, persis seperti yang kualami di zaman yang lalu Bungsu-san. Engkau memiliki sesuatu yang tak dimiliki orang lain.
Engkau mempunyai kelebihan, dan orang jadi iri. Orang berusaha menjatuhkanmu. Engkau seorang yang tangguh, dan orang jadi ingin menguji sampai dimana ketangguhanmu.
Menjatuhkan dirimu merupakan kebanggan bagi orang yang iri atau musuhmu. Sebab dengan bangga mereka bisa berkata: aku telah menjatuhkan dan menghancurkan jagoan itu. Maka jalan yang akan kau tempuh, akan selalu berkuah darah”
Si Bungsu termenung.
“Negeri ini memang jauh berbeda kini Bungsu-san. Kini banyak mobil. Banyak listrik dan modernisasi. Tapi satu hal yang tak berobah. Yaitu kekerasan watak penduduknya. Di zaman saya dahulu, saya harus menjaga leher saya untuk tidak ditebas orang. Padahal yang saya perbuat tak lebih dari sekedar membela orang yang teraniaya. Menolong orang yang tertindas dari kesewenang-wenangan penguasa dan orang kaya. Saya memang tak mengharapkan balasan. Tapi musuh saya jadi terlalu banyak. Orang-orang miskinpun ikut memburu dan menghendaki nyawa saya…’
Si Bungsu jadi kaget.
“Ya. Merekapun ikut memburu saya. Karena penguasa dan orang kaya yang pernah saya gagalkan niat jahatnya, membayar mereka untuk itu. Maka uang segera saja mengalahkan hati nurani manusia. Namun mustahil saya bisa mengalah terus menerus.
Ada kalanya saya terpaksa menurunkan tangan kejam. Beberapa orang, atau tepatnya sekian ratus orang, ya Tuhan saya tak ingat lagi berapa jumlah yang pasti, telah saya bunuh. Ya, itulah yang terpaksa saya lakukan.
Sampai akhirnya saya memutuskan untuk membuang samurai saya.
Tapi itu berarti bunuh diri. Saya menghindar ke hutan. Dapat kau bayangkan Bungsu-san? Kita harus menghindarkan diri ke rimba hanya untuk tidak membunuh manusia.
Peradaban ternyata lebih tinggi di rimba raya daripada di kota yang dihuni manusia. Di sana, dibelantara itu saya menemukan kedamaian. Tak ada dengki dan khianat. Tak ada penindasan. Dan sejak itulah saya dianggap lenyap dari bumi Jepang…”
Keadaan jadi sunyi. Hanya suitan angin dingin yang terdengar. Si Bungsu terdiam, karena dalam ucapannya tadi dia menangkap nada yang luka dihati Zato Ichi.
Dia tak menyangka, bahwa seorang pahlawan rakyat Jepang, yang namanya menjadi legenda yang amat dicintai orang, ternyata memendam duka hidup yang alangkah pedihnya.
“Lalu, kenapa kini Ichi-san mencul ke kota?”
“Ada suatu tugas yang harus saya lakukan…”
“Kenapa hari itu justru muncul di kamar saya dan persis ketika nyawa saya terancam?” Zato Ichi tak menyahut. Dia menunduk.
“Saya sangat bersyukur dan berhutang budi pada Ichi-san. Kalau Ichi-san tak datang saat itu, saya pasti sudah mati…”
Zato Ichi menarik nafas panjang dan berat.
“Kehadiran saya itu, termasuk bahagian dari tugas saya…” suaranya terdengar perlahan.
“Tentulah tugas besar. Dan saya akan sangat gembira kalau bisa membantu Ichi-san…”
“Tak seorangpun yang dapat membantu saya Bungsu-san…”
“Tugas apa itu yang tak mungkin dibantu?”
“Saya sendiri tak yakin, apakah saya bisa melaksanakannya…” suara Zato Ichi terdengar getir.
“Kalau boleh saya tahu, apakah tugas itu?”
“Membunuh seseorang..”
“Membunuh seseorang?”
“Ya…”
Si Bungsu menatap tak mengerti pada Zato Ichi. Padahal baru sebentar ini pahlawan itu berkata, bahwa dia terpaksa harus lari menyembunyikan diri ke rimba untuk menghindar dari orang-orang bayaran yang diupah untuk membunuhnya.
Tapi justru hanya beberapa detik setelah itu Zato Ichi sendiri mengakui bahwa dia “disuruh” seseorang untuk membunuh seseorang. Atau tugasnya, disuruh untuk membunuh orang lain. Sesuatu yang menurut ceritanya sangat dia benci.
Dan Zato Ichi nampaknya mengerti apa yang tengah dipikirkan si Bungsu.
“Saya tidak dibayar Bungsu-san. Tak ada yang bisa membayar samurai saya. Samurai saya tak pernah berlumur darah orang-orang yang tak berdosa…”
“Tapi, kenapa kali ini Ichi-san mau disuruh membunuh? Siapa yang menyuruh, dan siapa yang harus Ichi-san bunuh…”
“Saya diminta membunuh seseorang. Dan saya tak mungkin menolak. Sebab jika saya menolak, maka saya akan dianggap tidak membalas budi. Saya tak mau dianggap tak berbudi. Karena saya menjunjung budi pekerti ….”
“Ya. Engkau harus. Sebab mereka memang menghendaki nyawamu. Barangkali engkau ingin tetap mengalah. Tapi sampai bila engkau mampu bertahan? Suatu saat, engkau akan sampai pada titik, dimana engkau harus memilih antara membunuh atau dibunuh”
Si Bungsu termenung.“Apa yang kau alami hari ini dan hari-hari mendatang, persis seperti yang kualami di zaman yang lalu Bungsu-san. Engkau memiliki sesuatu yang tak dimiliki orang lain.
Engkau mempunyai kelebihan, dan orang jadi iri. Orang berusaha menjatuhkanmu. Engkau seorang yang tangguh, dan orang jadi ingin menguji sampai dimana ketangguhanmu.
Menjatuhkan dirimu merupakan kebanggan bagi orang yang iri atau musuhmu. Sebab dengan bangga mereka bisa berkata: aku telah menjatuhkan dan menghancurkan jagoan itu. Maka jalan yang akan kau tempuh, akan selalu berkuah darah”
Si Bungsu termenung.
“Negeri ini memang jauh berbeda kini Bungsu-san. Kini banyak mobil. Banyak listrik dan modernisasi. Tapi satu hal yang tak berobah. Yaitu kekerasan watak penduduknya. Di zaman saya dahulu, saya harus menjaga leher saya untuk tidak ditebas orang. Padahal yang saya perbuat tak lebih dari sekedar membela orang yang teraniaya. Menolong orang yang tertindas dari kesewenang-wenangan penguasa dan orang kaya. Saya memang tak mengharapkan balasan. Tapi musuh saya jadi terlalu banyak. Orang-orang miskinpun ikut memburu dan menghendaki nyawa saya…’
Si Bungsu jadi kaget.
“Ya. Merekapun ikut memburu saya. Karena penguasa dan orang kaya yang pernah saya gagalkan niat jahatnya, membayar mereka untuk itu. Maka uang segera saja mengalahkan hati nurani manusia. Namun mustahil saya bisa mengalah terus menerus.
Ada kalanya saya terpaksa menurunkan tangan kejam. Beberapa orang, atau tepatnya sekian ratus orang, ya Tuhan saya tak ingat lagi berapa jumlah yang pasti, telah saya bunuh. Ya, itulah yang terpaksa saya lakukan.
Sampai akhirnya saya memutuskan untuk membuang samurai saya.
Ada kalanya saya terpaksa menurunkan tangan kejam. Beberapa orang, atau tepatnya sekian ratus orang, ya Tuhan saya tak ingat lagi berapa jumlah yang pasti, telah saya bunuh. Ya, itulah yang terpaksa saya lakukan.
Sampai akhirnya saya memutuskan untuk membuang samurai saya.
Tapi itu berarti bunuh diri. Saya menghindar ke hutan. Dapat kau bayangkan Bungsu-san? Kita harus menghindarkan diri ke rimba hanya untuk tidak membunuh manusia.
Peradaban ternyata lebih tinggi di rimba raya daripada di kota yang dihuni manusia. Di sana, dibelantara itu saya menemukan kedamaian. Tak ada dengki dan khianat. Tak ada penindasan. Dan sejak itulah saya dianggap lenyap dari bumi Jepang…”
Keadaan jadi sunyi. Hanya suitan angin dingin yang terdengar. Si Bungsu terdiam, karena dalam ucapannya tadi dia menangkap nada yang luka dihati Zato Ichi.
Dia tak menyangka, bahwa seorang pahlawan rakyat Jepang, yang namanya menjadi legenda yang amat dicintai orang, ternyata memendam duka hidup yang alangkah pedihnya.
“Lalu, kenapa kini Ichi-san mencul ke kota?”
“Ada suatu tugas yang harus saya lakukan…”
“Kenapa hari itu justru muncul di kamar saya dan persis ketika nyawa saya terancam?” Zato Ichi tak menyahut. Dia menunduk.
“Saya sangat bersyukur dan berhutang budi pada Ichi-san. Kalau Ichi-san tak datang saat itu, saya pasti sudah mati…”
Zato Ichi menarik nafas panjang dan berat.“Kehadiran saya itu, termasuk bahagian dari tugas saya…” suaranya terdengar perlahan.
“Tentulah tugas besar. Dan saya akan sangat gembira kalau bisa membantu Ichi-san…”
“Tak seorangpun yang dapat membantu saya Bungsu-san…”
“Tugas apa itu yang tak mungkin dibantu?”
“Saya sendiri tak yakin, apakah saya bisa melaksanakannya…” suara Zato Ichi terdengar getir.
“Kalau boleh saya tahu, apakah tugas itu?”
“Membunuh seseorang..”
“Membunuh seseorang?”
“Ya…”
Si Bungsu menatap tak mengerti pada Zato Ichi. Padahal baru sebentar ini pahlawan itu berkata, bahwa dia terpaksa harus lari menyembunyikan diri ke rimba untuk menghindar dari orang-orang bayaran yang diupah untuk membunuhnya.
Tapi justru hanya beberapa detik setelah itu Zato Ichi sendiri mengakui bahwa dia “disuruh” seseorang untuk membunuh seseorang. Atau tugasnya, disuruh untuk membunuh orang lain. Sesuatu yang menurut ceritanya sangat dia benci.
Dan Zato Ichi nampaknya mengerti apa yang tengah dipikirkan si Bungsu.
“Saya tidak dibayar Bungsu-san. Tak ada yang bisa membayar samurai saya. Samurai saya tak pernah berlumur darah orang-orang yang tak berdosa…”
“Tapi, kenapa kali ini Ichi-san mau disuruh membunuh? Siapa yang menyuruh, dan siapa yang harus Ichi-san bunuh…”
“Saya diminta membunuh seseorang. Dan saya tak mungkin menolak. Sebab jika saya menolak, maka saya akan dianggap tidak membalas budi. Saya tak mau dianggap tak berbudi. Karena saya menjunjung budi pekerti ….”
Di Jepang (bagian 236)
“Saya tak mengerti apa yang Ichi-san maksudkan..’
“Ya, saya sendiri juga sulit memikirkannya Bungsu-san….hampir dua puluh tahun yang lalu, saya dalam perjalanan melarikan diri dari kejaran penjahat-penjahat di daerah Tanjung Noto.
Saya menyangka nyawa saya takkan tertolong lagi. Saya dalam keadaan sekarat karena luka yang saya perdapat dari tembakan bedil dua orang penjahat. Waktu itulah seseorang menyelamatkan saya…. Dapat Bungsu-san mengerti betapa saya berhutang budi padanya?”
Si Bungsu mengangguk. Betapa tidak, cerita itu mirip dirinya, dia telah diselamatkan dalam keadaan luka parah, diambang maut, oleh Zato Ichi.
Kalau kelak Zato Ichi meminta dia melakukan sesuatu, maka dia pasti tak pula bisa menolak.
“Ya, saya dapat mengerti sekarang…” kata si Bungsu.
Zato Ichi tetap diam. Masih tetap duduk di bangku batunya. Sementara si Bungsu juga duduk di kursi batua dua depa dihadapannya.
“Dia yang menugaskan Ichi-san membunuh seseorang itu?”
“Tidak. Dia sudah mati. Yang menugaskan saya adalah adiknya….adiknya mencari saya dan menceritakan kematian abangnya. Dan meminta saya mencari pembunuh abangnya itu untuk membalaskan dendam. Yaitu membunuh pembunuh abangnya yang telah membantu saya dahulu…”
“Ya. Saya mengerti sekarang. Ichi-san harus melakukannya. Dan kenapa pula saya tak bisa membantu Ichi-san? Bukankah kita bisa pergi bersama mencari orang itu, dan bersama pula membunuhnya?”
Zato Ichi manarik nafas panjang. Dan si Bungsu dapat melihat, betapa dalam diri pahlawan Jepang itu berperang rasa yang sulit untuk diduga. Si Bungsu mengerti. Dalam hidupnya, seperti yang dikatakannya tadi. Zato Ichi tak pernah melumuri samurainya dengan nyawa orang yang tak bersalah. Kalau Zato Ichi tentu merasa berat untuk melakukan pembunuhan itu. Dan si Bungsu merasa kinilah saatnya dia membantu Zato Ichi. Yang penting bagi Zato Ichi tentulah orang yang dia cari itu mati. Tak perduli melalui tangan siapapun. Kalau Zato Ichi keberatan bukankah dia dapat menggantikan tugas ini?
Dia akan kembali ke Indonesia tak lama lagi. Apa salahnya sebelum pergi, sebagai tanda terimaksih, dia menolong Zato Ichi membunuh lawannya?
“Saya dapat membantumu Ichi-san. Tunjukkan siapa orangnya, dan Ichi-san tak perlu melumuri tangan Ichi-san dengan dosa, biar saya yang melakukannya…”
Si Bungsu terhenti takkala dia melihat airmata Zato Ichi mengalir dipipi.
“Tak apa-apa Ichi-san. Saya dengan rela menggantikan tugas Ichi-san. Saya dapat mengerti perasaan Ichi-san. Ini adalah negeri Ichi-san. Ichi-san sudah lama meninggalkan dunia bunuh membunuh ini. Dan Ichi-san akan tetap disini. Sementara saya, setelah tugas itu selesai, akan kembali ke negri saya. Dan orang akan melupakan peristiwa itu…”
Zato Ichi tak menyahut. Dia tetap tenang dan duduk memegang samurainya.
“Kalau Ichi-san tak keberatan, tunjukkan saja pada saya siapa orang yang harus dibunuh itu…”
“Dia orang asing…”
Si Bungsu tertegun. Orang asing! Pastilah tentara Amerika. Ya, siapa lagi yang mebuat kekacauan di negeri ini selama lima-enam tahun ini kalau tidak tentara pendudukan.
Tentara Amerika itu pastilah telah membunuh orang yang pernah menolong Zato Ichi. Dan kini Zato Ichi harus membunuhnya. Patutlah Zato Ichi merasa tak enak hati untuk melakukan tugas itu.
“Tentara Amerika?” tanya si Bungsu.
Zato Ichi menggelang.
“Siapa?”
“Engkau Bungsu-san…!”
Suara Zato Ichi terdengar getir tapi pasti! Si Bungsu tertegun. Dia hampir tak percaya pada pendengarannya. Zato Ichi menarik nafas panjang. Dan suaranya terdengar perlahan:
“Ya, engkaulah orangnya yang harus saya cari dan harus saya bunuh Bungsu-san…”
Si Bungsu masih tetap tak berbicara. Tak kuasa bicara. Kalau benar dia yang harus dibunuh lelaki ini, kenapa dia menolongnya dari ancaman maut di hotel dulu? Kenapa dia juga mengobati lukanya?
Ada hal-hal yang tak masuk akal!
“Saya tak berdusta Bungsu-san. Lelaki yang menolong saya dua puluh tahun yang lalu itu adalah Saburo Matsuyama…”
Kalau ada petir yang menyambar, mungkin si Bungsu takkan seterkejut ini.
“Ya. Dialah yang menolong nyawa saya Bungsu-san. Waktu itu dia belum memasuki dinas ketentaraan. Setahun setelah peristiwa itu dia baru jadi tentara kekaisaran Tenno Heika.
Dan beberapa hari yang lalu, saya dengar dia meninggal di kuilnya Shimaogamo. Saya ada di sana ketika upacara penguburan itu.
“Saya tak mengerti apa yang Ichi-san maksudkan..’
“Ya, saya sendiri juga sulit memikirkannya Bungsu-san….hampir dua puluh tahun yang lalu, saya dalam perjalanan melarikan diri dari kejaran penjahat-penjahat di daerah Tanjung Noto.
Saya menyangka nyawa saya takkan tertolong lagi. Saya dalam keadaan sekarat karena luka yang saya perdapat dari tembakan bedil dua orang penjahat. Waktu itulah seseorang menyelamatkan saya…. Dapat Bungsu-san mengerti betapa saya berhutang budi padanya?”
Si Bungsu mengangguk. Betapa tidak, cerita itu mirip dirinya, dia telah diselamatkan dalam keadaan luka parah, diambang maut, oleh Zato Ichi.
Kalau kelak Zato Ichi meminta dia melakukan sesuatu, maka dia pasti tak pula bisa menolak.
“Ya, saya dapat mengerti sekarang…” kata si Bungsu.
Zato Ichi tetap diam. Masih tetap duduk di bangku batunya. Sementara si Bungsu juga duduk di kursi batua dua depa dihadapannya.
“Dia yang menugaskan Ichi-san membunuh seseorang itu?”
“Tidak. Dia sudah mati. Yang menugaskan saya adalah adiknya….adiknya mencari saya dan menceritakan kematian abangnya. Dan meminta saya mencari pembunuh abangnya itu untuk membalaskan dendam. Yaitu membunuh pembunuh abangnya yang telah membantu saya dahulu…”
“Ya. Saya mengerti sekarang. Ichi-san harus melakukannya. Dan kenapa pula saya tak bisa membantu Ichi-san? Bukankah kita bisa pergi bersama mencari orang itu, dan bersama pula membunuhnya?”
Zato Ichi manarik nafas panjang. Dan si Bungsu dapat melihat, betapa dalam diri pahlawan Jepang itu berperang rasa yang sulit untuk diduga. Si Bungsu mengerti. Dalam hidupnya, seperti yang dikatakannya tadi. Zato Ichi tak pernah melumuri samurainya dengan nyawa orang yang tak bersalah. Kalau Zato Ichi tentu merasa berat untuk melakukan pembunuhan itu. Dan si Bungsu merasa kinilah saatnya dia membantu Zato Ichi. Yang penting bagi Zato Ichi tentulah orang yang dia cari itu mati. Tak perduli melalui tangan siapapun. Kalau Zato Ichi keberatan bukankah dia dapat menggantikan tugas ini?
Dia akan kembali ke Indonesia tak lama lagi. Apa salahnya sebelum pergi, sebagai tanda terimaksih, dia menolong Zato Ichi membunuh lawannya?
“Saya dapat membantumu Ichi-san. Tunjukkan siapa orangnya, dan Ichi-san tak perlu melumuri tangan Ichi-san dengan dosa, biar saya yang melakukannya…”
Si Bungsu terhenti takkala dia melihat airmata Zato Ichi mengalir dipipi.
“Tak apa-apa Ichi-san. Saya dengan rela menggantikan tugas Ichi-san. Saya dapat mengerti perasaan Ichi-san. Ini adalah negeri Ichi-san. Ichi-san sudah lama meninggalkan dunia bunuh membunuh ini. Dan Ichi-san akan tetap disini. Sementara saya, setelah tugas itu selesai, akan kembali ke negri saya. Dan orang akan melupakan peristiwa itu…”
Zato Ichi tak menyahut. Dia tetap tenang dan duduk memegang samurainya.
“Kalau Ichi-san tak keberatan, tunjukkan saja pada saya siapa orang yang harus dibunuh itu…”
“Dia orang asing…”
Si Bungsu tertegun. Orang asing! Pastilah tentara Amerika. Ya, siapa lagi yang mebuat kekacauan di negeri ini selama lima-enam tahun ini kalau tidak tentara pendudukan.
Tentara Amerika itu pastilah telah membunuh orang yang pernah menolong Zato Ichi. Dan kini Zato Ichi harus membunuhnya. Patutlah Zato Ichi merasa tak enak hati untuk melakukan tugas itu.
“Tentara Amerika?” tanya si Bungsu.
Zato Ichi menggelang.
“Siapa?”
“Engkau Bungsu-san…!”
Suara Zato Ichi terdengar getir tapi pasti! Si Bungsu tertegun. Dia hampir tak percaya pada pendengarannya. Zato Ichi menarik nafas panjang. Dan suaranya terdengar perlahan:
“Ya, engkaulah orangnya yang harus saya cari dan harus saya bunuh Bungsu-san…”Si Bungsu masih tetap tak berbicara. Tak kuasa bicara. Kalau benar dia yang harus dibunuh lelaki ini, kenapa dia menolongnya dari ancaman maut di hotel dulu? Kenapa dia juga mengobati lukanya?
Ada hal-hal yang tak masuk akal!
“Saya tak berdusta Bungsu-san. Lelaki yang menolong saya dua puluh tahun yang lalu itu adalah Saburo Matsuyama…”Kalau ada petir yang menyambar, mungkin si Bungsu takkan seterkejut ini.
“Ya. Dialah yang menolong nyawa saya Bungsu-san. Waktu itu dia belum memasuki dinas ketentaraan. Setahun setelah peristiwa itu dia baru jadi tentara kekaisaran Tenno Heika.
Dan beberapa hari yang lalu, saya dengar dia meninggal di kuilnya Shimaogamo. Saya ada di sana ketika upacara penguburan itu.
Di Jepang (bagian 237)
Dan saya mendengarkan apa yang terjadi antara puterinya Michiko-san dengan Bungsu-san. Saya mengetahui semuanya. Itulah kenapa saya datang ke hotel Bungsu-san…”
“Kalau begitu….yang menyuruh Ichi-san membunuh saya pastilah…pastilah puterinya, Michiko!”
Zato Ichi menggeleng beberapa kali.
Dan saya mendengarkan apa yang terjadi antara puterinya Michiko-san dengan Bungsu-san. Saya mengetahui semuanya. Itulah kenapa saya datang ke hotel Bungsu-san…”
“Kalau begitu….yang menyuruh Ichi-san membunuh saya pastilah…pastilah puterinya, Michiko!”
Zato Ichi menggeleng beberapa kali.
“Tidak Bungsu-san. Gadis itu sangat mencintai dirimu. Dia melukai dirimu padi itu di Shimogamo hanya karena pukulan bathin yang dahsyat. Kini dia sakit. Yang menyuruhku untuk membunuhmu adalah adik Saburo. Doku Matsuyama. Dia seorang oegawai pemerintah di kota Kyoto….”
Dan mereka sama-sama terdiam. Angin bersuit perlahan. Bagi si Bungsu, ini adalah sesuatu yang teramat dahsyat. Bagaimana dia bisa mempercayai bahwa orang yang akan membunuhnya adalah orang yang menyelamatkan nyawanya?
“Kalau begitu….kenapa Ichi-san menolong saya dari kematian di hotel itu? Bukankah hari itu saya harusnya sudah mati dan Ichi-san tak usah susah-susah turun tangan sendiri…?”
Zato Ichi menarik nafas lega.
“Itulah malangnya Bungsu-san. Saya paling tak bisa melihat ketidakadilan terjadi. Kelaurgamu dibunuhnya semua. Dan saya juga akhirnya tahu, bahwa Saburo-san bukan engkau yang membunuhnya. Meskipun engkau sanggup melakukan itu padanya. Saya tahu, Saburo-san harakiri. Dan sebelumnya dia telah meminta kepada para pendeta di kuil itu untuk tidak memperpanjang soal ini.
Sebenarnya soal itu sudah selesai sampai disana. Tapi, adik Saburo meminta saya untuk melakukan pembalasan padamu. Engkau barangkali akan bertanya, kenapa aku harus mematuhi permintaan adiknya, padahal saya tidak berhutang apa-apa pada adiknya bukan?
Seharusnya demikian. Tapi adiknya ternyata ikut membantu saya. Meskipun secara tidak langsung. Doku Matsuyamalah yang setiap hari membawa obat dan makanan bagi saya di kebun persembunyian itu.
Karenanya, saya ikut berhutang budi padanya. Dan kini dia meminta saya untuk membayar hutang budi itu…”
Si Bungsu duduk terdiam. Zato Ichi juga. Dia tatap lelaki itu. Tokoh legenda yang dicintai rakyat Jepang itu. Kelihatan tua dan lelah. Alangkah kasihannya, pikir si Bungsu, sudah setua ini masih harus dibebani oleh hutang budi yang alangkah mahalnya.
Dia tiba-tiba membayangkan bahwa Zato Ichi itu adalah dirinya yang sudah tua. Bagaimana kalau dia mengalami hal yang dialami Zato Ichi saat ini?
“Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan Ichi-san…” akhirnya si Bungsu berkata perlahan.
Zato Ichi mengangkat kepala. Dia menoleh pada si Bungsu. meski matanya buta, tapi dia seperti menatap wajah anak muda itu tepat-tepat.
Dan tiba-tiba Zato Ichi berdiri. Berjalan ke arahnya. Dia menanti dengan tegang. Sedepat di depannya, lelaki buta perkasa itu berhenti.
Si Bungsu tak bisa menatap matanya.
Kalau orang biasa dengan menatap matanya bisa menebak apa gerakan yang akan dia lakukan, maka terhadap Zato Ichi yang buta ini tak bisa dipakai teori demikian.
Si Bungsu justru menatap ke bahu lelaki itu. Dia akan perhatikan gerakannya melalui bahunya. Dan tiba-tiba Zato Ichi bergerak. Melangkah maju. Dan memegang bahu si Bungsu.
“Barangkali kita akan bertarung Bungsu-san. Bukan sebagai orang yang bermusuhan, tapi sebagai dua lelaki yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Sebagai dua lelaki yang berjiwa samurai sejati. Tapi itu tidak sekarang. Kita perlu istirahat…”
Dan terompa kayunya terdengar berdetak-detak masuk kembali ke rumah kecil di halaman belakang kuil tua itu. Si Bungsu menarik nafas panjang.
Dia tahu, istirahat yang dimaksud oleh Zato Ichi itu adalah khusus untuk dirinya. Sebab dia baru saja sembuh sakit. Baru saja memeras tenaga melawan enam anggota Kumagaigumi tadi.
Jadi, dialah yang dimaksudkan istirahat tadi. Zato Ichi ingin memberi kesempatan padanya untuk memulihkan kesehatan. Baru nanti menantangnya berkelahi.
Si Bungsu jadi terharu. Lelaki itu benar-benar seorang satria sejati. Dia patut menjadi pujaan seluruh rakyat Jepang.
Dia menatap keliling. Melihat enam samurai yang berserakan malang melintang. Yang tadi dia pukul terpental dari tangan anggota Kumagaigumi itu.
Kemudian dia melangkah masuk ke rumah kecil itu mengikuti langkah Zato Ichi. Di dalam dia disambut oleh bau panggang ikan yang harum.
“Hm, Bungsu-san, mari makan. Ini saya punya ikan kering, dan sudah saya bakar…ini ada sedikit roti…”
Si Bungsu tegak di pintu. Menatap betapa lelaki buta itu mengulurkan ikan bakar padanya.
Dan saya mendengarkan apa yang terjadi antara puterinya Michiko-san dengan Bungsu-san. Saya mengetahui semuanya. Itulah kenapa saya datang ke hotel Bungsu-san…”
“Kalau begitu….yang menyuruh Ichi-san membunuh saya pastilah…pastilah puterinya, Michiko!”Zato Ichi menggeleng beberapa kali.
Dan saya mendengarkan apa yang terjadi antara puterinya Michiko-san dengan Bungsu-san. Saya mengetahui semuanya. Itulah kenapa saya datang ke hotel Bungsu-san…”
“Kalau begitu….yang menyuruh Ichi-san membunuh saya pastilah…pastilah puterinya, Michiko!”
Zato Ichi menggeleng beberapa kali.
“Tidak Bungsu-san. Gadis itu sangat mencintai dirimu. Dia melukai dirimu padi itu di Shimogamo hanya karena pukulan bathin yang dahsyat. Kini dia sakit. Yang menyuruhku untuk membunuhmu adalah adik Saburo. Doku Matsuyama. Dia seorang oegawai pemerintah di kota Kyoto….”
Dan mereka sama-sama terdiam. Angin bersuit perlahan. Bagi si Bungsu, ini adalah sesuatu yang teramat dahsyat. Bagaimana dia bisa mempercayai bahwa orang yang akan membunuhnya adalah orang yang menyelamatkan nyawanya?
“Kalau begitu….kenapa Ichi-san menolong saya dari kematian di hotel itu? Bukankah hari itu saya harusnya sudah mati dan Ichi-san tak usah susah-susah turun tangan sendiri…?”
Zato Ichi menarik nafas lega.
“Itulah malangnya Bungsu-san. Saya paling tak bisa melihat ketidakadilan terjadi. Kelaurgamu dibunuhnya semua. Dan saya juga akhirnya tahu, bahwa Saburo-san bukan engkau yang membunuhnya. Meskipun engkau sanggup melakukan itu padanya. Saya tahu, Saburo-san harakiri. Dan sebelumnya dia telah meminta kepada para pendeta di kuil itu untuk tidak memperpanjang soal ini.
Sebenarnya soal itu sudah selesai sampai disana. Tapi, adik Saburo meminta saya untuk melakukan pembalasan padamu. Engkau barangkali akan bertanya, kenapa aku harus mematuhi permintaan adiknya, padahal saya tidak berhutang apa-apa pada adiknya bukan?
Seharusnya demikian. Tapi adiknya ternyata ikut membantu saya. Meskipun secara tidak langsung. Doku Matsuyamalah yang setiap hari membawa obat dan makanan bagi saya di kebun persembunyian itu.
Karenanya, saya ikut berhutang budi padanya. Dan kini dia meminta saya untuk membayar hutang budi itu…”
Si Bungsu duduk terdiam. Zato Ichi juga. Dia tatap lelaki itu. Tokoh legenda yang dicintai rakyat Jepang itu. Kelihatan tua dan lelah. Alangkah kasihannya, pikir si Bungsu, sudah setua ini masih harus dibebani oleh hutang budi yang alangkah mahalnya.
Dia tiba-tiba membayangkan bahwa Zato Ichi itu adalah dirinya yang sudah tua. Bagaimana kalau dia mengalami hal yang dialami Zato Ichi saat ini?
“Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan Ichi-san…” akhirnya si Bungsu berkata perlahan.
Zato Ichi mengangkat kepala. Dia menoleh pada si Bungsu. meski matanya buta, tapi dia seperti menatap wajah anak muda itu tepat-tepat.
Dan tiba-tiba Zato Ichi berdiri. Berjalan ke arahnya. Dia menanti dengan tegang. Sedepat di depannya, lelaki buta perkasa itu berhenti.
Si Bungsu tak bisa menatap matanya.
Kalau orang biasa dengan menatap matanya bisa menebak apa gerakan yang akan dia lakukan, maka terhadap Zato Ichi yang buta ini tak bisa dipakai teori demikian.
Si Bungsu justru menatap ke bahu lelaki itu. Dia akan perhatikan gerakannya melalui bahunya. Dan tiba-tiba Zato Ichi bergerak. Melangkah maju. Dan memegang bahu si Bungsu.
“Barangkali kita akan bertarung Bungsu-san. Bukan sebagai orang yang bermusuhan, tapi sebagai dua lelaki yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Sebagai dua lelaki yang berjiwa samurai sejati. Tapi itu tidak sekarang. Kita perlu istirahat…”
Dan terompa kayunya terdengar berdetak-detak masuk kembali ke rumah kecil di halaman belakang kuil tua itu. Si Bungsu menarik nafas panjang.
Dia tahu, istirahat yang dimaksud oleh Zato Ichi itu adalah khusus untuk dirinya. Sebab dia baru saja sembuh sakit. Baru saja memeras tenaga melawan enam anggota Kumagaigumi tadi.
Jadi, dialah yang dimaksudkan istirahat tadi. Zato Ichi ingin memberi kesempatan padanya untuk memulihkan kesehatan. Baru nanti menantangnya berkelahi.
Si Bungsu jadi terharu. Lelaki itu benar-benar seorang satria sejati. Dia patut menjadi pujaan seluruh rakyat Jepang.
Dia menatap keliling. Melihat enam samurai yang berserakan malang melintang. Yang tadi dia pukul terpental dari tangan anggota Kumagaigumi itu.
Kemudian dia melangkah masuk ke rumah kecil itu mengikuti langkah Zato Ichi. Di dalam dia disambut oleh bau panggang ikan yang harum.
“Hm, Bungsu-san, mari makan. Ini saya punya ikan kering, dan sudah saya bakar…ini ada sedikit roti…”
Si Bungsu tegak di pintu. Menatap betapa lelaki buta itu mengulurkan ikan bakar padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar