Tikam Samurai - 238
“Ambilah. Bungsu-san. Kita masih tetap sahabat. Kini dan sampai kapanpun…” suara lelaki buta itu terdengar jujur dan mengharukan.
Si Bungsu melangkah. Memegang ikan bakar itu. Kemudian duduk di sisi Zato Ichi.menyenduk bubur di panci. Memasukkannya ke dalam mangkuk. Memberikannya ke tangan si Zato Ichi.
“Arigato…” kata si buta itu perlahan.
Si Bungsu menyenduk semangkuk lagi untuknya. Kemudian mereka makan dengan berdiam diri.
Selesai makan siang itu, Zato Ichi kembali meramu obat-obatan. Cukup lama dia meramu obat itu. Si Bungsu menatapnya dengan diam dari pembaringan. Betapapun jua, dia belum pulih seratus persen.
Entah berapa lama Zato Ichi meramu obat tersebut. Si Bungsu tak begitu pasti. Tapi yang jelas dia jatuh tidur setelah makan siang itu.
Barangkali hari sudah sangat sore ketika dia terbangun. Rumah kecil itu kosong. Tapi dari luar terdengar bunyi suling yang merawankan hati.
Dia segera tahu bahwa yang meniup suling itu adalah Zato Ichi. Dia pernah mendengarkannya ketika dia dirawat dua hari yang lalu.
Suling dimanapun nampaknya sama. Dia juga punya sebuah suling yang bernama bansi. Dan dia membawanya. Bansinya sering dia tiup kalau hatinya sedang gundah. Kalau dia sedang sepi sendiri.
Dan kini dia dengar Zato Ichi meniup sulingnya. Lelaki buta itu adalah lelaki yang menjalani lorong sepi yang tak berujung. Yang hidup dari magma sepi yang satu ke pusat sepi yang lain.
Perlahan dia bangkit. Dipan kayu dimana dia berbaring berdenyit halus ketika dia turun. Suara suling di luar berhenti. Kemudian terdengar suara Zato Ichi:
“Minumlah obat di dalam mangkuk itu Bungsu-san. Itu adalah obat terakhir untukmu. Kalau obat semala tiga hari ini merawat lukamu dari luar, maka di mangkuk obat itu akan memulihkan peredaran darahmu dari dalam. Minumlah….”
Si Bungsu menarik nafas. Zato Ichi rupanya mendengar bunyi denyit tempat tidurnya ketika dia turun.
Dan dari sana, dapat diterka, betapa tajamnya pendengaran pendekar buta itu. Si Bungsu jadi terharu. Ternyata Zato Ichi masih meramu obat untuknya.
Si Bungsu yakin, bahwa obat ini memang obat. Takkan mungkin seorang berhati mulia seperti Zato Ichi akan memperdayakan dirinya dengan obat tersebut.
Dia mengangkat mangkuk itu. Memang ada kelaianan bau. Tapi dengan keyakinan penuh dia meminum obatnya. Tapi pada teguk pertama saja, celaka sudah menjeput pemuda dari Gunung Sago ini.
Seharusnya dia sudah bisa menebak dari bau obat yang amat keras itu. Bahwa ada sesuatu yang luar biasa dalam obat tersebut. Dan mangkuk obat itu segera saja jatuh ke lantai. Pecah dan isinya tumpah.
Tubuh si Bungsu menggetar. Rasa panas yang amat luar biasa menyerang jantungnya!
“Racun…!” bisiknya.
Di luar, suara suling Zato Ichi terdengar berbunyi kembali. Lembut dan menimbulkan perasaan haru. Namun si Bungsu mendengarkannya dengan penuh penderitaan. Dia tengah berjuang dengan maut.
Dia merangkak ke pembaringan, menggapai ke atas. Mengambil samurainya. Kemudian tangannya menyentuh gelas. Jatuh pecah! Suara dentingnya membuat suling Zato Ichi terhenti.
Si Bungsu muntah darah. Tapi dia menahannya sekuat mungkin. Jahanam itu pasti menanti bunyi muntah atau tubuh yang jatuh. Dan dia akan masuk menyudahi nyawaku, pikir si Bungsu.
Tak dia duga sedikitpun. Lelaki yang jadi legenda Jepang itu berhati pengecut seperti ini. Dia tak berani menghadapinya dengan samurai secara terang-terangan. Dan dia memakai racun!
Jahanam yang benar-benar pengecut, sumpah si Bungsu. dia tahan muntahnya sedapat mungkin agar tak terdengar keluar.
Namun suara suling itu terhenti lagi. Si Bungsu menahan nafas. Dia tak ingin telinga si buta yang tajam itu mendengar bahwa nafasnya memburu.
“sudah engkau minum obat itu Bungsu-san?” terdengar suara Zato Ichi perlahan. Si Bungsu kembali menyumpah.
Benar-benar seorang pemain watak yang jahanam sumpahnya. Kalau dia jawab “sudah” si buta itu tentu akan masuk dan menonton betapa dia menyudahi lawanny.
“Belum….!” Jawabnya berusaha bersuara dengan wajar. Dan sehabis mengucapkan itu, kembali darah segar muncrat dari bibirnya.
“Minumlah agar engkau pulih kembali seperti biasa….” Suara Zato Ichi terdengar lagi. Si Bungsu menggertakkan gigi.
Dan dia mulai melangkah menuju pintu. Betapapun jua, sebelum mati, dia harus menghajar si buta itu. Dia tak mau mati terkapar seperti anjing yang terminum racun.
Tiba di pintu tubuhnya menggigil. Panasnya sudah tak tertahankan lagi. Dia meminum obat itu hanya setengah teguk. Tapi akibatnya sangat fatal. Seluruh wajahnya berobah jadi hitam. Tangannya juga!
Si Bungsu melangkah. Memegang ikan bakar itu. Kemudian duduk di sisi Zato Ichi.menyenduk bubur di panci. Memasukkannya ke dalam mangkuk. Memberikannya ke tangan si Zato Ichi.
“Arigato…” kata si buta itu perlahan.
Si Bungsu menyenduk semangkuk lagi untuknya. Kemudian mereka makan dengan berdiam diri.
Selesai makan siang itu, Zato Ichi kembali meramu obat-obatan. Cukup lama dia meramu obat itu. Si Bungsu menatapnya dengan diam dari pembaringan. Betapapun jua, dia belum pulih seratus persen.
Entah berapa lama Zato Ichi meramu obat tersebut. Si Bungsu tak begitu pasti. Tapi yang jelas dia jatuh tidur setelah makan siang itu.
Barangkali hari sudah sangat sore ketika dia terbangun. Rumah kecil itu kosong. Tapi dari luar terdengar bunyi suling yang merawankan hati.
Dia segera tahu bahwa yang meniup suling itu adalah Zato Ichi. Dia pernah mendengarkannya ketika dia dirawat dua hari yang lalu.
Suling dimanapun nampaknya sama. Dia juga punya sebuah suling yang bernama bansi. Dan dia membawanya. Bansinya sering dia tiup kalau hatinya sedang gundah. Kalau dia sedang sepi sendiri.
Dan kini dia dengar Zato Ichi meniup sulingnya. Lelaki buta itu adalah lelaki yang menjalani lorong sepi yang tak berujung. Yang hidup dari magma sepi yang satu ke pusat sepi yang lain.
Perlahan dia bangkit. Dipan kayu dimana dia berbaring berdenyit halus ketika dia turun. Suara suling di luar berhenti. Kemudian terdengar suara Zato Ichi:
“Minumlah obat di dalam mangkuk itu Bungsu-san. Itu adalah obat terakhir untukmu. Kalau obat semala tiga hari ini merawat lukamu dari luar, maka di mangkuk obat itu akan memulihkan peredaran darahmu dari dalam. Minumlah….”
Si Bungsu menarik nafas. Zato Ichi rupanya mendengar bunyi denyit tempat tidurnya ketika dia turun.
Dan dari sana, dapat diterka, betapa tajamnya pendengaran pendekar buta itu. Si Bungsu jadi terharu. Ternyata Zato Ichi masih meramu obat untuknya.
Si Bungsu yakin, bahwa obat ini memang obat. Takkan mungkin seorang berhati mulia seperti Zato Ichi akan memperdayakan dirinya dengan obat tersebut.
Dia mengangkat mangkuk itu. Memang ada kelaianan bau. Tapi dengan keyakinan penuh dia meminum obatnya. Tapi pada teguk pertama saja, celaka sudah menjeput pemuda dari Gunung Sago ini.
Seharusnya dia sudah bisa menebak dari bau obat yang amat keras itu. Bahwa ada sesuatu yang luar biasa dalam obat tersebut. Dan mangkuk obat itu segera saja jatuh ke lantai. Pecah dan isinya tumpah.
Tubuh si Bungsu menggetar. Rasa panas yang amat luar biasa menyerang jantungnya!
“Racun…!” bisiknya.
Di luar, suara suling Zato Ichi terdengar berbunyi kembali. Lembut dan menimbulkan perasaan haru. Namun si Bungsu mendengarkannya dengan penuh penderitaan. Dia tengah berjuang dengan maut.
Dia merangkak ke pembaringan, menggapai ke atas. Mengambil samurainya. Kemudian tangannya menyentuh gelas. Jatuh pecah! Suara dentingnya membuat suling Zato Ichi terhenti.
Si Bungsu muntah darah. Tapi dia menahannya sekuat mungkin. Jahanam itu pasti menanti bunyi muntah atau tubuh yang jatuh. Dan dia akan masuk menyudahi nyawaku, pikir si Bungsu.
Tak dia duga sedikitpun. Lelaki yang jadi legenda Jepang itu berhati pengecut seperti ini. Dia tak berani menghadapinya dengan samurai secara terang-terangan. Dan dia memakai racun!
Jahanam yang benar-benar pengecut, sumpah si Bungsu. dia tahan muntahnya sedapat mungkin agar tak terdengar keluar.
Namun suara suling itu terhenti lagi. Si Bungsu menahan nafas. Dia tak ingin telinga si buta yang tajam itu mendengar bahwa nafasnya memburu.
“sudah engkau minum obat itu Bungsu-san?” terdengar suara Zato Ichi perlahan. Si Bungsu kembali menyumpah.
Benar-benar seorang pemain watak yang jahanam sumpahnya. Kalau dia jawab “sudah” si buta itu tentu akan masuk dan menonton betapa dia menyudahi lawanny.
“Belum….!” Jawabnya berusaha bersuara dengan wajar. Dan sehabis mengucapkan itu, kembali darah segar muncrat dari bibirnya.
“Minumlah agar engkau pulih kembali seperti biasa….” Suara Zato Ichi terdengar lagi. Si Bungsu menggertakkan gigi.
Dan dia mulai melangkah menuju pintu. Betapapun jua, sebelum mati, dia harus menghajar si buta itu. Dia tak mau mati terkapar seperti anjing yang terminum racun.
Tiba di pintu tubuhnya menggigil. Panasnya sudah tak tertahankan lagi. Dia meminum obat itu hanya setengah teguk. Tapi akibatnya sangat fatal. Seluruh wajahnya berobah jadi hitam. Tangannya juga!
Tikam Samurai - 239
Dia sudah banyak mengenal jenis racun ketika berada di Gunung Sago. Tapi dia tak mengetahui racun apa yang dipakai Zato Ichi kali ini. Dan dia pasti takkan sempat membuat obat untuk memunahkan serangan racun ini. Sudah terlambat!
Dia tegak di pintu. Dia ingin bersandiwara. Ingin pura-pura jatuh. Zato Ichi tentu masuk. Dan saat dia muncul dipintu, akan dia hantam dengan samurai!
Namun dia bukan seorang pengecut. Hatinya memprotes sikap demikian. Tidak, dia harus menghadapi lelaki itu secara jantan. Namun engkau telah dianiaya. Dia tak jujur. Bikin apa dihadapi secara jujur pula, bantah pikiran panasnya.
Biar dia tak jujur. Tapi ketidakjujuran buat apa dibalas dengan ketidak jujuran pula? Hanya kaum pengecut yang membalas ketidakjujuran dengan ketidakjujuran, bisik hati jernihnya. Dan dengan sikap demikian, dia melangkah ke luar.
Angin dingin menyambutnya. Dan di luar enam depa di depan rumah itu, di atas kursi batu tadi, Zato Ichi duduk meniup sulingnya! Amat tenang!
Dia muntah darah lagi!
“Zato Ichi!” bentaknya dengan keras mengatasi rasa panas dan denyut jantungnya yang alangkah pedihnya! Zato Ichi terhenti. Ada sesuatu yang tak beres dalam nada suara si Bungsu itu.
Dia tak menoleh, tapi mengarahkan telinga kanannya ke arah pintu rumah dimana si Bungsu tegak.
“Bungsu-san…!” katanya heran.
“Ya, saya disini Ichi-san! Saya telah minum obatmu. Tapi saya belum mampus. Saya bukan seorang pengecut seperti engkau! Kini cabut samuraimu!”
Berkata begini si Bungsu melangkah. Dia hampir rubuh. Namun dia yakin bisa melawan Zato Ichi. Dan itu harus dia lakukan demi kejahanaman yang dilakukan Zato Ichi padanya.
Zato Ichi wajahnya tiba-tiba jadi mengeras. Kelihatan dia jadi tegang. Dia menyisipkan sulingnya kepinggang. Kemudian mengambil samurai yang dia letakkan disisinya.
Lalu dengan wajah keras sekali, dia melangkah dengan pasti ke arah si Bungsu! si Bungsu memperhatikan bahu dan tangan si buta itu.
“Jahanam! Benar-benar jahanam busuk!” Zato Ichi menyumpah dengan wajah yang tiba-tiba berobah bengis!
“Kau lah yang jahanam busuk Zato Ichi! Tak kusangka engkau pahlawan rakyat Jepang memiliki hati sebusuk engkau! Kenapa tak kau tantang saja aku berkelahi secara jantan. Kenapa kau pilih memasukkan racun keminuman yang kau katakan obat itu? Begitukah sikap satria dan samurai sejati yang tadi kau katakan?”
Si Bungsu terhenti bicara. Dia sudah demikian lemah. Zato Ichi tegak sedepa didepannya. Tegak dengan kaki terpentang dan sikap yang kaku serta wajah yang amat membiaskan amarah!
Dan kalau biasanya si Bungsu menanti orang lain yang menyerang, kali ini tidak. Kini dialah yang membuka serangan! Dia mencabut samurainya secepat yang bisa dia lakukan. Dan dengan sisa tenaganya dia menghayunkan samurai panjang itu kearah Zato Ichi!
Namun gerakannya hanya sampai separoh jalan. Tenaganya lenyap. Dan dia rubuh ke lantai batu dengan mulut kembali menyemburkan darah segar! Dia rubuh dengan tangan tetap menggenggam samurai!Setengan depa dari kepalanya, Zato Ichi pendekar samurai Jepang yang tersohor itu tegak dengan kaku!
Wajahnya tetap saja menggambarkan kemarahan yang luar biasa.
“Benar-benar jahanam yang tak tahu budi, telah diampuni nyawanya, masih saja berlaku kotor!” suara pahlawan samurai itu terdengar penuh kebencian.
“Heh…he..heh…!!” suara tawa terdengar menyahuti ucapan Zato Ichi. Dan seiring dengar tawa itu, tiga orang lelaki segera saja muncul dari balik pohon sepuluh depa dari pondok itu.
Dan mereka adalah anggota Kumagaigumi. Di antara yang bertiga itu, seorang diantaranya ternyata yang memimpin serangan terhadap si Bungsu pagi tadi!
Kini dia muncul lagi dengan dua temannya yang lain. Yang nampaknya jauh lebih andal dari dirinya. Kalau tidak, mana berani dia datang kemari.
“Heh-heh….Ichi-san. Antara kita sebenarnya ada persoalan hutang nyawa. Kau telah membunuh tiga anggota kami di hotel empat hari yang lalu. Tapi biarlah, yang mati tak mungkin hidup lagi. Kini kami hanya ingin membunuh orang Indonesia ini. Dia sudah terlalu banyak membuat susah kita. Orang asing yang sok jago dengan senjata tradisionil kita. Nah, kami datang selain untuk melihat kematiannya, juga mengambil samurai yang kami tinggalkan tadi pagi….”
Wajah Zato Ichi jadi merah padam.
“Kalian yang memasukkan racun ke dalam obat yang diminum Bungsu-san…” suaranya terdengar bergetar menahan marah yang dahsyat.
“Ah, tak usah dipikirkan benar Ichi-san. Kami hanya sekedar memberi bubuk penyedap ke dalam obatmu yang kurang sedap itu. Sebetulnya kami ingin meminta persetujuanmu. Membawamu ikut serta dalam membunuh lelaki jahanam itu. Bukankah engkau juga menghendaki kematiannya? Bukankah engkau harus menuntut balas atas kematian Saburo Matsuyama, orang yang telah menolongmu 20 tahun yang lalu?
@
Tikam Samurai - II
Dia sudah banyak mengenal jenis racun ketika berada di Gunung Sago. Tapi dia tak mengetahui racun apa yang dipakai Zato Ichi kali ini. Dan dia pasti takkan sempat membuat obat untuk memunahkan serangan racun ini. Sudah terlambat!
Dia tegak di pintu. Dia ingin bersandiwara. Ingin pura-pura jatuh. Zato Ichi tentu masuk. Dan saat dia muncul dipintu, akan dia hantam dengan samurai!
Namun dia bukan seorang pengecut. Hatinya memprotes sikap demikian. Tidak, dia harus menghadapi lelaki itu secara jantan. Namun engkau telah dianiaya. Dia tak jujur. Bikin apa dihadapi secara jujur pula, bantah pikiran panasnya.
Biar dia tak jujur. Tapi ketidakjujuran buat apa dibalas dengan ketidak jujuran pula? Hanya kaum pengecut yang membalas ketidakjujuran dengan ketidakjujuran, bisik hati jernihnya. Dan dengan sikap demikian, dia melangkah ke luar.
Angin dingin menyambutnya. Dan di luar enam depa di depan rumah itu, di atas kursi batu tadi, Zato Ichi duduk meniup sulingnya! Amat tenang!
Dia muntah darah lagi!
“Zato Ichi!” bentaknya dengan keras mengatasi rasa panas dan denyut jantungnya yang alangkah pedihnya! Zato Ichi terhenti. Ada sesuatu yang tak beres dalam nada suara si Bungsu itu.
Dia tak menoleh, tapi mengarahkan telinga kanannya ke arah pintu rumah dimana si Bungsu tegak.
“Bungsu-san…!” katanya heran.
“Ya, saya disini Ichi-san! Saya telah minum obatmu. Tapi saya belum mampus. Saya bukan seorang pengecut seperti engkau! Kini cabut samuraimu!”
Berkata begini si Bungsu melangkah. Dia hampir rubuh. Namun dia yakin bisa melawan Zato Ichi. Dan itu harus dia lakukan demi kejahanaman yang dilakukan Zato Ichi padanya.
Zato Ichi wajahnya tiba-tiba jadi mengeras. Kelihatan dia jadi tegang. Dia menyisipkan sulingnya kepinggang. Kemudian mengambil samurai yang dia letakkan disisinya.
Lalu dengan wajah keras sekali, dia melangkah dengan pasti ke arah si Bungsu! si Bungsu memperhatikan bahu dan tangan si buta itu.
“Jahanam! Benar-benar jahanam busuk!” Zato Ichi menyumpah dengan wajah yang tiba-tiba berobah bengis!
“Kau lah yang jahanam busuk Zato Ichi! Tak kusangka engkau pahlawan rakyat Jepang memiliki hati sebusuk engkau! Kenapa tak kau tantang saja aku berkelahi secara jantan. Kenapa kau pilih memasukkan racun keminuman yang kau katakan obat itu? Begitukah sikap satria dan samurai sejati yang tadi kau katakan?”
Si Bungsu terhenti bicara. Dia sudah demikian lemah. Zato Ichi tegak sedepa didepannya. Tegak dengan kaki terpentang dan sikap yang kaku serta wajah yang amat membiaskan amarah!
Dan kalau biasanya si Bungsu menanti orang lain yang menyerang, kali ini tidak. Kini dialah yang membuka serangan! Dia mencabut samurainya secepat yang bisa dia lakukan. Dan dengan sisa tenaganya dia menghayunkan samurai panjang itu kearah Zato Ichi!
Namun gerakannya hanya sampai separoh jalan. Tenaganya lenyap. Dan dia rubuh ke lantai batu dengan mulut kembali menyemburkan darah segar! Dia rubuh dengan tangan tetap menggenggam samurai!Setengan depa dari kepalanya, Zato Ichi pendekar samurai Jepang yang tersohor itu tegak dengan kaku!
Wajahnya tetap saja menggambarkan kemarahan yang luar biasa.
“Benar-benar jahanam yang tak tahu budi, telah diampuni nyawanya, masih saja berlaku kotor!” suara pahlawan samurai itu terdengar penuh kebencian.
“Heh…he..heh…!!” suara tawa terdengar menyahuti ucapan Zato Ichi. Dan seiring dengar tawa itu, tiga orang lelaki segera saja muncul dari balik pohon sepuluh depa dari pondok itu.
Dan mereka adalah anggota Kumagaigumi. Di antara yang bertiga itu, seorang diantaranya ternyata yang memimpin serangan terhadap si Bungsu pagi tadi!
Kini dia muncul lagi dengan dua temannya yang lain. Yang nampaknya jauh lebih andal dari dirinya. Kalau tidak, mana berani dia datang kemari.
“Heh-heh….Ichi-san. Antara kita sebenarnya ada persoalan hutang nyawa. Kau telah membunuh tiga anggota kami di hotel empat hari yang lalu. Tapi biarlah, yang mati tak mungkin hidup lagi. Kini kami hanya ingin membunuh orang Indonesia ini. Dia sudah terlalu banyak membuat susah kita. Orang asing yang sok jago dengan senjata tradisionil kita. Nah, kami datang selain untuk melihat kematiannya, juga mengambil samurai yang kami tinggalkan tadi pagi….”
Wajah Zato Ichi jadi merah padam.
“Kalian yang memasukkan racun ke dalam obat yang diminum Bungsu-san…” suaranya terdengar bergetar menahan marah yang dahsyat.
“Ah, tak usah dipikirkan benar Ichi-san. Kami hanya sekedar memberi bubuk penyedap ke dalam obatmu yang kurang sedap itu. Sebetulnya kami ingin meminta persetujuanmu. Membawamu ikut serta dalam membunuh lelaki jahanam itu. Bukankah engkau juga menghendaki kematiannya? Bukankah engkau harus menuntut balas atas kematian Saburo Matsuyama, orang yang telah menolongmu 20 tahun yang lalu?
Dia tegak di pintu. Dia ingin bersandiwara. Ingin pura-pura jatuh. Zato Ichi tentu masuk. Dan saat dia muncul dipintu, akan dia hantam dengan samurai!
Namun dia bukan seorang pengecut. Hatinya memprotes sikap demikian. Tidak, dia harus menghadapi lelaki itu secara jantan. Namun engkau telah dianiaya. Dia tak jujur. Bikin apa dihadapi secara jujur pula, bantah pikiran panasnya.
Biar dia tak jujur. Tapi ketidakjujuran buat apa dibalas dengan ketidak jujuran pula? Hanya kaum pengecut yang membalas ketidakjujuran dengan ketidakjujuran, bisik hati jernihnya. Dan dengan sikap demikian, dia melangkah ke luar.
Angin dingin menyambutnya. Dan di luar enam depa di depan rumah itu, di atas kursi batu tadi, Zato Ichi duduk meniup sulingnya! Amat tenang!
Dia muntah darah lagi!
“Zato Ichi!” bentaknya dengan keras mengatasi rasa panas dan denyut jantungnya yang alangkah pedihnya! Zato Ichi terhenti. Ada sesuatu yang tak beres dalam nada suara si Bungsu itu.
Dia tak menoleh, tapi mengarahkan telinga kanannya ke arah pintu rumah dimana si Bungsu tegak.
“Bungsu-san…!” katanya heran.
“Ya, saya disini Ichi-san! Saya telah minum obatmu. Tapi saya belum mampus. Saya bukan seorang pengecut seperti engkau! Kini cabut samuraimu!”
Berkata begini si Bungsu melangkah. Dia hampir rubuh. Namun dia yakin bisa melawan Zato Ichi. Dan itu harus dia lakukan demi kejahanaman yang dilakukan Zato Ichi padanya.
Zato Ichi wajahnya tiba-tiba jadi mengeras. Kelihatan dia jadi tegang. Dia menyisipkan sulingnya kepinggang. Kemudian mengambil samurai yang dia letakkan disisinya.
Lalu dengan wajah keras sekali, dia melangkah dengan pasti ke arah si Bungsu! si Bungsu memperhatikan bahu dan tangan si buta itu.
“Jahanam! Benar-benar jahanam busuk!” Zato Ichi menyumpah dengan wajah yang tiba-tiba berobah bengis!
“Kau lah yang jahanam busuk Zato Ichi! Tak kusangka engkau pahlawan rakyat Jepang memiliki hati sebusuk engkau! Kenapa tak kau tantang saja aku berkelahi secara jantan. Kenapa kau pilih memasukkan racun keminuman yang kau katakan obat itu? Begitukah sikap satria dan samurai sejati yang tadi kau katakan?”
Si Bungsu terhenti bicara. Dia sudah demikian lemah. Zato Ichi tegak sedepa didepannya. Tegak dengan kaki terpentang dan sikap yang kaku serta wajah yang amat membiaskan amarah!
Dan kalau biasanya si Bungsu menanti orang lain yang menyerang, kali ini tidak. Kini dialah yang membuka serangan! Dia mencabut samurainya secepat yang bisa dia lakukan. Dan dengan sisa tenaganya dia menghayunkan samurai panjang itu kearah Zato Ichi!
Namun gerakannya hanya sampai separoh jalan. Tenaganya lenyap. Dan dia rubuh ke lantai batu dengan mulut kembali menyemburkan darah segar! Dia rubuh dengan tangan tetap menggenggam samurai!Setengan depa dari kepalanya, Zato Ichi pendekar samurai Jepang yang tersohor itu tegak dengan kaku!
Wajahnya tetap saja menggambarkan kemarahan yang luar biasa.
“Benar-benar jahanam yang tak tahu budi, telah diampuni nyawanya, masih saja berlaku kotor!” suara pahlawan samurai itu terdengar penuh kebencian.
“Heh…he..heh…!!” suara tawa terdengar menyahuti ucapan Zato Ichi. Dan seiring dengar tawa itu, tiga orang lelaki segera saja muncul dari balik pohon sepuluh depa dari pondok itu.
Dan mereka adalah anggota Kumagaigumi. Di antara yang bertiga itu, seorang diantaranya ternyata yang memimpin serangan terhadap si Bungsu pagi tadi!
Kini dia muncul lagi dengan dua temannya yang lain. Yang nampaknya jauh lebih andal dari dirinya. Kalau tidak, mana berani dia datang kemari.
“Heh-heh….Ichi-san. Antara kita sebenarnya ada persoalan hutang nyawa. Kau telah membunuh tiga anggota kami di hotel empat hari yang lalu. Tapi biarlah, yang mati tak mungkin hidup lagi. Kini kami hanya ingin membunuh orang Indonesia ini. Dia sudah terlalu banyak membuat susah kita. Orang asing yang sok jago dengan senjata tradisionil kita. Nah, kami datang selain untuk melihat kematiannya, juga mengambil samurai yang kami tinggalkan tadi pagi….”
Wajah Zato Ichi jadi merah padam.
“Kalian yang memasukkan racun ke dalam obat yang diminum Bungsu-san…” suaranya terdengar bergetar menahan marah yang dahsyat.
“Ah, tak usah dipikirkan benar Ichi-san. Kami hanya sekedar memberi bubuk penyedap ke dalam obatmu yang kurang sedap itu. Sebetulnya kami ingin meminta persetujuanmu. Membawamu ikut serta dalam membunuh lelaki jahanam itu. Bukankah engkau juga menghendaki kematiannya? Bukankah engkau harus menuntut balas atas kematian Saburo Matsuyama, orang yang telah menolongmu 20 tahun yang lalu?
Tikam Samurai - II
Tikam Samurai - 240
Kami yakin engkau pasti mau kerjasama untuk melenyapkan jahanam ini. Tapi siang tadi Ichi-san sembahyang terlalu lama dalam kuil. Makanya kami masuk saja. Kami lihat orang itu tidur terlalu nyenyak. Kami ingin menyudahninya dengan samurai, tapi kabarnya lelaki ini firasatnya amat tajam. Dan samurainya amat cepat. Makanya kami mencari jalan aman yang tak mengandung resiko. Kami hanya memasukkan racun pembunuh ikan paus kedalam obatmu itu.
Dan buktinya, kerja kami selesai, tugasmu untuk melenyapkan orang itu juga selesai. Ichi-san hanya tinggal melapor pada Doku Matsuyama bahwa orang itu telah mati oleh samuraimu. Beres bukan? Hehe..”
Zato Ichi tak bergerak. Tubuhnya tetap tegak diam. Setelah meramu obat tadi, dia pergi sembahyang ke kuil di depan rumah itu. Cukup lama dia sembahyang. Dan di saat itulah kiranya jahanam ini masuk.
Dan dia benar-benar menyesal meninggalkan si Bungsu sendirian di dalam rumah itu.
“Jangan khawatir Ichi-san. Kami tidak akan menganiaya mayatnya. Kami hanya menginginkan samurainya sebagai bukti, bahwa dia sudah mati. Sekaligus juga sebagai kenang-kenangan bukan? Nah, mundurlah agar kami bisa mengambil samurainya….’
Wajah Zato Ichi membersitkan amarah yang amat hebat.
“Datanglah kemari, ambil samurainya setelah kalian melangkahi mayatku….” Suaranya terdengar mendesis. Pahlawan samurai Jepang ini benar-benar merasa muak melihat tingkah laku anggota Kumagaigumi itu.
Dia jadi sangat marah, karena si Bungsu menyangka bahwa dialah yang meletakkan bubuk racun itu ke dalam obat tersebut.
Dia sangat membenci sikap licik begitu. Kini meski si Bungsu adalah orang yang harus dia bunuh demi membalas hutang budi pada Saburo, namun dia tak mau mempergunakan sikap licik. Kalaupun dia harus membunuh si Bungsu, maka itu akan dia lakukan dengan sikap satria. Menantangnya bertarung dengan samurai.
“Heh….he. zamanmu telah berlalu Zato Ichi, kini minggirlah….” Suara pimpinan Kumagaigumi itu terdengar memerintah. Dan mereka lalu mengurung tubuh Zato Ichi.
Mereka kini mengurung Zato Ichi dalam jarak yang sangat ketat. Meski pahlawan samurai itu sudah kelihatan tua, namun ketiga mereka yakin bahwa Zato Ichi masih tetap Zato Ichi yang dahulu.
Cepat dan sangat mahir dengan samurai. Itulah kenapa sebabnya kini mereka agak ragu untuk membuka serangan.
Lelaki buta itu menunduk. Tangan kanannya tergantung lemas di sisi tubuh. Tangan kirinya memegang samurai yang diangkat agak tinggi. Setinggi pinggang. Yang mula membuka serangan adalah yang tegak di belakang Zato Ichi. Lelaki itu mempergunakan gerak tipu. Dia melempar Zato Ichi dengan sarung samurainya.
Telinga Zato Ichi yang sangat tajam mendengar desiran angin. Dan samurainya membabat sangat cepat. Saring samurai itu putus tiga! Namun saat itu pula lelaki yang tegak di sisi kanan dan di belakangnya bergerak tak kalah cepatnya.
Samurai mereka berkelabat! Namun suatu hal yang di luar dugaan terjadi pula. Tubuh si Bungsu yang tadi rubuh muntah darah, pada saat yang sangat tak terduga bergerak.
Tangannya yang masih menggenggam samurai terhayun. Dan lelaki yang tegak disisi Zato Ichi, yang menyerang lelaki buta itu, tak sempat berbuat apa-apa.
Bahkan untuk kagetpun dia tak sempat. Sebab gerakan dari orang yang sudah diduga “mati” itu tak pernah dia bayangkan.
Dari bawah samurai anak muda itu membelah ke atas. Kerampang Jepang itu belah. Ikut pula terbelah beberapa alat peraga di kerampangnya itu.
Matanya mendelik, dan dia mengejang-ngejang. Lalu rubuh mati! Si Bungsu duduk bertelekan di kedua lututnya.
Namun saat itu pula Zato Ichi yang tadi ditipu dengan lemparan sarung samurai itu kena babat perutnya. Terdengar dia mengeluh. Tubuhnya terhuyung, yang dibelakangnya memburu.
Namun dia masih tetap Zato Ichi yang mampu bergerak cepat. Begitu anggota Kumagaigumi melangkah dua langkah memburunya, dia menjatuhkan diri di lutut kanan. Kemudian samurai di tanggannya memancung ke belakang.
Anggota Kumagaigumi itu seperti pisang kena tebang. Perutnya dimakan samurai Zato Ichi. Berkelonjotan sebentar. Kemudian mati!
Dan kini yang tinggal hanya seorang. Dengan terkejut dia memandang pada Zato Ichi dan si Bungsu bergantian.
Dan yang masih hidup ini adalah lelaki yang memimpin penyergapan pagi tadi.
“Telah kukatakan pagi tadi, bahwa siapa saja yang menghalangi jalanku, akan kubunuh pada kesempatan pertama….” Suara si Bungsu terdengar bergema dingin.
Dia masih duduk di atas kedua lututnya. Samurainya tergenggam di tangan kanan. Nampaknya dia sudah lemah sekali. Dia bertelakan untuk tetap seperti itu pada sarung samurainya yang dia tekankan kuat-kuat ke lantai batu.
Pimpinan Kumagaigumi ini berfikir. Kedua lawannya ini amat berbahaya. Tapi kini keduanya tidak dalam keadaan normal. Zato Ichi terluka perutnya. Si Bungsu terminum racun. Tapi kenapa lelaki asing itu tak segera mampus?
Kami yakin engkau pasti mau kerjasama untuk melenyapkan jahanam ini. Tapi siang tadi Ichi-san sembahyang terlalu lama dalam kuil. Makanya kami masuk saja. Kami lihat orang itu tidur terlalu nyenyak. Kami ingin menyudahninya dengan samurai, tapi kabarnya lelaki ini firasatnya amat tajam. Dan samurainya amat cepat. Makanya kami mencari jalan aman yang tak mengandung resiko. Kami hanya memasukkan racun pembunuh ikan paus kedalam obatmu itu.
Dan buktinya, kerja kami selesai, tugasmu untuk melenyapkan orang itu juga selesai. Ichi-san hanya tinggal melapor pada Doku Matsuyama bahwa orang itu telah mati oleh samuraimu. Beres bukan? Hehe..”
Zato Ichi tak bergerak. Tubuhnya tetap tegak diam. Setelah meramu obat tadi, dia pergi sembahyang ke kuil di depan rumah itu. Cukup lama dia sembahyang. Dan di saat itulah kiranya jahanam ini masuk.
Dan dia benar-benar menyesal meninggalkan si Bungsu sendirian di dalam rumah itu.
“Jangan khawatir Ichi-san. Kami tidak akan menganiaya mayatnya. Kami hanya menginginkan samurainya sebagai bukti, bahwa dia sudah mati. Sekaligus juga sebagai kenang-kenangan bukan? Nah, mundurlah agar kami bisa mengambil samurainya….’
Wajah Zato Ichi membersitkan amarah yang amat hebat.
“Datanglah kemari, ambil samurainya setelah kalian melangkahi mayatku….” Suaranya terdengar mendesis. Pahlawan samurai Jepang ini benar-benar merasa muak melihat tingkah laku anggota Kumagaigumi itu.
Dia jadi sangat marah, karena si Bungsu menyangka bahwa dialah yang meletakkan bubuk racun itu ke dalam obat tersebut.
Dia sangat membenci sikap licik begitu. Kini meski si Bungsu adalah orang yang harus dia bunuh demi membalas hutang budi pada Saburo, namun dia tak mau mempergunakan sikap licik. Kalaupun dia harus membunuh si Bungsu, maka itu akan dia lakukan dengan sikap satria. Menantangnya bertarung dengan samurai.
“Heh….he. zamanmu telah berlalu Zato Ichi, kini minggirlah….” Suara pimpinan Kumagaigumi itu terdengar memerintah. Dan mereka lalu mengurung tubuh Zato Ichi.
Mereka kini mengurung Zato Ichi dalam jarak yang sangat ketat. Meski pahlawan samurai itu sudah kelihatan tua, namun ketiga mereka yakin bahwa Zato Ichi masih tetap Zato Ichi yang dahulu.
Cepat dan sangat mahir dengan samurai. Itulah kenapa sebabnya kini mereka agak ragu untuk membuka serangan.
Lelaki buta itu menunduk. Tangan kanannya tergantung lemas di sisi tubuh. Tangan kirinya memegang samurai yang diangkat agak tinggi. Setinggi pinggang. Yang mula membuka serangan adalah yang tegak di belakang Zato Ichi. Lelaki itu mempergunakan gerak tipu. Dia melempar Zato Ichi dengan sarung samurainya.
Telinga Zato Ichi yang sangat tajam mendengar desiran angin. Dan samurainya membabat sangat cepat. Saring samurai itu putus tiga! Namun saat itu pula lelaki yang tegak di sisi kanan dan di belakangnya bergerak tak kalah cepatnya.
Samurai mereka berkelabat! Namun suatu hal yang di luar dugaan terjadi pula. Tubuh si Bungsu yang tadi rubuh muntah darah, pada saat yang sangat tak terduga bergerak.
Tangannya yang masih menggenggam samurai terhayun. Dan lelaki yang tegak disisi Zato Ichi, yang menyerang lelaki buta itu, tak sempat berbuat apa-apa.
Bahkan untuk kagetpun dia tak sempat. Sebab gerakan dari orang yang sudah diduga “mati” itu tak pernah dia bayangkan.
Dari bawah samurai anak muda itu membelah ke atas. Kerampang Jepang itu belah. Ikut pula terbelah beberapa alat peraga di kerampangnya itu.
Matanya mendelik, dan dia mengejang-ngejang. Lalu rubuh mati! Si Bungsu duduk bertelekan di kedua lututnya.
Namun saat itu pula Zato Ichi yang tadi ditipu dengan lemparan sarung samurai itu kena babat perutnya. Terdengar dia mengeluh. Tubuhnya terhuyung, yang dibelakangnya memburu.
Namun dia masih tetap Zato Ichi yang mampu bergerak cepat. Begitu anggota Kumagaigumi melangkah dua langkah memburunya, dia menjatuhkan diri di lutut kanan. Kemudian samurai di tanggannya memancung ke belakang.
Anggota Kumagaigumi itu seperti pisang kena tebang. Perutnya dimakan samurai Zato Ichi. Berkelonjotan sebentar. Kemudian mati!
Dan kini yang tinggal hanya seorang. Dengan terkejut dia memandang pada Zato Ichi dan si Bungsu bergantian.
Dan yang masih hidup ini adalah lelaki yang memimpin penyergapan pagi tadi.
“Telah kukatakan pagi tadi, bahwa siapa saja yang menghalangi jalanku, akan kubunuh pada kesempatan pertama….” Suara si Bungsu terdengar bergema dingin.
Dia masih duduk di atas kedua lututnya. Samurainya tergenggam di tangan kanan. Nampaknya dia sudah lemah sekali. Dia bertelakan untuk tetap seperti itu pada sarung samurainya yang dia tekankan kuat-kuat ke lantai batu.
Pimpinan Kumagaigumi ini berfikir. Kedua lawannya ini amat berbahaya. Tapi kini keduanya tidak dalam keadaan normal. Zato Ichi terluka perutnya. Si Bungsu terminum racun. Tapi kenapa lelaki asing itu tak segera mampus?
Dan buktinya, kerja kami selesai, tugasmu untuk melenyapkan orang itu juga selesai. Ichi-san hanya tinggal melapor pada Doku Matsuyama bahwa orang itu telah mati oleh samuraimu. Beres bukan? Hehe..”
Zato Ichi tak bergerak. Tubuhnya tetap tegak diam. Setelah meramu obat tadi, dia pergi sembahyang ke kuil di depan rumah itu. Cukup lama dia sembahyang. Dan di saat itulah kiranya jahanam ini masuk.
Dan dia benar-benar menyesal meninggalkan si Bungsu sendirian di dalam rumah itu.
“Jangan khawatir Ichi-san. Kami tidak akan menganiaya mayatnya. Kami hanya menginginkan samurainya sebagai bukti, bahwa dia sudah mati. Sekaligus juga sebagai kenang-kenangan bukan? Nah, mundurlah agar kami bisa mengambil samurainya….’
Wajah Zato Ichi membersitkan amarah yang amat hebat.
“Datanglah kemari, ambil samurainya setelah kalian melangkahi mayatku….” Suaranya terdengar mendesis. Pahlawan samurai Jepang ini benar-benar merasa muak melihat tingkah laku anggota Kumagaigumi itu.
Dia jadi sangat marah, karena si Bungsu menyangka bahwa dialah yang meletakkan bubuk racun itu ke dalam obat tersebut.
Dia sangat membenci sikap licik begitu. Kini meski si Bungsu adalah orang yang harus dia bunuh demi membalas hutang budi pada Saburo, namun dia tak mau mempergunakan sikap licik. Kalaupun dia harus membunuh si Bungsu, maka itu akan dia lakukan dengan sikap satria. Menantangnya bertarung dengan samurai.
“Heh….he. zamanmu telah berlalu Zato Ichi, kini minggirlah….” Suara pimpinan Kumagaigumi itu terdengar memerintah. Dan mereka lalu mengurung tubuh Zato Ichi.
Mereka kini mengurung Zato Ichi dalam jarak yang sangat ketat. Meski pahlawan samurai itu sudah kelihatan tua, namun ketiga mereka yakin bahwa Zato Ichi masih tetap Zato Ichi yang dahulu.
Cepat dan sangat mahir dengan samurai. Itulah kenapa sebabnya kini mereka agak ragu untuk membuka serangan.
Lelaki buta itu menunduk. Tangan kanannya tergantung lemas di sisi tubuh. Tangan kirinya memegang samurai yang diangkat agak tinggi. Setinggi pinggang. Yang mula membuka serangan adalah yang tegak di belakang Zato Ichi. Lelaki itu mempergunakan gerak tipu. Dia melempar Zato Ichi dengan sarung samurainya.
Telinga Zato Ichi yang sangat tajam mendengar desiran angin. Dan samurainya membabat sangat cepat. Saring samurai itu putus tiga! Namun saat itu pula lelaki yang tegak di sisi kanan dan di belakangnya bergerak tak kalah cepatnya.
Samurai mereka berkelabat! Namun suatu hal yang di luar dugaan terjadi pula. Tubuh si Bungsu yang tadi rubuh muntah darah, pada saat yang sangat tak terduga bergerak.
Tangannya yang masih menggenggam samurai terhayun. Dan lelaki yang tegak disisi Zato Ichi, yang menyerang lelaki buta itu, tak sempat berbuat apa-apa.
Bahkan untuk kagetpun dia tak sempat. Sebab gerakan dari orang yang sudah diduga “mati” itu tak pernah dia bayangkan.
Dari bawah samurai anak muda itu membelah ke atas. Kerampang Jepang itu belah. Ikut pula terbelah beberapa alat peraga di kerampangnya itu.
Matanya mendelik, dan dia mengejang-ngejang. Lalu rubuh mati! Si Bungsu duduk bertelekan di kedua lututnya.
Namun saat itu pula Zato Ichi yang tadi ditipu dengan lemparan sarung samurai itu kena babat perutnya. Terdengar dia mengeluh. Tubuhnya terhuyung, yang dibelakangnya memburu.
Namun dia masih tetap Zato Ichi yang mampu bergerak cepat. Begitu anggota Kumagaigumi melangkah dua langkah memburunya, dia menjatuhkan diri di lutut kanan. Kemudian samurai di tanggannya memancung ke belakang.
Anggota Kumagaigumi itu seperti pisang kena tebang. Perutnya dimakan samurai Zato Ichi. Berkelonjotan sebentar. Kemudian mati!
Dan kini yang tinggal hanya seorang. Dengan terkejut dia memandang pada Zato Ichi dan si Bungsu bergantian.
Dan yang masih hidup ini adalah lelaki yang memimpin penyergapan pagi tadi.
“Telah kukatakan pagi tadi, bahwa siapa saja yang menghalangi jalanku, akan kubunuh pada kesempatan pertama….” Suara si Bungsu terdengar bergema dingin.
Dia masih duduk di atas kedua lututnya. Samurainya tergenggam di tangan kanan. Nampaknya dia sudah lemah sekali. Dia bertelakan untuk tetap seperti itu pada sarung samurainya yang dia tekankan kuat-kuat ke lantai batu.
Pimpinan Kumagaigumi ini berfikir. Kedua lawannya ini amat berbahaya. Tapi kini keduanya tidak dalam keadaan normal. Zato Ichi terluka perutnya. Si Bungsu terminum racun. Tapi kenapa lelaki asing itu tak segera mampus?
Tikam Samurai - 241
Apakah racun yang mereka taruh dalam obatnya tadi kurang keras? Padahal seingatnya, jumlah racun yang dimasukkan ke obat anak muda itu sanggup untuk membunuh sepuluh ekor anjing sekaligus?
Kini akan dia serangkah kedua orang yang tak berdaya ini? Atau lebih baik kabur? Kedua pilihan ini dipertimbangkannnya. Dia memang mencintai organisasinya. Tapi sudah tentu dia lebih mencintai nyawanya.
Kalau dia mati, bagaimana dengan dua orang isterinya yang muda-muda dan cantik itu? Tentu akan diambil alih oleh teman-temannya yang lain. Ih, mengingat ini, dia benar-benar tak mau mati.
Dan satu-satunya jalan untuk menghindar dari kematian adalah minggat dari tempat ini! Kedua lawannya ini takkan tertandingi olehnya dalam berkelahi. Meskipun mereka dalam keadaan sekarat. Hal itu sudah dia buktikan dengan anak muda asing ini.
Makanya, setelah ucapan si Bungsu tadi dia nyengir. Kemudian berkata:
“Bikin apa aku susah-susah melawan kalian. Cepat atau lambat, kalian akan mati disini. He….he…tinggallah…he..he..”
Dan dia berbalik.
Namun si Bungsu sudah berkata, bahwa dia akan membunuh lelaki itu. Dan itu dia buktikan.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya, anak muda ini bergulingan dua kali. Pimpinan Kumagaigumi wilayah Kyoto itu terkejut dan berpaling ke belakang. Saat itulah sambil bangkit dari duduk, si Bungsu melemparkan samurainya.
Dan dalam saat yang bersamaan, tangan Zato Ichi bergerak pula. Semula pimpinanKumagaigumi ini hanya merasa heran melihat anak muda itu bergulingan.
Tapi melihat dia menghayunkan tangan, dia segera menyadari bahaya. Sebagai salah seorang pimpinan Kumagaigumi, komplotan bandit yang ditakuti, dia tentu punya kepandaian yang tak dapat dianggap enteng.
Dia segera mencabut samurai untuk memukul jatuh lemparan si Bungsu. Namun saat itu pula dia melihat tangan Zato Ichi yang terduduk tiga depa disampingnya bergerak.
Untuk sesaat, dia menoleh. Tapi waktu yang hanya sesaat itu adalah kesalahannya yang paling fatal. Paling fatal dan paling akhir. Sebab setelah itu, tak ada lagi kesalahan-kesalahan yang bisa dia perbuat.
Samurai kecil yang dilemparkan Zato Ichi meleset karena dia berputar. Meleset dari sasaran yang mematikan. Zato Ichi membidik dadanya, tapi yang kena hanyalah bahunya.
Namun lemparan samurai si Bungsu justru menancap di lehernya yang berpaling ke arah Zato Ichi itu!
Demikian kuatnya lemparan dalam jarak dua depa itu. Samurai tersebut menancap hampir separoh. Tembus ke samping lehernya yang kiri.
Urat nadi besar di lehernya putus keduanya. Dan lelaki ini mati sebelum tubuhnya jatuh ke lantai batu!
Si Bungsu menoleh pada Zato Ichi. Zato Ichi menunduk.
“Lemparanmu sangat cepat dan mahir sekali Bungsu-san…” katanya pelan.
“Engkau tak apa-apa Ichi-san?”
Zato Ichi menggeleng lemah.
Namun begitu geleng kepalanya selesai, tubuhnya rubuh. Perutnya yang luka terlalu banyak mengeluarkan darah.
Si Bungsu tak segera dapat membantu. Buat sesaat dia masih bertelekan ke sarung samurainya. Dia masih jongkok di atas kedua lututnya. Memejamkan mata. Mengatur konsentrasi. Kemudian mengatur pernafasan menurut methode Silek Tuo Praiangan!
Dan sebenarnya, sistim pernafasan inilah kembali yang menyelamatkan nyawanya. Begitu tadi dia terminum racun, dia memang segera menyangka bahwa Zato Ichilah yang berbuat laknat itu.
Dia benar-benar tak menyangka bahwa pahlawan rakyat Jepang itu mau berbuat serendah itu. Meracuni orang yang sedang sakit.
Karena itu, dia segera mengatur pernafasan. Pernafasan secara silat Tuo Pagaruyung itu menghentikan denyut darah merah ke arah jantungnya.
Dia tak menghirup nafas dengan hidung, melainkan dengan mulut. Demikian juga ketika menghembuskannya keluar. Dengan menahan nafas sebisanya, dia berhasil mencegah masuknya racun itu ke jantung.
Dengan tetap mempertahankan sistim pernafasan begitu, dia berjalan keluar. Dan menantang Zato Ichi. Ketika dia bicara, sistim pernafasan itu sudah tentu tak bisa dia pertahankan, dan saat itulah dia muntah darah.
Namun segera setelah muntah darah hitam itu, dia mendapatkan dirinya agak lebih segar sedikit. Ketika Zato Ichi mendekatinya tadi, dan di saat dia bersiap untuk mencabut samurai melawannya, saat itu pulalah telinganya yang tajam itu mendengar nafas beberapa orang di belakangnya.
Firasatnya bekerja cepat sekali. Suara nafas itu pastilah berasal dari beberapa orang yang sedang bersembunyi. Kalau ada orang yang bersembunyi, tentulah ada hal yang tak beres.
Dia mencabut samurainya, dan berpura-pura rubuh!
Apakah racun yang mereka taruh dalam obatnya tadi kurang keras? Padahal seingatnya, jumlah racun yang dimasukkan ke obat anak muda itu sanggup untuk membunuh sepuluh ekor anjing sekaligus?
Kini akan dia serangkah kedua orang yang tak berdaya ini? Atau lebih baik kabur? Kedua pilihan ini dipertimbangkannnya. Dia memang mencintai organisasinya. Tapi sudah tentu dia lebih mencintai nyawanya.
Kalau dia mati, bagaimana dengan dua orang isterinya yang muda-muda dan cantik itu? Tentu akan diambil alih oleh teman-temannya yang lain. Ih, mengingat ini, dia benar-benar tak mau mati.
Dan satu-satunya jalan untuk menghindar dari kematian adalah minggat dari tempat ini! Kedua lawannya ini takkan tertandingi olehnya dalam berkelahi. Meskipun mereka dalam keadaan sekarat. Hal itu sudah dia buktikan dengan anak muda asing ini.
Makanya, setelah ucapan si Bungsu tadi dia nyengir. Kemudian berkata:
“Bikin apa aku susah-susah melawan kalian. Cepat atau lambat, kalian akan mati disini. He….he…tinggallah…he..he..”
Dan dia berbalik.
Namun si Bungsu sudah berkata, bahwa dia akan membunuh lelaki itu. Dan itu dia buktikan.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya, anak muda ini bergulingan dua kali. Pimpinan Kumagaigumi wilayah Kyoto itu terkejut dan berpaling ke belakang. Saat itulah sambil bangkit dari duduk, si Bungsu melemparkan samurainya.
Dan dalam saat yang bersamaan, tangan Zato Ichi bergerak pula. Semula pimpinanKumagaigumi ini hanya merasa heran melihat anak muda itu bergulingan.
Tapi melihat dia menghayunkan tangan, dia segera menyadari bahaya. Sebagai salah seorang pimpinan Kumagaigumi, komplotan bandit yang ditakuti, dia tentu punya kepandaian yang tak dapat dianggap enteng.
Dia segera mencabut samurai untuk memukul jatuh lemparan si Bungsu. Namun saat itu pula dia melihat tangan Zato Ichi yang terduduk tiga depa disampingnya bergerak.
Untuk sesaat, dia menoleh. Tapi waktu yang hanya sesaat itu adalah kesalahannya yang paling fatal. Paling fatal dan paling akhir. Sebab setelah itu, tak ada lagi kesalahan-kesalahan yang bisa dia perbuat.
Samurai kecil yang dilemparkan Zato Ichi meleset karena dia berputar. Meleset dari sasaran yang mematikan. Zato Ichi membidik dadanya, tapi yang kena hanyalah bahunya.
Namun lemparan samurai si Bungsu justru menancap di lehernya yang berpaling ke arah Zato Ichi itu!
Demikian kuatnya lemparan dalam jarak dua depa itu. Samurai tersebut menancap hampir separoh. Tembus ke samping lehernya yang kiri.
Urat nadi besar di lehernya putus keduanya. Dan lelaki ini mati sebelum tubuhnya jatuh ke lantai batu!
Si Bungsu menoleh pada Zato Ichi. Zato Ichi menunduk.
“Lemparanmu sangat cepat dan mahir sekali Bungsu-san…” katanya pelan.
“Engkau tak apa-apa Ichi-san?”
Zato Ichi menggeleng lemah.
Namun begitu geleng kepalanya selesai, tubuhnya rubuh. Perutnya yang luka terlalu banyak mengeluarkan darah.
Si Bungsu tak segera dapat membantu. Buat sesaat dia masih bertelekan ke sarung samurainya. Dia masih jongkok di atas kedua lututnya. Memejamkan mata. Mengatur konsentrasi. Kemudian mengatur pernafasan menurut methode Silek Tuo Praiangan!
Dan sebenarnya, sistim pernafasan inilah kembali yang menyelamatkan nyawanya. Begitu tadi dia terminum racun, dia memang segera menyangka bahwa Zato Ichilah yang berbuat laknat itu.
Dia benar-benar tak menyangka bahwa pahlawan rakyat Jepang itu mau berbuat serendah itu. Meracuni orang yang sedang sakit.
Karena itu, dia segera mengatur pernafasan. Pernafasan secara silat Tuo Pagaruyung itu menghentikan denyut darah merah ke arah jantungnya.
Dia tak menghirup nafas dengan hidung, melainkan dengan mulut. Demikian juga ketika menghembuskannya keluar. Dengan menahan nafas sebisanya, dia berhasil mencegah masuknya racun itu ke jantung.
Dengan tetap mempertahankan sistim pernafasan begitu, dia berjalan keluar. Dan menantang Zato Ichi. Ketika dia bicara, sistim pernafasan itu sudah tentu tak bisa dia pertahankan, dan saat itulah dia muntah darah.
Namun segera setelah muntah darah hitam itu, dia mendapatkan dirinya agak lebih segar sedikit. Ketika Zato Ichi mendekatinya tadi, dan di saat dia bersiap untuk mencabut samurai melawannya, saat itu pulalah telinganya yang tajam itu mendengar nafas beberapa orang di belakangnya.
Firasatnya bekerja cepat sekali. Suara nafas itu pastilah berasal dari beberapa orang yang sedang bersembunyi. Kalau ada orang yang bersembunyi, tentulah ada hal yang tak beres.
Dia mencabut samurainya, dan berpura-pura rubuh!
Kini akan dia serangkah kedua orang yang tak berdaya ini? Atau lebih baik kabur? Kedua pilihan ini dipertimbangkannnya. Dia memang mencintai organisasinya. Tapi sudah tentu dia lebih mencintai nyawanya.
Kalau dia mati, bagaimana dengan dua orang isterinya yang muda-muda dan cantik itu? Tentu akan diambil alih oleh teman-temannya yang lain. Ih, mengingat ini, dia benar-benar tak mau mati.
Dan satu-satunya jalan untuk menghindar dari kematian adalah minggat dari tempat ini! Kedua lawannya ini takkan tertandingi olehnya dalam berkelahi. Meskipun mereka dalam keadaan sekarat. Hal itu sudah dia buktikan dengan anak muda asing ini.
Makanya, setelah ucapan si Bungsu tadi dia nyengir. Kemudian berkata:
“Bikin apa aku susah-susah melawan kalian. Cepat atau lambat, kalian akan mati disini. He….he…tinggallah…he..he..”
Dan dia berbalik.
Namun si Bungsu sudah berkata, bahwa dia akan membunuh lelaki itu. Dan itu dia buktikan.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya, anak muda ini bergulingan dua kali. Pimpinan Kumagaigumi wilayah Kyoto itu terkejut dan berpaling ke belakang. Saat itulah sambil bangkit dari duduk, si Bungsu melemparkan samurainya.
Dan dalam saat yang bersamaan, tangan Zato Ichi bergerak pula. Semula pimpinanKumagaigumi ini hanya merasa heran melihat anak muda itu bergulingan.
Tapi melihat dia menghayunkan tangan, dia segera menyadari bahaya. Sebagai salah seorang pimpinan Kumagaigumi, komplotan bandit yang ditakuti, dia tentu punya kepandaian yang tak dapat dianggap enteng.
Dia segera mencabut samurai untuk memukul jatuh lemparan si Bungsu. Namun saat itu pula dia melihat tangan Zato Ichi yang terduduk tiga depa disampingnya bergerak.
Untuk sesaat, dia menoleh. Tapi waktu yang hanya sesaat itu adalah kesalahannya yang paling fatal. Paling fatal dan paling akhir. Sebab setelah itu, tak ada lagi kesalahan-kesalahan yang bisa dia perbuat.
Samurai kecil yang dilemparkan Zato Ichi meleset karena dia berputar. Meleset dari sasaran yang mematikan. Zato Ichi membidik dadanya, tapi yang kena hanyalah bahunya.
Namun lemparan samurai si Bungsu justru menancap di lehernya yang berpaling ke arah Zato Ichi itu!
Demikian kuatnya lemparan dalam jarak dua depa itu. Samurai tersebut menancap hampir separoh. Tembus ke samping lehernya yang kiri.
Urat nadi besar di lehernya putus keduanya. Dan lelaki ini mati sebelum tubuhnya jatuh ke lantai batu!
Si Bungsu menoleh pada Zato Ichi. Zato Ichi menunduk.
“Lemparanmu sangat cepat dan mahir sekali Bungsu-san…” katanya pelan.
“Engkau tak apa-apa Ichi-san?”
Zato Ichi menggeleng lemah.
Namun begitu geleng kepalanya selesai, tubuhnya rubuh. Perutnya yang luka terlalu banyak mengeluarkan darah.
Si Bungsu tak segera dapat membantu. Buat sesaat dia masih bertelekan ke sarung samurainya. Dia masih jongkok di atas kedua lututnya. Memejamkan mata. Mengatur konsentrasi. Kemudian mengatur pernafasan menurut methode Silek Tuo Praiangan!
Dan sebenarnya, sistim pernafasan inilah kembali yang menyelamatkan nyawanya. Begitu tadi dia terminum racun, dia memang segera menyangka bahwa Zato Ichilah yang berbuat laknat itu.
Dia benar-benar tak menyangka bahwa pahlawan rakyat Jepang itu mau berbuat serendah itu. Meracuni orang yang sedang sakit.
Karena itu, dia segera mengatur pernafasan. Pernafasan secara silat Tuo Pagaruyung itu menghentikan denyut darah merah ke arah jantungnya.
Dia tak menghirup nafas dengan hidung, melainkan dengan mulut. Demikian juga ketika menghembuskannya keluar. Dengan menahan nafas sebisanya, dia berhasil mencegah masuknya racun itu ke jantung.
Dengan tetap mempertahankan sistim pernafasan begitu, dia berjalan keluar. Dan menantang Zato Ichi. Ketika dia bicara, sistim pernafasan itu sudah tentu tak bisa dia pertahankan, dan saat itulah dia muntah darah.
Namun segera setelah muntah darah hitam itu, dia mendapatkan dirinya agak lebih segar sedikit. Ketika Zato Ichi mendekatinya tadi, dan di saat dia bersiap untuk mencabut samurai melawannya, saat itu pulalah telinganya yang tajam itu mendengar nafas beberapa orang di belakangnya.
Firasatnya bekerja cepat sekali. Suara nafas itu pastilah berasal dari beberapa orang yang sedang bersembunyi. Kalau ada orang yang bersembunyi, tentulah ada hal yang tak beres.
Dia mencabut samurainya, dan berpura-pura rubuh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar