Tikam Samurai - 242
Dan kejadia selanjutnya, yaitu munculnya ketiga anggota Kumagaigumi itu, kemudian dialok Zato Ichi dengan mereka, membuat persoalan jadi jelas bagi si Bungsu.
Sambil tetap telungkup, pura-pura mati, dia mendengarkan pembicaraan mereka. Tapi sekaligus dia juga mengatur pernafasannnya. Dia memang dibuat seperti akan lumpuh oleh pengaruh racun yang terminum dalam obat itu.
Untung saja racun itu hanya sedikit yang dia minum. Obat itu tak dia teguk semua karena firasatnya berkata bahwa ada yang tak beres dengan obat tersebut.
Lalu dia bangkit menabskan samurainya pada saat yang tepat sekali. Yaitu ketika ketiga orang itu akan mengeroyok Zato Ichi.
Kini dia mengatur pernafasannya. Memang tak pulih seperti sediakala. Racun itu masih menggerogoti tubuh dan darahnya. Namun keadaan sudah jauh lebih baik. Dia membuka mata, dan melihat tubuh Zato Ichi terbaring diam.
Dengan mengumpulkan tenaganya si Bungsu melangkah mendekati Zato Ichi. Dari gelombang didadanya, dia tahu lelaki itu masih hidup.
Dia tak mungkin mengangkat tubuh Zato Ichi ke dalam. Satu-satunya jalan adalah menyeret tubuhnya ke rumah kayu itu.
Namun perkelahian di depan rumah di belakang kuil itu bukan merupakan perkelahian yang terakhir bagi si Bungsu.
Empat hari setelah itu, sekawanan anggota Kumagaigumi mengepung tempat itu kembali. Jumlah mereka tak kurang dari sepeuluh orang. Si Bungsu yang memang telah waspada, mendengar kedatangan mereka sebelum mereka sampai ke rumah tersebut.
Dia tenagh meramu obat sesuai dengan petunjuk Zato Ichi ketika langkah kaki kesepuluh orang itu tertangkap oleh telinganya.
Dia menatap pada Zato Ichi, pendekar Jepang itu, yang terbaring lemah, yang juga mendengar suara kaki mengitari rumah dimana mereka tinggal itu, berusaha untuk bangkit.
Tapi dia segera terbaring lagi dengan meringis. Luka di perutnya tak segera bisa sembuh. Meskipun obat yang diramu si Bungsu sama dengan yang dia ramu untuk mengobati luka si Bungsu dahulu.
Meski kemujaraban obatnya sama, tapi perbedaan usia mereka membuat daya kerja obat itu berbeda pula kemanjurannya.
Pada tubuh si Bungsu, lukanya cepat sekali jadi sembuh oleh obat itu, sebab usianya masih muda. Karena itu rekasi jaringan darahnya bekerja cepat begitu dibubuhi obat.
Lain halnya pada tubuh Zato Ichi. Usianya yang telah amat tua menyebabkan reaksi jaringan darah ditubuhnya bekerja lebih lambat. Makanya lukanya jadi lambat pula untuk sembuh.
Zato Ichi ingin menghadapi orang yang mengepung rumah ini bersama dengan si Bungsu. namun lukanya tak mengizinkan.
“Tidak udah khawatir Ichi-san. Berbaringlah dengan diam. Saya akan membereskan mereka…” suara si Bungsu terdengar perlahan.
Zato Ichi menatap padanya dengan perasaan menyesal.
“Pergilah Bungsu-san. Tinggalkan tempat ini. Engkau masih bisa menyelamatkan dirimu…”
Si Bungsu tersenyum.
“Kenapa harus lari dari mereka? Tidak, mereka menginginkan saya, dan itu akan mereka peroleh…”
“Saya terlalu lemah Bungsu-san. Saya tak bisa membantumu…”
“Tetaplah disini Ichi-san. Saya akan menghadapi mereka…”
Dan si Bungsu meraih samurainya. Tubuhnya kini memang sudah sembuh benar.
Angin menerpa wajahnya ketika dia tegak di pintu rumah kayu di belakang kuil tua itu. Dan kesepuluh orang Kumagaigumi itu tegak membentuk setengah lingkaran dihadapannya.
Mereka semua diam.
Si Bungsu juga diam.
Mereka saling tatap dan saling mengukur.
Si Bungsu dapat menduga, bahwa yang datang ini tentulah bukan sembarangan orang.
“Engkau yang bernama si Bungsu dari Indonesia?”
Seorang lelaki berkepala botak, yang mirip pendeta di kuil Shimogamo, bertanya dengan suara datar dan dingin.
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia menyapu kesepuluh orang itu dengan tatapan mata menyelidik. Bagaimana dia harus menghadapi orang sebanyak ini?
Tapi akhirnya dia mengangguk ketika orang gemuk itu kembali bertanya tentang namanya.
“Dimana Zato Ichi…?” kembali si kepalabotak itu bertanya setelah si Bungsu mengangguk.
“Dia ada di dalam…” jawabnya.
“Suruh keluar dia…”
“Dia tak bisa keluar. Dia sakit…”
“Dia harus keluar. Katakan bahwa pimpinan Kuil Kofukuji dari Nara datang menuntut balas…”
Sambil tetap telungkup, pura-pura mati, dia mendengarkan pembicaraan mereka. Tapi sekaligus dia juga mengatur pernafasannnya. Dia memang dibuat seperti akan lumpuh oleh pengaruh racun yang terminum dalam obat itu.
Untung saja racun itu hanya sedikit yang dia minum. Obat itu tak dia teguk semua karena firasatnya berkata bahwa ada yang tak beres dengan obat tersebut.
Lalu dia bangkit menabskan samurainya pada saat yang tepat sekali. Yaitu ketika ketiga orang itu akan mengeroyok Zato Ichi.
Kini dia mengatur pernafasannya. Memang tak pulih seperti sediakala. Racun itu masih menggerogoti tubuh dan darahnya. Namun keadaan sudah jauh lebih baik. Dia membuka mata, dan melihat tubuh Zato Ichi terbaring diam.
Dengan mengumpulkan tenaganya si Bungsu melangkah mendekati Zato Ichi. Dari gelombang didadanya, dia tahu lelaki itu masih hidup.
Dia tak mungkin mengangkat tubuh Zato Ichi ke dalam. Satu-satunya jalan adalah menyeret tubuhnya ke rumah kayu itu.
Namun perkelahian di depan rumah di belakang kuil itu bukan merupakan perkelahian yang terakhir bagi si Bungsu.
Empat hari setelah itu, sekawanan anggota Kumagaigumi mengepung tempat itu kembali. Jumlah mereka tak kurang dari sepeuluh orang. Si Bungsu yang memang telah waspada, mendengar kedatangan mereka sebelum mereka sampai ke rumah tersebut.
Dia tenagh meramu obat sesuai dengan petunjuk Zato Ichi ketika langkah kaki kesepuluh orang itu tertangkap oleh telinganya.
Dia menatap pada Zato Ichi, pendekar Jepang itu, yang terbaring lemah, yang juga mendengar suara kaki mengitari rumah dimana mereka tinggal itu, berusaha untuk bangkit.
Tapi dia segera terbaring lagi dengan meringis. Luka di perutnya tak segera bisa sembuh. Meskipun obat yang diramu si Bungsu sama dengan yang dia ramu untuk mengobati luka si Bungsu dahulu.
Meski kemujaraban obatnya sama, tapi perbedaan usia mereka membuat daya kerja obat itu berbeda pula kemanjurannya.
Pada tubuh si Bungsu, lukanya cepat sekali jadi sembuh oleh obat itu, sebab usianya masih muda. Karena itu rekasi jaringan darahnya bekerja cepat begitu dibubuhi obat.
Lain halnya pada tubuh Zato Ichi. Usianya yang telah amat tua menyebabkan reaksi jaringan darah ditubuhnya bekerja lebih lambat. Makanya lukanya jadi lambat pula untuk sembuh.
Zato Ichi ingin menghadapi orang yang mengepung rumah ini bersama dengan si Bungsu. namun lukanya tak mengizinkan.
“Tidak udah khawatir Ichi-san. Berbaringlah dengan diam. Saya akan membereskan mereka…” suara si Bungsu terdengar perlahan.
Zato Ichi menatap padanya dengan perasaan menyesal.
“Pergilah Bungsu-san. Tinggalkan tempat ini. Engkau masih bisa menyelamatkan dirimu…”
Si Bungsu tersenyum.
“Kenapa harus lari dari mereka? Tidak, mereka menginginkan saya, dan itu akan mereka peroleh…”
“Saya terlalu lemah Bungsu-san. Saya tak bisa membantumu…”
“Tetaplah disini Ichi-san. Saya akan menghadapi mereka…”
Dan si Bungsu meraih samurainya. Tubuhnya kini memang sudah sembuh benar.
Angin menerpa wajahnya ketika dia tegak di pintu rumah kayu di belakang kuil tua itu. Dan kesepuluh orang Kumagaigumi itu tegak membentuk setengah lingkaran dihadapannya.
Mereka semua diam.
Si Bungsu juga diam.
Mereka saling tatap dan saling mengukur.
Si Bungsu dapat menduga, bahwa yang datang ini tentulah bukan sembarangan orang.
“Engkau yang bernama si Bungsu dari Indonesia?”
Seorang lelaki berkepala botak, yang mirip pendeta di kuil Shimogamo, bertanya dengan suara datar dan dingin.
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia menyapu kesepuluh orang itu dengan tatapan mata menyelidik. Bagaimana dia harus menghadapi orang sebanyak ini?
Tapi akhirnya dia mengangguk ketika orang gemuk itu kembali bertanya tentang namanya.
“Dimana Zato Ichi…?” kembali si kepalabotak itu bertanya setelah si Bungsu mengangguk.
“Dia ada di dalam…” jawabnya.
“Suruh keluar dia…”
“Dia tak bisa keluar. Dia sakit…”
“Dia harus keluar. Katakan bahwa pimpinan Kuil Kofukuji dari Nara datang menuntut balas…”
Tikam Samurai - 243
“Tidak. Apapun urusan kalian dengannya ki ni harus melalui tanganku…”
“Hmm, anak muda asing. Sejak kapan kau mencampuri urusan orang lain di negri ini?”
“Sejak kalian mencampuri urusanku…”
Lelaki gemuk itu tertawa berguman.
“Sejak kapan saya mencampuri urusanmu anak muda?”
“Bukankah kalian datang untuk mencabut nyawaku?”
Lelaki gemuk itu tertawa lagi perlahan. Suaranya seperti berguman rendah. Nampak bahwa dia sangat tenang sekali. Dan itu membuat si Bungsu jadi waspada. Orang gemuk ini tentulah orang yang sangat berisi.
“Siapa bilang bahwa kami menghendaki nyawamu? Tak ada urusan kami denganmu anak muda. Engkau boleh pergi kemanapun engkau suka. Kami hanya berurusan dengan Zato Ichi”
Si Bungsu tertegun. Benarkah lelaki ini bukan dari Kumagaigumi? Dan benarkah mereka bukan menghendaki nyawanya? Ketika dia tengah berfikir itu, dia mendengar suara dengus nafas perlahan di belakangnya. Dia menoleh. Dan Zato Ichi berdiri di sana sambil menahan sakitnya.
“Ichi-san….!” Katanya kaget.
Zato Ichi menatap pada lelaki botak itu.
Dia coba mengenalinya. Namun dia benar-benar tak mengenal lelaki itu.
“Saya dengar anda mencari saya…” katanya. Lelaki botak yang mengaku dari Kuil Kofukuji di kota Nara itu menatap tajam pada Zato Ichi. Pendekar buta itu seperti menatap padanya dengan matanya yang buta. Aneh dan agak menyedihkan memang.
“Ya. Saya mencari anda….masih ingat kuil Kofukuji di Nara?”
Zato Ichi menarik nafas panjang. Menghembuskannya seperti menghembuskan masa lalu yang pahit.
“Ya. Saya masih ingat. Siapa anda?” tanyanya perlahan.
“Saya dahulu pernah mengepalai pendeta di kuil itu. Nama saya Zendo…”
“Zendo…” Zato Ichi mengulang menyebut nama itu seperti berfikir.
“Zendo….maafkan saya tak bisa mengingat”
“Ya, engkau takkan pernah mengingat nama itu Zato Ichi. Karena ketika pemimpin Kuil Kofukuji yang bernama Akira engkau bunuh, empat puluh tahun yang lalu, aku masih kecil. Masih berusia sepuluh tahun…”
Zato Ichi kembali menarik nafas panjang.
“Akira…..” katanya perlahan.
“Ya. Akira dari Kofukuji adalah abangku yang paling tua…”
Zato Ichi jadi sangat terkejut.
“Engkau adik Akira?”
“Ya. Dan kini aku datang untuk menuntut pembantaian yang sudah empat puluh tahun itu…”
“Ah, sudah lama sekali…” suara Zato Ichi terdengar perlahan. Sementara dia mengangsurkan dirinya ke samping. Kemudian perlahan duduk di kursi batu. Tiga depa dari si Bungsu.
“Ya. Sudah lama sekali. Sudah empat puluh tahun. Dan selama itu pula saya menanti kesempatan ini Zato Ichi. Kesempatan untuk membalaskan dendam kematian abang saya…”
“Apakah engkau mengerti apa yang sebenarnya terjadi antara saya dengan abangmu itu Zendo? Maksud saya, apakah engkau mengerti sepenuhnya kenapa kami bertarung, dan menyebabkan kematiannya?”
“Kenapa tidak. Suatu malam seorang buta datang ke kuil, kelak saya ketahui bahwa orang buta itu adalah engkau, abang saya nampaknya bersahabat dengan anda. Dia menerima anda dengan baik. Tapi esok paginya, dia telah terbujur jadi mayat dengan seorang imam kuil, sementara engkau tak ada lagi disana.
Menurut penuturan imam yang lain, kalian bertengkar perkara sumbangan keluarga Kendo pada kuil. Dan sumbangan yang merupakan wakaf itu adalah milik kuil. Kenapa engkau ikut campur urusan abangku yang menjadi pemimpin Kuil itu? Tapi kini persoalannya adalah hutang nyawa di bayar nyawa. Kami datang untuk menuntut balas”
Sehabis berkata begini, tanpa menunggu reaksi dari Zato Ichi, kesepuluh orang itu segera saja mendekat.
“Tunggu….” Pendekar buta itu masih coba menghindarkan pertumpahan darah.
Zendo memberi isyarat. Dan kesembilan temannya yang bergerak maju menghentikan langkah.
“Harapkan dengarkan dahulu Zendo-san. Saya tak ingin kesalahpahaman itu terulang lagi…”
“Apakah engkau akan berkata bahwa yang bersalah dalam hal itu adalah abangku?”
“Dengarlah dulu…”
Tapi Zendo tak mendengarkan. Nampanya dendam selama 40 tahun itu merupakan dendam yang harus dibalaskan hari ini.
Namun mereka terhenti lagi ketika anak muda yang bernama Bungsu itu maju tegak antara mereka dan Zato Ichi.
“Tidak. Apapun urusan kalian dengannya ki ni harus melalui tanganku…”
“Hmm, anak muda asing. Sejak kapan kau mencampuri urusan orang lain di negri ini?”
“Sejak kalian mencampuri urusanku…”
Lelaki gemuk itu tertawa berguman.
“Sejak kapan saya mencampuri urusanmu anak muda?”
“Bukankah kalian datang untuk mencabut nyawaku?”
Lelaki gemuk itu tertawa lagi perlahan. Suaranya seperti berguman rendah. Nampak bahwa dia sangat tenang sekali. Dan itu membuat si Bungsu jadi waspada. Orang gemuk ini tentulah orang yang sangat berisi.
“Siapa bilang bahwa kami menghendaki nyawamu? Tak ada urusan kami denganmu anak muda. Engkau boleh pergi kemanapun engkau suka. Kami hanya berurusan dengan Zato Ichi”
Si Bungsu tertegun. Benarkah lelaki ini bukan dari Kumagaigumi? Dan benarkah mereka bukan menghendaki nyawanya? Ketika dia tengah berfikir itu, dia mendengar suara dengus nafas perlahan di belakangnya. Dia menoleh. Dan Zato Ichi berdiri di sana sambil menahan sakitnya.
“Ichi-san….!” Katanya kaget.
Zato Ichi menatap pada lelaki botak itu.
Dia coba mengenalinya. Namun dia benar-benar tak mengenal lelaki itu.
“Saya dengar anda mencari saya…” katanya. Lelaki botak yang mengaku dari Kuil Kofukuji di kota Nara itu menatap tajam pada Zato Ichi. Pendekar buta itu seperti menatap padanya dengan matanya yang buta. Aneh dan agak menyedihkan memang.
“Ya. Saya mencari anda….masih ingat kuil Kofukuji di Nara?”
Zato Ichi menarik nafas panjang. Menghembuskannya seperti menghembuskan masa lalu yang pahit.
“Ya. Saya masih ingat. Siapa anda?” tanyanya perlahan.
“Saya dahulu pernah mengepalai pendeta di kuil itu. Nama saya Zendo…”
“Zendo…” Zato Ichi mengulang menyebut nama itu seperti berfikir.
“Zendo….maafkan saya tak bisa mengingat”
“Ya, engkau takkan pernah mengingat nama itu Zato Ichi. Karena ketika pemimpin Kuil Kofukuji yang bernama Akira engkau bunuh, empat puluh tahun yang lalu, aku masih kecil. Masih berusia sepuluh tahun…”
Zato Ichi kembali menarik nafas panjang.
“Akira…..” katanya perlahan.
“Ya. Akira dari Kofukuji adalah abangku yang paling tua…”
Zato Ichi jadi sangat terkejut.
“Engkau adik Akira?”
“Ya. Dan kini aku datang untuk menuntut pembantaian yang sudah empat puluh tahun itu…”
“Ah, sudah lama sekali…” suara Zato Ichi terdengar perlahan. Sementara dia mengangsurkan dirinya ke samping. Kemudian perlahan duduk di kursi batu. Tiga depa dari si Bungsu.
“Ya. Sudah lama sekali. Sudah empat puluh tahun. Dan selama itu pula saya menanti kesempatan ini Zato Ichi. Kesempatan untuk membalaskan dendam kematian abang saya…”
“Apakah engkau mengerti apa yang sebenarnya terjadi antara saya dengan abangmu itu Zendo? Maksud saya, apakah engkau mengerti sepenuhnya kenapa kami bertarung, dan menyebabkan kematiannya?”
“Kenapa tidak. Suatu malam seorang buta datang ke kuil, kelak saya ketahui bahwa orang buta itu adalah engkau, abang saya nampaknya bersahabat dengan anda. Dia menerima anda dengan baik. Tapi esok paginya, dia telah terbujur jadi mayat dengan seorang imam kuil, sementara engkau tak ada lagi disana.
Menurut penuturan imam yang lain, kalian bertengkar perkara sumbangan keluarga Kendo pada kuil. Dan sumbangan yang merupakan wakaf itu adalah milik kuil. Kenapa engkau ikut campur urusan abangku yang menjadi pemimpin Kuil itu? Tapi kini persoalannya adalah hutang nyawa di bayar nyawa. Kami datang untuk menuntut balas”
Sehabis berkata begini, tanpa menunggu reaksi dari Zato Ichi, kesepuluh orang itu segera saja mendekat.
“Tunggu….” Pendekar buta itu masih coba menghindarkan pertumpahan darah.
Zendo memberi isyarat. Dan kesembilan temannya yang bergerak maju menghentikan langkah.
“Harapkan dengarkan dahulu Zendo-san. Saya tak ingin kesalahpahaman itu terulang lagi…”
“Apakah engkau akan berkata bahwa yang bersalah dalam hal itu adalah abangku?”
“Dengarlah dulu…”
Tapi Zendo tak mendengarkan. Nampanya dendam selama 40 tahun itu merupakan dendam yang harus dibalaskan hari ini.
Namun mereka terhenti lagi ketika anak muda yang bernama Bungsu itu maju tegak antara mereka dan Zato Ichi.
Tikam Samurai - 244
“Anak muda, sudah kukatakan, kami tak ikut campur urusanmu, maka jangan ikut campur urusanku…”
Suara Zendo terdengar perlahan mengingatkan.
“Maafkan. Saya berhutang nyawa pada Zato Ichi. Maka kalau ada orang lain yang menghendaki nyawanya, maka saya harus membantunya….”
“Apakah negerimu tak beradat anak muda. Sehingga engkau bisa demikian saja ikut campur urusan orang lain?”
Muka si Bungsu jadi merah padam. Negerinya dikatakan tak beradat. Amboi! Dia terungat pada Minangkabau. Negeri yang adatnya tak lapuk dek hujan. Tak lekang dek panas.
Negeri leluhur dimana darahnya tumpah ketika dilahirkan. Negeri bergunung megah berlembah indah yang melantunkan rasa rindu. Negeri yang telah mengorbankan ribuan nyawa untuk mempertahankan adat istiadatnya dari jajahan Jepang, kini dikatakan oleh Jepang Gemuk Botak dihadapannya sebagai negeri yang tak beradat!
Dia tersenyum. Tapi jelas senyumnya bukanlah senyum tanda suka hati. Senyumnya jelas membayangkan luka dan amarah yang besar. Barangkali dia takkan semarah itu benar, kalau si gemuk itu memaki dirinya yang tak beradat. Tidak, dia takkan seberang itu benar.
Tapi kini negerinya yang dikatakan tak beradat. Meskipun dia seperti telah dibuang oleh orang kampungnya, oleh anak negeri, namun rasa cinta kampung, cinta negeri di lubuk hatinya tak dapat dipupus hanya karena kebencian orang kampung padanya.
Tidak. Kebencian pada orang kampung, yaitu kalaupun ada kebencian dihatinya, merupakan hal yang terpisah dari rasa cintanya pada negerinya.
“Jangan diulang lagi ucapan yang mengatakan negeri tak beradat….” Suaranya terdengar perlahan. Pendeta yang bernama Zendo itu masih akan melanjutkan seringainya. Namun seringai ejekannya itu dia telan cepat-cepat begitu mendengar suara anak muda itu. Dia jadi tertegun melihat ekspresi muka anak muda itu.
Dan dia tahu suara anak muda yang mirip bisikan itu merupakan suatu peringatan yang berbahaya. Dia menatap wajah anak muda itu. Anak muda itu juga menatapnya dengan wajah yang dingin.
Si Bungsu teringat lagi pada negerinya yang baru sebentar ini dikatakan tak beradat oleh pendeta itu. Meskipun di negerinya itu kini banyak kaum cerdik pandai dan ninik mamak yang mempergunakan adat untuk kepentingan pribadi mereka, namun dia tetap tak bisa menerima negerinya dicerca.
Kesepuluh orang yang ternyata bukan anggota Kumagaigumi itu menatap anak muda tersebut dengan diam. Mereka sudah mendengar tentang kehebatan anak muda ini. Mereka dengar dari cerita di kuil Shimogamo. Mereka dengar dari anggota bandit Kumagaigumi. Mereka menatap dengan perasaan takjub dan ingin tahu. Apakah anak muda ini memang hebat seperti yang diceritakan itu?
Dan ketika mereka tengah berfikir begitu, anak muda itu berkata lagi:
“Di Negeri saya, untuk mau didengarkan orang, maka kita harus mau mendengarkan kata-kata orang. Apa salahnya tuan mendengarkan penjelasan Ichi-san tentang peristiwa itu…”
Zendo tertawa. Untuk pertama kalinya sejak kehadiran mereka di sekitar kuil itu, lelaki ini tertawa. Tawanya merupakan guman perlahan saja. Dan dia sebenarnya adalah lelaki yang berwibawa.
“Apa artinya mendengarkan atau tidak. Sebab apapun yang dia ceritakan saya tak pernah merobah niat untuk membunuhnya. Menuntut balas kematian abang saya…”
“Apakah itu suatu penyelesaian?”
“Ya. Itulah satu-satunya penyelesaian…”
“Tak perduli apakah abang tuan bersalah atau tidak”
“Anak muda, tak perlu segala omong kosongmu itu. Saya tahu dengan pasti apa yang akan saya perbuat. Kini menghindarlah dari sana…!” dan tanpa menunggu reaksi si Bungsu dia memberi isyarat kepada sembilan orang temannya.
Kesembilan orang itu serentak mencabut samurainya dan berjalan menghampiri Zato Ichi. Yang terakhir ini masih tetap duduk dengan tenang dan kepala tunduk di kursi batu tiga depa dari si Bungsu.
Namun si Bungsu melangkah menghampiri Zato Ichi. Dan tatapan matanya serta ekspresi wajahnya kembali membuat kesembilan lelaki itu terhenti.
Anak muda ini nampaknya tak main-main.
“Kalian dengar dulu apa sebabnya perkelahian itu terjadi…” desisnya tajam.
“Kalau saya tak mau?” Zendo balas mengancam dengan muka merah.
“Kalau tuan tak mau, maka tuan harus menyabung nyawa dengan saya…” suara si Bungsu tegas. Dia tak mau Zato Ichi dikeroyok secara tak adil begini. Dia tahu kesehatan pahlawan samurai Jepang itu belum pulih. Barangkalai dia masih akan mampu menewaskan empat atau lima orang. Tapi tak lebih dari itu, setelah itu nyawa tokoh legenda Jepang itu sudah bisa diramalkan. Dibantai oleh bangsanya sendiri.
Namapaknya pertumpahan darah memang tak terhindarkan. Salah seorang bawahan Zendo yang tegak di belakang si Bungsu menjadi berang melihat anak muda ini berlancang mulut menghalangi pimpinannya.
“Anak muda, sudah kukatakan, kami tak ikut campur urusanmu, maka jangan ikut campur urusanku…”
Suara Zendo terdengar perlahan mengingatkan.
“Maafkan. Saya berhutang nyawa pada Zato Ichi. Maka kalau ada orang lain yang menghendaki nyawanya, maka saya harus membantunya….”
“Apakah negerimu tak beradat anak muda. Sehingga engkau bisa demikian saja ikut campur urusan orang lain?”
Muka si Bungsu jadi merah padam. Negerinya dikatakan tak beradat. Amboi! Dia terungat pada Minangkabau. Negeri yang adatnya tak lapuk dek hujan. Tak lekang dek panas.
Negeri leluhur dimana darahnya tumpah ketika dilahirkan. Negeri bergunung megah berlembah indah yang melantunkan rasa rindu. Negeri yang telah mengorbankan ribuan nyawa untuk mempertahankan adat istiadatnya dari jajahan Jepang, kini dikatakan oleh Jepang Gemuk Botak dihadapannya sebagai negeri yang tak beradat!
Dia tersenyum. Tapi jelas senyumnya bukanlah senyum tanda suka hati. Senyumnya jelas membayangkan luka dan amarah yang besar. Barangkali dia takkan semarah itu benar, kalau si gemuk itu memaki dirinya yang tak beradat. Tidak, dia takkan seberang itu benar.
Tapi kini negerinya yang dikatakan tak beradat. Meskipun dia seperti telah dibuang oleh orang kampungnya, oleh anak negeri, namun rasa cinta kampung, cinta negeri di lubuk hatinya tak dapat dipupus hanya karena kebencian orang kampung padanya.
Tidak. Kebencian pada orang kampung, yaitu kalaupun ada kebencian dihatinya, merupakan hal yang terpisah dari rasa cintanya pada negerinya.
“Jangan diulang lagi ucapan yang mengatakan negeri tak beradat….” Suaranya terdengar perlahan. Pendeta yang bernama Zendo itu masih akan melanjutkan seringainya. Namun seringai ejekannya itu dia telan cepat-cepat begitu mendengar suara anak muda itu. Dia jadi tertegun melihat ekspresi muka anak muda itu.
Dan dia tahu suara anak muda yang mirip bisikan itu merupakan suatu peringatan yang berbahaya. Dia menatap wajah anak muda itu. Anak muda itu juga menatapnya dengan wajah yang dingin.
Si Bungsu teringat lagi pada negerinya yang baru sebentar ini dikatakan tak beradat oleh pendeta itu. Meskipun di negerinya itu kini banyak kaum cerdik pandai dan ninik mamak yang mempergunakan adat untuk kepentingan pribadi mereka, namun dia tetap tak bisa menerima negerinya dicerca.
Kesepuluh orang yang ternyata bukan anggota Kumagaigumi itu menatap anak muda tersebut dengan diam. Mereka sudah mendengar tentang kehebatan anak muda ini. Mereka dengar dari cerita di kuil Shimogamo. Mereka dengar dari anggota bandit Kumagaigumi. Mereka menatap dengan perasaan takjub dan ingin tahu. Apakah anak muda ini memang hebat seperti yang diceritakan itu?
Dan ketika mereka tengah berfikir begitu, anak muda itu berkata lagi:
“Di Negeri saya, untuk mau didengarkan orang, maka kita harus mau mendengarkan kata-kata orang. Apa salahnya tuan mendengarkan penjelasan Ichi-san tentang peristiwa itu…”
Zendo tertawa. Untuk pertama kalinya sejak kehadiran mereka di sekitar kuil itu, lelaki ini tertawa. Tawanya merupakan guman perlahan saja. Dan dia sebenarnya adalah lelaki yang berwibawa.
“Apa artinya mendengarkan atau tidak. Sebab apapun yang dia ceritakan saya tak pernah merobah niat untuk membunuhnya. Menuntut balas kematian abang saya…”
“Apakah itu suatu penyelesaian?”
“Ya. Itulah satu-satunya penyelesaian…”
“Tak perduli apakah abang tuan bersalah atau tidak”
“Anak muda, tak perlu segala omong kosongmu itu. Saya tahu dengan pasti apa yang akan saya perbuat. Kini menghindarlah dari sana…!” dan tanpa menunggu reaksi si Bungsu dia memberi isyarat kepada sembilan orang temannya.
Kesembilan orang itu serentak mencabut samurainya dan berjalan menghampiri Zato Ichi. Yang terakhir ini masih tetap duduk dengan tenang dan kepala tunduk di kursi batu tiga depa dari si Bungsu.
Namun si Bungsu melangkah menghampiri Zato Ichi. Dan tatapan matanya serta ekspresi wajahnya kembali membuat kesembilan lelaki itu terhenti.
Anak muda ini nampaknya tak main-main.
“Kalian dengar dulu apa sebabnya perkelahian itu terjadi…” desisnya tajam.
“Kalau saya tak mau?” Zendo balas mengancam dengan muka merah.
“Kalau tuan tak mau, maka tuan harus menyabung nyawa dengan saya…” suara si Bungsu tegas. Dia tak mau Zato Ichi dikeroyok secara tak adil begini. Dia tahu kesehatan pahlawan samurai Jepang itu belum pulih. Barangkalai dia masih akan mampu menewaskan empat atau lima orang. Tapi tak lebih dari itu, setelah itu nyawa tokoh legenda Jepang itu sudah bisa diramalkan. Dibantai oleh bangsanya sendiri.
Namapaknya pertumpahan darah memang tak terhindarkan. Salah seorang bawahan Zendo yang tegak di belakang si Bungsu menjadi berang melihat anak muda ini berlancang mulut menghalangi pimpinannya.
Suara Zendo terdengar perlahan mengingatkan.
“Maafkan. Saya berhutang nyawa pada Zato Ichi. Maka kalau ada orang lain yang menghendaki nyawanya, maka saya harus membantunya….”
“Apakah negerimu tak beradat anak muda. Sehingga engkau bisa demikian saja ikut campur urusan orang lain?”
Muka si Bungsu jadi merah padam. Negerinya dikatakan tak beradat. Amboi! Dia terungat pada Minangkabau. Negeri yang adatnya tak lapuk dek hujan. Tak lekang dek panas.
Negeri leluhur dimana darahnya tumpah ketika dilahirkan. Negeri bergunung megah berlembah indah yang melantunkan rasa rindu. Negeri yang telah mengorbankan ribuan nyawa untuk mempertahankan adat istiadatnya dari jajahan Jepang, kini dikatakan oleh Jepang Gemuk Botak dihadapannya sebagai negeri yang tak beradat!
Dia tersenyum. Tapi jelas senyumnya bukanlah senyum tanda suka hati. Senyumnya jelas membayangkan luka dan amarah yang besar. Barangkali dia takkan semarah itu benar, kalau si gemuk itu memaki dirinya yang tak beradat. Tidak, dia takkan seberang itu benar.
Tapi kini negerinya yang dikatakan tak beradat. Meskipun dia seperti telah dibuang oleh orang kampungnya, oleh anak negeri, namun rasa cinta kampung, cinta negeri di lubuk hatinya tak dapat dipupus hanya karena kebencian orang kampung padanya.
Tidak. Kebencian pada orang kampung, yaitu kalaupun ada kebencian dihatinya, merupakan hal yang terpisah dari rasa cintanya pada negerinya.
“Jangan diulang lagi ucapan yang mengatakan negeri tak beradat….” Suaranya terdengar perlahan. Pendeta yang bernama Zendo itu masih akan melanjutkan seringainya. Namun seringai ejekannya itu dia telan cepat-cepat begitu mendengar suara anak muda itu. Dia jadi tertegun melihat ekspresi muka anak muda itu.
Dan dia tahu suara anak muda yang mirip bisikan itu merupakan suatu peringatan yang berbahaya. Dia menatap wajah anak muda itu. Anak muda itu juga menatapnya dengan wajah yang dingin.
Si Bungsu teringat lagi pada negerinya yang baru sebentar ini dikatakan tak beradat oleh pendeta itu. Meskipun di negerinya itu kini banyak kaum cerdik pandai dan ninik mamak yang mempergunakan adat untuk kepentingan pribadi mereka, namun dia tetap tak bisa menerima negerinya dicerca.
Kesepuluh orang yang ternyata bukan anggota Kumagaigumi itu menatap anak muda tersebut dengan diam. Mereka sudah mendengar tentang kehebatan anak muda ini. Mereka dengar dari cerita di kuil Shimogamo. Mereka dengar dari anggota bandit Kumagaigumi. Mereka menatap dengan perasaan takjub dan ingin tahu. Apakah anak muda ini memang hebat seperti yang diceritakan itu?
Dan ketika mereka tengah berfikir begitu, anak muda itu berkata lagi:
“Di Negeri saya, untuk mau didengarkan orang, maka kita harus mau mendengarkan kata-kata orang. Apa salahnya tuan mendengarkan penjelasan Ichi-san tentang peristiwa itu…”
Zendo tertawa. Untuk pertama kalinya sejak kehadiran mereka di sekitar kuil itu, lelaki ini tertawa. Tawanya merupakan guman perlahan saja. Dan dia sebenarnya adalah lelaki yang berwibawa.
“Apa artinya mendengarkan atau tidak. Sebab apapun yang dia ceritakan saya tak pernah merobah niat untuk membunuhnya. Menuntut balas kematian abang saya…”
“Apakah itu suatu penyelesaian?”
“Ya. Itulah satu-satunya penyelesaian…”
“Tak perduli apakah abang tuan bersalah atau tidak”
“Anak muda, tak perlu segala omong kosongmu itu. Saya tahu dengan pasti apa yang akan saya perbuat. Kini menghindarlah dari sana…!” dan tanpa menunggu reaksi si Bungsu dia memberi isyarat kepada sembilan orang temannya.
Kesembilan orang itu serentak mencabut samurainya dan berjalan menghampiri Zato Ichi. Yang terakhir ini masih tetap duduk dengan tenang dan kepala tunduk di kursi batu tiga depa dari si Bungsu.
Namun si Bungsu melangkah menghampiri Zato Ichi. Dan tatapan matanya serta ekspresi wajahnya kembali membuat kesembilan lelaki itu terhenti.
Anak muda ini nampaknya tak main-main.
“Kalian dengar dulu apa sebabnya perkelahian itu terjadi…” desisnya tajam.
“Kalau saya tak mau?” Zendo balas mengancam dengan muka merah.
“Kalau tuan tak mau, maka tuan harus menyabung nyawa dengan saya…” suara si Bungsu tegas. Dia tak mau Zato Ichi dikeroyok secara tak adil begini. Dia tahu kesehatan pahlawan samurai Jepang itu belum pulih. Barangkalai dia masih akan mampu menewaskan empat atau lima orang. Tapi tak lebih dari itu, setelah itu nyawa tokoh legenda Jepang itu sudah bisa diramalkan. Dibantai oleh bangsanya sendiri.
Namapaknya pertumpahan darah memang tak terhindarkan. Salah seorang bawahan Zendo yang tegak di belakang si Bungsu menjadi berang melihat anak muda ini berlancang mulut menghalangi pimpinannya.
Tikam Samurai - 245
Lelaki itu tinggi kurus. Memegang samurai yang berhulu pendek terbungkus oleh sutera merah. Nampaknya dia seorang pesolek juga.
Tanpa menunggu isyarat, tanpa mengacuhkan si Bungsu yang tenagh bicara, dia menghayunkan samurainya yang sejak tadi telah terhunus. Hayunan samurai ini mengarah ke leher. Memancung dari atas kanan ke bawah kiri.
Zato Ichi yang duduk mengangkat kepala. Dia mendengar suitan samurai itu. Dan dia tahu, bahwa suara itu bukan berasal dari suara samurai si Bungsu. dan firasatnya mengatakan bahwa anak muda itu dibokong dari belakang.
Dia berteriak memperingatkan si Bungsu.
“Bungsu-san di belakangmu…!” teriakannya belum berakhir ketika dia dengar suara mengeluh. Lalu diam Zato Ichi tertegak! Suitan angin yang kencang di musim dingin ini membuat pendengarannya sebentar ini kurang jelas. Siapakah yang mengeluh?
Tak ada gerakan sedikitpun yang tertangkap oleh telinganya. Dia tegak diam. Aneh, kemana lelaki yang sepuluh orang itu? Kenapa tak terdengar mereka menghela nafas?
“Bungsu-san….!” Dia menghimbau dengan nada khawatir. Dia tak berani bergerak. Sebab dia tak mau terperangkap oleh kesalahan yang kecil sekalipun. Kalaupun si Bungsu cedera, maka itu berarti dia harus mempertahankan dirinya sendirian!
“Saya disini, Ichi-san…tetaplah duduk di sana. Biar saya menyelesaikan soal ini…” terdengar suara si Bungsu perlahan.
Zato Ichi menarik nafas lega. Perlahan degup jantungnya yang tak teratur tadi jadi tenang kembali. Ah, dia memang telah tua. Ketuaan telah membuat dirinya terlalu cepat khawatir.
“Syukurlah….” Katanya perlahan sambil melangkah dan mencari-cari bangku kayu itu dengan tongkatnya. Ketika ujung tongkatnya kembali menyentuh bangku kayu itu, dia lalu duduk perlahan.
Seluruh gerakannya diperhatikan oleh ke sembilan lelaki yang mengurung mereka. Ya, mereka kini hanya tinggal sembilan orang.
Orang kesepuluh, yaitu si kurus bersamurai dengan hulu sutera merah itu, yang tadi membokong si Bungsu dari belakang, kini tertelungkup di lantai batu!
Dari bawah tubuhnya yang tertelungkup itu, merembes darah merah. Membasahi kimono musim dinginnya yang berwarna gelap.
Takkala tadi si kurus itu menyerang dengan sabetan samurai sambil melangkah maju, tak seorangpun diantara kesembilan temannya yang melihat anak muda itu bergerak.
Mereka melihat betapa samurai si kurus membabat maju. Bahkan sejengkal lagi samurai itu akan mencapai lehernya, anak muda asing itu tak tahu sedikitpun akan bahaya yang mengancam di belakangnya.
Namun entah kapan saatnya bergerak, tiba-tiba saja anak muda itu melangkah surut selangkah. Dan disaat yang hampir-hampir fantastis ketepatannya, dia menjatuhkan diri di lutut kanannya. Lalu samurainya tercabut. Dan ditikamkan kebelakang tanpa menoleh sedikitpun!
Akibatnya bukan main. Tidak saja sabetan samurai si kurus itu luput dari batang lehernya, bahkan si kurus itu sendiri tertikam oleh samurainya hingga separoh lebih!
Si Kurus itu tertahan seperti disentakkan tenaga raksasa. Tangannya masih memegang samurai. Dan tiba-tiba sambil bergerak bangkit, si Bungsu menarik samurainya. Dan saat itulah si kurus ini mengeluh. Lalu terputar setengah lingkaran. Jatuh tertelungkup.
Diam. Mati!
Dan kesembilan temannya, termasuk Zendo dari kuil Kofukuji di kota Nara itu, pada tertegak diam. Zato Ichi tak mendengar dengus nafas mereka sebab tak seorangpun diantara mereka yang tak menahan nafas melihat adegan yang alangkah fantastisnya itu.
Dan kini anak muda itu tegak dengan tenang. Dengan tenang dia menghapus darah yang membasahi samurainya dengan telapak tangan. Kemudian dengan tenang pula dia menyarungkan samurai itu kembali.
Lalu menatap pada Zendo.
“Sungguh suatu demonstrasi yang mengagumkan….” Suara Zendo bergema perlahan. Dan dari nada suaranya, dia taka hanya sekedar memuji. Tapi ucapannya memang jujur. Tapi dalam nada ucapannya itu juga dapat segera diketahui, bahwa dia tak merasa gentar sedikitpun akan kecepatan dan kehebatan anak muda itu!
Zendo justru memberi isyarat pada dua orang anggotanya. Kedua anggota yang diberi isyarat itu bergerak!
Mereka bergerak amat cepat. Menyerang ke arah Zato Ichi! Namun si Bungsu sudah menanti disana! Dua buah serangan beruntun berhasil dia gagalkan dengan samurainya.
“Tahan!!” hampir berbarengan terdengar suara Zato Ichi dan Zendo. Kedua anak buah Zendo segera bergerak mundur. Zendo maju dua langkah. Di saat yang bersamaan, Zato Ichi tegak dari duduknya.
“Anak muda” Zendo berkata, “ sudah saya katakan bahwa saya tak pernah ikut campur urusanmu. Kini engkau nyata-nyata mencampuri urusan saya. Maka apa boleh buat, saya akan menghadapimu…”
Lelaki itu tinggi kurus. Memegang samurai yang berhulu pendek terbungkus oleh sutera merah. Nampaknya dia seorang pesolek juga.
Tanpa menunggu isyarat, tanpa mengacuhkan si Bungsu yang tenagh bicara, dia menghayunkan samurainya yang sejak tadi telah terhunus. Hayunan samurai ini mengarah ke leher. Memancung dari atas kanan ke bawah kiri.
Zato Ichi yang duduk mengangkat kepala. Dia mendengar suitan samurai itu. Dan dia tahu, bahwa suara itu bukan berasal dari suara samurai si Bungsu. dan firasatnya mengatakan bahwa anak muda itu dibokong dari belakang.
Dia berteriak memperingatkan si Bungsu.
“Bungsu-san di belakangmu…!” teriakannya belum berakhir ketika dia dengar suara mengeluh. Lalu diam Zato Ichi tertegak! Suitan angin yang kencang di musim dingin ini membuat pendengarannya sebentar ini kurang jelas. Siapakah yang mengeluh?
Tak ada gerakan sedikitpun yang tertangkap oleh telinganya. Dia tegak diam. Aneh, kemana lelaki yang sepuluh orang itu? Kenapa tak terdengar mereka menghela nafas?
“Bungsu-san….!” Dia menghimbau dengan nada khawatir. Dia tak berani bergerak. Sebab dia tak mau terperangkap oleh kesalahan yang kecil sekalipun. Kalaupun si Bungsu cedera, maka itu berarti dia harus mempertahankan dirinya sendirian!
“Saya disini, Ichi-san…tetaplah duduk di sana. Biar saya menyelesaikan soal ini…” terdengar suara si Bungsu perlahan.
Zato Ichi menarik nafas lega. Perlahan degup jantungnya yang tak teratur tadi jadi tenang kembali. Ah, dia memang telah tua. Ketuaan telah membuat dirinya terlalu cepat khawatir.
“Syukurlah….” Katanya perlahan sambil melangkah dan mencari-cari bangku kayu itu dengan tongkatnya. Ketika ujung tongkatnya kembali menyentuh bangku kayu itu, dia lalu duduk perlahan.
Seluruh gerakannya diperhatikan oleh ke sembilan lelaki yang mengurung mereka. Ya, mereka kini hanya tinggal sembilan orang.
Orang kesepuluh, yaitu si kurus bersamurai dengan hulu sutera merah itu, yang tadi membokong si Bungsu dari belakang, kini tertelungkup di lantai batu!
Dari bawah tubuhnya yang tertelungkup itu, merembes darah merah. Membasahi kimono musim dinginnya yang berwarna gelap.
Takkala tadi si kurus itu menyerang dengan sabetan samurai sambil melangkah maju, tak seorangpun diantara kesembilan temannya yang melihat anak muda itu bergerak.
Mereka melihat betapa samurai si kurus membabat maju. Bahkan sejengkal lagi samurai itu akan mencapai lehernya, anak muda asing itu tak tahu sedikitpun akan bahaya yang mengancam di belakangnya.
Namun entah kapan saatnya bergerak, tiba-tiba saja anak muda itu melangkah surut selangkah. Dan disaat yang hampir-hampir fantastis ketepatannya, dia menjatuhkan diri di lutut kanannya. Lalu samurainya tercabut. Dan ditikamkan kebelakang tanpa menoleh sedikitpun!
Akibatnya bukan main. Tidak saja sabetan samurai si kurus itu luput dari batang lehernya, bahkan si kurus itu sendiri tertikam oleh samurainya hingga separoh lebih!
Si Kurus itu tertahan seperti disentakkan tenaga raksasa. Tangannya masih memegang samurai. Dan tiba-tiba sambil bergerak bangkit, si Bungsu menarik samurainya. Dan saat itulah si kurus ini mengeluh. Lalu terputar setengah lingkaran. Jatuh tertelungkup.
Diam. Mati!
Dan kesembilan temannya, termasuk Zendo dari kuil Kofukuji di kota Nara itu, pada tertegak diam. Zato Ichi tak mendengar dengus nafas mereka sebab tak seorangpun diantara mereka yang tak menahan nafas melihat adegan yang alangkah fantastisnya itu.
Dan kini anak muda itu tegak dengan tenang. Dengan tenang dia menghapus darah yang membasahi samurainya dengan telapak tangan. Kemudian dengan tenang pula dia menyarungkan samurai itu kembali.
Lalu menatap pada Zendo.
“Sungguh suatu demonstrasi yang mengagumkan….” Suara Zendo bergema perlahan. Dan dari nada suaranya, dia taka hanya sekedar memuji. Tapi ucapannya memang jujur. Tapi dalam nada ucapannya itu juga dapat segera diketahui, bahwa dia tak merasa gentar sedikitpun akan kecepatan dan kehebatan anak muda itu!
Zendo justru memberi isyarat pada dua orang anggotanya. Kedua anggota yang diberi isyarat itu bergerak!
Mereka bergerak amat cepat. Menyerang ke arah Zato Ichi! Namun si Bungsu sudah menanti disana! Dua buah serangan beruntun berhasil dia gagalkan dengan samurainya.
“Tahan!!” hampir berbarengan terdengar suara Zato Ichi dan Zendo. Kedua anak buah Zendo segera bergerak mundur. Zendo maju dua langkah. Di saat yang bersamaan, Zato Ichi tegak dari duduknya.
“Anak muda” Zendo berkata, “ sudah saya katakan bahwa saya tak pernah ikut campur urusanmu. Kini engkau nyata-nyata mencampuri urusan saya. Maka apa boleh buat, saya akan menghadapimu…”
Tanpa menunggu isyarat, tanpa mengacuhkan si Bungsu yang tenagh bicara, dia menghayunkan samurainya yang sejak tadi telah terhunus. Hayunan samurai ini mengarah ke leher. Memancung dari atas kanan ke bawah kiri.
Zato Ichi yang duduk mengangkat kepala. Dia mendengar suitan samurai itu. Dan dia tahu, bahwa suara itu bukan berasal dari suara samurai si Bungsu. dan firasatnya mengatakan bahwa anak muda itu dibokong dari belakang.
Dia berteriak memperingatkan si Bungsu.
“Bungsu-san di belakangmu…!” teriakannya belum berakhir ketika dia dengar suara mengeluh. Lalu diam Zato Ichi tertegak! Suitan angin yang kencang di musim dingin ini membuat pendengarannya sebentar ini kurang jelas. Siapakah yang mengeluh?
Tak ada gerakan sedikitpun yang tertangkap oleh telinganya. Dia tegak diam. Aneh, kemana lelaki yang sepuluh orang itu? Kenapa tak terdengar mereka menghela nafas?
“Bungsu-san….!” Dia menghimbau dengan nada khawatir. Dia tak berani bergerak. Sebab dia tak mau terperangkap oleh kesalahan yang kecil sekalipun. Kalaupun si Bungsu cedera, maka itu berarti dia harus mempertahankan dirinya sendirian!
“Saya disini, Ichi-san…tetaplah duduk di sana. Biar saya menyelesaikan soal ini…” terdengar suara si Bungsu perlahan.
Zato Ichi menarik nafas lega. Perlahan degup jantungnya yang tak teratur tadi jadi tenang kembali. Ah, dia memang telah tua. Ketuaan telah membuat dirinya terlalu cepat khawatir.
“Syukurlah….” Katanya perlahan sambil melangkah dan mencari-cari bangku kayu itu dengan tongkatnya. Ketika ujung tongkatnya kembali menyentuh bangku kayu itu, dia lalu duduk perlahan.
Seluruh gerakannya diperhatikan oleh ke sembilan lelaki yang mengurung mereka. Ya, mereka kini hanya tinggal sembilan orang.
Orang kesepuluh, yaitu si kurus bersamurai dengan hulu sutera merah itu, yang tadi membokong si Bungsu dari belakang, kini tertelungkup di lantai batu!
Dari bawah tubuhnya yang tertelungkup itu, merembes darah merah. Membasahi kimono musim dinginnya yang berwarna gelap.
Takkala tadi si kurus itu menyerang dengan sabetan samurai sambil melangkah maju, tak seorangpun diantara kesembilan temannya yang melihat anak muda itu bergerak.
Mereka melihat betapa samurai si kurus membabat maju. Bahkan sejengkal lagi samurai itu akan mencapai lehernya, anak muda asing itu tak tahu sedikitpun akan bahaya yang mengancam di belakangnya.
Namun entah kapan saatnya bergerak, tiba-tiba saja anak muda itu melangkah surut selangkah. Dan disaat yang hampir-hampir fantastis ketepatannya, dia menjatuhkan diri di lutut kanannya. Lalu samurainya tercabut. Dan ditikamkan kebelakang tanpa menoleh sedikitpun!
Akibatnya bukan main. Tidak saja sabetan samurai si kurus itu luput dari batang lehernya, bahkan si kurus itu sendiri tertikam oleh samurainya hingga separoh lebih!
Si Kurus itu tertahan seperti disentakkan tenaga raksasa. Tangannya masih memegang samurai. Dan tiba-tiba sambil bergerak bangkit, si Bungsu menarik samurainya. Dan saat itulah si kurus ini mengeluh. Lalu terputar setengah lingkaran. Jatuh tertelungkup.
Diam. Mati!
Dan kesembilan temannya, termasuk Zendo dari kuil Kofukuji di kota Nara itu, pada tertegak diam. Zato Ichi tak mendengar dengus nafas mereka sebab tak seorangpun diantara mereka yang tak menahan nafas melihat adegan yang alangkah fantastisnya itu.
Dan kini anak muda itu tegak dengan tenang. Dengan tenang dia menghapus darah yang membasahi samurainya dengan telapak tangan. Kemudian dengan tenang pula dia menyarungkan samurai itu kembali.
Lalu menatap pada Zendo.
“Sungguh suatu demonstrasi yang mengagumkan….” Suara Zendo bergema perlahan. Dan dari nada suaranya, dia taka hanya sekedar memuji. Tapi ucapannya memang jujur. Tapi dalam nada ucapannya itu juga dapat segera diketahui, bahwa dia tak merasa gentar sedikitpun akan kecepatan dan kehebatan anak muda itu!
Zendo justru memberi isyarat pada dua orang anggotanya. Kedua anggota yang diberi isyarat itu bergerak!
Mereka bergerak amat cepat. Menyerang ke arah Zato Ichi! Namun si Bungsu sudah menanti disana! Dua buah serangan beruntun berhasil dia gagalkan dengan samurainya.
“Tahan!!” hampir berbarengan terdengar suara Zato Ichi dan Zendo. Kedua anak buah Zendo segera bergerak mundur. Zendo maju dua langkah. Di saat yang bersamaan, Zato Ichi tegak dari duduknya.
“Anak muda” Zendo berkata, “ sudah saya katakan bahwa saya tak pernah ikut campur urusanmu. Kini engkau nyata-nyata mencampuri urusan saya. Maka apa boleh buat, saya akan menghadapimu…”
Tikam Samurai - 246
Sebelum si Bungsu dapat menjawab tantangan itu, suara Zato Ichi terdengar pula :
“Kenapa harus melibatkan orang lain dalam urusan kita? Engkau berurusan denganku Zendo-san. Dan aku akan menghadapimu”
Bukan main terkejutnya si Bungsu mendengar ucapan Zato Ichi ini. Dia tahu benar, bahwa tubuh pahlawan samurai ini masih sangat lemah. Tak mungkin dia mampu berhadapan dengan Zendo dan anak buahnya. Dia berniat memprotes putusan itu. Tapi Zato Ichi nampak mengangkat tangan. Memberi isyarat padanya untu menepi.
“Ini urusanku anak muda. Menyingkirlah….” Suara tuanya terdengar perlahan. Dan si Bungsu tahu, bahwa ini soal harga diri bagi Zato Ichi. Makanya dia tak berani menyanggah.
Namun meski tak bisa ikut campur dalam urusan Zendo dan Zato Ichi, anak muda ini masih punya cara lain untuk menolong Zato Ichi.
Dia tak ingin perkelahian berlaku curang. Menghadapi Zendo saja Zato Ichi pasti kewalahan. Bukan karena kepandaiannya, tapi karena tubuhnya yang lemah. Karena itu anak muda dari gunung Sago ini lalu bicara:
“Baik, saya takkan ikut campur urusan kalian. Tapi tak seorangpun selain tuan Zendo yang boleh ikut campur. Jika ada, maka saya akan ikut serta pula…”
Zato Ichi menarik nafas panjang. Dia sangat terharu atas sikap anak muda ini. Dia tahu anak muda itu berusaha menolong nyawanya. Dia memang harus mengakui, bahwa pertarungannya kali ini merupakan perjudian melwanan elmaut.
Tapi kini dia agak lega, sebab dia tak usah khawatir menghadapi keroyokan. Lawannya hanya satu orang. Dan si Bungsu mengawasi hal itu!
Si Bungsu melangkah menghindar dari hadapan kedua orang itu. Matanya menyapu pada delapan orang anak buah Zendo yang masih tetap tegak mengurung Zato Ichi.
Si Bungsu hanya menghindar dua langkah. Yaitu sekdar tak menghalangi kedua musuh bebuyutan itu berhadapan muka. Namun jarak yang dia buat, memustahilkan kedua orang itu untuk bertarung.
“Menyingkirlah dari sana….” Zendo berkata. Si Bungsu menatapnya. Tersenyum tipis.
“Sudah saya katakan, perkelahian ini hanya untuk tuan berdua. Yang lain tak boleh ikut campur…..” suara si Bungsu mengingatkan.
“Ya. Tak ada orang lain yang ikut campur” suara Zendo terdengar gusar. Dia gusar karena telah dijebak anak muda ini. Dijebak dengan kata-kata bahwa pertarungan ini hanya untuk mereka berdua. Berarti tak satu pun diantara anak buahnya yang bisa ikut campur.
Padahal dia membawa anak buahnya kemari mencari Zato Ichi dalam rangka memudahkan penuntutan dendam kematian abangnya.
Tapi apa boleh buat. Meskipun dia tak gentar pada anak muda ini, namun dia harus jaga gengsi.
“Saya akan menyingkir dari sini kalau anak buah tuan juga menyingkir. Kami akan membuat lingkaran sepuluh depa….” Si Bungsu kembali berkata.
Dan kali ini tak ada jalan lain bagi Zendo selain harus menuruti kehendak anak muda itu. Dia memberi isyarat pada anak buahnya. Dan dengan perasaan yang benar- benar kurang senang, kedelapan orang itu lantas mundur.
Mereka berkuat, dan tegak sedemikian rupa hingga membentuk suatu lingkaran berjari-jari sepuluh depa seperti diminta oleh si Bungsu. si Bungsu tegak di salah satu sisinya.
Kini kedua lelaki itu berhadapan. Zato Ichi yang lemah, tegak menunduk. Dia seperti tak ingin memperlihatkan bahwa dirinya sedang sakit. Hanya si Bungsu merasa sangat khawatir. Dia tahu benar tenaga dan kesehatan Zato Ichi sangat tak mengizinkan untuk berkelahi. Usahkan untuk berkelahi, untuk tegak agak lama saja dalam cuaca dingin begini sudah sangat sulit.
Namun bagaimana dia harus memabntunya. Bukankah ini sudah permintaan Zato Ichi sendiri?
Dan untungnya, Zendo tak mengetahui bahwa Zato Ichi demikian parah keadaannya. Ada beberapa saat kedua musuh ini berhadapan. Tegak dengan diam.
Zendo lah yang pertama kali menghunus samurainya. Suara samurainya ketika keluar dari sarungnya, terdengar berdesir perlahan. Zato Ichi masih diam. Kepalanya masih menunduk. Samurainya masih ditangan kanan di dalam sarungnya. Samurai itu masih dia pegang seperti memegang tongkat. Ujungnya mencecah lantai batu.
Tak sedikitpun kelihatan bahwa dia siap untuk berkelahi. Zendo melemparkan sarung samurainya ke samping. Dan disambut oleh salah seorang anak bauhnya. Kemudian perlahan dia melangkah maju. Bergeser di lantai batu. Satu setengah depa dihadapan Zato Ichi dia berhenti.
Zato Ichi masih menunduk diam. Samurainya masih dia pegang seperti tadi. Perlahan Zendo mengangkat samurainya. Mengarahkan ujungnya ke atas sebelah kanan dirinya.
Dan dengan perlahan pula tangan kirinya memegang hulu samurai di bawah pegangan tangan kanannya. Dan dia menahan nafs. Kini dia benar-benar siap tempur! Namun Zto Ichi masih tetap diam seperti patung.
Zendomenghela nafas. Dan saat itulah terdengar suara Zato Ichi:
“Saya dengan abangmu Akira memang berkelahi malam itu di kuil Kofukuji…” suaranya perlahan. Namun Zendo tak ambil peduli. Dia konsentrasi penuh.
Sebelum si Bungsu dapat menjawab tantangan itu, suara Zato Ichi terdengar pula :
“Kenapa harus melibatkan orang lain dalam urusan kita? Engkau berurusan denganku Zendo-san. Dan aku akan menghadapimu”
Bukan main terkejutnya si Bungsu mendengar ucapan Zato Ichi ini. Dia tahu benar, bahwa tubuh pahlawan samurai ini masih sangat lemah. Tak mungkin dia mampu berhadapan dengan Zendo dan anak buahnya. Dia berniat memprotes putusan itu. Tapi Zato Ichi nampak mengangkat tangan. Memberi isyarat padanya untu menepi.
“Ini urusanku anak muda. Menyingkirlah….” Suara tuanya terdengar perlahan. Dan si Bungsu tahu, bahwa ini soal harga diri bagi Zato Ichi. Makanya dia tak berani menyanggah.
Namun meski tak bisa ikut campur dalam urusan Zendo dan Zato Ichi, anak muda ini masih punya cara lain untuk menolong Zato Ichi.
Dia tak ingin perkelahian berlaku curang. Menghadapi Zendo saja Zato Ichi pasti kewalahan. Bukan karena kepandaiannya, tapi karena tubuhnya yang lemah. Karena itu anak muda dari gunung Sago ini lalu bicara:
“Baik, saya takkan ikut campur urusan kalian. Tapi tak seorangpun selain tuan Zendo yang boleh ikut campur. Jika ada, maka saya akan ikut serta pula…”
Zato Ichi menarik nafas panjang. Dia sangat terharu atas sikap anak muda ini. Dia tahu anak muda itu berusaha menolong nyawanya. Dia memang harus mengakui, bahwa pertarungannya kali ini merupakan perjudian melwanan elmaut.
Tapi kini dia agak lega, sebab dia tak usah khawatir menghadapi keroyokan. Lawannya hanya satu orang. Dan si Bungsu mengawasi hal itu!
Si Bungsu melangkah menghindar dari hadapan kedua orang itu. Matanya menyapu pada delapan orang anak buah Zendo yang masih tetap tegak mengurung Zato Ichi.
Si Bungsu hanya menghindar dua langkah. Yaitu sekdar tak menghalangi kedua musuh bebuyutan itu berhadapan muka. Namun jarak yang dia buat, memustahilkan kedua orang itu untuk bertarung.
“Menyingkirlah dari sana….” Zendo berkata. Si Bungsu menatapnya. Tersenyum tipis.
“Sudah saya katakan, perkelahian ini hanya untuk tuan berdua. Yang lain tak boleh ikut campur…..” suara si Bungsu mengingatkan.
“Ya. Tak ada orang lain yang ikut campur” suara Zendo terdengar gusar. Dia gusar karena telah dijebak anak muda ini. Dijebak dengan kata-kata bahwa pertarungan ini hanya untuk mereka berdua. Berarti tak satu pun diantara anak buahnya yang bisa ikut campur.
Padahal dia membawa anak buahnya kemari mencari Zato Ichi dalam rangka memudahkan penuntutan dendam kematian abangnya.
Tapi apa boleh buat. Meskipun dia tak gentar pada anak muda ini, namun dia harus jaga gengsi.
“Saya akan menyingkir dari sini kalau anak buah tuan juga menyingkir. Kami akan membuat lingkaran sepuluh depa….” Si Bungsu kembali berkata.
Dan kali ini tak ada jalan lain bagi Zendo selain harus menuruti kehendak anak muda itu. Dia memberi isyarat pada anak buahnya. Dan dengan perasaan yang benar- benar kurang senang, kedelapan orang itu lantas mundur.
Mereka berkuat, dan tegak sedemikian rupa hingga membentuk suatu lingkaran berjari-jari sepuluh depa seperti diminta oleh si Bungsu. si Bungsu tegak di salah satu sisinya.
Kini kedua lelaki itu berhadapan. Zato Ichi yang lemah, tegak menunduk. Dia seperti tak ingin memperlihatkan bahwa dirinya sedang sakit. Hanya si Bungsu merasa sangat khawatir. Dia tahu benar tenaga dan kesehatan Zato Ichi sangat tak mengizinkan untuk berkelahi. Usahkan untuk berkelahi, untuk tegak agak lama saja dalam cuaca dingin begini sudah sangat sulit.
Namun bagaimana dia harus memabntunya. Bukankah ini sudah permintaan Zato Ichi sendiri?
Dan untungnya, Zendo tak mengetahui bahwa Zato Ichi demikian parah keadaannya. Ada beberapa saat kedua musuh ini berhadapan. Tegak dengan diam.
Zendo lah yang pertama kali menghunus samurainya. Suara samurainya ketika keluar dari sarungnya, terdengar berdesir perlahan. Zato Ichi masih diam. Kepalanya masih menunduk. Samurainya masih ditangan kanan di dalam sarungnya. Samurai itu masih dia pegang seperti memegang tongkat. Ujungnya mencecah lantai batu.
Tak sedikitpun kelihatan bahwa dia siap untuk berkelahi. Zendo melemparkan sarung samurainya ke samping. Dan disambut oleh salah seorang anak bauhnya. Kemudian perlahan dia melangkah maju. Bergeser di lantai batu. Satu setengah depa dihadapan Zato Ichi dia berhenti.
Zato Ichi masih menunduk diam. Samurainya masih dia pegang seperti tadi. Perlahan Zendo mengangkat samurainya. Mengarahkan ujungnya ke atas sebelah kanan dirinya.
Dan dengan perlahan pula tangan kirinya memegang hulu samurai di bawah pegangan tangan kanannya. Dan dia menahan nafs. Kini dia benar-benar siap tempur! Namun Zto Ichi masih tetap diam seperti patung.
Zendomenghela nafas. Dan saat itulah terdengar suara Zato Ichi:
“Saya dengan abangmu Akira memang berkelahi malam itu di kuil Kofukuji…” suaranya perlahan. Namun Zendo tak ambil peduli. Dia konsentrasi penuh.
“Kenapa harus melibatkan orang lain dalam urusan kita? Engkau berurusan denganku Zendo-san. Dan aku akan menghadapimu”
Bukan main terkejutnya si Bungsu mendengar ucapan Zato Ichi ini. Dia tahu benar, bahwa tubuh pahlawan samurai ini masih sangat lemah. Tak mungkin dia mampu berhadapan dengan Zendo dan anak buahnya. Dia berniat memprotes putusan itu. Tapi Zato Ichi nampak mengangkat tangan. Memberi isyarat padanya untu menepi.
“Ini urusanku anak muda. Menyingkirlah….” Suara tuanya terdengar perlahan. Dan si Bungsu tahu, bahwa ini soal harga diri bagi Zato Ichi. Makanya dia tak berani menyanggah.
Namun meski tak bisa ikut campur dalam urusan Zendo dan Zato Ichi, anak muda ini masih punya cara lain untuk menolong Zato Ichi.
Dia tak ingin perkelahian berlaku curang. Menghadapi Zendo saja Zato Ichi pasti kewalahan. Bukan karena kepandaiannya, tapi karena tubuhnya yang lemah. Karena itu anak muda dari gunung Sago ini lalu bicara:
“Baik, saya takkan ikut campur urusan kalian. Tapi tak seorangpun selain tuan Zendo yang boleh ikut campur. Jika ada, maka saya akan ikut serta pula…”
Zato Ichi menarik nafas panjang. Dia sangat terharu atas sikap anak muda ini. Dia tahu anak muda itu berusaha menolong nyawanya. Dia memang harus mengakui, bahwa pertarungannya kali ini merupakan perjudian melwanan elmaut.
Tapi kini dia agak lega, sebab dia tak usah khawatir menghadapi keroyokan. Lawannya hanya satu orang. Dan si Bungsu mengawasi hal itu!
Si Bungsu melangkah menghindar dari hadapan kedua orang itu. Matanya menyapu pada delapan orang anak buah Zendo yang masih tetap tegak mengurung Zato Ichi.
Si Bungsu hanya menghindar dua langkah. Yaitu sekdar tak menghalangi kedua musuh bebuyutan itu berhadapan muka. Namun jarak yang dia buat, memustahilkan kedua orang itu untuk bertarung.
“Menyingkirlah dari sana….” Zendo berkata. Si Bungsu menatapnya. Tersenyum tipis.
“Sudah saya katakan, perkelahian ini hanya untuk tuan berdua. Yang lain tak boleh ikut campur…..” suara si Bungsu mengingatkan.
“Ya. Tak ada orang lain yang ikut campur” suara Zendo terdengar gusar. Dia gusar karena telah dijebak anak muda ini. Dijebak dengan kata-kata bahwa pertarungan ini hanya untuk mereka berdua. Berarti tak satu pun diantara anak buahnya yang bisa ikut campur.
Padahal dia membawa anak buahnya kemari mencari Zato Ichi dalam rangka memudahkan penuntutan dendam kematian abangnya.
Tapi apa boleh buat. Meskipun dia tak gentar pada anak muda ini, namun dia harus jaga gengsi.
“Saya akan menyingkir dari sini kalau anak buah tuan juga menyingkir. Kami akan membuat lingkaran sepuluh depa….” Si Bungsu kembali berkata.
Dan kali ini tak ada jalan lain bagi Zendo selain harus menuruti kehendak anak muda itu. Dia memberi isyarat pada anak buahnya. Dan dengan perasaan yang benar- benar kurang senang, kedelapan orang itu lantas mundur.
Mereka berkuat, dan tegak sedemikian rupa hingga membentuk suatu lingkaran berjari-jari sepuluh depa seperti diminta oleh si Bungsu. si Bungsu tegak di salah satu sisinya.
Kini kedua lelaki itu berhadapan. Zato Ichi yang lemah, tegak menunduk. Dia seperti tak ingin memperlihatkan bahwa dirinya sedang sakit. Hanya si Bungsu merasa sangat khawatir. Dia tahu benar tenaga dan kesehatan Zato Ichi sangat tak mengizinkan untuk berkelahi. Usahkan untuk berkelahi, untuk tegak agak lama saja dalam cuaca dingin begini sudah sangat sulit.
Namun bagaimana dia harus memabntunya. Bukankah ini sudah permintaan Zato Ichi sendiri?
Dan untungnya, Zendo tak mengetahui bahwa Zato Ichi demikian parah keadaannya. Ada beberapa saat kedua musuh ini berhadapan. Tegak dengan diam.
Zendo lah yang pertama kali menghunus samurainya. Suara samurainya ketika keluar dari sarungnya, terdengar berdesir perlahan. Zato Ichi masih diam. Kepalanya masih menunduk. Samurainya masih ditangan kanan di dalam sarungnya. Samurai itu masih dia pegang seperti memegang tongkat. Ujungnya mencecah lantai batu.
Tak sedikitpun kelihatan bahwa dia siap untuk berkelahi. Zendo melemparkan sarung samurainya ke samping. Dan disambut oleh salah seorang anak bauhnya. Kemudian perlahan dia melangkah maju. Bergeser di lantai batu. Satu setengah depa dihadapan Zato Ichi dia berhenti.
Zato Ichi masih menunduk diam. Samurainya masih dia pegang seperti tadi. Perlahan Zendo mengangkat samurainya. Mengarahkan ujungnya ke atas sebelah kanan dirinya.
Dan dengan perlahan pula tangan kirinya memegang hulu samurai di bawah pegangan tangan kanannya. Dan dia menahan nafs. Kini dia benar-benar siap tempur! Namun Zto Ichi masih tetap diam seperti patung.
Zendomenghela nafas. Dan saat itulah terdengar suara Zato Ichi:
“Saya dengan abangmu Akira memang berkelahi malam itu di kuil Kofukuji…” suaranya perlahan. Namun Zendo tak ambil peduli. Dia konsentrasi penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar